10. Vonis

Bunyi mesin cuci menyadarkanku dari lamunan. Entah sudah berapa lama aku duduk terpaku mengingat wajah Bunda dan malam lalu. Pagiku hampa. Sama hampanya dengan hati dan hari-hariku kemarin. Aku seperti sendiri. Tak berkawan dan tak memiliki harapan.

Malam lalu, saat kami sampai di rumah sakit, aku dan Haikal berjalan cepat menuju ruang ICU, tempat Bunda berbaring. Haikal menemui Mbak Beti dan menanyakan apa yang terjadi pada Bunda dengan detail. Mbak Beti hanya menceritakan kronologi hingga Bunda berada di sini, lalu kami terdiam masing-masing sampai seorang perawat memanggilku untuk bertemu dokter.

Kanker paru stadium lanjut. Vonis itu terdengar mengerikan bagiku. Meski aku tak begitu menyukai Bunda, nyatanya hatiku seperti pecah saat memindai wajahnya dengan ventilator di hidung.

Tanpa terasa mataku berembun saat mendengar Bunda menyebut lirih namaku dalam tidurnya. Seharunya Bunda istirahat saja. Jangan sebut namaku dan membuatku linglung tanpa alasan.

Dokter merekomendasikan agar Bunda melakukan beberapa sesi kemoterapi. Aku menuruti saja setiap arahan dokter, hingga tentang aku yang diminta terus berada di samping Bunda selama masa itu. Hanya aku satu-satunya keluarga Bunda yang otomatis menjadi walinya selama masa perawatan ini.

"Aku tidak tahu jika Bunda menyimpan penyakit semenyeramkan ini," ucapku pada Haikal usai keluar dari ruang dokter. "Aku bahkan tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada Bunda nanti."

Haikal merengkuh pundakku penuh perlindungan dan mengusap tangannya di lenganku. "Jangan khawatir. Allah Maha Menyembuhkan segala penyakit. Ini ujian kita untuk membuktikan bakti kita sebagai anak pada Bunda."

Aku tak menjawab lagi ucapan Haikal. Terlalu banyak pikiran yang menumpuk di kepala, hingga membuatku tak bisa berucap, bahkan sekadar mengungkap rasa. Kami menunggu Bunda hingga dini hari dan pamit pulang untuk beristirahat sebentar karena Haikal harus pergi ke kantor paginya.

Cucianku selesai. Aku akan meminta tolong Bik Muna menjemur di belakang. Entahlah, jiwaku rasanya kosong. Tak ada gairah untuk melakukan sesuatu bahkan sekadar tersenyum. Aku seperti seonggok jasad tanpa sabunari yang menyinari.

Ponselku berdering. Aku menoleh pada gawai yang terletak di meja dapur dan seketika jantungku berdegup kencang. Mbak Beti kah yang menghubungi?

Kakiku bergerak cepat menuju meja dan mengambil ponsel. Wajahku seketika masam dengan senyum segaris samar. Misha akan menyuruhku apa lagi saat ini?

"Ya, Mish?" sapaku datar tanpa semangat.

"Gimana Haikal?" Misha selalu begini. Langsung pada inti, tanpa basa basi.

Aku menghela napas panjang dan menahan selama beberapa detik. Berharap cara ini mampu membuatku tetap tenang dan tak termakan amarah. "Dia baik-baik saja," balasku mencoba santai.

Terhengar embusan napas dari tempat Misha. "Gue tau dia baik-baik saja. Maksud gue, hubungan kalian."

Aku tak mengerti mengapa sampai Misha sebegini intensnya dengan hubunganku dan Haikal. Aku tahu dia menginginkan hartaku jika aku dan Haikal bercerai kelak. Namun, sikapnya yang seperti ini lama kelamaan membuatku jengah juga.

"Cha!" Suara Misha tegas memanggilku. "Hubungan kalian gimana? Haikal udah demen lo atau belom?"

"Gak tahu," jawabku asal.

"Perlu kita ke orang pinter untuk bikin dia klepek-klepek?"

"Gue rasa gak perlu. Segala hal butuh proses untuk menjadi sempurna, bukan? Dan gue sedang berusaha melalui setiap prosesnya."

Hening menjeda diantara kami. Entah mengapa, ketegangan serta merta melingkupiku dan Misha. Seingatku, tadi aku bicara dengan nada biasa saja.

"Tumben lo begini? Biasanya gak sabaran pengen semua proses ini cepat selesai." Suara Misha terdengar rendah. Runguku menangkap kecuragaan Misha padaku saat ini. "Lo kenapa? Jangan bilang justru lo yang jatuh cinta sama Haikal."

Aku menyernyit. Jatuh cinta? Aku jatuh cinta pada Haikal? Sejak kapan? Jika iya, karena apa?

"Enggak," kilahku setelah beberapa waktu terdiam. "Bunda lagi sakit. Gue ... gak bisa ngobrol lama dulu, Mish. Mau siap-siap ke rumah sakit, gantiin Mbak Beti jaga. Dia juga harus istirahat karena malam akan menjaga Bunda lagi."

"Bundalo sakit?" Suara Misha naik beberapa oktaf. Kesalku, suaranya justru terdengar antusias alih-alih terkejut.

