7. Keputusan?

Sepanjang perjalanan pulang menuju rumah, aku terus memikirkan pesan Misha. Dalam bimbang, aku sesekali melirik Haikal yang fokus mengemudi hingga kami sampai di kediaman. Haikal mengajakku shalat berjamaah dilanjut setoran mengajiku dan bacaan shalat. Meski bacaan shalatku belum sempurna, Haikal berkeras menyuruhku tetap menjadi makmumnya.

"Annisa," panggil Haikal lembut. "Coba baca surat Al-kautsar. Saya ingin dengar."

Aku menghela napas pasrah lantas melantunkan ayat suci yang diminta suamiku. Kami duduk berhadapan di atas sajadah, usai shalat. Haikal memperbaiki beberapa kesalahan saat aku membaca surah itu, hingga selesai.

"Tetaplah dirikan shalat, Istriku," pinta Haikal seraya menggenggam tanganku lembut. "Allah memberikan kita banyak kenikmatan. Syukuri dan turuti perintah Allah untuk menegakkan shalat."

Aku bergeming dan hanya mengerjap lambat seakan mendengarkan setiap petuah Haikal tentang shalat. Padahal, aku tengah sibuk sendiri memikirkan apa yang harus kulakukan agar misiku segera berhasil.

"Mengerti, Annisa?"

"Ya?" aku tersentak dan sontak mengerjap cepat. Tadi Haikal bicara panjang lebar tentang apa saja?

Haikal tersenyum simpul. "Apa kamu memahami bahwa shalat adalah tiang agama? Shalat adalah rukun islam yang kedua setelah syahadat. Shalatlah yang membedakan antara hamba yang bertakwa dan tidak. Saya harap, kamu bisa terus istiqamah mendirikan shalat dan menjadi hamba Allah yang bertakwa."

Aku mengangguk meski pikiranku masih berkecamuk tentang Haikal dah hubungan pernikahan kami. "Meski bacaanku belum sempurna dan masih ada salah?"

"Kamu pasti bisa jika terus dibiasakan."

Mengangguk patuh, aku melepas mukena dan membuka kuncir hingga rambut panjangku tergerai. Jujur aku menyukai bagaimana wajah Haikal tampak mengagumiku, ketika rambutku sedang terurai. Usai melipat mukena, aku meminta ijin untuk berganti baju dan bersantai di ranjang.

"Ibu akan datang lusa," ucap Haikal memberitahuku seraya menaiki ranjang. Ia menggenggam gawai dan tampak mengetik sesuatu di sana. "Ibu datang sendiri tanpa Bapak. Katanya, Ibu akan membawa beberapa hasil panen kebun kami."

Aku bisa melihat jelas binar bahagia Haikal. Sejak Haikal bekerja di perusahaan Ayah, entah beberapa tahun lalu, aku lupa. Bapak Haikal yang menjadi supir Ayah mengundurkan diri akibat kondisi matanya yang kurang baik. Awalnya, Haikal lah yang menggantikan posisi bapak pria itu sebagai supir Ayah, sekaligus karyawan baru di perusahaan. Namun seingatku, kondisi itu tak lama berlangsung karena Ayah mendapatkan supir baru dan aku tak lagi bertemu Haikal setiap pagi di rumah.

"Annisa," panggil Haikal lagi seraya tersenyum. "Tidak apa-apa, kan, Ibuku menginap beberapa hari di sini?"

"Ah, tentu tidak masalah," jawabku dengan wajah yang kubuat antusias. "Aku harus menyiapkan apa untuk menyambut Ibu?"

Haikal menggeleng seraya merebahkan tubuhnya. "Tidak ada."

Hingga saat Ibu tiba di kediaman kami, senyum Haikal tak pernah redup barang sesaat. Kentara pria itu mencintai ibunya. Ya, wajar, sih. Ibu haikal sabar dan terlihat penyabar. Beda dengan Bunda yang otoriter dan suka memaksa.

"Selamat datang di kediaman kami, Bu," ucapku saat mobil kami yang menjemput Ibu di stasiun, sampai rumah. Kulihat Ibu mengucap syukur dan tampak bahagia mendapati kondisi rumah sederhana kami. "Maaf, rumah kami tidak seberapa," lanjutku dengan gestur sopan.

"Ndak seberapa, bagaimana? Wong bagus begini." Ibu memuji seraya mengapitkan tangannya di lenganku. Sedang Haikal, membawa barang-barang yang Ibu bawa dari kampung.

