14. Damai

Suara kucuran air dari dispenser pantry membuatku menoleh. Haikal duduk di stool sebelahku dan meneguk air dari gelas yang tadi ia isi.

"Saya perhatikan kamu melamun saja dari tadi. Ada apa?"

"Aku masih marah sama Mas. Tolong jangan bicara dulu." Rasa tersinggungku tentang alasannya mencintaiku, sungguh serius. Aku melengos dan menekuri cangkir berisi teh yang sudah dingin. Entah berapa lama aku duduk sendiri di tempat ini, dengan pikiran yang terbang entah ke mana saja.

"Saya ... mencintaimu. Mencintaimu karena Allah. Dengan mengingat Allah dalam mencintaimu, membuat saya tak berani melakukan hal yang menyakiti kamu. Dengan membawa serta Allah dalam mencintaimu, membuatku terus menyebut namamu dalam doa. Hanya kamu, Annisa. Hanya kamu wanita yang saya pilih untuk menjalani ibadah ini, karena Allah. Karena syurga Allah lah tujuanku."

Ucapan panjang lebarnya membuatku menoleh pada Haikal. Sebenarnya, penjelasannya rumit dan berputar. Namun entah mengapa, membuatku tertarik untuk mengetahui lebih dalam apa yang ada dalam kepala dan hati Haikal tentangku dan pernikahan kami.

"Memangnya ... apa tujuan Mas tentang pernikahan kita?" Jika harta Ayah jawabannya, maka detik ini juga akan kuurus pembatalan pernikahan atau perceraian. Besok jika pengacara Ayah datang, akan kuungkap semua agar Haikal bisa segera hengkang dari hidupku. Meski ia selalu bersikap baik, Misha dan Kiki memberikanku pelajaran bahwa tak ada yang bisa dipercaya di bumi ini.

Haikal menatapku lembut, seperti biasa. Bukannya segera menjawab, pria ini justru tersenyum simpul yang sialnya, tampak manis sekali.

"Apa, Mas? Jawab!" Meski diam-diam aku mengagumi wajahnya saat ini, namun tatapan tegas dan ketus harus kulakukan agar aku segera tahu apa yang ada di kelapa Haikal saat ini.

"Syurga dan kamu."

Keningku seketika menyernyit ketika telinga mendengar jawabannya. Simple sekali, namun tak pernah kuduga. "Kenapa jawabannya begitu?" Alih-alih kalimat romantis yang memuakkan.

Haikal terkekeh lirih sebelum mengambil satu tanganku yang ada di atas meja pantry ini dan menggenggamnya lembut. "Tujuan saya satu. Menuju syurga bersamamu. Bergandengan tangan sepanjang ibadah penyempurna agama ini. Jika kita melakukan karena Allah, maka ridha dan keberkahan inshaallah akan selalu mengalir pada kita."

"Mas gak berpikiran tentang ...." harta ayahku?

"Apa?"

Aku menggeleng. "Semoga alasan Mas mencintaiku karena Allah, benar membuatku nyaman hidup bersama Mas. Aku tak akan berpikir dua kali untuk menyingikrikan Mas dari hidupku jika mas mengecewakanku suatu hari nanti."

"Saya tidak akan menjanjikan apapun," balas Haikal santai namun serius. "Namun yang pasti, saya akan terus berusaha setulus hati dan sekuat tenaga saya untuk mendapingin dan memimpin kamu dalam mencari ridha Allah, melalui pernikahan ini."

Hanya deham singkat yang kuberi sebagai jawaban atas ucapan Haikal. Hening merajai kami selama beberapa saat. Aku berpikir keras untuk mencari cara bagaimana memastikan bahwa benar hanya aku yang ada di pikiran Haikal. Bahwa apa yang ia ucapkan semuanya tulus dari hati, bukan akal bulus untuk membuatku bertekuk lutut dan menyerahkan semua hartaku padanya.

"Mas." Satu pikiran terlintas dalam benakku. "Sampai sekarang, Mas belum meminta hak Mas padaku. Bukankah seharusnya Mas meminta. Meski misalnya aku enggan, aku tetap harus memberi 'itu', bukan?"

"Jika saya memaksa, kemungkinan saya dzalim padamu. Allah tidak menyukai itu. Meski saya berhak atasmu dan halal mengawinimu, namun saya menghormatimu sepenuh hati. Saya tak akan melakukannya jika belum ada ijin darimu."

"Aku sudah mengijinkan ... dulu." Demi kelancaran misiku.

Haikal mengangguk. "Tapi sejak itu, kamu tak pernah lagi membahas. Lagi pula, melihat wajah lelahmu tiap malam, membuat saya tidak tega."

"Tapi Mas sudah tua. Jika tidak segera memaksaku untuk melakukan itu, bagaimana Mas bisa mendapatkan keturunan?"

