19. Runtuh
Aku berlari masuk ke dalam rumah. Haikal pergi begitu saja tanpa sempat ke kamar rawat Bunda. Sialnya, Beti belum juga datang hingga aku harus menunggunya untuk bergantian jaga. Tepat saat asisten Bunda sampai, aku langsung memesan taksi dan menuju kediaman Bunda untuk bertemu dengan Haikal.
Sayang, tak ada Haikal di rumah Bunda.
Kesal akibat salah paham sore ini, aku mencoba menghubungi nomor Haikal namun ponselnya tak aktif. Aku mengambil mobilku, lantas bergerak menuju kediaman kami.
Napasku terasa lega saat mendapati kendaraan Haikal terparkir di rumah kami. Aku bergegas masuk dan menuju kamar kami. Aku yakin, Haikal berada di dalamnya.
Tanganku memutar handle pintu kamar namun lembaran kayu itu tak bisa terbuka. Baiklah, aku terkunci di luar sedang suamiku berada di dalam dalam kondisi merajuk.
"Mas," panggilku seraya mengetuk pintu tanpa ampun. "Mas tolong buka pintunya. Kita harus bicara."
Tak ada sahutan dari dalam. Aku terus memanggil Haikal dan mengetuk pintu hingga jemariku terasa kebas.
Pintu terbuka dah Haikal muncul dengan baju koko lengkap dengan peci dan sarung. Matanya merah dan wajahnya tampak tak memiliki gairah. Kami terdiam di ambang pintu dengan aku yang terus menunduk. Seketika dilanda bingung harus memulai dari mana.
"Mas," cicitku memanggil Haikal. Meski jantungku memukul keras di dalam dan hatiku berdebar akibat rasa takut akan emosi Haikal, aku tetap harus menghadapi ini semua. "Aku mau—"
"Saya hanya akan tanya satu hal."
Aku mendongak, menatap Haikal. Suaranya dingin dan terdengar menakutkan. Wajahnya saat ini, entah mengapa berhasil membuatku merinding ketakutan. Haikal yang kukenal hilang. Tak ada hangat dan teduh yang selalu terpancar dari senyumnya untukku.
"Saat kamu mengajakku melakukan itu, apa yang ada di pikiranmu?"
Napasku terhenti sesaat. Aku terperanjat mendengar Haikal menanyakan alasanku mengajaknya bercinta malam itu. "Tentu ... karena aku ingin seperti Usna. Menjadi orang tua."
Haikal menatapku dengan binar mata yang tak bisa kubaca artinya. Ia tetap terdiam menatapku yang bergerak tak nyaman akibat tak memahami maksud pertanyaannya. Lalu saat aku ingin berucap, pintu kamar kami tertutup lagi dan kudengar suara kunci berputar.
"Mas!" Aku berteriak memanggil namanya seraya memukul pintu sekuat tenaga. Tak peduli dengan telapak tanganku yang terasa panas dan perih. Haikal tak boleh memperlakukanku seperti ini.
Aku terus memukul pintu dan memanggil Haikal hingga pintu itu terbuka lagi. Kali ini, Haikal menatapku dengan koper yang ia genggam.
"Mas mau kemana?" Seketika aku linglung mendapati Haikal sudah membawa koper dan tas kerjanya.
"Pergi," jawab Haikal dingin.
"Jangan," larangku dengan gelengan lemah, penuh permohonan. "Kita harus bicara. Aku minta maaf soal surat—"
"Bahkan rumah tangga kita tak lebih berharga dari harta yang kamu minta di surat perjanjian itu."
Aku menggeleng tegas. "Bukan begitu! Itu karena aku—"
"Karena kamu ingin hidup bebas dan menikmati semua kekayaan Ayah. Setelah ini, misimu mungkin saja berhasil karena rumah tangga kita sepertinya mulai retak."
Haikal melewatiku yang tiba-tiba menangis kencang. Tubuhku gemetar mendengar semua kalimatnya yang tak bisa kubantah. Aku memang menginginkan smeua harta Ayah, namun juga menginginkan Haikal ada di hidupku sekarang.
Aku mengejar Haikal yang melangkah mendekati pintu utama hunian ini. "Mas mau kemana?" cekalan tanganku kueratkan. "Jangan pergi!" pintaku penuh permohonan.
"Saya tidak bisa tinggal dengan wanita yang hanya menganggap saya alat untuk mendapatkan harta orang tuanya."
"Aku gak bermaksud—"
"Rasanya bahkan lebih buruk dari terhina." Tatapan mata Haikal padaku nanar dan sayu. Aku memahami jika ada kecewa dan luka dalam hatinya. "Perjanjian itu bahkan kamu lakukan tanpa sepengetahuan saya."
"Karena Bunda memaksaku menikahi Mas saat itu!" Tangisku pecah.
"Saya pergi. Saya tidak mungkin memaksa seseorang untuk hidup bersama saya."
"Mas jangan pergi!" Aku merengkuh punggung Haikal. Mengaitkan kedua tanganku di perutnya. "Biar aku yang pergi. Mas jangan pergi. Biar aku yang pergi hingga Mas tak marah lagi. Biar aku yang pergi hingga Mas menjemputku suatu hari nanti. Tolong mengerti, jika aku membutuhkan waktu untuk menerima semua ini. Untuk memahami apa yang orang tuaku inginkan dan aku butuhkan. Tolong jangan hukum aku dengan meninggalkanku. Jangan."
