22. Hati Annisa

Jika aku gambarkan bagaimana rasanya, mungkin seperti ini. Aku melihat kilau emas dan berlian dalam sebuah kedalaman. Aku merampas apapun dan mengabaikan peringatan orang sekitarku, hanya untuk menggali dan menggali kedalaman, hingga menemukan semua hal berkilauan itu. Namun saat seluruh emas, berlian, dan benda berkilauan lainnya di kedalaman itu sudah kugenggam, aku baru menyadari satu hal.

Aku terperangkap terlalu dalam, dan tak bisa lagi kembali ke atas. Tak ada udara, kehidupan, suara, bahkan kilau cahaya yang sebelumnya kurasa. Semua itu, kini entah pergi kemana. Aku hanya bisa menangis di antara kilauan dan tak ada yang bisa menyelamatkan. Menghitung waktu hingga lubang yang kugali lambat laun tertutup dengan tanah dan menguburku bersama penyesalan.

Pesanku pada Haikal, tak ada yang sampai barang satu pun. Begitu juga dengan panggilan. Aku tahu pasti, jika Haikal pasti memblokir kontakku dan kini pergi entah kemana.

Gerakku gelisah. Aku hanya menangis dan memendam semua sakit ini sendiri. Ingin ke kantor dan menemuinya, namun aku takut para karyawan mengendus apa yang terjadi pada rumah tanggaku.

Haikal pernah berkata di salah satu malam, sebelum kami terlelap tidur.

"Annisa, saya ingin, dalam pernikahan kita, jangan sampai ada pihak ketiga yang bisa masuk diantara kita."

"Maksud Mas?" Aku menoleh padanya dengan raut penuh tanya. "Mas mengira aku akan mencari pria lain yang lebih muda dari Mas, begitu? Aduh, kepikiran saja aku tidak, Mas." Karena saat itu, yang kupikirkan hanya bagaimana harta Ayah bisa cepat jatuh ke tanganku. Pria bukanlah sepuluh besar prioritas hidupku. Karena nomor satu hingga sepuluh, kuisi dengan harta Ayah.

Haikal tertawa kecil sembari mengecup ringan bibirku. "Terima kasih untuk tidak pernah memikirkan pria lain. Saya lega mendengarnya. Namun bukan itu yang saya maksud."

Aku hanya mengerjap bagai terhipnotis dan diam dengan senyum yang terpatri samar. Wajah Haikal mempesona jika kulihat dari jarak sedekat ini. Embusan napasnya, mampu secara ajaib membuatku nyaman.

Pelukan hangat Haikal mengungkungku. Tangan kukuhnya menjadi sandaranku tidur malam itu. "Apapun yang terjadi dalam pernikahan kita, baik atau buruk, usahakan jangan sampai ada yang tahu. Jika ada masalah, mari muhasabah diri dan mencari solusinya bersama. Jika sedang ada bahagia, cukup disyukuri tanpa perlu menyombongkan anugrah yang Allah beri."

"Aku tak pernah berniat menyombongkan suamiku pada siapa pun, juga Beti," elakku dengan wajah yang kupalingkan. Aku takut jika ketahuan berdusta atau Haikal menangkap rona merah di pipiku yang terasa menghangat.

Tawa Haikal terdengar ringan dan renyah. Menyenangkan untuk kuingat dan kukenang setiap nada tawanya. "Bukan itu, memang tak ada yang bisa disombongkan dari seorang Haikal. Maksud saya, jangan sampai ada yang tahu jika kita tengah berpelukan sepulang kerja begini. Jangan sampai ada yang tahu jika telur dadar Annisa terlampau asin, namun saya suka hingga membutuhkan 3 porsi nasi untuk menghabiskan satu telur. Juga, jangan sampai ada yang tahu bahwa pakaian yang Annisa cuci membuat saya bersemangat setiap pagi."

"Termasuk saat kita bertengkar?"

Haikal mengangguk. "Karena setan mudah memasuki hati manusia yang tengah emosi. Setan bisa melakukan itu melalui siapapun yang tahu kegundahan kita. Jika suatu hari kita bertengkar, mungkin saling berdiam dan berfikir jernih lebih baik, lalu bicara berdua."

"Iya."

"Dan satu lagi," tambah Haikal seraya mempererat pelukannya. "Saya tidak ingin ada perpisahan, kecuali atas kehendak Allah yang memanggil kita nanti."

