6. Bunda

“Bunda mengundang kita makan siang.”

Aku menoleh pada Haikal yang sedang bersandar di kepala ranjang. Usai Isya bersama, biasanya kami akan sibuk masing-masing di ranjang, hingga kantuk menghampiri. Aku akan fokus menikmati layar televisi dan Haikal membaca buku atau gawai. Terus seperti itu hingga kami lelah dan terlelap.

Sudah tiga minggu sejak pengakuanku tentang shalat. Haikal mengajariku kembali tata cara ibadah dengan benar berikut bacaannya. Aku diwajibkan menghapal setiap bacaan shalat dengan benar dan Haikal akan memeriksa hapalanku setiap malam.

Seperti tadi, usai salah Isya, setelah doa bersama. Kami duduk berhadap-hadapan di atas sajadah dan Haikal menagih hapalan Juz Amma. Aku baru lancar lima surat. Tiga surah Kul, Al-Fiil dan Al-Kautsar. Kupikir, menghapal surat-surat semudah menghapal lirik lagu. Nyatanya tidak. Haikal sangat peka terhadap panjang pendek setiap hurufnya juga tahsin yang membuatku pusing kepala. Aku ingin marah, sebenarnya. Namun aku harus tetap berjuang demi meluluhkan Haikal dan memenangkan semua hakku atas harta Ayah. Jadi, anggap saja aku sedang training ilmu agama.

“Kapan?” tanyaku merespon
informasi Haikal sesaat lalu.

“Besok Sabtu.

Aku berdecih tak minat. “Setelah satu bulan lebih kita menikah, Bunda baru cari anaknya. Kemana saja dia selama ini? Aku yakin Bunda pasti bersenang-senang sendiri.”

“Tidak,” bantah Haikal. “Bunda beberapa hari tidak mengunjungi kantor Ayah. Saat kutanya Mbak Beti, ternyata Bunda sedang sakit batuk. Batuk mulai setelah kita menikah, hingga sekarang, belum sembuh juga.”

“Karma yang menyedihkan,” komentarku santai seraya tetap menikmati tayangan televisi. “Jika Bunda bisa bersikap lebih baik padaku, mungkin Allah tak akan menghukumnya seperti itu.”

“Annisa,” panggil Haikal tegas hingga mau tak mau, aku menoleh padanya. “Tidak ada manusia yang berhak menghakimi sesama, apalagi membawa nama Allah. Kita tak akan pernah tahu apa yang tersimpan dalam setiap takdir yang Allah gariskan pada tiap hamba-Nya.”

Memutar bola mata jengah, aku merebahkan diri lalu menarik selimut. “Terserah Mas mau bilang apa. Aku gak akan menang, kan, kalau berdebat dengan Mas Haikal.”

Haikal terdengar menghela napas, lalu membenahi selimutku. Ia mengusap kepalaku lembut, meski aku tengah memunggungi suamiku. “Bukan begitu. Maksudku—“

“Jangan matikan tivinya. Aku sudah mengantuk,” pintaku seraya memejam mata.

Kurasakan kecupan panjang di kepala sebelum ranjang kami bergerak.

***

Meja makan ini adalah saksi bisu dimana aku pernah bahagia. Ayah duduk di kepala meja, sedang aku dan Bunda berhadapan di sisi kanan dan kirinya. Kami bahagia, dulu. Sebelum Bunda merasa aku salah memilih teman dan hidup terlampau hedon. Entah siapa yang meracuni pikiran Bunda hingga bersikap sangat ketat kepadaku sejak aku memasuki kuliah.

“Bunda meminta Mbak Beti menyiapkan udang saus padang kesukaan kamu.” Bunda terbatuk saat berucap.

Aku menunduk saja. Sesekali mendongak, menatap Haikal yang duduk di seberangku. Kursi Ayah di kepala meja, sudah ditempati Bunda selaku ratu di rumah ini.

“Kalian apa kabar?” Kulihat, Bunda kini menatap Haikal dan tersenyum samar.

