2. Annisa


Kupikir, hidup sebagai putri tunggal pengusaha properti, akan membuatku bahagia. Banyak yang berkata iri padaku. Mereka bilang hidupku sempurna dan terlihat tak pernah memiliki masalah. Meski Bunda mengekangku dengan supir yang selalu membuntuti kemanapun, juga pengaturan jam malam yang demi Tuhan, sangat kolot sekali itu, aku tak memiliki kendala apapun dalam hidupku.

Masalahku hanya satu. Bunda beserta sifat anehnya. Untuk itu aku menyetujui saja perjanjian gilanya terkait pembagian hak waris harta Ayah. Karena dengan begitu, aku bisa mendapatkan yang kumau lalu pergi jauh meninggalkan Bunda. Selesai sudah masalahku.

“Setan alas, kalian semua.”

Perkiraanku ternyata salah. Haikal yang seharusnya menjadi pintu keluar seluruh masalahku, nyatanya mengarahkanku pada satu masalah baru. Pria itu membawaku ke rumah kami yang sebenarnya adalah salah satu rumah milik Ayah. Bunda membebaskan Haikal memiliki satu rumah Ayah untuk kami tempati. Yang membuatku emosi, dia memilih rumah yang hanya berlantai satu, tidak luas, dan dekat dengan kediaman Bunda. Sialan.

Harusnya pria itu sedikit saja lebih cerdas. Memilih hunian Ayah yang paling besar, lalu merubah hak milik rumah itu atas namaku. Bila perlu, sekalian ambil rumah yang Bunda tempati lalu setelahnya kami bisa mengusir wanita tua itu.

“Bawa kopermu ke dalam.” Pria itu turun dari mobil yang kami tumpangi lalu menyapa dua orang yang bertugas di rumah ini.

Mendengkus kesal, aku turun dari mobil dan memanggil satu pekerja untuk menurunkan koperku. Aku melangkah angkuh memasuki rumah itu. Tidak ada yang membuatku kagum. Semua tampak biasa saja karena aku sudah tau bagaimana bentuk bangunan ini. Semua properti milik Ayah, sudah pernah kudatangi.

Keningku seketika berkerut saat sepasang pengurus rumah ini, memasukkan koperku dan Haikal ke dalam satu ruangan yang sama. “Loh, kenapa punya Mas Haikal juga dimasukkan ke sini? Ini kamar saya,” tegurku pada petugas pria yang membawa koper Haikal.

“Pak Surya dan Bik Muna boleh pulang. Terima kasih sudah membantu kami hari ini.” Haikal tiba-tiba bersuara. Aku baru sadar jika sejak tadi pria itu mengikutiku di belakang.

Kerutan di keningku semakin jelas. “Pulang?” Jika dua orang ini pulang. Lalu siapa yang akan melayaniku di rumah ini? Haikal itu bodoh atau apa, sih? Aku berkacak pinggang saat dua pekerja rumah ini melangkah pergi meninggalkan kami. “Maksud Mas apa ya, suruh mereka pulang?”

Haikal menatapku dingin. Wajahnya menegang kala kami saling beradu tatap beberapa saat. Namun entah mengapa, satu lengkungan senyum tercetak di wajahnya. Tampak tulus, namun membuat pikiranku mawas. Tak ada pria yang tulus selain Ayah. “Mereka pulang karena punya rumah sendiri. Pak Suryo dan istrinya hanya bekerja dari pagi hingga siang seperti saat ini. Tugas mereka hanya membersihkan rumah dan halaman, juga mencuci mobil.”

“Ringan sekali tugas mereka? Berapa Mas gaji mereka? Aku tahu Mas tidak kaya, tapi setidaknya jangan buat aku kesulitan tanpa pelayan di rumah ini.”

Ia mendengus lirih dengan senyum yang masih terpatri. Menunduk sesaat, Haikal lantas menatapku santai. “Saya menghormati kamu sebagai istri, pemilik rumah ini, dan ... wanita yang bertanggung jawab mengatur rumah tinggal. Jadi, untuk urusan masak, belanja, dan apapun selain tugas Pak Suryo dan Bik Muna, bisa kamu kerjakan sendiri.”

“Jahanam juga kamu, ya, Mas.”

Kening Haikal berkerut samar mendengar penuturanku. Biarkan saja dia emosi. Dia harusnya tahu siapa yang dia nikahi dan aku tak terima diperlakukan seperti ini.

Aku berdecih sinis seraya menatapnya sengit. “Kamu memintaku bertanggung jawab mengurusi rumah? Memangnya berapa yang bisa kamu pertanggung jawabkan atas kebutuhanku? Aku sudah bilang jika kita mengurusi hidup masing-masing. Jadi, jangan harap aku akan melayani dan menyiapkan segala kebutuhanmu.”

“Aku tidak meminta kamu layani. Seperti yang kamu bilang, kita hidup masing-masing. Kamu siapkan saja makananmu sendiri, pakaianmu sendiri, dan segala sesuatu diluar tanggung jawab Pak Suryo dan istrinya yang hanya merawat bangunan ini.”

Aku mengusap wajah kasar. Rasanya frustasi hidup seperti ini. “Terserahlah!” Berdebat dengan kaki tangan Ayah yang satu ini, nyatanya sukses membuatku darah tinggi. Aku memasuki kamarku dan membuka koper yang disiapkan asisten Bunda.

