23. Tempat Singgah
Aku tak tahu harus kemana. Aku hanya melajukan mobilku menjauh dari Jakarta, Kiki, dan Misha. Aku harus pergi jauh agar mereka tak mengetahui keberadaanku dan mungkin saja melaporkanku pada yang berwajib.
Ucapan Misha terus terngiang di telinga. Seperti dengungan nyamuk yang menggangu tidur tenangku. Aku tidak bersalah. Mereka yang memancing emosiku dan membuatku bertindak anarki.
Haikal tak boleh terbunuh. Haikal harus selamat, namun bagaimana? Aku bahkan tak bisa menghubunginya untuk mengimbau agar hati-hati selama aku pergi. Tangisku tak kunjung reda. Aku terus melajukan mobilku menuju barat, keluar kawasan Jakarta dan Bekasi.
Kala pening menyerang kepalaku dan mataku buram akibat tangis, aku mengarahkan mobilku menuju rest area dan berhenti di depan mushala. Mengambil mukena dan masuk ke rumah Allah untuk mencurahkan segala perih yang kurasa.
Aku butuh Bunda. Aku butuh seseorang yang mau melindungiku dan menjadi sandaranku kala terpuruk seperti ini. Andai saja aku tahu jika akhirnya akan begini, aku akan membawa Bunda berobat ke Singapora hingga Jerman agar Bunda sembuh dan hidup lebih lama. Astaghfirullah ... Astaghfirullah ... hanya istighfar dan dzikir yang membuatku sadar bahwa aku tak boleh marah atas kehendak Allah. Aku harus meyakini, bahwa ini yang terbaik untuk Bunda. Agar baliau tak perlu terlalu lama merasakan derita.
Aku kembali memasuki mobilku dan mencoba menghubungi Haikal lagi. Ia harus tahu tentang rencana Kiki dan Misha. Namun lagi-lagi, operator yang menjawab bahwa ponselnya tak aktif. Aku frustasi. Membaca semua surat pendek yang kuhapal, aku memohon pada Allah agar selalu melindungi Haikal dari mara bahaya. Aku mencintainya. Aku tak ingin kehilangan Haikal atau siapapun lagi yang tulus mencintaiku.
Tanpa terasa, laju kendaraanku berhenti di depan sebuah rumah asri. Aku bimbang. Antara masuk dan bertamu, atau pergi lagi saja dan mencari penginapan untukku menenangkan diri. Aroma serabi dengan taburan oncom yang kubeli di restaurant tempatku dulu singgah bersama Haikal, membuatku menoleh pada jok penumpang samping dan menatap nanar pada dua kotak serabi yang tadi kubeli.
Menghela napas panjang seraya mengucap basmalah, aku menginjak pedal gas dan memasuki pekarangan asri itu.
Hujan deras membasahi bumi Bandung sore ini. Aku mengambil kantung berisi dua kotak serabi yang kubeli tadi, lantas keluar mobil menerobos hujan. Entah apa yang kupikirkan sepanjang perjalanan ini, hingga roda kendaraanku bergerak menuju rumah uwak Haikal yang pernah kami kunjungi dulu.
"Assalamualaikum." Aku mengetuk pintu hunian yang tampak sepi sore ini. tiga kali ketukan dan salam kuucap namun tetap tak ada sahutan.
Kemana Uwak dan Usna?
Lelah berdiri, aku duduk di kursi teras mungil yang tebuat dari rotan sintetis. Menunggu Uwak atau Usna datang dan meminta ijin untuk tinggal di sini sementara. Namun hingga petang hendak datang dan hujan semakin deras, tak satu pun dari mereka terlihat.
Aku lelah, putus asa, dan ingin menangis rasanya. Bahkan saat aku membutuhkan tempat berteduh, semesta masih saja menguji kesabaranku.
"Annisa?" Suara Uwak membuatku mendongak dari posisiku yang menutup wajah sejak tadi. Aku melihat Uwak menutup payung yang ia gunakan dan menghampiriku dengan wajah heran. "Sama Haikal? Kapan sampai?"
Tak mampu menjawab, aku hanya terdiam malu dengan mata yang mulai terasa panas lagi. Aku bingung harus bagaimana.