Haikal balas tersenyum. Gestur pria itu sopan sekali. “Alhamdulillah, Bunda.” Sambil menunggu pelayan dapur rumah ini menuang air putih, Haikal berbincang ringan dengan mertuanya. “Masih batuk, Bunda?”

Bunda mengangguk seraya terbatuk. Seakan menjawab pertanyaan Haikal dengan bukti nyata. “Sudah tua, Kal. Sudah mulai diberi tanda untuk bersiap dipanggil, suatu hari nanti.” Suara batuk kencang Bunda terdengar lagi. “Bunda sudah ikhlas jika malaikat menjemput Bunda untuk bertemu Ayah.”

“Bunda,” sela Haikal lembut. “Inshaallah Bunda panjang umur. Kami belum memberi cucu.”

Bunda tersenyum anggun seraya melirikku yang diam-diam memperhatikan interaksi mereka. Tatapanku dan Bunda bertemu selama beberapa saat. Binar mata Bunda tampak teduh dan senyumnya tersungging samar padaku. “Bisa melihat Icha berubah saja, Bunda sudah bahagia.”

Aku melengos. Enggan membalas tatapan apalagi senyum Bunda. Aku tahu, Bunda pasti sedang merasa menang. Bagaimana tidak, aku menggunakan gamis longgar yang Beti siapkan dulu dan tampil anggun layaknya anak penurut di hadapan Bunda saat ini. Biasanya, aku dan Bunda selalu bertengkar. Aku juga tak pernah sudi menggunakan jenis pakaian ini dan lebih memilih menjadi diriku sendiri dalam memilih busana.

Selama makan siang berjalan, sesekali Bunda berbincang dengan Haikal. Mereka membahas pekerjaan dan Haikal terdengar memberi laporan perkembangan proyek-proyek perusahaan Ayah yang sedang berjalan.

Sedang aku, hanya duduk diam menikmati santapan tanpa berminat untuk bergabung dalam obrolan mereka.

“Jika Icha mau, dia boleh membantu di bagian keuangan perusahaan Ayah,” ucap Bunda pada Haikal tanpa menatapku. Seakan aku tak ada di ruangan ini dan tak mendengar diskusi mereka. “Dia lulusan akutansi. Meski tidak cum laude, tapi Bunda yakin anak Bunda mampu bekerja dengan baik sesuai bidangnya.”

Bola mataku memutar malas. Buat apa aku bekerja jika tahun depan aku akan kaya raya. Lebih baik fokus melakukan misi menaklukan hati Haikal, lalu mengambil semua hak waris Ayah dan pergi senang-senang setelahnya.

Haikal tampak tersenyum menanggapi usulan Bunda. “Buat saya, itu terserah Annisa saja. Saya tidak akan memaksa dia bekerja. Karena bagi saya ...,” mata Haikal mengarah padaku dalam dan tajam, “Annisa bisa menjadi seperti harapan Ayah saja, sudah cukup.”

Keningku seketika menyernyit. Harapan Ayah? Memangnya Ayah berharap apa padaku? Seingatku, Ayah tak pernah memaksaku harus ini dan itu. Ayah sangat sibuk dan kami jarang bertemu. Sekalinya berbincang saat ada waktu, Ayah akan bercanda denganku dan kami melakukan hal seru untuk melepas penat.

Aku menatap mata Haikal dengan tatapan penuh tanya. Namun seakan Haikal tahu apa yang bercokol dalam pikiranku saat ini, pria itu hanya mengulas senyu tipis yang tampak misterius bagiku.

“Iya.” Bunda menyahut. “Terserah Icha saja. Bunda percaya padanya selama dia berada dalam pengawasan kamu, Kal.”

Decihanku terdengar. Bunda dan Haikal sontak menoleh padaku, namun aku membuang muka. Apa-apaan Bunda. Bicara layaknya aku tak memiliki hal yang bisa membuat orang lain percaya padaku.

