4. Haikal
Lirih lantunan ayat suci terdengar di telingaku. Aku membuka mata, lalu menoleh ke asal suara. Haikal tengah membaca Al-qur’an. Ia duduk bersila di atas sajadah dengan koko dan peci. Sudah rapi saja sepagi ini.
“Shadaqallahul-'adzim.”
Haikal menutup kitab suci yang ia baca lantas melipat sajadah. Aku bergerak kikuk saat pria itu menatapku tanpa suara. Hening menjajah kami dan aku tak tahu harus bagaimana saat ini. Ingin tidur lagi, tapi tak bisa karena mataku rasanya dipaksa segar. Ingin turun dari ranjang, tapi malas karena tak tahu ingin melakukan apa.
“Kenapa masih di ranjang?” Haikal bertanya seraya berjalan mendekat padaku.
Keningku menyernyit. “Memangnya aku harus apa di pagi buta ini, Mas? Untuk sarapan, aku akan menyiapkan roti tawar dan selai, berikut kopi hitam. Aku tidak harus masuk dapur sepagi ini hanya untuk menyiapkan itu.” Menyandarkan tubuh di kepala ranjang, aku menarik selimut agar nyaman dan bersiap mengambil gawai untuk membuka media sosial.
Namun Haikal merusak pagiku. Pria itu menarik keras selimut dan menyingkirkan benda itu ke pinggir ranjang. Membuatku ingin berteriak marah bila tak ingat jika aku punya misi menaklukan hati pria itu. Mencoba menahan emosi, aku mendesis lirih dengan mata tajam menatapnya. “Mas ngapain? Aku mau bersantai sebelum berubah menjadi pela—istrimu.”
“Shalat,” perintahnya tegas dengan wajah keras.
Aku menggeleng. “Malas main air sepagi ini.” Kualihkan tatapanku darinya menuju gawai. Membuka laman belanja daring di jam segini, sepertinya boleh juga.
Haikal berdecak lalu mengambil gawai yang sudah kupegang. “Kamu bilang ingin menjalani pernikahan ini?” Tubuhnya menjulang tinggi di hadapanku. Wajahnya menunduk dengan gestur tegas penuh otoritas. Jika sudah begini, aku tampak seperti tak memiliki daya. “Turuti perkataan saya. Turun dari ranjang dan salat!”
Jantungku berdentum kencang. Aliran darahku terasa meninggi hingga rasanya ingin manampar wajah Haikal. Jika tidak ingat pesan kiriman Kiki dan Misha semalam, juga bayangan indahnya Maladewa, aku pasti sudah melempar lampu tidur ke wajah pria itu.
“Annisa,” panggilnya lagi padaku.
Aku heran. Semalam ia bersikap manis padaku, bahkan merelakan gulingnya untuk kupakai. Ia juga tak membantah saat aku menyalakan televisi ketika tidur. Namun, hanya demi ibadah di pagi buta, pria ini berubah sikap layaknya sipir penjara.
Menghela napas panjang, aku beranjak pelan dari kenyamananku dan berjalan malas menuju kamar mandi. Astaga, ini kali pertama setelah bertahun lamanya, aku serajin ini bangun pagi.
Haikal pergi meninggalkan kamar dan aku membuka bingkisan pernikahan kami yang berisi seperangkat alat shalat. Mas kawinku dengan Haikal, selain sebuah cincin sebesar tiga gram. Hanya itu. Hanya sereceh itu harga diriku bagi Bunda.
Menahan dongkol dan kesal di dada, aku memakai seperangkat alat salat itu dan mulai bergerak seingat yang dulu diajarkan guru agama. Masa bodolah, benar atau salah, yang penting sudah salat.
Haikal masuk ke kamar kami lagi tepat saat aku selesai melaksanakan ibadah. Wajahnya tak lagi sekeras dan sedingin beberapa saat lalu. Ia beranjak menuju lemari dan mengambil satu kemeja. Tanpa malu, pria itu membuka baju kokonya dan memakai kemeja di hadapanku.
“Saya sudah membuat kopi dan teh hangat untuk kita. Boleh saya minta ditemani sarapan?” Ia menoleh padaku dan senyumnya tercetak manis.
Aku yang tersadar dari rasa terpana ini, menggeleng cepat lantas membereskan perlengkapan salat. Tanpa menjawab, aku melangkah meninggalkan kamar lalu berjalan menuju meja makan. Senyumku melengkung samar saat mendapati beberapa lembar roti bakar, berikut selai yang terhidang di sandingnya.
“Mas biasa makan roti bakar?” tanyaku basa-basi seraya menarik cangkir teh yang kuyakin milikku.
Haikal menggeleng seraya duduk. “Saya sarapan apa saja. Kebetulan lihat toaster dan kepikiran memanggang roti. Kamu suka?”
Aku mengangguk semangat. “Iya, suka. Tapi aku lebih suka sarapan buah, ketimbang roti atau nasi. Aku harus menjaga tubuhku agar tidak menggemuk.”
Haikal tak begitu menanggapi ucapanku. Ia mengambil satu lembar roti dan mengoleskan selai nanas di atasnya. Kami makan dalam diam. Ia tak membuka percakapan atau suara selama kami menikmati sajian masing-masing.
Tegukan teh terakhirku sudah habis. Begitupun kopi milik Haikal, karena pria itu menjauhkan cangkirnya. Aku mengambil cangkir kopi Haikal dan berinisiatif mencuci cangkir kami berdua. Namun panggilan Haikal dan tatapan matanya, membuatku urung dan kembali duduk.
