8

Daud muncul di ruang makan dengan ransel dan tas kameranya bersama orangtua Vera.

"Sudah datang, Nic?" Sapa ayah Vera.

"Sudah, om."

"Hati-hati ya Daud. Musim hujan ini."

"Beres, Pung."

"Makananku sudah mi?"

"Sudah, disini semua. Sama nasi untuk makan siang kalian. Ingat tupperwarenya jangan hilang." Vera mengingatkan putra bungsunya.

"Mami, nggak di Jakarta, nggak di Medan. Sama aja." Omel Daud.

"Kan kamu yang suka menghilangkan tupperware mami?"

"Ok deh, nanti keburu siang. Nanti kalau mau datang kabarin ya Ver. Nanti saya pandu."

"Oke," ujar Vera.

Ia kemudian mengantarkan Nico dan Daud sampai halaman.

***

"Kok, kita nggak naik motor aja sih om?"

"Motor om di Jakarta. Lagian cukup jauh, hampir tiga jam perjalanan. Jadi kalau nanti naik motor kamu lumayan capek."

Daud hanya mengangguk, sambil menatap keluar jendela.

"Ini mobil om?"

"Bukan, om rental bareng teman-teman. Mereka sebagian masih disana."

"Nih om, nastarnya mami. Enak."

"Makasih." Nico mengambil satu. Terasa lembut dilidahnya.

"Mami kamu pintar masak?"

"Pinter, tapi males ke dapur. Ini aja kemarin dari Jakarta dibawa. Karena opung boru pesan. Dan dibantu mbak, kalau enggak, palingan beli."

"Karena mami kamu sibuk mungkin?"

"Iya sih om, kadang sampai malam kalau meneliti barang-barang."

"Kamu bantu apa?"

"Sekarang bantu motret."

"Hebat kamu."

Daud hanya tertawa.

***

Vera memasukkan beberapa pakaian ke dalam tas. Ia akan menjemput Daud bersama Lyo. Karena lusa mereka sudah akan pulang ke Jakarta.

"Aku pakai celana Chinno aja ya mi?"

"Iya, ingat disini daerah. Jangan pakai yang terbuka."

"Mi,"

"Hmmm?"

"Aku suka lihat om Nico."

Vera menghentikan gerakannya sambil menatap sang putri.

"Nggak ketuaan?"

"Bukan buat aku mami, siapa juga yang naksir dia?" Jawab Lyo sambil memutar bola matanya.

"Terus?"

"Orangnya tuh humble, bisa dekat sama siapa aja."

"Oh, kirain. Dia memang gitu sih kayaknya."

"Kan jarang loh mi, ada orang dewasa bisa langsung gabung sama anak-anak dan orangtua."

"Terus, kamu mau jadiin dia pacar?"

"Ya enggaklah. Ketuaan banget. Cocok juga buat mami."

Vera tertawa lebar. "Mami yang ketuaan buat dia."

Keduanya tertawa.

"Mi,"

"Ya?"

"Mami nggak niat cari pacar gitu?"

Kembali Vera tersenyum.

"Belum, kalau dengan seusia dan status mami pertimbangannya terlalu banyak. Harus mikir pendapat, opung, kalian, masyarakat disekitar mami. Belum lagi keluarganya. Lebih ribet lah."

"Aku nggak bisa bayangin kalau mami ketemu pacar baru."

"Memangnya kamu mau mami punya pacaran lagi?"

"Aku sih nggak apa-apa. Cuma nggak siap aja kali ya."

Vera mengelus pipi putrinya.

"Orang seusia mami, kalau pacaran bukan lagi buat senang-senang. Tapi langsung punya tujuan. yaitu pernikahan. Nah kalian sampai sekarang nggak bisa nerima istri papi, kan?"

"Papi mah lain mi. Orang dia selingkuh duluan. Padahal kan selama ini mami baik-baik saja?"  

"Kamu, gimana kabar Noel?" Tanya Vera mengalihkan pembicaraan.

"Udah kelaut. Dia pacaran lagi dengan anak baru. Nggak usah ngomongin dia deh."

Vera hanya menggelengkan kepalanya. Selesai menyusun perlengkapan mereka. Vera menuju dapur. Mendapati  asisten rumah tangga maminya tengah menyalakan oven.

"Nanti kalau suhunya sudah 180, bolennya masukan aja ya kak Asnah."

"Iya, ini kunyalakan karena sudah setengah jam."

