24. Doa
Lima hari sudah aku tinggal berdua bersama Uwak. Setiap hari, aku mengikuti kegiatan Uwak merawat kebun strawberi yang beliau miliki. Kami juga pergi ke pengajian yang biasa Uwak hadiri setiap sore.
"Ya begini, hari-hari Uwak. Pagi sampai siang, di kebun lihat-lihat tanaman. Panen dan kirim ke koperasi tempat wisata untuk mereka jual. Sore, Uwak tahsin dan tadarus bersama teman-teman."
Aku tersenyum setiap mendengar cerita Uwak tentang kesehariannya di masa tua ini. Aku jadi teringat Bunda. Bila Uwak bisa tenang dengan kehidupan sederhananya, Bunda masih harus memikirkan banyak hal hingga ia tutup usia. Apalagi, dengan aku yang saat itu berlagak durhaka.
"Ada Annisa, Uwak jadi ngerepotin," lanjut Uwak seraya melirikku yang masih fokus mengemudi menuju tempat ngaji Uwak yang kini juga kuikuti.
"Repot gimana, Wak? Justru saya yang bikin Uwak repot."
"Lah ini! Kemana-mana Uwak jadi naik mobil artis. Tadi pas kita anter sepuluh kilo strawberi ke tempat wisata, yang punya koperasi sampe kaget lihat uwak ambil kotak strawberi di bagasi. Katanya Uwak mendadak sukses sampe anter buah aja pake sedan mewah."
Aku tertawa lirih. Selama tinggal dengan Uwak, aku memang menawarkan diri mengantar Uwak kemana pun. Setiap orang yang bertemu kami, memang terkejut melihat Uwak yang tampil sederhana, kini bepergian dengan BMW yang kukendarai.
Begitu pun jamaah pengajian yang Uwak hadiri setiap sore. Mereka sempat terpana saat pertama kali aku datang bersama Uwak. Saat itu, Uwak memperkenalkanku sebagai keponakannnya yang sedang liburan. Aku diajak untuk ikut tahsin dan melanjutkan materi yang dulu Haikal beri.
"Uwak jadi berasa kayak istrinya Aa Rafi Ahmad."
Tawaku pecah lagi. "Uwak lebih cantik lah, dari Nagita," godaku seraya mengarahkan kemudi memasuki masjid yang menjadi tempat kajian kami.
Mobilku berhenti di area parkir masjid. Uwak melihat penjaja mie kocok dan mengajakku mengisi perut dengan menu khas Bandung itu.
"Eh, tapi nanti Annisa sakit perut gak ya, makan mie kocok gerobakan?" tanya Uwak dengan wajah penuh pertimbangan.
"Enggak," jawabku santai. "Saya juga suka makanan kaki lima, kok," tambahku seraya mematikan mesin.
Kami turun mobil bersama dan berjalan menuju gerobak mie kocok yang ada di depan pagar masjid. Jam mulai kajian masih tiga puluh menit lagi dan belum banyak jamaah yang datang. Dua mangkuk mie tersaji dan kami makan bersama sambil bincang tentang Haikal yang setiap hari, selama lebih dari tiga kali, menghubungi Uwak hanya untuk menanyakanku.
"Serius, Uwak bingung sama Haikal," tukas Uwak seraya menyuap potongan kikil dalam mangkuk. "Marah sama kamu, tapi setiap waktu hubungin Uwak cuma buat nanyain kamu."
"Mas Haikal khawatir saya merepotkan Uwak," timpalku mencoba berbesar hati.
Uwak menggeleng. "Uwak sudah bilang berulang kali, kalau justru Uwak yang terbantu ada kamu. Uwak berasa kaya pejabat yang dianter kemana-mana naik sedan mewah. Uwak jarang masak karena kamu belikan Uwak makanan. Kita sering bepergian berdua, bikin Uwak gak merasa sendiri. Eh, eta barudak telepon terus-terusan nanyain istrinya." Uwak menggerutu namun wajah Uwak seperti geli mengingat kelakuakn Haikal selama kami putus komunikasi.
"Mas Haikal gak pernah sekali pun hubungi saya."
"Alah, biarin. Hubungi Uwak sudah cukup, mungkin. Setiap pagi tanya apa kamu salat dan tadarus. Siangnya telepon, tanya sarapan dan makan siang apa. Sore tanya kita sedang apa dan apa istrinya juga ikut kajian. Malam, tanya lagi apa istrinya mengaji setelah maghrib." Mangkuk Uwak sudah habis. Wanita itu memberikan mangkuk pada penjaja lalu meneguk air mineral botol yang tersedia. "Kalau setiap hari tanyanya itu-itu terus, kenapa atuh gak hubungin Annisa sendiri?"
"Mas Haikal marah sama saya, Uwak. Uwak lupa kenapa saya di sini?"
