7

Daud dan Nico bermain basket di halaman depan saat menunggu makan malam disiapkan. Akhirnya Lyo ikut bergabung. Keduanya seperti menemukan rekan yang setimpal. Karena gadis itu memang suka basket.

"Om suka basket dari kapan?" Tanya Lyo.

"SD sih, tapi Cuma sampai SMU doang. Setelah itu karena sibuk. Om pilih Jogging. Kalian suka basket?" Jawabnya sambil mendribble bola.

"Yang suka basket kak Lyo om. Aku lebih suka berenang."

"Iya, lo suka berenang, tapi lebih suka makan. Makanya perut udah kayak gunung itu." Sindir Lyo.

"Eh, gua makan supaya tetap hidup. Lagian ngapain makan diatur-atur segala. Yang ada bakal kurang gizi kayak lo." Balas Daud tidak mau kalah.

***

"Sudah lama kenal dia? Mami lihat dia cukup dekat dengan anak-anakmu." Tanya maminya saat Vera tengah membantu di dapur.

"Belum sih mi, memang dia orangnya gampang dekat dengan siapapun."

"Mami lihat, dari tatapannya. Dia ada hati sama kamu."

Vera menghentikan pekerjaannya.

"Aku nggak tahu kalau soal itu."

"Siapa tahu dia mendekati Daud untuk dekat dengan kamu."

"Dia dekat dengan Daud karena kebetulan. Dan kelihatannya Daud sedang mencari sosok ayah pengganti Karel. Anak-anak kecewa dengan papinya."

"Apa hubungannya dengan Karel buruk?"

"Bisa dibilang begitu. Lyo juga sudah menjauh."

"Kamu bisa mengingatkan Karel kan?"

"Dia sudah berubah mi. Bukan Karel yang dulu. Ada Diana juga di dekatnya. Aku males lihatnya. Jadi emosi. Dia juga sama. Buat Karel sekarang, dia hanya sebagai penyandang dana."

"Nggak boleh begitu demi anak-anak kamu. Tapi memang sih, kalian tidak bisa terlalu dekat lagi dengan Karel seperti dulu."

Vera mengangguk sedih.

"Meski baru sekilas, mami lihat Nico orangnya cukup baik."

"Udah deh mi, dia itu temannya Daud. Nggak lebih. Lagian aku juga nggak kepikiran jauh."

"Kamu memang belum lama bercerai dengan Karel. Tapi umurmu baru 40."

"Hubungannya?"

"Maksud mami, apa kamu masih trauma?"

Vera kembali menghentikan kegiatannya memotong semangka.

"Nggak ada yang trauma mi. Kami Cuma teman. Dan kebetulan anak-anak suka sama dia. Mungkin karena kehilangan figure Karel."

"Karel jarang ketemu mereka?"

"Mereka yang nggak mau ketemu Karel."

"Biaya mereka?"

"Masih ditransfer. Tepat waktu kok."

"Jangan sampai jadi masalah nanti Ve,"

"Aku lebih takut sama anak-anak dibanding sama Karel mi. Aku nggak peduli sama dia. Masalah kami sudah selesai. Kalaupun dia mengganggu, aku anggap nggak ada."

***


Makan malam bersama itu terlihat sangat santai. Nico segera menjadi bagian dalam keluarga Vera. Apalagi Daud yang terlihat sangat bahagia.

"Sekarang selain bekerja ngapain saja?" Tanya pak Tobing.

"Kadang menulis, juga ada beberapa kegiatan yang sifatnya annually."

"Misal?"

"Misal, ikut dalam pameran tahunan yang dibuat beberapa departemen terkait. Kadang juga ada pertemuan di kantor pusat yang harus saya hadiri."

"Lalu kalau untuk masyarakat sekitar bagaimana kontribusi kalian?"

"Sekarang sudah mulai bagus sih, om. Ada beberapa tempat yang memiliki semacam orangtua asuh, untuk kegiatan UMKM pertanian mereka. Jadi masyarakat diajak menanam misal serai wangi, atau jahe merah. Pihak perusahaan yang akan membeli, dengan harga wajar pastinya. Semacam kerja samalah.

Program itu cukup membantu masyarakat untuk meninggalkan kebiasaan mencari makan di wilayah kerja kami. Karena akhirnya mereka punya penghasilan tetap. Tinggal bagaimana mereka berpacu untuk lebih meningkatkan hasil produksi mereka."

"Wah, hebat. Sudah sejauh itu ya sekarang perkembangannya."

"Kalau boleh tahu, om dulu bekerja dibidang apa?"

"Saya dulu di PTPN. Perusahaan perkebunan milik negara."

