6

Acara memotret sore itu membuat Vera menggelengkan kepala. Kedua anaknya tak berhenti berdebat.  Protes Lyo, teriakan Daud terdengar bergantian memenuhi ruangan.

"Lo lempar tasnya keatas kak."

"Daud, ini tas harga 58 juta. Gila aja kalau ada Hardwarenya yang kegores, lo mau ganti? Lo mah kalau mau motret, ya motret aja. Nggak usah aneh-aneh."

"Disitu seninya tahu. Lo mah, kagak ngerti seni fotografi."

"Ini tas juga nilai seninya tinggi. Lagian orang bukan cuma mikirin fotonya. Tapi kelengkapannya, minusnya, receiptnya, stampnya, bagian dalamnya."

"Ih, ribet kerja sama elo mah." Protes Daud.

"Nih, cepetan lo foto bagian dalamnya. Real picture ya. Jangan lo buat soft kayak tadi.."

"Iyaaaaa, bawel."

Vera tertawa melihat mereka. Keduanya kadang seperti musuh. Tapi selalu saling merindu. Tidak pernah bisa terpisahkan.

Mereka sudah bertambah besar. Dan sudah hampir dua tahun semenjak perceraian. Dulu, Vera bisa santai di rumah sambil mengurus mereka. Tapi waktu berlalu. Sekarang ia harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Ia tidak mungkin hanya mengharapkan uang tunjangan. Kebutuhan mereka cukup besar, terutama untuk rumah yang ditempati sekarang. Vera harus memutar otak agar semuanya cukup. Beruntung, mereka masih punya dua kendaraan hasil dari pembagian harta gono gini. Meski bukan tipe mewah seperti dulu. Tapi cukup untuk transportasi anak-anak kesekolah. Juga untuk dirinya sendiri.

Anak-anak juga semakin mandiri. Tidak sembarangan meminta atau memgeluarkan uang. Selalu mengutamakan kebutuhan prioritas. Mereka juga sudah bisa diajak berdiskusi. Vera bersyukur untuk itu semua. Meski  jarang bisa bertemu. Tapi anak-anak tetap menjaga kepercayaannya.

Keributan Lyo dan Daud masih terdengar. Tapi ia yakin, itu untuk kebaikan. Karena hasil foto tersebut akan semakin mengasah kemampuan Daud. Ia ingin kelak, anak laki-lakinya bisa bahagia dengan hobbynya.

Ia juga harus memaksimalkan penjualan sampai Desember. Untuk menutupi pe jualan Januari yang biasanya trendnya menurun. Karena itu, pekerjaan Daud sangat sangat membantu.

***

Hari ini pembagian laporan pendidikan Lyo dan daud. Vera sudah berada di sekolah mereka. Untuk Lyo, tidak ada kendala. Putrinya itu memang pintar. Daudlah yang memprihatinkan, nilainya merosot tajam. Cukup lama Vera harus berhadapan dengan wali kelas. Yang memberikan beberapa masukan untuk perkembangan putranya.

Selesai dari sana, ia memilih pulang. Rasanya sangat sulit untuk memperbaiki nilai-nilai Daud. Disaat sang anak justru terlihat tidak peduli. Vera kembali harus berpikir keras.

"Bagaimana raport mereka?" Tanya Karel malamnya.

"Lyo meningkat, tapi Daud jauh menurun. Ia turun dari peringkat dua menjadi dua puluh satu. Temen sekelasnya saja cuma ada dua puluh empat. "

"Kenapa bisa?"

"Kata gurunya Daud sulit berkonsentrasi. Dan selalu asal-asalan dalam mengerjakan tugas. Ia juga menjadi pemurung dan penyendiri."

"Apa mereka menginginkan sesuatu yang tidak kamu kabulkan?"

"Tidak, anak-anak tidak ada yang menginginkan sesuatu."

"Kutelfon, mereka nggak ada yang mengangkat. Aku ingin makan siang bersama  anak anak sebelum berangkat ke Eropa. Membicarakan nilai-nilai mereka disekolah."

"Temui mereka langsung, kalau telfon kamu tidak diangkat." Jawab Vera mencoba memberi saran.

"Besok mereka dimana?"

"Kalau pagi di rumah. Siang mungkin ikut aku."

"Aku akan kesana sebelum sarapan."

"Ya sudah, kalau jadi kabarin besok. Tapi kuharap Diana tidak ikut."

"Tidak."

***

"Sudah lama ya kita nggak makan berempat." Ucap Lyo lirih. Saat mereka semua duduk di meja makan. Tempat yang dulu selalu ramai setiap pagi.

Vera membuang pandangannya. Demikian pula Karel.

"Lo nggak usah mellow deh kak. Hidup itu bukan drama." Balas Daud pelan.

"Kita sarapan saja." Vera menghentikan pembicaraan mereka.

Karel meminum kopinya. Terasa nikmat karena sudah lama tidak merasakan kopi buatan Vera. Lyo dengan roti dan Daud nasi goreng.

"Kenapa nggak ada yang mengangkat telfon papi?" Tanya Karel saat acara sarapan sudah selesai.

Daud dan Lyo menunduk.

"Papi tawarkan kalian liburan bersama. Kenapa nggak ada yang mau? Lyo kan suka Swiss? Sengaja papi memilih liburan kesana."

"Lyo mau nemenin mami. Kangen juga sama opung."

"Daud?"

"Kan aku udah bilang, pengen belajar motret satwa hutan."

"Kita nggak punya kesempatan bersama kalau papi lagi di Jakarta. Karena papi sibuk bekerja. Papi kangen sama kalian. Ikut papi ya? Mumpung masih ada waktu untuk buat visa."