Uwak tertawa lirih sambil mengusap mulutnya yang basah. "Marah tapi ribet tanya ini itu," komennya yang membuatku tersenyum samar. "Jujur, selama Uwak hidup dan kenal Haikal, ini pertama kalinya dia bersikap seperti ini. setelah Uwak ingat-ingat, dulu Haikal pernah marah sama Usna karena anak itu punya pacar di sekolah. Usna telepon Uwak nangis-nangis. Cerita kalau dimarahi habis-habisan sama Haikal karena pulang boncengan sama laki-laki yang katanya pacar. Laki-laki itu juga didatangi Haikal di sekolah, dan dimarahi sampai Usna putus sama dia."
Aku tersenyum getir. Indah sekali masa mudah Usna bersama Haikal. Aku yakin, Haikal pasti sangat menyayangi Usna. "Andai Mas Haikal mau memarahi saya, saya terima. Asal setelah itu Mas Haikal mau memaafkan saya dan menerima saya lagi."
"Sabar atuh, Neng. Haikal memang belum pernah mendiamkan orang selama ini. Tapi, Uwak juga lega karena dia masih perhatian sama istrinya. Meski caranya seperti anak ABG tinggi gengsi, tapi Haikal selalu menanyakan kamu sampai ke hal-hal terkecil."
"Saya harus apa ya, Wak, supaya Mas Haikal mau memaafkan saya?"
"Pasti dimaafkan," tukas Uwak penuh keyakinan. "Haikal mungkin hanya membutuhkna waktu lebih lama untuk mencerna semua. Berbeda dengan kaum kita yang mudah memaafkan kesalahan suami, pria lebih sering kalah dengan ego mereka. Jadi, kita harus sabar untuk memenangkan ego dan emosi para pria."
Aku menghela napas letih seraya memberikan mangkukku pada penjaja. "Sampai kapan saya harus sabar, Wak?"
Uwak membuka tas jinjing kecilnya, lalu menunjukkan layar ponselnya yang bergerar. "Sampai dia berhenti melakukan ini," jawab Uwak dengan ponsel yang menunjukkan Mas Haikal tengah menghubungi wanita itu. "Uwak angkat ini dulu."
Perbincangan Uwak dengan Haikal dapat kutangkap jelas. Uwak tak menghindariku dan tetap berada pada posisinya yang duduk di sebelahku. Aku menatap Uwak dengan wajah yang kuyakin tampak nelangsa. Sedang Uwak, tak sekali pun memutus tatapannya padaku, sambil terus bicara pada Haikal.
Perbincangan mereka tampak seperti yang lalu-lalu. Uwak menjawab jika kami sedang menikmati mie kocok gerobak di depan masjid, hendak kajian tausiah dan tahsin, serta memberitahu bahwa siang tadi pergi ke tempat wisata untuk menyuplai strawberi, berikut di mana kami menikmati ayam penyet siang tadi.
"Ulah kitu, lah, Jang. Annisa rindu kamu sampai merana. Dia selalu menuruti pesan yang kamu sampaikan melalui Uwak. Tiap pagi tadarus usai kami salat subuh. Siang pasti bantu Uwak di kebun. Minimal, temani Uwak sampai selesai urus kebun. Annisa takut cacing, soalnya. Sore kami selalu ke masjid untuk tahsin dan kajian islami. Malam nanti, ya dia pasti murajaah sendiri usai maghrib. Udah nurut, dia itu, Jang."
Jantungku berdebar kencang. Aku berharap banyak dengan semua ucapan persuasif Uwak pada Haikal agar tak lagi mendiamkanku seperti ini.
"Tiada ada yang direpotkan! Annisa membantu Uwak, Haikal. Menemani Uwak ke mana saja pake mobil yang ac-nya kencang dan dingin. Kalau kamu gak segera selesaikan masalah kalian, lama-lama itu istri kamu jadi anak Uwak saja sekalian."
Aku menggenggam tangan Uwak dan meremasnya lembut. Meminta Uwak, melalui senyum, agar wanita itu tidak naik darah di tempat umum. Aku malu jika orang-orang bisa saja menerka masalahku dari percakapan ini.
"Ya sudah, selesaikan saja urusannya dulu. Annisa pasti Uwak jagain. Tapi jangan lama-lama. Mojang di Bandung gak kurang-kurang yang tampangnya seganteng Aril."
Uwak menutup sambungannya setelah menjawab salam Haikal. Aku tersenyum dan mengucap terima kasih atas pembelaan yang Uwak sampaikan ke Haikal. Setelah melakukan transaksi dengan penjaja mie yang kami nikmati, kami memasuki masjid untuk salat ashar dan bersiap kajian.
Selama kajian tausiah berlangsung, aku berzikir dalam hati. Menyebut nama Allah agar hatiku tenang dan diberi keikhlasan menjalani ujian ini.