Haikal tak bergerak, juga tak menjawab. Aku bertahan dalam posisi memeluknya dari belakang, entah berapa lama. Aku berharap, Haikal tak lagi marah jika kami berpelukan dan ...
"Lepas."
Aku lemas. Nyatanya, Haikal masih saja memiliki bara dalam hatinya.
"Lepas, Annisa."
Aku kalah. Tenagaku seperti sirna. Tak ada energi yang menyisakan semangat atau kekuatan untukku membela diri, petang ini.
Haikal mematung seperti batu yang tak memiliki hati. Ia sudah bersiap hendak pergi, namun hatiku tak rela kehilangannya. Ia tak boleh pergi. Sesuatu yang bagiku berharga, tak boleh pergi dan hilang. Aku bergerak lunglai. Melangkah melewati pintu utama kediaman ini dan meninggalkan Haikal di dalam hunian penuh cinta kami.
****
"Haikal kemana?"
Pertanyaan itu selalu Bunda lontarkan hingga aku kualahana menutupi apa yang terjadi. Sudah hampir satu minggu Haikal tak menunjukkah batang hidungnya di kediaman Bunda. tak ada diskusi atau kajian agama di kamar Bunda, seperti yang biasa Haikal lalukan bersama kami. Bahkan, undangan acara peletakkan batu pertama pembangunan masjid wakaf Ayah, tak Haikal antarkan sendiri.
"Bunda mau datang? Atau Icha saja yang mewakili?"
Tatapan mata Bunda tampak nanar dan kosong. Sejak aku tak bisa menjawab pertanyaan Bunda yang terus mencari Haikal, wajah Bunda selalu tampak murung. Kadang, aku menjawab jika menantunya tengah sibuk mengurus pekerjaan. Namun jawaban itu tak pernah memuaskan Bunda. Wajah Bunda akan melengos dan mengerjap seperti hendak menangis.
"Bunda," panggilku lagi. "Jadi acara besok, bagaimana? Aku harus menghubungi orang kantor untuk konfirmasi kedatangan kita."
"Bunda—ikut."
"Kalau begitu, Bunda makan, ya. Seharian Bunda hanya minum saja itu pun sedikit. Icha gak mau Bunda kenapa-kenapa."
Bunda tak menjawab. Hanya membuang muka lalu menutup mata dan tertidur lagi. Jika begini terus, lama-lama aku bisa stress sendiri.
Setiap malam, tak sedikit pesan yang kukirim untuk mencoba menjelaskan semuanya pada Haikal. Namun, tak ada satupun pesanku yang sampai. Aplagi dibaca. Aku tak tahu apa yang Haikal lakukan pada nomorku. Ingin menghubungi sekretarisnya, namun aku malu. Urusan rumah tangga seperti ini, pantang bagiku untuk dicium khalayak.
Aku dan Bunda serta Beti bertolak ke Bogor untuk menghadiri acara peletakkan batu pertama masjid wakaf wasiat Ayah. Dalam acara ini, aku dan Bunda memberi sambutan selaku pemilik perusahaan yang membangun dan pihak yang melepas tanah.
Pidatoku sempat terhenti sesaat, kala netraku menangkap Haikal yang datang dan menghampiri Bunda. Mereka tampak saling berbisik, berdua dan hatiku berdebar menerka apa yang mereka bicarakan. Saat turun panggung dan kembali ke kursiku, aku mencoba menyapa Haikal namun pria itu tak menggubrik sapaanku.
Rasanya sakit dan perih. Memiliki kesalahan namun tak ada kesempatan untuk memperbaiki dan menjelaskan, lebih buruk dari mengalami kerugian.
"Haikal mana?"
Kalimat itu lagi yang Bunda ucapkan saat acara ini selesai. Pandanganku meliar mencari sosok yang Bunda cari namun tak ada. Haikal mungkin saja sudah pergi sebelum acara selesai. Aku tersenyum getir dan menjawab pertanyaan Bunda.
"Haikal mana?"
Jiwaku seperti tertekan. Mendorong kursi roda Bunda dan duduk di sebelahnya selama perjalanan, dengan pertanyaan yang sama seperti kaset kusut yang berputar. Meski napas Bunda terdengar naik turun tak berarturan, hanya kalimat itu yang terlontar selalin lantunan dzikir yang lirih dan terbata.
"Akhirnya," gumamku sendiri saat akhirnya Bunda tertidur di mobil. Tak ada lagi pertanyaan mencari Haikal. Aku melirik Bunda yang tampak pulas tertidur menyandar jok mobil. Hingga saat kendaraan kami sampai di kediaman, Bunda belum juga terbangun. Menghadiri seremoni tampaknya cukup melelahkan baginya.
Aku memanggil Beti yang menaiki mobil lain dan meminta Beti membangunkan Bunda, sedang aku menyiapkan kursi roda.
"Innalillahi, Bunda!"
Teriakan Beti membuatku teralihkan dari pintu bagasi mobil. Beti menangis meraung dalam mobil. Aku menghampiri Beti dan bertanya ada apa.
"Bunda gak bernapas, Mbak!" Beti terlihat frustasi dan suaranya sarat kepedihan.
Mataku mengarah pada Bunda yang kini berada dalam pelukan beti dan rasanya dunia seperti tiba-tiba runtuh.
*****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top