15. Bintang dan Haikal
Haikal memintaku merapalkan banyak istighfar hingga hatiku lebih tenang. Tangisku deras, tak terima dengan perlakuan Bunda yang masih saja sebegini jahatnya padaku. Beberapa menit yang lalu aku menghubingi Haikal dan mengadukan sakit hatiku. Tak peduli dengan kerasnya isak tangis dan Haikal yang berada di tengah meeting bersama para penanggung jawab proyek.
"Bunda sedang mengalami penurunan kondisi psikis. Semua orang yang menderita sakit keras pasti begitu. Kamu yang sabar, Annisa. Jangan mudah terpancing emosi atas perlakukan Bunda. Sabar dan tunjukkan kelembutan serta baktimu pada Bunda. Selama kamu melakukan itu dengan ikhlas, sakit hatimu tak akan terasa meski Bunda berlaku dingin."
Haikal juga memberikan banyak wejangan meski waktu kami terbatas. Aku terus merapalkan istighfar hingga tubuhku terasa lelah dan kantuk menyerang.
Pintu kamarku diketuk. Aku terbangun dari tidur sesaat lantas membuka pintu dan mendapati Beti mengabari jika dokter Bunda datang. Dokter ingin bicara padaku terkait kondisi Bunda.
Saat aku menemui dokter di ruang tamu, beliau sudah menyiapkan lembaran-lembaran hasil tes darah Bunda yang beliau lakukan tiga hari lalu.
Darahku seperti berhenti mengalir saat dokter menjelaskan bahwa jumlah trombosit Bunda cukup mengkhawatirkan. Sedang tekanan darahnya tinggi. Dokter pun mengingatkan jika kanker yang Bunda alamai sudah masuk ke stadium lanjut, bahkan kemungkinan menjalar hingga getah bening.
Aku berharap banyak pada kemoterapi. Namun nyatanya, ada saja hambatan dalam proses ini.
"Saya dan spesialis onkologi tak berani merekomendasikan kemoterapi jika trombosit Bunda belum stabil. Minggu depan sudah jadwal kemoterapi. Saya minta tolong, agar dibantu untuk menjaga asupan gizi beliau. Faktor pikiran juga mempengaruhi kelancaran proses ini. Jadi, mohon agar beliau tidak memiliki beban pikiran yang berarti."
"Bagaimana jika trombosit Bunda masih saja rendah hingga jadwal kemo selanjutnya?"
"Kami akan melakukan transfusi darah, pastinya. Namun akan lebih baik jika darah tersebut berasal dari keluarga dekat. Pihak rumah sakit akan saya minta untuk melakukan stok darah yang Bunda butuhkan, mendekati jadwal kemo nanti."
Aku mengiyakan semua penjelasan dokter, serta membuat janji untuk melakukan pengecekan terhadap darahku. Jaga-jaga jika tak ada stok darah yang cocok untuk Bunda saat kemoterapi nanti.
Dokter pamit undur diri. Aku mengusap wajah kasar dengan dengkusan napas panjang. Berat sekali kurasakan hidupku kini. Meski aku tak memiliki masalah keuangan atau jatuh miskin, namun memiliki tanggung jawab terhadap kesehatan Bunda nyatanya tak mudah juga.
Sore hari Haikal memasuki kediaman ini. Ketika pria itu mengulurkan tangannya padaku, aku menciumnya takzim dan ia mengecup keningku. Kami lantas memasuki kamar Bunda untuk mendengarkan apapun tentang perusahaan dan berdiskusi masalah Bunda yang semakin hari semakin sulit diminta makan.
"Bunda tak peduli lagi dengan perusahaan. Jalankan saja sebagaimana mestinya. Tak perlu merasa wajib melaporkan apapun pada Bunda. Jika ada apa-apa, kalian berdiskusi saja."
Wajah Haikal tampak merasa salah. Ia meminta maaf pada Bunda dan berkata tak akan membahas apapun lagi selain tentang Bunda dan kesehatannya. Kami lanjut berdiskusi tentang apa makanan yang kira-kira Bunda suka dan menyehatkan. Terutama, mampu menambah kadar trombosit Bunda.
Namun dering ponsel Haikal membuat diskusi kami terhenti. Haikal meminta ijinku untuk mengangkat telepon tanpa beranjak dari duduknya di kursi kamar Bunda.
"Kapan, Uwak?" Suara Haikal santun sekali. "Uhm ... sepertinya Haikal tidak bisa hadir. Mertua Haikal sakit dan Haikal harus membantu istri merawat beliau. Mohon sampaikan salam Haikal untuk Usna. Mohon maaf alpa di acara dia."