Ia mengambil dompet dari saku celana dan mengambil kartu ATM. “Pegang ini untuk keperluan harian kita.”
“Ah ... akhirnya,” ucapku penuh syukur saat menerima kartu itu. “Bunda tidak mengirimiku uang lagi sejak kita menikah,” lanjutku mengadu.
“Saya akan mengisi ATM itu setiap bulan senilai sepuluh juta. Tolong diatur untuk keperluan operasional rumah tangga. Listrik, biaya keamanan, hingga makan, tolong diatur. Jangan lupa sisihkan sebagian untuk sedekah.”
Senyumku yang tadinya terkembang, seketika layu. Mataku bahkan membola mendengar keterangan tentang nominal saldo serta penggunaan selama satu bulan. “Mas, gak salah kasih aku sepuluh juta? Bunda saja biasa memberiku dua puluh juta setiap bulan!”
“Sekarang kamu hidup sama saya.”
“Astaga!” Aku meraung frustasi. “Aku tau mas tidak kaya, tapi jangan sebegini parahnya denganku.” Niatku mencuci cangkir jadi sirna. Gila saja aku harus hidup dengan rata-rata uang kurang dari lima ratus ribu per hari. Ini sih namanya jatuh miskin!
Kening Haikal terlihat berkerut samar. “Saya rasa jumlah itu lebih dari cukup untuk kita berdua.”
“Itu jika kamu tega menyiksaku dengan keterbatasan dana!” Aku membanting kartu ATM itu ke atas meja. “Mana cukup hidup berdua dengan sepuluh juta. Biayaku sekali ke salon saja, sudah satu juta paling murah. Itu belum perawatan wajah dan belanja!”
Terdengar helaan napas panjang dari Haikal. “Akhir minggu, saya akan mengajak kamu belanja. Membeli kebutuhan rumah, dapur, buah, serta camilan. Saya akan membayar semua tanpa mengurangi nafkah saya pada kamu di kartu itu.”
“Bagiku tidak terlalu membantu,” gumamku lesu. “Kupikir Mas akan memberiku setidaknya lima puluh juta setiap bulan.”
“Mohon bersabar dan belajarlah merasa cukup. Bersyukurlah karena banyak wanita di luaran sana, harus lebih bersabar karena belum bisa menerima nafkah sebanyak itu dari suaminya.”
Satu alisku naik dan wajahku menatapnya dengan raut jengah. “Maksud, Mas?”
“Saya tidak bermaksud apapun.” Haikal menggeleng. “Saya hanya memintamu mencoba bersyukur saja.” Pria itu berdiri lalu menghampiriku dan mengusap lembut kepalaku. “Saya berangkat dulu. Jika ingin pergi ke mana pun, tolong kabari saya.”
“Hm.” Aku mengangguk singkat.
“Satu lagi.”
Aku mendongak santai. “Apa?”
“Pakai jilbab dan baju tertutup selama Pak Suryo dan Bik Muna bekerja.”
“Yang itu berlebihan,” tolakku seraya menggeleng tak acuh. “Ini rumahku dan aku bebas melakukan apapun. Tak seorang pun boleh mengaturku bahkan untuk urusan sepele seperti busana.”
“Bagi saya auratmu bukan hal sepele. Saya harus memastikan wanitaku terjaga sempurna, apalagi saat ia sedang tak berada dalam jangkauan pandangan saya.” Saat mengucapkan ini, wajah Haikal kembali dalam mode sipir penjara. Tegas dan keras, seakan tak bisa dibantah.
Aku mengerjap cepat menghalau air mata yang terasa ingin turun akibat emosi. Aku benci diatur-atur begini. Ini hidupku dan rumahku, tidak seharusnya aku mengalah hanya demi orang lain yang bukan siapa-siapaku.
“Annisa.” Haikal memanggil namaku dengan mata konstan menghunus netraku.
“Lebih baik aku menghabiskan waktu di kamar selama pasangan itu membersihkan rumah kita. Katakan pada Pak Suryo, agar Bik Muna saja yang membereskan kamar kita. Aku benci Mas atur seperti ini. Jadi, jangan larang aku menghabiskan waktu di kamar atau luar rumah saat mereka ada di sini.”
“Pakai pakaian yang Beti siapkan tempo hari, jika keluar rumah.”
Mengdengkus keras, aku menyipitkan mata dan menatap wajahnya sinis. “Cukup sudah Mas mengaturku saat ini. Tenang saja, aku akan melakukan semua yang Mas katakan. Puas?” desisku penuh dengan tekanan.
Haikal terdiam dengan tatapan yang masih mengunci di antara kami. Wajahnya tampak tenang seakan tak terpengaruh oleh luapan emosi yang tengah menggelayutiku saat ini. Tidakkah ia lihat jika dadaku sudah naik turun secepat ini akibat menekan emosi?
“Jangan lupa salat. Jangan sampai terlewat satu waktu pun.”
Aku menggebrak meja makan dan berdiri dari dudukku. “Pergi kamu, Mas!” usirku dengan teriakkan lantang. Aku bukan wanita yang kuat menahan amarah, apalagi dengan pria banyak bicara dan aturan seperti Haikal. “Pergi kerja saja, sana! Jangan banyak mengaturku karena bagiku sepuluh juta yang Mas beri tak sebanding dengan tekanan batinku di sini!”
Tak peduli pada cangkir kami yang belum sempat kucuci, aku berbalik menuju kamar dengan langkah gusar. Persetan dengan Haikal dan meja makan kami yang masih berantakan sisa sarapan. Jika hidup begini terus bersama pria itu, aku bisa emosi jiwa dan tekanan batin sendiri.
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top