1. Perjanjian Bunda
Aku benci ibuku.
Wanita yang kupanggil Bunda, tega menyiksaku dengan cara keji seperti ini. Ia berusaha membatasiku menikmati harta peninggalan mendiang Ayah. Bunda mengunci semua aksesku menikmati keindahan dunia dan membuatku mau tak mau menyetujui perjanjian gilanya.
"Ayah hanya membuat wasiat agar tanah milik kita yang di Bogor, diwakafkan untuk membangun masjid. Bunda sudah menyisihkan satu miliar untuk pembangunan masjid wasiat Ayah."
Aku melotot tak terima. "Bunda sudah gila? Membuang satu miliar hanya untuk membangun masjid? Bunda pikir Ayah dengan mudah mencari uang untuk kita? Sampai akhir hayat, Ayah bekerja demi anak istrinya, tapi Bunda buang begitu saja jerih payah Ayah." Suaraku bahkan meninggi. Aku tak mengerti apa yang ada di dalam kepala Bunda hingga dengan mudahnya membuang hasil kerja Ayah.
Emosiku merangkak naik. Bunda bersikap santai meski aku bisa melihat wajahnya yang sedikit menegang. Aku tak pernah bisa satu pikiran dengan wanita yang melahirkanku ini. Kami sering bertengkar karena Bunda tak pernah bisa memahami keinginanku untuk hidup bebas.
"Berapa yang kamu mau?" Bunda berucap dengan mata yang konstan menatapku. Sekilas tadi, kudengar suaranya parau dan bergetar. Namun aku tak peduli. Aku harus memperjuangkan hakku sebagai anak tunggal Ayah.
Mengangkat dagu jemawa, aku balas menatap Bunda. Tak peduli jika sisi bawah netranya tampak mengembun. "Tujuh puluh persen dari seluruh harta milik Ayah." Aku tak akan menyebut nominal. Satu, dua, atau sepuluh milyar sekali pun, Bunda akan tetap memberikan syarat konyol dalam perjanjian gilanya. Sedang harta Ayah, lebih dari nominal itu. Jadi, presentase untuk pembagian warisan adalah jawaban yang tepat.
Tak sedetik pun aku memutus adu pandang kami. Bunda terdiam dengan raut wajah yang tak bisa kubaca. Ia hanya terdiam dan menatapku dengan mata yang mulai berkaca. Hingga beberapa saat kami saling terdiam di bawah suasana tegang.
"Untuk apa harta sebanyak itu?" ucap Bunda terbata.
Pakai tanya. Aku membuang muka sesaat dengan gestur wajah jengah. "Tentu untuk aku hidup enak, Bunda. Aku anak tunggal Ayah dan satu-satunya yang berhak atas semua harta Ayah. Bunda adalah manusia keji yang tega menghalangiku mendapatkan hakku sebagai anak Ayah." Bicaraku kubuat diplomatis dan tegas. Aku tak boleh kalah dari Bunda. Harta Ayah milikku dan akan kuperjuangkan hingga mati.
Bunda masih konstan menatapku. Tak sedikit pun mengalihkan pandangannya ke mana pun. "Jika kamu menginginkan harta Ayah, lalu apa yang bisa kamu beri untuk Ayah?"
Aku mendesah kesal. Wanita tua ini suka sekali diskusi berputar-putar. Dosa apa yang kuperbuat hingga memiliki ibu sepelit ini pada anak kandungnya sendiri. Kejamnya, Bunda justru tampak royal pada orang-orang kelas bawah yang tak pantas sedikit pun dengan kalangan kami.
Dan sekarang, otak aneh Bunda bertanya tentang apa yang bisa kuberikan pada ayahku yang sudah tiada. Fix, aku akan menghubungi dokter keluarga dan meminta rekomendasi untuk memasukkan Bunda ke rumah sakit jiwa.
Aku menyeringai sinis. "Ayah sudah tenang di surga. Ayah tak butuh apapun lagi karena Tuhan sudah memberikan surga-Nya untuk Ayah. Sekarang, giliranku yang menikmati harta milik Ayah."
"Allah, Nak. Sebut Tuhanmu dengan Allah. Tuhan kita hanya satu. Allah." Satu bulir air mata Bunda terjatuh. Aku jelas melihat cairan itu mengaliri wajahnya yang mulai menua. Bibirnya bahkan bergetar lembut dan bergerak seakan sedang mengucapkan sesuatu namun aku tak tahu apa.
"Terserahlah!" Aku mengibaskan tangan tak acuh. "Yang jelas, aku hanya ingin hakku atas harta peninggalan Ayah. Tujuh puluh persen dan tak bisa lagi ditawar. Sisanya, terserah ingin Bunda apakan. Namun, aku mengingatkan bahwa tak akan membagi jatahku untuk Bunda."
Dada Bunda terlihat naik turun perlahan. Dalam tangis tanpa suara, ia bergerak mengambil sesuatu di laci meja kerja Ayah yang sedang kami gunakan saat ini. Tangan Bunda meletakkan satu lembar kertas yang berhasil mendidihkan emosiku seketika.
Surat penjanjian pengalihan hak waris.
Bunda mengusap wajah basahnya pelan lalu kembali menatapku tegas. "Menikah dengan Haikal jika kamu menginginkan harta Ayah."
Mataku membesar menatap Bunda. "Bunda jahat dan tak berperasaan," tuduhku kejam, sekejam sikapnya padaku dan hidupku.
Aku sungguh tak peduli dengan tangannya yang gemetar, mendorong pelan pena ke hadapanku.