"Luas tuh om wilayah kerjanya."

"Ya, lumayanlah. Tapi semua berubah sekarang. Sejalan dengan perubahan ekonomi dunia kan."

"Opung sama om Nico ngobrolnya makin buat aku nggak ngerti." Protes Daud.

Semua tertawa. Nico hanya mengelus rambut Daud yang duduk disebelahnya. Menimbulkan kehangatan dihati Vera. Apalagi saat melihat senyum lebar dibibir putranya. Selama ini Daud tak pernah lagi tertawa selepas itu.

***

Suasana tahun baru membuat Vera sangat sibuk. Sesuai tradisi keluarga besar.  Semua berkumpul di rumah orangtuanya. Sebagai putri dari pemilik rumah ia harus memastikan bahwa jamuan untuk para tamu masih cukup.

Vera yang sejak beberapa tahun terakhir tidak pernah lagi berkumpul. Mendapatkan banyak pelukan rindu. Ia sendiri ikut larut dalam suasana tersebut. Banyak pertanyaan ditujukan padanya, terutama tentang bisnisnya. Seperti.

"Namboru lihat kau live tiap sore. Tapi kok mahal-mahal kali harga tasmu. Tak terbeli kami lah yang orang tua ini."

"Memang segitu harganya namboru. Sesuai dengan kualitasnya kok. Kalau di aku, kujamin keasliannya."

"Kalau, ada yang murah, kau tawarkanlah sama namboru. Apalagi kalau ada berlian."

"Berlian sih banyak namboru."

"Aslinya itu?"

"Yang pasti jelas semua, asal usul, sertifikat dan receipt pembeliannya. Bisa dicek juga di internet. Jadi bisa dijamin keasliannya. Namboru mau apa memangnya dan harga berapa?"

"Ah, cincin ajalah. Tapi jangan lebih lima puluh juta ya. Kalau mahal kali, nggak ada uang namboru. Satu lagi, jangan yang berwarna."

"Nanti ku kabari ya namboru."

Atau ada yang menanyakan barang mewah lain.

"Eh, adekmu si Richard mau kawin di Jakarta. Di Balai Kartini pula katanya. Bisa kau carikan tas untuk Inang uda?"

"Inang uda mau yang bagaimana?"

"Yang ditenteng-tenteng ajalah. Jangan yang model lama kali."

"Mau harga berapa?"

"Nggak usah mahal kali, jangan sampai 20. Bisa?"

Vera segera membuka ponselnya dan menunjukkan beberapa.

"Ha, yang ini suka kali inang uda. Ini berapa?"

"Ini 26 inang tua."

"Bah, tak bisa kurang sikit?"

"Nggak bisa, udah murah ini. Karena kondisinya masih bagus kali. Lagian dijual segitu karena orangnya lagi butuh uang, inang uda. Biasanya ini sekitar 30an. Barunya sekitar 48. Seri ini baru keluar dua tahun lalu."

"Ya udah itu ajalah. Cocok pulak kurasa sama kebayaku. Sekarang kutransfer?"

"Boleh inang uda. Besok kalau adminku udah masuk. Kusuruh dipaketkannya."

"Makasihlah kalau gitu ya. Murah rejekimu ya."

Dari pagi sampai malam, tamu datang silih berganti. Juga para mantan rekan kerja papinya. Membuat Vera merasa bebannya sedikit terlupakan.

Malam, saat para pelayan membersihkan rumah, sang ibu menghampiri Vera.

"Banyak yang nanya jualanmu tadi ya?"

"Lumayan mi." Balas Vera sambil tersenyum.

"Kamu kekurangan modal?"

"Enggaklah mi, kebanyakan itu barang titipan. Jadi aku nggak keluar modal. Kecuali yang butuh uang banget dan jual murah."

"Apa cukup untuk biaya hidup kalian?"

"Cukup mi, namanya juga rejeki. Kadang bulan ini banyak. Bulan depan kurang. Tapi selalu ada kok."

"Syukurlah kalau gitu."

"Kok disini kalian?" Tanya papi yang tiba-tiba menghampiri.

"Lagi ngobrol pi."

"Ini sekalian, kami mau bicara. Papi sama mami kan sudah tua. Sudah tidak butuh apa-apa lagi.

Itu kan ada rumah yang di Utan Kayu.  Kau ambillah untukmu."

"Bukannya masih dikontrakkan pi?"

"Iya, tapi untuk tambah-tambah biayamu kan bisa."

"Nggak enak sama Bang Very dan bang Verdian pi."