Haikal mengajak kami makan siang di restaurant saat perjalanan menuju rumah tadi. Sehingga, sampai rumah, aku dan Ibu berjibaku membongkar oleh-oleh hasil kebun yang beliau bawa.

"Haikal suka pare yang ditumis dengan teri," ucapnya seraya mengeluarkan pare dan terong. "Jantung pisang juga dia doyan. Direbus saja, terus disambelin pake kemiri. Nanti Ibu ajari deh, masaknya." Wanita ini lantas mengeluarkan dua buah jantung pisang beserta beberapa ikat daun singkong.

Aku ingin tertawa, sebenarnya. Bagaimana bisa wanita ini bersemangat pada hal-hal remeh yang bisa kami dapatkan dengan harga murah di pasar atau swalayan. Hanya demi anaknya, Ibu rela membawa sayur mayur ini dari kampung. Namun melihat bagaimana Haikal terenyuh dan mengucapkan terima kasih berulang, membuatku berpikir. Sepertinya, bahagia bagi Haikal dan Ibu adalah dengan sebuah perhatian kecil dan buah tangan murah meriah. Bagaimana jika aku memberikan yang tak bisa Haikal dapatkan dari Ibunya dan tak bisa dibeli dengan uang?

Mencetak senyum samar, aku yakin jika Haikal menghamiliku, ia akan lebih perhatian padaku dan rela melakukan apapun.

"Ayah kamu baik banget, Nak Nissa." Saat ini aku, Ibu, dan Haikal tengah duduk santai di ruang tivi. Kami duduk seraya menikmati pisang goreng yang Ibu buat bersamaku tadi. "Hidup kami jadi lebih baik sejak Haikal disekolahkan oleh beliau."

"Oya?" Aku menoleh pada Haikal dengan raut tanya. Apa iya Ayahku menyekolahkan pria ini?

Ibu mengangguk. "Dulu, Ayah Nak Nisa berkata pada Bapak jika kagum dengan Haikal yang menghapal Al-Qur'an. Saat tamat SMA, Ayah Nak Nisa menguliahkan Haikal hingga magister teknik sipil. Usai tamat kuliah, Haikal langsung dilamar kerja di perusahaan Ayah Nak Nisa hingga sekarang. Ibu bersyukur sekali untuk itu."

"Kalau boleh tau, selain karena Mas Haikal hapal Al-Qur'an, apa ada alasan lain kenapa Ayah membiayai pendidikan Mas?" tanyaku seraya berpikir, bahwa sepertinya terlalu aneh jika Ayah memberi beasiswa untuk penghapal Al-Qur'an.

"Katanya saya pekerja keras dan pintar," jawab Haikal dengan tawa yang tampak malu-malu. "Saya hanya melakukan apa yang bisa saya lakukan sebaik mungkin. Ayah orang baik dan mampu memahami potensi orang-orang di sekitarnya. Pak Nyoto yang kita datangi tempo lalu, juga dibantu Ayah saat membangun rumah."

Aku tersenyum getir. Ayahku baik pada banyak orang, namun Bundaku tega menyiksa putrinya sendiri.

"Oya, Ibu lupa!" Suara Ibu memecah lamunanku sesaat. "Ibu bawa oleh-oleh untuk kamu." Wanita itu lantas beranjak dari duduk dan melangkah menuju kamar yang sudha Haikal siapkan untuk beliau. Tak lama, ibu kembali dengan satu kantung plastik sedang. "Ibu beli daster batik untuk Annisa. Daster lengan panjang, jadi bisa digunakan untuk ke pasar atau sekedar membereskan rumah. Kalau keluar, tinggal pake jilbab saja."

Aku melirik Haikal dengan tatapan bertanya. Apa aku harus menerima busana yang tak pernah aku bayangkan untuk dipakai? Namun tatapan mata Haikal yang dalam dan menghanyutkan, membuatku mengangguk pada Ibu dan menerima pemberiannya.

Kami berbincang tentang masa kecil haikal dan kehidupan pria itu di pondok pesantren. Hingga tak terasa petang pun datang dan kami bergegas siap shalat bersama.

Usai makan malam dengan menu jantung pisang rebus yang dilumuri sambah khas Ibu, aku dan Haikal langsung menuju kamar dan beristirahat seperti biasa. Ibu mengeluh lelah dan pamit tidur duluan.

"Annisa," panggil Haikal saat kami tengah menyandar pada kepala ranjang. Aku menoelh dan mendapati tatapan matanya yang serius namun lembut. "Saya mau minta tolong."

"Apa?"