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Kalimat tausiah yang diucapkan oleh penceramah sore ini, membuatku berpikir bahwa Allah percaya dengan kekuatanku. Kekuatan untuk bersabar dan mengimani semua takdir hidup yang kuserahkan pada Sang Pemilik.
Aku pasti sanggup melalui ini semua. Melalui apapun skenario yang Allah tuliskan untukku. Meski seburuk, andai Haikal benar menceraikanku. Aku pasti sanggup. Sanggup hidup sebatang kara dan menua sendiri sampai mati. Jika memang begitu jalan takdir hidupku, makan akan kuisi setiap napas dengan taubat dan mendekat pada-Nya. Aku sanggup, pasti sanggup.
"Neng, ulah nangis," bisikkan Uwak di sampingku membuatku tersadar dan mengusap wajahku yang basah. "Udah selesai ini. Doa dulu yang khusyuk, setelah itu kita pulang. Jangan lupa, sambil berdoa, minta pada Allah agar dimudahkan segala urusan."
Aku mengangguk, lantas menundukkan kepala dan mengikuti doa yang dipimpin pengisi kajian.
Tepat saat kami sudah keluar masjid dan berjalan menuju mobil, seseorang memanggil Uwak dan mengajak beliau menjenguk teman pengajian yang tengah dirawat di rumah sakit. Uwak bertanya, apakah aku ingin ikut bersamanya, namun aku menggeleng dan memilih pulang. Aku masih berat mencium aroma rumah sakit dan teringat bagaimana Bunda menjalani hari-harinya dengan kanker ganas itu.
"Pulang sendiri, berani?"
Aku mengangguk. "Berani. Annisa siapkan makan malam, nanti. Uwak bawa mukena atau gimana?"
"Iyalah, bawa semua ini saja sekalian. Uwak naik mobil carteran bareng jemaah pengajian." Tunjuk Uwak pada angkot warna hijau yang tampak menunggu.
"Uwak hati-hati," ucapku. "Kalau butuh dijemput, hubungi saya. Nanti saya jemput dan tunggu di parkiran rumah sakit."
Uwak menjawab tawaranku dengan kibasan tangan dan berkata bahwa angkot hijau itu tahu lokasi rumah Uwak, hingga aku tak perlu khawatir menunggu untuk menjemput.
Sesampainya di rumah Uwak, aku membuka kotak makan malam yang kubeli di perjalanan pulang, dan menyajikan di meja makan. Saat adzan maghrib berkumandang, aku bergegas mengambil wudhu dan salat.
Haikal selalu meminta Uwak menyampaikan padaku, untuk murajaah surat-surat pendek usai salat maghrib hingga isya datang. Dengan sepenuh hati, aku melakukan itu hingga tak terasa hapalan surat pendekku sudah bertambah lima.
Seperti saat ini, aku duduk di atas sajadah usai salat maghrib dan membaca surat-surat dengan pelan dan hati-hati. Usai membaca semua surat yang kuhapal, aku membuka mushaf dan melanjutkan tadarus meski hanya beberapa ayat.
Runguku mendengar suara pintu terbuka. Sepertinya Uwak sudah pulang dari rumah sakit. Aku melanjutkan tadarusku karena tanggung sebentar lagi waktu isya datang. Namun tadarusku terhenti juga, saat pintu kamarku terbuka dan aroma parfum Haikal tercium jelas.
Hatiku berdesir dan air mata turun tanpa bisa kucegah. Aku menoleh ke belakang, untuk melihat siapa yang membuka pintu kamarku.
"Siapkan baju koko dan sajadah. Saya mandi dulu."
Haikal meletakkan tas jinjing di atas ranjang dan membuka kemeja yang ia kenakan, di hadapanku. Pria itu membuka tas jinjingnya dan mengambil handuk, lalu melenggang keluar kamar.
Meninggalkanku yang terisak haru dengan tubuh mendadak lemas, seperti tak bertulang.
****
Holaaaa ... seperti yang kukatakan di awal part, bahwa versi WP tak akan lengkap sampai bab30. Aku hanya posting sampai part 24 atau 25 saja. Jadi, sampai sini aja gpp ya? 30 bab full versi parade nulis religi Lovrinz bisa kalian baca di grup FB Lovrinzandfriend. Versi cetak sudah bisa dipesan dan untuk ebook, info dari penerbit akan launch di bulan agustus.
Selamat hari raya idul Adha. Hapsari juga nulis cerita judul Replaying Love di grup FB ini. Nantinya, juga akan Hapsari post di sini saat sudah proses penerbitan.
Sampai bertemu di pertengahan Agustus dengan Coffee, Cookies, and a Cup of Kiss. Muuaaacchhh ...
LopLop
Hapsari
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top