"Kanker paru stadium lanjut. Sekarang masih di ICU karena sempat ngedrop kondisinya. Semoga hari ini membaik dan bisa pindah ke kamar rawat." Entah mengapa, ada sisi hatiku yang terasa nelangsa saat mengucapkan berita ini.

"Bagus deh," tukas Misha.

Keningku berkerut dan hatiku memanas. "Maksud lo?" ucapku dengan nada tak terima. Apa bagusnya jika Bunda sakit begini?

"Bunda lo sakit dan itu berarti ... jalan lo tidak akan sepanjang prediksi awal kita. Apa lagi, tadi lo bilang Bunda kanker stadium lanjut, kan? Terdengar sempurna, Cha! Lo tinggal menunggu waktu dan bum! Lo kaya,"

Tak terasa tanganku bergetar. Genggamanku pada ponsel pun mengencang dan napasku tak aturan. "Gue tutup telepon lu. Gue harus ke rumah sakit sekarang." Tanpa menunggu jawaban Misha, aku memutus sambungan kami.

****

Aku melangkah lemas menyusuri koridor rumah sakit, menuju ruang rawat Bunda. Mbak Beti mengabarkan saat aku dalam perjalanan, jika Bunda sudah sadar dan kondisinya berangsur baik, hingga dokter memutuskan memindah Bunda ke ruang rawat.

Ketika membuka pintu kamar rawat Bunda, aku melihat Haikal sudah duduk manis di sebelah brankar Bunda. Bunda tersenyum tipis mendapati kehadiranku siang ini.

"Assalamualaikum, Annisa," ucap Haikal menyapaku yang tak juga bersuara hingga beberapa saat. Tubuhku mematung saja di sini. Si ambang pintu ruang rawat ini.

Bergerak canggung, aku menjawab salam Haikal lantas berjalan mendekati Bunda.

"Mas sudah makan siang?" tanyaku pada Haikal, alih-alih menanyakan kabar dan kondisi Bunda.

Haikal tersenyum seraya melirik beberapa bungkus makan siang di atas meja sofa kamar ini. "Saya menunggu kamu untuk makan bersama."

Aku mengangguk lantas menoleh pada Bunda. Bunda tak bersuara. Hanya menatapku teduh dengan binar mata sendu. Haikal memintaku duduk di kursinya, sedang pria itu pindah ke sofa panjang yang ada di ruang rawat ini.

"Saya tadi minta ijin Bunda."

Aku menoleh pada Haikal dengan kening berkerut. "Untuk?"

"Mengijinkan kamu sementara menggantikan Bunda di kantor. Meski Bunda memilikiku dan Mas Ilham sebagai orang kepercayaan Ayah dan Bunda dalam menjalankan perusahaan, namun kami masih membutuhkan tanda tangan dan persetujuan pemilik perusahaan. Dalam hal ini, kamu. Karena kamu adalah satu-satunya keluarga Bunda dan Ayah."

Aku menelan ludah cekat. Kulirik Bunda yang masih menatapku dengan binar mata dalam. Aku tak bisa membaca apa yang ada dalam pikiran Bunda selama menatapku hingga saat ini.

"Aku ... gak yakin bisa. Memangnya perusahaan membutuhkan persetujuan untuk hal apa, hingga membuatku harus menggantikan Bunda di sana?"

"Hal-hal terkait finansial dan keputusan managerial lainnya, Annisa. Kami tidak bisa bergerak tanpa persetujuan tertulis pemilik perusahaan. Dalam hal ini, Bunda dan kamu."

Lagi, aku menoleh pada Bunda yang masih saja menatapku dengan binar mata penuh makna.

Aku menunduk. Memperhatikan jarum infus yang menancap di punggung tangan Bunda. Juga, gelang tanda pasien yang melingkar di pergelangan Bunda. Sebenarnya aku ingin marah dan mengumpat. Bunda selalu saja merepotkan. Bahkan hingga ke hal-hal yang bagiku terasa berat. Aku tidak suka bekerja. Aku hanya ingin menikmati kekayaan Ayah.

"Aku ... tidak pernah bekerja dan tidak tahu bagaimana caranya bekerja," kilahku lirih.

Haikal terdengar menghela napas. "Saya pasti bantu kamu, Annisa."

Aku menggeleng pelan. Ragu. Antara takut membuat kesalahan dan takut hartaku hilang di tangan orang. "Aku ... takut."

"Allah memastikan rezeki setiap hamba-Nya. Allah pun selalu memiliki cara memudahkan Hamba-Nya yang berjihad. Bekerja atau mencari nafkah, adalah salah satu bentuk jihad, Annisa."

Sekali lagi, aku menoleh pada Bunda dan menatapnya ragu. Bunda menatapku sendu dan mengangguk samar.

Aku menghela napas panjang lalu menoleh pada Haikal. "Kalau begitu, aku ingin satu ruangan saja dengan Mas saat bekerja nanti."

Haikal tersenyum manis seraya mengangguk. "Kita akan mengunjungi Bunda setiap hari dan melaporkan apa saja yang kita kerjakan hari itu. Meski Mas Ilham pastinya membuat laporan untuk Bunda, namun aku yakin rasanya berbeda jika kamu sendiri yang melakukan."

Senyumku terkembang samar. Entahlah. Apa aku bisa melakukan hal ini. Yang jelas, saat ini aku harus turun tangan melindungi apa yang harus aku dapatkan, selama Bunda terbaring tak berdaya.

*****


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top