Uwak mengambil tanganku dan memelukku. "Masuk dulu, ya. Annisa pasti lelah," bisiknya, lalu menggiringku masuk ke dalam rumah dan mempersilakanku duduk di ruang tamu. Uwak membuatkanku teh hangat dan memintaku meneguk, sebelum kami mulai bicara. "Annisa, ada apa kemari? Ada yang bisa Uwak bantu?"
Tenggorokanku terasa berat untuk bicara. Aku menghela napas agar sesak yang kurasa berangsur hilang, meski air mata yang harus mewakili perasaanku saat ini. "Annisa ... Annisa ... rindu Mas Haikal." Dan isakku pecah. Aku menumpahkan segala lara yang kupendam mati-matian.
Pelukan Uwak membuatku merasa lebih tenang dan lega. Aku menceritakan semua. Semua yang terjadi. Tentang Haikal yang entah dimana, tak pernah terhubung denganku sejak tragedi itu, hingga mengapa rumah tanggaku tengah dilanda badai pilu.
Wajah Uwak tampak kehilangan kata, bahkan hanya untuk sekadar merespon semua pengakuanku. Aku tahu, Uwak pasti akan memakiku lalu mengusirku yang telah melukai hati keponakan kebanggaannya itu.
"Astaghfirullah, Annisa." Dan tak kuduga, Uwak justru mengusap air mataku. Ia memelukku yang menangis hingga sulit benapas. "Istigfar, Nak, istighfar."
Terbata, aku mengikuti saran Uwak untuk melafalkan banyak istighfar. Uwak membawaku masuk ke dalam salah satu kamar di rumah ini, dan meminjamkan daster Usna untuk kugunakan.
"Tadi itu Uwak habis ke stasiun antar Usna. Dia mau ke rumah metuanya dan tinggal di sana selama dua minggu. Kamu pakai baju Usna dulu, gak apa ya?"
"Terima kasih, Wak," ucapku seraya menghilangkan iska yang mulai reda.
Aku dan Uwak salat maghrib berjamaah. Aku bersyukur Uwak dan memaki dan mengusirku setelah mengetahui apa yang terjadi padaku dan Haikal. Uwak tetap menerima dan mengayomiku, hingga aku bisa merasa sedikit lebih tenang.
"Uwak Cuma punya lele goreng sama karedok. Annisa gak apa makan ini?"
Mendengar tawaran Uwak yang tampak tak enak hati dengan suguhannya di meja makan, aku justru mengulum bibir malu-malu. "Saya dan Mas Haikal justru jarang menikmati sajian seenak ini."
Mata Uwak membelalak.
"Maksud saya ... Mas Haikal selalu menolak jika saya menawarkan beli makan di luar. Mas Haikal hanya ingin makan malam masakan buatan saya. Sedang saya, hanya bisa menggoreng sosis, nugget dan telur saja. Jadi ...." Aku tak melanjutkan keteranganku. Malu jika Uwak tahu ponakannya hanya diberi makan seadanya. Namun mau bagaimana lagi, itu pilihan Haikal yang kekeuh ingin melihatku memasak.
Uwak tersenyum maklum. "Gak apa-apa. Kan menikahnya juga masih baru."
Kami makan malam bersama, sambil sesekali membahas tentang kehidupanku. Uwak wanita yang supel namun rendah hati. Uwak juga banyak cerita tentang hidupnya yang ternyata tak melulu bahagia.
"Usna pernah saya titipkan ke keluarganya Haikal, selama beberapa tahun. Setelah suami saya meninggal, saya pergi ke luar negeri untuk bekerja jadi TKW. Setelah Usna tamat SMA, saya pulang dan membeli tanah di sini. Kami memutuskan untuk tinggal bersama lagi dan bertani."
Aku tersenyum sendu. Iri dengan Usna yang masih memiliki banyak kesempatan untuk menghabiskan waktu bersama ibunya. Meski kehidupan mereka sederhana, namun aku melihat Usna yang bahagia karena tak sedikitpun kekurangan cinta.
"Annisa." Uwak memanggilku seraya menggenggam satu tanganku. "Uwak mau ijin telepon Haikal, boleh? Mau kabarin kalau kamu ada di sini."
"Apa ... diangkat nanti? Icha telepon Mas Haikal gak pernah nyambung," cicitku lirih dan sendu.
Helaan napas Uwak terdengar. Aku bisa menangkap ada keprihatinan Uwak pada kondisiku kini. "Uwak coba dulu, ya." Lalu wanita paru baya yang wajahnya mirip mertuaku, bergerak menuju kamarnya.