Air mataku menetes lagi. Apakah alasan Haikal menghindariku selama ini untuk memberinya waktu berpikir? Jika iya, bagiku ini terlalu lama. Kami harus bicara dan menyelesaikan segala gundah yang membebani hari-hariku.

Cukup kepergian Bunda saja yang membuatku tercekik penyesalan. Jangan lagi ditambah sesak akibat Haikal yang belum juga memberiku maaf. Aku tak ingin berakhir mengenaskan akibat rasa takut menghadapi runyamnya hubunganku dengan Haikal. Aku harus bangkit dan memperbaiki semuanya. Meski kutahu tak mudah, namun aku percaya Allah akan membantu niatku.

Mengucap basmalah dengan tekad membara memperbaiki rumah tanggaku yang di ujung karam, aku beranjak dari kasur dan bersiap pergi. Aku akan mengunjungi Haikal di kantor dan menunggunya untuk bicara berdua. Tak apa jika Haikal menghinaku dengan ungkapan apapun. Aku terima, karena aku memang seburuk itu.

Gerakku yang tengah memasang peniti pada hijab terhenti saat Beti mengetuk pintu dan masuk kamarku. "Mbak, ada tamu."

Aku mendengkus dan mengangguk. Mengatakan pada Beti untuk meminta siapun tamu itu menunggu. Hingga saat ini, pelayat Bunda memang masih suka datang, barang dua atau tiga tamu. Mereka beralasan tak sempat datang pada hari kematian Bunda akibat jarak dan keberadaan mereka yang sedang jauh dari Jakarta.

Setelah merasa rapi, aku menuruni tangga dan melangkah menuju ruang tamu. Namun langkahku terhenti dengan wajah jengah saat ternyata tamu yang beri maksud adalah duo ular berlidah dua.

"Lo kenapa gak kabarin kita sih, Cha, kalau lagi berduka." Misha memelukku, seakan ia pun merasakan luka dalam yang tengah menganga di hatiku. "Kita sampe taunya dari grup alumni kampus," lanjutnya lagi seraya mengurai pelukan kami.

"Sorry," jawabku seadanya. Bagaimana mungkin aku mengabari mereka, sedang kontak mereka saja sudah kublokir dan aku tak sedikitpun mengharapkan kedatangan mereka. "Duduk," perintahku seraya menunjuk meja ruang tamu yang sudah tersedia cangkir dan aneka suguhan dalam piring saji dan toples.

Kiki duduk menyender pada sofa tunggal besar ruang tamu kediamanku. Wajahnya tampak menikmati segala kemewahan yang tersedia di rumah ini. Entah mengapa, melihatnya berlagak seperti ratu membuaku mual.

"Jadi ... rencana lo gimana? Haikal gimana?" Misha memulai tanpa basa-basi. Mengucapkan bela sungkawa dan menanyakan Bunda pun tidak. Hati mereka sungguh busuk dengan pikiran yang tak pernah jauh dari hartaku. "Kalau kondisinya begini, pastinya perjanjian itu batal, kan? Warisan bokap lo otomatis jatuh ke tangan lo semua."

"Yes!" Kiki menepuk tangannya antusias. "Kuping gue udah siap banget denger kabar baik. Hari kebebasan lo tinggal menghitung detik, Cha."

Aku tersenyum masam, lalu berdecih sinis. Demi Allah aku tak sanggup lagi berdusta dan memperpanjang masa urusanku dengan dua cecunguk ini. terakhir kali aku berdusta pada mereka, rumah tanggaku hancur dalam sekejap.

"Gue .. udah gak tertarik lagi menjadi bebas. Gue mau menata hidup gue untuk lebih dekat dengan Allah."

Bola mata Kiki dan Misha, kompak melebar. Ada raut kejut yang kentara kulihat di keduanya. "Lo ngomong apa, Cha? Gue kok denger bau-bau tobat. Lo mau mati?" Kiki bahkan masih menganga setelah mengatakan kalimat ini.

Aku mengulum bibirku seraya membulatkan tekad. Menghela napas panjang, aku berucap lantang. "Gue ... akan menyerahkan semua urusan aset gue ke tangan Haikal. Gue cinta sama suami gue dan akan mempertahankan pernikahan kami."

"Lo gila?" Misha mendesis kesal, penuh emosi. "Lo harus inget rencana awal kita, Cha. Jangan jadi penghianat, dong! Kita selalu ada di saat lo berjuang, sedang saat lo sudah menerima semua, lo lupa. Gila, lo bahkan lebih buruk dari tikus dan iblis."