"Siapa?" tanyaku usai Haikal menyelesaikan sambungannya.
Haikal menatapku lalu tersenyum simpul. "Uwak saya di Bandung. Anaknya akan mengadakan syukuran akikah besok lusa. Beliau mengundang saya namun kita tidka bisa hadir karena harus menemani Bunda."
"Datanglah," perintah Bunda lirih. "Jangan pernah mengendurkan silaturahmi dengan keluarga."
Aku melirik Bunda. Kupikir-pikir, hidupku mengenaskan juga. Ayah seorang anak tunggal dan tidak terlalu dekat dengan keluarga besarnya. Sedang Bunda, setahuku adalah anak panti asuhan yang menjadi teman kuliah Ayah dan mereka terlibat cinta hingga menikah dan sukses seperti sekarang.
Kami tak memiliki keluarga untuk menghadiri perayaan apapun. Saat lebaran, Bunda akan sibuk dengan open house bersama orang-orang panti asuha atau karyawan perusahaan yang tidak memiliki kampung halaman.
Haikal tampak berpikir sebelum mengangguk. Ia meminta ijin Bunda untuk pergi esok hari karena keluarga Haikal biasanya sudah berkumpul satu hari sebelum acara untuk bentu-bantu persiapan.
****
Perjalanan menuju Bandung kami lalui dengan banyak cerita Haikal tentang keluarganya. Saat menikah dulu, aku tak sekali pun berbaur dengan mereka. Dendam pada Bunda dan hatiku yang masih tertutup pada Haikal, membuat wajahku seakan menakutkan untuk didekati.
Sebelum beranjak menuju Bandung, aku mampir ke swalayan untuk membeli sembako. Kata Haikal, oleh-oleh yang tepat untuk keluarganya adalah sembako. Padahal menurutku, tart lebih baik atau ... tas branded, mungkin? Tapi, ya sudahlah. Jika Haikal yakin dengan pilihannya, aku bisa apa? Selain sembako sebanyak lima belas karton, hingga aku terlihat seperti pedagang yang sedang kulakan, kami juga membeli beberapa perlengkapan bayi laki-laki sebagai kado. Aku kekeuh membelikan ayunan karena aku yakin mereka belum tentu punya.
Haikal mengajakku mampir sebentar ke restoran serabi favoritnya, arah Lembang. Uwaknya tinggal di daerah Lembang. Kami berhenti sebentar di Setiabudi untuk makan siang, khawatir merepotkan tuan rumah jika kami datang dalam keadaan lapar.
Saat mobil Haikal memasuki pekarangan rumah yang sederhana namun asri, hatiku sedikit cemas. Aku khawatir apakah keluarga Haikal akan menerimaku?
"Sudah sampai. Ayo turun," ajak Haikal seraya membehani bergo syar'i yang kugunakan. "Agak miring tadi. Sekarang sudah cantik sekali," pujinya yang kuanggap menggoda.
Aku turun mobil dan menyalami perempuan paruh baya yang berjalan tergopoh menyambut kami. Aku ingat, wanita ini hadir di resepsi pernikahanku dulu.
Kami menyapa wanita yang Haikal panggil dengan Uwak dan menyalami beliau dengan takzim. Tanpa kuduga, ternyata sambutan keluarga Haikal pada kami sangat hangat. Uwak tak putus mengucapkan terima kasih atas oleh-oleh yang kami bawa. Padahal, 15 karton sembako tadi hanya menghabiskan kurang dari empat juta dan mereka mengucap hamdalah seperti kehujanan uang empat miliar.
Pandanganku meliar ke sekeliling rumah ini. Sederhana, relatif biasa saja, dan ... tak seluas kediaman Bunda. Namun ramai dan keakraban yang tercipta, entah mengapa membuat suasana rumah ini hangat. Pada wanita berkumpul di halaman belakang dan sibuk dengan pisau serta talenan. Sedang yang pria, sebagian membantu menjaga anak-anak dan sisanya membantu membersihkan area yang kutebak, menjadi tempat acara besok.
"Mas," bisikku pada Haikal. Ia menoleh padaku dengan satu alis terangkat. "Aku ... harus membantu, kan?"
Haikal tersenyum seraya mengangguk. "Jika kamu tidak keberatan, tentunya. Saya tidak akan memaksa."