"Mungkin kamu tidak suka dengan apa yang Ibu beri padamu, tadi. Hanya saja, mohon tetap disimpan agar sewaktu-waktu Ibu datang kembali ke rumah ini, pakaian itu tidak digunakan oleh orang lain. Saya takut Ibu sakit hati."

Aku tersenyum simpul. Sebegitu takutnya Haikal dengan Ibu. Menggeser tubuhku hingga berhadapan dengan Haikal, aku mengerjap sesaat sebelum berkata, "Aku gak akan membuang atau memberikan daster itu ke Bik Muna, Mbak Beti atau orang lain. Aku akan pakai itu, kok, Mas." Wajah Haikal seketika tampak bahagia dengan binar mata penuh antusias. "Bagaimanapun, Ibu itu ... sudah jadi Ibuku, kan?"

Haikal mengangguk.

Melihat wajahnya yang antusias dan bahagia, entah mengapa satu pemikiran ini etrlintas di kepala. Spontan aku beranjak turun dari ranjang, mengambil satu buah dari beberapa daster yang Ibu berikan dan mengenakannya di depan Haikal. Mengabaikan rasa maluku karena membuka baju dan berganti di depan dirinya.

"Aku cantik?"

Haikal tampak terpana melihatku memakai daster itu dengan rambut terurai. Meski kurang nyaman, aku bergerak menaiki ranjang lantas mendekati suamiku yang masih terpaku.

"Kalau aku hamil, apa Mas akan mencintaiku sepenuh hati?" tanyaku berbisik menggoda. Aku berharap Haikal tak pernah tahu jika jantungku tengah berdentum tak karuan dan tubuhku gemetar. Karena cepat atau lambat, aku harus melakukan ini demi keberhasilan misiku.

"Saya bahkan sudah mencintai kamu, sejak kita menikah," jawabnya terdengar parau.

Aku mengangguk pelan dengan senyum yang kubuat sensual. "Kalau begitu, seharusnya Mas sudah menganggap aku istri Mas, dong?"

Mengerjap lambat, Haikal tersenyum simpul lalu menangkup sebelah wajahku. Ibu jarinya mengusap lembut pipiku dengan tatapan teduh penuh kelembutan. "Saya bahkan masih menunggu kamu siap menjadi istri, untuk urusan yang satu itu." Lalu kecupan panjang kurasakan di keningku. "Saya tidak akan meminta, sebelum kamu sendiri yang mengijinkan."

"Kalau begitu, anggap saja aku sudah memberikan ijin," jawabku dengan hati yang entah mengapa berdesir lembut, dengan debar jantung bersamaan.

Haikal mengulum bibirnya dan mata pria itu menghunus tajam pada bibirku. Aku mendongak dan menutup mata. Membiarkan deru napas Haikal semakin terasa mendekat dan mencium bibirku untuk pertama kalinya.

Tak apa, Icha. Ini demi kebahagiaanmu kelak. Berkorban seperti ini bukanlah hal yang berat karena nantinya, kamu akan memiliki segalanya.

*****

Hallo ... I Love You Till Jannah sudah open Pre Order ya ... Untuk kalian yang ingin peluk, bisa order via shopee Detailstore dengan bonus dompet koin. Juga, bisa ke admin penjualan Lovrinz namun gak ada gift ya .. hanya buku saja kalau via admin. Kalau Shopee, kata Lolita, bisa dapet subsidi free ongkir dan bonus hadiah pula! Wkwkwkk

Untuk pemesanan via admin, bisa whatsapp ke nomor 08980822333


Terus, ini cerita gak lanjut gitu? Tetep lanjut, dooongggsss ... Seperti yang kubilang, aku tetap akan posting namun tidak sampai end. Ending cerita ada di part 30, sedang di wp hanya akan kupost sampai part 24 atau 25 saja.

Terus kalau mau baca sampai end? Bisa ke grup facebook Lovrinzandfriend lalu search Till Jannah atau Hapsari Rias Diati. Kalau sudah ketemu, bisa colek aku untuk minta link chapter 1-30nya.

Sama versi cetak, beda gak? Of Course, tentu beda! Ada tambahan 3 part di akhir cerita (Jadi total 33 bab) dan tambahan part2 kecil di tengah cerita agar konflik terasa lebih tajam wkwk ... pokoknya, versi cetak lebih mrekes mrekes di hati lah!

Ebook inshaallah tersedia untuk naskah ini, namun baru akan launching setelah PO ditutup dan buku selesai cetak.

So ..., cuss pesan kisah Haikal dan Annisa yang inshaallah bisa memberi pesan yang bermanfaat untuk kita semua. I Love You Till Jannah, Gaess ...


LopLop

Hapsari

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top