Tawa Haikal mengudara dengan renyahnya. Malam yang kupikir dingin dan hampa, entah mengapa berangsur hangat sejak kami berbincang ringan di sini. "Terima kasih sudah mengingatkan bahwa usia saya sudah mendekati 35. Namun itu bukan alasan saya bisa berlaku sewenang terhadap kamu. Annisa istri saya. Saya harus memperlakukan dia dengan baik. Karena Annisa adalah wanita yang akan mengandung dan melahirkan keturunan saya kelak. Dialah yang akan mendampingi saya mendidik anak-anak saya kelak. Dia harus merasa nyaman dan bahagia berada di samping saya."

"Lalu, kapan?"

"Apanya?"

"Proses pembuahan dan ikhtiar keturunan itu?"

Haikal mengulum bibirnya. Tampak menahan tawa, namun tatapannya menggoda. "Annisa ... siap jika malam ini saya meminta?"

"Tidak," tolakku tegas dengan gelengan. Meski ini salah satu jalan yang mungkin saja ampuh melancarkan misiku, namun ingatan tentang Bunda yang akan menyerahkan semua esok hari, membuatku berpikir ulang tentang itu. "Saya lelah. Lagi pula, niat awal kita berada di sini adalah demi Bunda, bukan bulan madu."

Anggukan Haikal melegakan hatiku yang sempat ketar-ketir. Senyum Haikal membuatku berpikir bahwa Haikal maklum dan memahami keenggananku untuk benar-benar menjadi istri pria matang ini.

Haikal menatapku dengan senyum yang masih teruir manis di wajahnya. "Kalau begitu, boleh saya meminta peluk saat ini?"

Aku menatap Haikal penuh curiga. "Untuk apa?"

"Agar saya yakin jika kamu sudah memaafkan saya atas kesalah pahaman ini. Hanya pelukan kamu, Annisa. Saya rindu kamu dan seharian ini merasa tidak nyaman mendapati kamu marah pada saya."

Wajah Haikal yang tampak penuh permohonan namun malu-malu itu, secara ajaib meluluhkan hatiku. Tanpa paksaan, aku turun dari stoolku dan melingkarkan tanganku di pundak kukuhnya. Haikal merengkuhku dan kami terdiam di posisi ini selama beberapa saat.

"Saya mencintaimu, sungguh. Mencintaimu hingga tak pernah sekali pun lupa menyebut namamu dalam setiap doa saya setelah salat."

Senyumku terukir. Jika kalimat tadi adalah gombal yang memuakkan, maka Haikal berhasil melakukan itu tanpa membuatku ingin muntah.

***

Surat kuasa atas kepemilikan dan pengelolaan perusahaan serta aset ayah sudah resmi ditandatangani oleh Bunda.

Aku, Annisa Fauzia, resmi menjadi pemilik tunggal seluruh aset dan perusahaan atas nama Ayah. Sedang Muhammad Haikal, pria tua yang semalam membuatku tidur nyenyak akibat gombalnya saat kami berpelukan, sah menjadi direktur utama perusahaan, dengan aku sebagai komisaris utamanya.

Tak ada senyum atau sedih di wajah Bunda saat menanda tangani semua surat-surat itu. Wajahnya datar dan biasa saja. Bunda hanya terus melantunkan dzikir dengan lirih selama proses ini berlangsung.

Hingga pengacara pamit undur diri juga Haikal yang berkata ingin segera kekantor sekalian mengantar pengacara Ayah kembali ke firmanya, tinggalah aku dengan Bunda di kamar ini.

"Bunda mau buah apa? Biar Icha siapkan." Aku mendekati meja yang Beti siapkan khusus untuk meletakkan segala kebutuhan Bunda selama masa kemoterapi ini.

"Bersenang-senanglah bersama teman-temanmu. Bunda tak ingin menjadi alasanmu menderita."

Aku membanting pisau buah yang sudah kugenggam. Berikut apel yang hendak kukupas untuk Bunda. Hingga detik ini, Bunda tak sedikitpun menghargai usahaku untuk berbakti.

Berbalik dengan segenap emosi yang kutahan setengah mati, aku menatap Bunda tegas. Tak peduli jika wajah Bunda tampak menahan tangis. "Bunda harusnya ingat, jika aku adalah satu-satunya anak kandung Bunda. Darah daging Bunda. Tolong jangan terus sakiti hatiku dengan perkataan dan ucapan Bunda."

Bunda tak membantah, seperti biasa. Bibirnya bergetar lirih dan matanya terlihat berkaca.

"Cukup Bunda menginjak-injakku sesuka hati, saat Bunda sehat dan memiliki segalanya. Sekarang semua harta Ayah sudah resmi menjadi milikku. Namun aku memilih berada bersama Bunda karena aku sadar, bahwa hanya aku anak Bunda," tekanku menegaskan bahwa harta Bunda satu-satunya hanyalah aku. "Tolong jangan siksa aku dengan ucapan yang selalu menampar perasaanku. Tubuh Bunda bahkan sudah terlalu lemah untuk melakukan itu."

Aku meninggalkan kamar Bunda dengan langkah penuh kekesalan. Jika bukan karena Haikal yang setiap malam memohon padaku untuk merawat Bunda, entah apa aku masih bisa bertahan di sini.

****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top