Vera mengangguk, kemudian mengambil wadah untuk makan siang mereka dan juga tambahan cemilan Daud. Tadi malam putranya mengatakan kalau makanannya sudah habis. Ada beberapa teman  Nico dari Belanda dan Prancis yang bergabung.

***

Medan yang cukup berat, terutama saat melewati perkebunan sawit. Membuat Lyo bergidik.

"Nggak salah nih mi."

"Nggak, tadi Nico sudah ngomong."

"Ini sawit doang, mana hutannya?"

"Tenang dong kak."

"Jalannya begini lagi mi?"

"Sabar dong kak."

Tak lama, mobil mereka memasuki Area tangkahan. Nico dan Daud sudah menunggu.

"Bosan dijalan Lyo?" Tanya Nico saat jendela dibuka.

"Lumayan om. Pengen rebahan."

"Ayo, hotel kita kita di sebelah sana. Sini biar aku yang nyetir." Ujar Nico sambil mengambil alih kemudi. Vera pindah ke samping.

"Masih jauh om?"

"Enggak, satu hotel dengan om. Viewnya bagus. Langsung sungai."

Tak lama mereka tiba di hotel yang dimaksud.

"Ini kok ada kain tipis begini, apa namanya mi?"

"Kelambu." Jawab Vera.

"Supaya nggak digigit nyamuk dan lebih hangat saat malam Lyo. Disini cukup dingin." Nico menimpali.

***

Vera membetulkan letak sweaternya, saat Nico datang dengan dua gelas kopi mengepul ditangan pagi itu.

"Kami kehabisan teh, adanya Cuma kopi."

"Terima kasih. Aku penggemar kopi, kebetulan."

"Mana Daud dan Lyona?" Tanya pria itu.

"Masih tidur." jawab Vera sambil menyerahkan sepiring pisang bolen. Nico mengambil satu. 

"Kamu biasa bangun pagi?" Tanya Nico.

"Pasti, paling tidak sebagai ibu untuk membangunkan anak-anak." Jawab Vera sambil tersenyum.

"Bagaimana tidur kamu, malam ini?"

"Nyenyak, pakai banget."

"Syukurlah, ini adalah salah satu tempat favoritku."

"Wajar sih, apalagi bisa lihat hutan yang masih alami begini. Aku suka kabut tipis disana. Sampai Daud juga bela-belain nolak liburan ke Eropa."

"Aku tidak tahu itu."

"Dia tidak cerita?"

"Enggak. Dijalan kemarin dia tidur. Sampai disini langsung ngajak jalan ke hutan."

"Dia merepotkan kamu?"

"Sama sekali enggak. Dia bahkan sangat mandiri. Kalu dilihat backgroundnya yang anak kota."Balas Nico.

"Bagaimana tahun baru kamu kemarin, Ve?"

"Baik, dihabiskan dengan keluarga. Tahun barunya, seperti biasa juga. Orangtuaku kan sudah sepuh. Jadi keluarga yang datang berkunjung. Dan aku sibuk di dapur seharian."

"Pasti menyenangkan bertemu dengan keluarga besar."

"Ya, aku kan jarang pulang waktu masih menikah dulu. Apalagi kalau tahun baru. Seringnya liburan sama anak-anak. Sekarang aku seperti menebus hutang. Dan orangtuaku sangat senang."

"Pastilah, setiap orangtua akan merindukan anak-anak mereka.

"Kamu?"

"Orangtuaku tinggal di Cipanas. Sesudah pensiun ayah pindah kesana. Lebih tenang katanya." Jelas Nico.

"Mereka masih lengkap?"

"Masih."

"Kamu anak keberapa?"

"Anak nomor tiga, dari empat bersaudara dan satu-satunya laki-laki. Tapi hanya aku yang tinggal di Indonesia."

"Oh ya?" Vera cukup terkejut.

"Kakak tertuaku Jemima, tinggal di Qatar. Suaminya kebetulan warga negara sana.  Nomor dua di  Laura, di Michigan. Dan terakhir si bungsu Maya, di Jepang.

"Kok bisa?"

"Ayahku dulu berkarir di Deplu. Jadi kami biasa pindah-pindah tergantung tempat tugas ayah. Jadi deh anaknya juga mencar semua."

"Pasti seru kalau kalian ketemu."

"Ya, dan kita semua bisa nggak tidur karena ngobrol. Kalau kamu?"

"Aku tiga bersaudara. Aku nomor tiga. Kakakku laki-laki semua. Satu di melbourne dan satu lagi di Bali. Dua-duanya pilot."