Sebenarnya aku ingin ikut. Ingin mendengarkan pembicaraan antara Uwak dan Haikal, tentang keberadaanku di sini. Namun aku tidak berani. Aku takut Uwak akan marah jika aku bersikap lancang.
Suara Uwak terdengar samar dari dalam kamarnya. Entah mengapa, hatiku terasa nyeri bersamaan dengan jantung yang berdebar. Uwak tersambung dengan Haikal, sedang aku tidak. Panas kembali menyerang mata. Namun aku harus tetap kuat dan tak boleh menderai kesedihan lagi.
Langkah Uwak terasa mendekat. Aku duduk tegang di meja makan menunggu Uwak duduk dan menyampaikan apapun tentang Haikal. Peluhku membulir satu-satu. Saat Uwak hanya duduk diam menatapku dengan sorot mata yang tak kumengerti artinya.
"Dulu, Usna pernah menghilangkan motor Haikal. Saat itu Haikal baru berhasil mengumpulkan uang dan membeli kendaraan baru, yang menjadi impiannya. Usna meminjam dan motor itu, namun hilang di rumah teman sekolahnya." Alih-alih mulai menjelaskan tentang percakapan dengan Haikal sesaat lalu, Uwak justru membuka cerita lama Usna dan Haikal.
Aku hanya mengerjap, menunggu kelanjutan cerita Uwak. Meski hati ini rasanya tak karuan karena penasaran apa yang Haikal bicarakan dengan Uwak di sambungan tadi.
Wajah Uwak sendu dengan dengkusan pasrah. "Tapi Haikal tidak semarah ini pada Usna." Ucapan Uwak lirih dengan gelengan pelan.
Hatiku hancur. Jika Usna yang menghilangkan kendaraan impiannya saja, bisa dimaafkan, mengapa aku tidak? Aku tidak menghilangkan benda apapun miliknya. "Mas Haikal ... bilang apa?" Suaraku bahkan terdengar seperti terdakwa yang tinggal menunggu tanggal eksekusi.
Uwak tampak tak tega melihatku. Terlihat jelas dari wajahnya yang seperti enggan bicara.
"Uwak," panggilku menuntut.
"Haikal ... tidak bicara apa-apa. Dia hanya berkata ... kalau Uwak jangan sampai repot karena kedatangan kamu."
Aku menghela napas panjang dan beristighfar. Rasanya lebih menyakitkan dari tersambar petir besar. Dengan tubuh gemetar, aku beranjak dari kursi makan. Haikal jelas tak menyukai aku berada di rumah keluarganya.
"Annisa mau kemana?" Uwak mencekal tanganku saat aku hendak berbalik.
"Cari penginapan. Mas Haikal benar. Uwak pasti repot ada Icha di sini," jawabku getir.
"Wallahi, enggak, Nisa. Uwak sungguh gak repot ada kamu di sini." Uwak mengguncang lembut tanganku. "Jangan pergi dari rumah ini. Tetap di sini bersama Uwak, sampai masalah kalian benar-benar selesai."
"Tapi Mas Haikal—"
"Jangan dengarkan Haikal! Dia mungkin sedang emosi, hingga bersikap begini. Jujur Uwak juga heran dengan sikap Haikal. Dia tidak pernah semarah ini."
Aku tak menjawab ucapan Uwak. Sibuk dengan berbagai pertimbangan yang kini menumpuk dalam kepala.
"Annisa." Panggilan Uwak terdengar tegas. "Masuk ke dalam kamarmu sekarang, dan baca Al-qur'an hingga pikiranmu tenang."
Aku mengangguk pelan. Mengiyakan perintah Uwak dan pamit untuk mengambil wudhu, salat isya dan membaca mushaf. Meski mengajiku belum lancar, namun aku akan tetap membaca agar hatiku tenang. Tak apa berbata dan pelan, yang penting aku tetap membaca dengan benar.
"Jadikan sabar dan salat sebagai penolongmu, Nak," ucap Uwak saat langkahku sudah di ambang pintu kamar mandi.
Aku mengangguk lagi dan mencoba tersenyum. Uwak benar. Aku harus sabar. Sesabar Haikal mengarahkanku pada jalan kebenaran dan kehidupan yang sesungguhnya kucari untuk tinggal.
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top