“Inshaallah, Bunda. Annisa istri saya dan saya akan bertanggung jawab sebagai pendamping dan pemimpin dalam rumah tangga kami.”

Senyum masam tercetak di bibirku. Dua orang ini sok benar sekali.

“Kamu jadi ke rumah Sunyoto?” tanya Bunda mengalihkan topik tentangku.

“Jadi, acara akikah anak Pak Nyoto, sore hari setelah Ashar. Selesai menemani Bunda makan siang, kami akan berangkat ke sana.”

“Jangan lupa hadiahnya.”

Haikal mengangguk. “Saya dan Annisa akan mampir membeli kado sebelum ke sana.”

Mereka melanjutkan makan malam dengan berbagai topik obrolan lainnya, dengan dominasi diskusi pekerjaan. Tak ada yang bertanya pendapatku atau pandanganku terhadap topik apapun. Ya, setidakberharganya aku di mata Bunda dan Haikal.

Beberapa waktu usai makan siang, Haikal pamit undur diri pada Bunda. Bunda menatapku dan tersenyum samar. Wajah pucatnya kentara namun aura otoriter istri Ayah tetap saja terpancar jelas. Saat Haikal memintaku cium tangan Bunda saat pamit, aku melengos dan langsung menaiki mobil. Entahlah, melihat wajah Bunda, rasanya seperti melihat kehidupanku yang penuh kekangan. Membuat tekanan batin sendiri.

“Bunda bilang kamu cantik hari ini.” Haikal berseru santai saat memasuki mobil dan memutar kontak.

Aku mencebik jengah dengan mata melengos ke kiri. “Dia pasti merasa menang,” gumamku sendiri.

“Apa?”

“Tidak,” elakku menggeleng.

“Annisa,” panggil Haikal lembut padaku.

Aku menoleh dan terkesiap saat tangan Haikal dengan lembut membelai keningku.

“Anak rambutnya terlihat. Jika memakai hijab, hendaknya kamu pastikan tidak ada rambut yang terlihat sedikitpun,” jelasnya manis seraya tersenyum padaku.

Aku bergerak salah tingkah. “Biar aku benahi sendiri, Mas. Aku ke dalam rumah dulu, sebentar.” Canggung, aku turun dari mobil dan kembali memasuki rumah.

Sampai kamar, aku menuju depan cermin dan memasang ulang hijabku. Aku menatap pantulan wajahku dan temenung. Betapa aku tampak sangat beda dengan busana ini. Haikal selalu berkata aku cantik jika memakai ini. Namun entah mengapa, aku merasa seperti bukan diriku. Aku merasa bahkan pakaian ini adalah simbol bahwa aku tertekan dan harus patuh hidup di bawah aturan Haikal dan Bunda. Sungguh menyesakkan dada.

Aku berjalan lagi menuju mobil dan terhenti sesaat kala runguku mendengar batuk kencang Bunda. Kulirik ke asal suara, Bunda tengah duduk di sofa tivi, ditemani Mbak Beti. Bunda sedang meneguk beberapa pil. Aku menghela napas pendek, lalu melanjutkan langkahku.

“Icha,” suara serak Bunda memanggilku, disusul batuk panjang.

Langkahku berhenti namun aku tak menoleh pada Bunda sedikitpun.
“Semoga tidak akan lama lagi, Nak. Kamu akan mengerti mengapa kami memilih cara ini untuk mencintaimu. Haikal mencintaimu. Bunda bisa melihat itu. Tolong jaga perasaan dia dan pernikahan kalian.”

Aku tak merespon ucapan Bunda yang beriringan dengan batuknya itu. Melanjutkan langkah menuju mobil Haikal lebih baik dari pada membuang waktu mendengar ceramah Bunda.

Selama perjalanan menuju destinasi selanjutnya, aku merenung. Bunda dan Ayah memercayai Haikal sebegininya hingga memaksaku menikah dengan pria itu. Haikal memang selalu berlaku baik padaku. Kecuali, saat aku berdusta tentang ibadah. Ia sabar mengajariku menghapal surat dan bacaan shalat. Jika aku berhasil menghapal satu bacaan dengan benar, ia akan tersenyum dengan binar bahagia lalu mengecup keningku lama. Entahlah, caranya mencintai sungguh aneh.