Emosiku memuncak. Seenaknya Misha bicara seperti itu padaku. Dia menempeliku seperti ulat karena aku memiliki pohon rindang yang potensial untuk ia gerogoti hingga mati.

"Lo, yang, sundal," balasku dengan wajah tegang. Meski mencoba tenang, namun bara amarah ini sudah sampai puncaknya dan tak bisa lagi kutahan untuk tak meledak. "Lo ... toxic."

"Cha!" Kiki berteriak, membentakku. "Lo gak bisa gini ke kita! Mana janji lo untuk terus sama-sama kita. Lo bahkan sudah janji untuk cerai sama Haikal."

"Gue gak akan bercerai. Gue dan Haikal akan bersama hingga kami meninggalkan dunia ini."

"Sinting lo, ya!" Tanpa kuduga, Misha menggebrak meja hingga sajian di atasnya tumpah dan berantakan. "Haikal pasti udah apa-apain lo, tanpa sepengetahuan kita. Gue akan samperin Haikal dan bunuh dia sekarang juga."

"Misha!" Aku berteriak dengan jantung yang berdegup kencang. "Seujung jari lo sentuh laki gue, mati riwayat lo!" ancamku tegas penuh amarah. Dadaku naik turun akibat rasa marah yang tak bisa lagi kutahan.

"Fix. Memang itu yang harus kita lakukan. Bunuh Haikal dan kembali pada rencana kita." Kiki berbalik dan mengambil tangan Misha untuk meninggalkan tempat ini.

Aku kalut. Aku tak bisa membayangkan apa yang akan mereka lakukan untuk menjalankan rencana hina itu. Mereka bisa melakukan apapun demi mendapatkan hartaku. Haikal tak boleh terbunuh. Aku bisa gila jika harus mengalami kehilangan lagi.

"Gue gak main-main. Sejengkal lo sakitin Haikal, lo busuk di penjara." Ucapanku membuat Kiki dan Misha berhenti dari langkahnya dan berbalik menatapku.

Satu alis Kiki naik dengan seringai mengejek. "Wow, udah mulai ngancem kita, ya, lo? Udah lupa sama temen sendiri dan memilih membela iblis yang akan mengekang lo seumur hidup."

"Haikal bukan iblis," desisku penuh emosi.

"Bukan iblis, tapi setan yang bikin lo jadi penghianat berbalut hijab" Ucapan Misha mutlak meletuskan emosi dalam hatiku.

"Kurang ajar!" Tanganku mengambil vas bunga tebal yang ada di tengah meja dan reflek melempar vas itu pada mereka.

Kiki dan Misha kaget. Arah lemparanku pada wajah Misha meleset ke pundak perempuan itu, namun mereka terjatuh akibat menghindari lemparanku. Dua guci besar koleksi Ayah yang menjulang tinggi, terjatuh saat Kiki dan Misha mencoba menghindar namun menyenggol guci dan jatuh bersama.

"Astagfirullah, Mbak!" Beti berteriak dari belakangku dan berlari mendekatiku. Ia memanggil para pekerja rumah Bunda dan meminta mereka mengusir Kiki dan Misha yang luka-luka akibat pecahan guci.

Kepala Kiki kulihat mengucurkan darah entah terbentur apa. Sedang Misha tampak mengerang seraya memegang kakinya.

"Siap-siap lo, Cha," ucap Misha ditengah erangannya menahan sakit. "Siap-siap busuk lo di penjara!"

"Pergi lo!" Aku berteriak dengan air mata yang tak henti menetes. Aku gemetar. Ucapan Misha terngiang terus di telinga dan membuatku kalut.

Aku ... tak boleh membusuk di penjara dengan segudang penyesalan dan kehancuran rumah tangga. Tanpa pikir panjang, aku berlari ke kamar dan mengambil tas dan kunci mobil. Beti mengikutiku dan bertanya kemana aku hendak pergi. Ia juga menyarankan agar supir mengantarku jika aku ingin menuju suatu tempat.

Tempat? Aku bahkan tak tahu harus kemana sekarang. Aku sendiri dan tak ada seseorang yang mau melindungiku. Aku hanya ingin pergi dari kenyataan ini. Dari semua hal yang membuatku berada di tempat gelap dan hampa udara.

"Mbak!" Beti berteriak dan memukul kaca mobilku, saat aku menyalakan mesin dan menginjak gas. Aku meninggalkan kediaman Bunda yang masih kacau akibat pertengkaranku dengan Kiki dan Misha.

Aku ingin pergi. Aku hanya ingin pergi. Pergi dari semua kenyataan pahit ini.

*****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top