"Tandatangani surat perjanjian ini. Bunda akan menemui pengacara Ayah dan meminta beliau mengurus 70% harta Ayah untuk kamu miliki."
Aku memukul kencang meja dengan tangan kanan, lantas mengambil pena secara kasar dan membubuhkan tanda tanganku di atas kertas sialan itu. Aku tak peduli lagi dengan klausa-klausa yang Bunda tulis di dalamnya. Targetku hanya mendapatkan harta Ayah yang pastinya cukup memenuhi kebutuhanku sampai mati.
Setelahnya, aku membanting asal pena ke atas meja lalu mendorong kasar kertas penjanjian gila itu ke hadapan Bunda. "Aku tak bisa memberikan Bunda cucu. Haikal bukan tipeku dan dia berada dari kalangan yang jauh di bawahku. Aku mau menikah dengan Haikal si gila harta itu, demi memperjuangkan hakku atas harta Ayah."
Bunda terlihat menahan emosi. Tangannya bahkan tertangkap netraku, tengah memegang lengan kursi erat. Bila Bunda emosi saat ini, aku pun sama. Bahkan jauh lebih emosi dan frustasi akibat pemikiran gila istri ayahku ini.
"Saat aku sudah menikah dengan Haikal, Bunda akan hidup sebatang kara dan menua sendiri hingga mati. Karena aku tak akan sudi menghampiri juga menganggap Bunda keluargaku lagi." Beranjak dari duduk dengan angkuh, aku tersenyum sinis lalu meninggalkan Bunda di ruang kerja mendiang Ayah.
*****
"Senyum dong, Cha. Lo udah cakep gini dan siap menjalani peran lo sebagai istri." Misha tengah menemaniku di kamar pengantin bersama Kiki. Dua sahabatku yang tak pernah alpa menemaniku bersenang-senang. "Saat semua harta bokap udah di tangan, ceraikan dia, lalu kita bisa hidup bebas sesuai kemauan lo."
Kiki memegang daguku dan mengangkat wajahku agar tak lagi menunduk pilu. "Gue akan ada di samping lo. Menemani setiap kebebasan lo nantinya. Jadi, senyum dan semangat menjalani pernikahan sementara ini."
Aku menarik napas panjang dan menatap pantulan wajahku di cermin. Prosesi akad nikah sedang berlangsung dan aku tidak tertarik melihatnya dari monitor yang ada di kamar hotel berbintang ini. Aku tak peduli dengan apapun yang terjadi di ruang akad itu. Aku hanya peduli pada apa yang akan aku dapatkan setelah pernikahan ini.
Suara ucapan "Sah" terdengar. Aku melirik ke monitor dan melihat sosok Haikal yang memakai pakaian berwarna sama dengan busanaku saat ini. Muhammad Haikal. Aku tidak tahu bagaimana ceritanya hingga pria itu bisa menjadi suamiku saat ini. Tapi tenang saja, pernikahan ini tak akan berjalan lama. Haikal hanya pintuku mendapatkan harta Ayah.
Pintu kamar pengantinku terbuka. Dua kru wedding organizer meminta Kiki dan Misha keluar kamar sebentar dan mempersilakan Haikal masuk. Ketika pintu kamar ini ditutup, tinggalah kami berdua dalam kecanggungan yang memuakkan.
"Assalamualaikum," ucapnya formal seraya menatapku datar. Ia tersenyum simpul, namun sayangnya aku tak tertarik bersikap manis.
Aku tersenyum sinis dan mengibas tangan. Peduli setan dengan salam basa basinya. Beranjak dari kursi kaca rias, aku berjalan mendekatinya lalu menatap pria itu lamat.
Kami saling diam dan menatap dalam hening. Tak ada chemistry yang mengikat kami. Jujur, aku muak melihat wajahnya yang sok alim dan dewasa itu. Bagiku, Haikal hanyalah pria sejenis gold digger yang Bunda jadikan alat untuk membuatku menderita.
Aku mendengkus pelan demi merilekskan tubuh, lalu menatap Haikal jemawa. "Mari kita jalani pernikahan ini demi orang tuaku. Jangan harap aku akan memberikanmu hak suami karena aku tidak akan meminta hak istri. Aku tahu kamu miskin dan tak mungkin sanggup menafkahiku. Mari jalani hidup kita masing-masing dalam pernikahan ini."
Entah mengapa jantungku perlahan berdegup makin kencang. Aku tak boleh gentar melihat reaksinya terhadap kalimatku barusan. Jangan peduli apalagi takut dengan wajahnya yang menegang. Haikal, bukan siapa-siapa dan tak perlu ditakuti apalagi hormati.
****
Hallo, maapkeun daku yang sempat hilang di bulan puasa. Kenapa? Karena aku mengikuti parade menulis Lovrinz and Friend yang diselenggarakan penerbit Lovrinz. Menulis naskah religi dengan pilihanku genre romansa.
Dan inilah kisah Annisa dan Haikal yang kuikutkan dalam parade kemarin. Jika kalian ingin membaca versi lamanya, silakan ke grup FB LovrinzandFriend lalu serach Till Jannah. Karena versi parade, judulnya Till Jannah.
Jika mau baca di wattpad saja, Hapsari akan post setiap dua hari sekali, hanya sampai chapter 24. Karena sisanya, bisa kalian baca di versi cetak atau ebooknya yang sedang proses di penerbitan.
Kalau sudah tersedia ebook atau PO versi cetaknya, akan diumumkan di lapak ini.
Jangan lupa ramein yess!! Votes dan komen kalian, bikin Hapsari bahagia. Muuaacchhh
LopLop
Hapsari
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top