Mataku mengarah pada sekumpulan wanita yang sibuk dengan sayur mayur sambil saling bercengkrama. Meski ragu dam malu, namun aku harus berbaur agar tidak terlihat aneh di temoat ini. Aku mengangguk pada Haikal lantas menggandeng tangannya untuk ikut menghampiri para sepupu wanita haikal di belakang.
"Assalamualaikum," sapa kami pada mereka.
Senyum dan tatapan mata ramah kudapati. Senyum mereka menular padaku. Ada senang yang merambati hatiku ketika mendapati penerimaan hangat mereka. Aku menawarkan diri membantu dan mereka antusias menerima.
"Mbak Nisa bisa minta tolong pisahkan cabai dengan tangkainya?" perintah wanita yang memperkenalkan diri sebagai Usna, si Pemangku Hajat. Telunjuk wanita ini mengarah apda baskom berisi aneka warna cabai di dalamnya.
Aku mengangguk lantas bergegas menuju tempat baskom itu berada. Namun sebelum tanganku mulai menyentuh cabai-cabai itu, Haikal memintaku menggunakan sarung tangan plastik yang tersedian di lemari dapur rumah ini.
Sontak, tatapan dan ucapan menggoda terdengar dari seluruh wanita di beranda belakang ini. Haikal hanya terkekeh lirih seraya mengenakan sarung tangan plastik itu padaku. Ia tak sedikitpun terganggu dengan suitan atau godaan mereka.
Acara masak-masak terhenti sejenak saat maghrib. Kami melakukan shalat jamaah dengan Haikal sebagai imamnya. Sedikit banyak aku bangga pada suamiku. Di lingkaran keluarganya, Haikal yang paling menonjol. Ia pria yang tingkat ekonominya terbilang paling baik, serta pengetahuan agamanya yang paling bagus. Tentu saja, Haikal adalah penghapal al-qur'an sejak remaja.
Ibu baru sampai saat petang sudah datang. Kami berpelukan dan Ibu mengcapkan banyak terima kasih atas kedatanganku di acara keluarga Haikal. Kami bercengkrama sambil memasak gulai kambing bersama. Para pria mulai membakar sate hingga setengah matang, dan akan dibakar lagi esok setelah subuh sampai matang.
Semua orang mengambil bagian membantu. Suasana rumah ini meriah dan menyenangkan. Jujur, bagiku ini pengalaman pertama. Ada riang tak bisa kugambarkan. Ada hangat yang terasa di dalam dada.
Rumah ini hanya memiliki tiga kamar tidur dan dua kamar mandi. Semua kamar tidur sudah penuh dengan para orang tua, dan anak-anak. Aku melihat semua keluarga Haikal tidur di ruang tamu dan ruang keluarga. Mereka tampak seperti deretan ikan di swalayan. Haikal menawariku untuk turun ke Setiabudi dan menginap di hotel bintang lima, namun aku menolak. Meski tak mendapat kamar tidur dan harus berbagi kamar mandi, aku menyukai kehangatan dan suasana ramai ini. Aku sungguh enggan pergi dari sini
Haikal agaknya keberatan aku tidur berbaur dengan sepupunya yang lain. Karena pria dan wanita bergabung dalam satu ruangan. Meski aku bilang tetap mengenakan hijab, wajah Haikal tetap tampak tak rela.
Akhirnya, kami setuju untuk tidur di beranda belakang dengan selimut tebal yang Usna punya.
"Maaf, membuatmu tak nyaman," ucap Haikal seraya memasangkan kaus kaki di kedua kakiku. "Harusnya usai Isya tadi, kita ke check in di GH Universal Hotel saja," sesalnya dengan senyum tak enak hati.
"Tapi aku suka, Mas. Aku gak mau, lah, berdua terus dengan kamu. Mereka menyenangkan," tukasku seraya masuk ke dalam pelukannya.
Haikal menyandar pada tembok teras belakang, sedang aku menyandar di dada bidangnya. Ia membentangkan selimut hingga tubuh kami tertutupi, lalu memelukku dari belakang.
Rasanya hangat dan luar biasa. Aku tak pernah merasa serelaks ini. Kami berbincang ringan sebelum memejamkan mata, seraya menghitung bintang yang benderan di tengah pekat malam. Sebanyak itulah bahagiaku saat ini.
****
9 part lagi ya yang versi WP. Sampai part 24 dan kukebut juli sudah up semua wkwkwk ...
Coffee Cookie and Cup of Kiss running Agustus Awal. Doakan lancar yaaa ... muuaacchh
LopLop
Hapsari
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top