"Kadang kita merindukan saat kecil dulu. ketika masih bersama dan menganggap pertemuan setiap hari adalah hal yang biasa saja."

Vera tertawa.

"Ya, dan seperti aku sekarang, ada penyesalan dalam diriku. Tidak bisa memberikan keluarga yang utuh untuk anak-anakku. Lyo sudah lebih besar jadi cukup bisa memahami. Daud yang terpuruk.

"Tidak ada anak-yang siap dalam menghadapi perpisahan orangtuanya. Kadang orangtuanya juga begitu kan?"

"Kamu kayak orang pernah menikah aja." Sindir Vera.

Lama Nico menatap Vera. Sampai kemudian pria itu menjawab.

"Aku pernah menikah."

Kali ini Vera yang terkejut.

"Lalu?"

"Saat masih muda, kita sangat menggebu-gebu. Aku mengira bahwa menikah itu cukup dengan cinta. Karena memang saat itu, nggak mikir apapun. Aku juga  baru mulai berkarier.

Kalau sekarang kupikir, aku terlalu konyol. Like a gambler. Menikahi anak orang dengan modal gaji tiga juta sebulan." Jelas Nico sambil tertawa.

Vera menatap Nico, sambil menunggu lanjutan ceritanya.

"Awalnya semua terasa indah. Keuangan kami dibantu oleh kedua orangtua. Lalu kemudian anak kami lahir. Rasanya hidupku sudah lengkap. Tapi ternyata kenyataan jauh dari mimpiku."

Mata Nico menerawang jauh. Ada kesedihan disana.

"Aku tidak bisa memahaminya. Suatu saat aku pulang dari Kalimantan. Dia sedang bersama kekasihnya di kamar. Aku kalah!"

Vera terdiam,

"Kami kemudian berpisah."

"Anak kalian?" Tanya Vera hati-hati.

"Ikut ibunya."

"Dimana?"

"New York, kebetulan kekasihnya tinggal disana. Lalu mereka pindah kesana."

"Kamu masih berkomunikasi dengan putramu?"

"Ya, kadang seminggu dua kali. Perbedaan waktu membuat  sedikit menyulitkan. Tapi aku berusaha."

"Berapa usianya?"

"Hampir dua belas tahun. Seumuran Daud."

"Karena itu kalian dekat?"

"Tidak juga, aku tidak pernah mencari pengganti. Tapi aku merasa memang Daud sedang butuh pendampingan. Anak seusia dia dengan masalah kalian. Tidak mudah untuk menjalani kan?"

"Ya." Jawab Vera singkat.

"Nilai dia kemarin merosot tajam. Kadang aku bingung menentukan posisiku. Lyo sudah lebih besar. Jadi lebih mudah baginya."

"Thank you, Nic. Sudah menjadi teman bagi Daud."

"Sama-sama. Aku juga suka punya teman seperti dia."

"Siang ini kamu mau kemana? Aku antar."

"Rasanya aku kepengen tidur aja."

"Tipikal ibu-ibu saat lburan?" Goda Nico.

"Ya, para suami dan anak-anak tahunya cuma jalan-jalan saja. Sementar kami para ibu harus tetap berkutat dengan pakaian kotor, makan pagi, siang dan sore. Meski nggak masak, tetap dipikirkan juga kan?"

"Jangan ambil semua bebannya. Nanti kamu jauh lebih capek."

Vera tertawa kecil. Nico menatap wajah itu sejenak kemudian menatap sungai dibawah sana. Vera mengikuti tatapannya.

"Ada rombongan gajah."

"Mereka bersiap untuk mandi."

Beberapa wisatawan asing terlihat mendekat. Dan mulai ikut memandikan. Nico terlihat tersenyum, kemudian berkata.

"Aku suka melihat mereka di habitatnya. Tidak dibawa kemana-mana. Atau bahkan dilatih menjadi hewan sirkus. Agar mendapat banyak tepukan dan menghasilkan uang.

Aku sangat tidak suka dengan hewan-hewan yang dipelihara untuk sebuah pertunjukan. Mereka sangat menderita. Kamu pernah tahu bagaimana mereka dilatih?" Tanyanya pada Vera.

Perempuan itu menggeleng.

"Nanti aku tunjukkan videonya. Benar-benar menyedihkan."

"Tapi anak-anak suka."

"Alasan sebenarnya bukan anak-anak Vera. Tapi uang. Bawa saja anak-anak ke kebun binatang. Mereka juga pasti suka."

***


selamat pagi

Selamat membaca

Maaf untuk typo

11520

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top