Oya, aku lupa bercerita. Sejak Ayah meninggal, Bunda hidup seperti ratu dengan dua asisten di kanan dan kirinya. Satu ia percaya mengurus perusahaan Ayah selain Haikal, dan satu lagi untuk mengurusi kebutuhan pribadinya. Bunda menjadi satu-satunya pemimpin dan pemilik perusahaan properti Ayah saat ini. Sedang aku, hidup seperti babu dengan segala keterbatasan dan kekejian sang ratu.

“Astaga! Apa lagi ini?” Aku berteriak kesal. Bagaimana bisa tak ada sehelai pun pakaian milikku dalam koper ini? Kukeluarkan semua isi koper dan seketika, jantungku rasanya berhenti bekerja. Ingin mati saja, tapi berat jika belum memenangkan tuntutanku atas harta ayah. “Mas Haikal!” Suaraku kencang memanggil namanya.

Haikal datang tak lama kemudian. Ia terdiam di ambang pintu kamarku dengan wajah datar dan satu alis terangkat.

“Kurasa Beti salah memberikan koper. Aku minta kunci mobilmu karena aku harus pulang mengambil bajuku.”

“Tidak bisa.” Haikal menggeleng santai dengan mata melihat ranjangku yang penuh dengan serakan baju. Sialnya, semua baju itu bukan milikku. “Dan Mbak Beti tidak salah mengambil koper. Semua baju itu memang milikmu, selama menjadi istriku.”

“Ini gila!” Aku mendesis dengan kobaran amarah. “Mas pikir aku mau mengenakan pakaian aneh seperti itu?” Telunjukku mengarah pada serakan baju-baju di atas ranjang. “Mau ditaruh di mana mukaku jika bertemu teman-temanku?”

Melihat wajahku yang penuh kemarahan, Haikal justru tertawa lirih. “Kamu memiliki cadar untuk menutupi wajahmu. Kamu bisa pakai itu hingga tak perlu kuatir dengan teman-temanmu yang tampaknya tak punya uang untuk beli pakaian pantas.”

Baiklah, Haikal sungguhan harus diberi pelajaran, juga Bunda. “Aku harus pulang sekarang atau aku minta cerai!”

Mendengar satu kata itu, wajah Haikal seketika menegang. Sepertinya aku berhasil memancing emosinya.

Aku menadah tangan di hadapan Haikal. Memintanya memberikan kunci mobil pria itu untuk kugunakan pulang. Haikal merogoh saku celananya dan memberikan kunci itu padaku. Aku menyeringai penuh ejekan. Sudah kuduga, Haikal takut bercerai denganku. Aku tahu, diam-diam dia juga pasti menginginkan hartaku.

Sampai di rumah Ayah, aku melangkah tegas menuju kamar Bunda. Kubuka pintu kamar Bunda dengan kasar dan mendapati raut terkejut Bunda. Namun wajah itu kembali tampak tenang, seakan bersiap menghadapi konfrontasi bersamaku.

“Icha minta harta warisan Ayah sekarang,” mulaiku tanpa basa basi. “Icha sudah menikah dengan Haikal sesuai mau Bunda dan sesuai perjanjian kita, Bunda harus menyerahkan 70% harta milik Ayah pada Icha sekarang juga.” Wajahku kubuat setegas dan sedingin mungkin agar Bunda gentar dan menuruti pintaku saat ini juga.

Namun bukan rasa takut atau wajah kalah yang kulihat dari Bunda. Ia justru menyernyit seraya mengerjapkan mata pelan. “Sekarang?” tanyanya dengan raut wajah bodoh.

Aku menghela napas panjang dan keras, mencoba menahan emosi jiwa. “Tentu saja sekarang!” Karena tiga hari lagi, aku ingin ke pengadilan agama untuk mengurus cerai atau pembatalan pernikahan dengan Haikal.

Bunda turun dari ranjang dan menghubungi seseorang. Kudengar, Bunda meminta orang itu membawakan salinan surat perjanjian kami. Tak lama, Mbak Beti datang dan memberikan salinan itu pada Bunda, lalu undur diri meninggalkan kami berdua lagi. “Silakan baca klausa-klausa dalam perjanjian ini, Anakku.”

Aku menatap Bunda jengah seraya menarik kertas itu dari tangan Bunda. Mataku seketika membeliak melihat beberapa klausa yang tak masuk akal.

1. Pihak pertama yaitu Bunda, berhenti memberikan tanggung jawab materi padaku setelah pernikahan terjadi.

2. Pengalihan hak waris ke pihak kedua, yaitu aku, akan dilakukan tepat satu tahun setelah pernikahan yang kusetujui di perjanjian ini.

3. Penggunaan harta warisan, harus dengan seijin Muhammad Haikal, sebagai orang yang sah menjadi suamiku hingga usiaku 25 tahun.
Itu berarti, aku harus sabar berada dibawah pengawasan Haikal sampai tiga tahun kedepan.

4. Perjanjian pengalihan hak waris secara otomatis gagal, apabila terjadi perceraian pada tiga tahun pertama pernikahanku dan Haikal. Seluruh bagian hak warisku secara langsung akan diwakafkan tanpa sisa.

Aku meremas kuat kertas itu dan membuangnya ke lantai. “Bunda sungguh keji. Bunda adalah wanita paling keji di muka bumi ini. Tidak ada ibu yang tega menyiksa anaknya seperti apa yang Bunda lakukan padaku.”

Air mataku tumpah satu per satu. Begitupun wajah Bunda yang mulai basah setelah mendengar kalimatku. Aku tak peduli. Aku muak dengan hidupku dan perlakuan Bunda padaku. Berbalik, tanpa menghiraukan isak yang terdengar dari Bunda, aku melangkah penuh emosi menuju kamarku sendiri untuk berkemas dan pergi dari rumah sialan ini.

****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top