"Nggak usah kau pikirkan orang itu. Di Medan sini kan rumah ada dua. Orang itu nanti, udah bisa satu-satu kan."

"Aku nggak enak pi."

"Udah nggak usah kau pikirkan. Biaya rumah kalian itu besar kali. Ada kolam renangnya pula."

"Aku sebenarnya sudah pernah ajak anak-anak pindah. Cuma mereka belum mau. Terlanjur betah pi."

"Pindah kemana kalian?"

"Ke rumah yang di Bintaro. Memang disana lebih kecil, waktu itu kupikir kan dekat dengan sekolah mereka. Tapi mereka nggak mau."

"Ya sudahlah, ikutkan aja dulu mau anak-anakmu. Kasihan mereka nanti."

"Iya, pi"

"Ya udahlah, biar kuhubungi udamu bapa Samuel. Supaya diurusnya sertifikat rumah yang diutan kayu itu."

"Makasih pi."

***

Tanggal dua, suasana rumah terasa sepi. Keramaian kemarin selesai sudah. Meski ada beberapa keluarga yang berjanji untuk datang hari ini.  Karena kemarin melaksanakan open house.

Vera masih sibuk di dapur. Menyiapkan kue-kue dan juga makanan utama. Beruntung persediaan cookies mereka masih cukup banyak.

"Mi, nastar yang kemarin mami buat masih ada sisa?" Tanya Daud.

"Ada dua toples lagi. Kenapa?"

"Mau aku bawa."

"Dibawa kemana, ud?"

"Tangkahan, kan pagi ini aku dijemput Om Nico?"

"Loh, kamu sudah janjian?"

"Sudah, nih aku udah siap-siap."

"Lyo?"

"Kak Lyo nggak ikut."

"Ya sudah, kamu sarapan dulu."

"Ok mi,"

Baru saja menjawab, terdengar bunyi klakson diluar sana.

"Itu pasti Om Nico." Teriak Daud. Ia langsung berlari menuju halaman.

Benar saja, tak lama pria  itu sudah muncul.

"Selamat pagi, Ver."

"Hei, Pagi Nic? Mau berangkat sekarang? Nggak kepagian?"

"Enggaklah, takut macet nanti. Kearah sana kan banyak yang jalan-jalan libur gini."

"Iya juga sih. Sarapan dulu aja, Nic. Itu Daud juga mau sarapan."

"Aku kebetulan sudah tadi di hotel."

"Loh, malam tahun baru nggak di Tangkahan?"

"Nggak jadi, teman ngajak turun ke Medan malam-malam."

"Yaah, om nggak ngomong. Padahal aku bete banget kemarin disini."

"Dauud," Vera berusaha mengingatkan.

"Om kira, kamu lagi sibuk ketemu keluarga."

"Keluarganya ibu-ibu sama bapak-bapak semua om. Ya males lah."

"Oh ya, mau kopi atau teh, Nic?"

"Kopi boleh, terima kasih."

Vera kemudian menyodorkan secangkir kopi dan sepiring Cinnamon Rolls.

"Saya sudah lama nggak makan Cinnamon Rolls."

"Itu buatan mami, om. Enak banget."

"Oh ya?" Nico mencoba sedikit.

"Iya, enak. Mami kamu pintar masak."

Vera sendiri akhirnya membawa tehnya dan mulai ikut bergabung di meja makan.

"Om sama tante dimana?"

"Tadi habis olahraga. Mungkin mandi. Karena hari ini masih ada tamu."

"Kamu mau ke Tangkahan juga?" Tanya Nico sambil menatap penuh harap.

Vera menatapnya kembali sambil tersenyum.

"Aku nyusul aja. Sekalian jemput Daud nanti."

Nico hanya mengangguk. Senyum Vera terasa lebih hangat daripada kopinya. Daud yang melihat perubahan diwajah kedua orang dewasa itu tersenyum penuh arti.

"Ya udah, aku ambil tas dulu ya om."

"Ok, Ud."

Vera kemudian kembali melangkah ke dapur. Dan kembali membawa satu kantong.

"Itu, apa?" Tanya Nico heran.

"Makanan kalian. Itu Daud suka makan. Nanti kamu repot."

Nico tertawa kecil.

"Sekalian, didalam ada rendang, ayam goreng dan ati ampela. Meski kalorinya cukup tinggi. Tapi lumayanlah untuk bekal kalian kalau malas masak."

"Nggak apa-apa sih. Disana kan nanti jalan kaki terus. Jadi butuh energi."

Vera hanya tersenyum. Rasanya nyaman berbicara dengan pria didepannya ini.

***

Happy sunday

Happy reading

10520

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top