“Kamu belanja hadiah bisa sebanyak ini,” komentarku saat kami sudah selesai membeli hadiah untuk bayi yang akan kami kunjungi. “Sedang memberikanku uang bulanan, kamu perhitungan.” Aku cemberut dan menutup pintu mobil kencang saat menaiki kendaraan.

Kulihat Haikal hanya tersenyum simpul seraya meletakkan semua hadiahnya di jok belakang. Usai menduduki kursi kemudi, Haikal terlihat mengambil beberapa uang dari dompetnya, lalu memasukkan ke dalam amplop. “Nanti tolong kamu berikan ke istrinya Pak Nyoto. Katakan saja ini dari kamu.”

Aku menerima amplop yang Haikal siapkan, lalu menyimpannya ke dalam tas. 

Tangan Haikal terasa mengusap lembut kepalaku. “Kita kan tidak sering memberi hadiah ke keluarga Pak Nyoto. Jadi, saya rasa tidak masalah memberi lebih. Sedang kamu ...,” senyumnya terpatri lembut padaku. “akan bersama dengan saya selamanya, bukan? Kamu memiliki apa yang saya miliki, Annisa.”

Tubuhku meremang. Ucapan lembutnya selalu berhasil menggetarkan kalbuku. Haikal tak pernah mengucapkan kalimat romatis atau gombal. Kalimatnya selalu sederhana, secukupnya, namun entah mengapa berhasil menjamah sanubari.

Aku tak lagi mendebat hingga Haikal mengemudikan kendaraannya menuju rumah salah satu pegawai Ayah. Sesampainya di sana, kami disambut dengan hangat dan penuh hormat. Aku melakukan setiap instruksi yang Haikal bisik padaku. Termasuk berbasa-basi dengan istri Pak Nyoto dan memberikan hadiah serta amplop.

Aku duduk diam seraya melewati acara pengajian akikah yang membosankan. Kiki dan Misha menghubungiku lewat aplikasi perpesanan grup dan kami berdiskusi ringan di sana. Membunuh waktu dengan bertukar pesan seperti ini memang ampun menghilangkan bosan.

Kiki bertanya bagaimana progres misi kami menaklukan hati Haikal. Ia berkata sudah menghubungi travel Maldives dan mengundur jadwal liburan kami jadi tahun depan. Kiki mengingatkan agar aku segera berusaha mendapatkan dana untuk pelunasan paket liburan. Sedang Misha, menanyakan apakah ada kendala dalam menjalankan misi kami.

Aku menjawab semuanya lancar meski harus perlahan. Aku berdusta. Sebenarnya aku tertekan karena harus mematuhi setiap perintah Haikal. Apalagi tentang ibadah dan busana aneh ini. Satu-satunya yang membuatku nyaman adalah perlakuan Haikal dan sentuhan lembut pria itu yang membuatku nyaman.

“Biasanya pria akan luluh jika istri yang ia cintai mengandung anak mereka.” Misha menuliskan pesan itu. Mataku seketika membola dan keningku menyernyit demi memahami maksud kalimatnya. “Cha, jangan ragu berhubungan badan dan hamil, jika itu memungkinkan keberhasilan misi kita lebih cepat.”

Aku menelan ludah cekat. Jantungku berdebar kencang dan ada rasa aneh yang menelusup ke dalam hati. Perlahan, kualihkan pandanganku pada Haikal yang serius mengikuti pengajian.

Hamil? Berhubungan badan?

Haikal memang berkata tentang kebutuhan biologisnya. Namun ia tak pernah meminta padaku hingga saat ini. Apa ... aku harus maju memulainya? Jujur aku belum siap lahir batin. Namun jika ini demi misiku mendapatkan warisan Ayah lebih cepat, apa yang harus aku putuskan?

****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top