Keduanya serentak menggeleng.

"Kenapa?" Tanya Karel putus asa.

"Aku nggak suka sama tante Diana." Jawab Daud spontan.

Karel membuang nafas kasar.

"Kamu tidak bisa mengatur kehidupan papi Daud. Tante Diana sudah jadi istri papi. Kamu harus bisa terima."

"Karena aku nggak bisa terima, makanya aku nggak mau ikut." Jawab Daud sambil meninggalkan meja makan.

Anak laki-laki yang beranjak remaja itu menuju kolam renang dibelakang. Ia lantas membuka kaosnya dan langsung menceburkan diri.

Di dalam kolam renang, Daud memuaskan keinginannya untuk menangis sambil berenang. Tidak akan ada yang tahu kesedihannya. Ia sedang marah dan kecewa dengan kalimat papinya.

Karel hanya menatap dari pintu. Ia tahu Daud menangis. Namun tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak mungkin kembali pada masa lalu. Akhirnya pria itu pulang setelah mentransfer sejumlah uang untuk biaya liburan kedua anaknya.

***

Tanggal tiga puluh Desember, menggunakan pesawat pertama. Vera, Lyo dan Daud sudah tiba di KNO. Ketiganya tampak mendorong koper masing-masing. Sang ibu membawa dua koper besar, karena sekaligus berisi tas dan sepatu pesanan pelanggannya.

Supir keluarganya sudah menunggu mereka. Orangtuanya sendiri tinggal dipusat kota medan. Yang letaknya cukup jauh dari bandara.

Saat ketiganya sampai,  seorang pria  yang sudah lanjut usia menunggu mereka.

"Halo opung," teriak Lyo dan Daud.

"Halo, orang Jakarta. Sudah sampai kalian?" Sahut pak Tobing.

"Sudah, opung boru masak apa?"

"Adalah, tengok di dapur sana nanti." Jawab Pria berusia Enam puluh sembilan tahun itu.

Sang ayah kemudian memeluk putri tunggalnya Vera dengan erat.

"Sehat kamu boru?"

"Sehat, pi. Papi?"

"Sehatlah, nggak kau tengok papi belum perlu pakai tongkat."

Vera tertawa lebar dalam dekapan ayahnya. Sumber kehangatan yang tak pernah habis, meski dunia kadang membuatnya menggigil.

Keduanya berjalan memasuki rumah.

"Bang Very sama Bang Verdian nggak pulang pi?"

"Enggak katanya. Kalian mau malam tahun baru disini kan?"

"Rencana anak-anak mau ke Tangkahan. Tapi disini dulu lah. Aku masih rindu sama papi."

"Vera." Teriak maminya.

"Mami, aku kangen." Teriak Vera sambil memeluk erat ibunya.

"Mami juga, sehat kan?"

"Sehat mi,"

Lama maminya menatap. Air mata segera menggenang dimata perempuan tua itu.

"Udah ah, mami jangan nangis. Aku baik-baik saja."

"Ya, fokus kemasa depan ya sekarang."

Vera hanya mengangguk.

***

Vera tengah memisahkan beberapa tas, sepatu dan jam tangan sesuai dengan nama pemiliknya. Memeriksa kembali surat kelengkapan yang menyertainya. Beberapa yang memiliki box, dimasukkan secara rapi. Dibantu oleh Lyo, pekerjaan mereka jadi jauh lebih mudah.

Tinggal menulis alamat sekarang. Namun kegiatannya terganggu oleh panggilan dari Nico.

"Halo."

"Hai Nic,"

"Kalian dimana?"

"Sudah di medan. Kamu?"

"Lagi ngopi sama teman-teman di Hermes place."

"Kapan balik ke Tangkahan?"

"Rencana nanti sore. Mau sekalian?"

"Aku mau sama papi dulu. Mungkin setelah tahun baru kesana."

"Ya sudah kalau begitu. Aku tunggu kalian disana."

Vera meletakkan ponselnya saat Daud masuk dengan segelas es buah ditangan.

"Siapa mi?"

"Om Nico."

"Kita jadi ke Tangkahan?"

"Enggak, nanti setelah tahun baru."

"Ya... Nggak asik. Tahun baru pasti banyak tamu. Aku males ah."

"Masak nggak mau sama mami dan opung?"

"Ayolah mi, aku duluan aja sama Om Nico."

"Nggak boleh,"

"Ih, mami galak kayak papi."

"Kamu nggak mungkin kesana sendirian. Siapa yang mau urus kamu. Yang masakin. Itu hutan loh Daud."

"Ya ampun mi, banyak minimarket sepanjang jalan. Terus mami pikir orang yang disana makan apa? Daun sama semut?" protes Daud.

"Mami bilang enggak, sudah pasti enggak!"

"Aku telfon Om Nico sendiri aja deh."

"Ngapain?"

"Aku bosan disini. Lagian kan kita janjinya ke Tangkahan lihat gajah sama burung. Kalau di rumah mah, apa bedanya sama di Jakarta." Omel Daud sambil keluar kamar.

Ibunya hanya menggelengkan kepala.

***

Vera baru saja menyelesaikan pengiriman paket terakhir, saat sebuah mobil berhenti di luar pagar tinggi.

"Nico?" Ucapnya tak percaya saat melihat laki-laki tersebut turun dari kendaraannya.

"Hai?"

"Kok kamu tahu, rumahku?"

"Dari Daud, dia minta aku kemari tadi."

Perempuan itu menoleh kearah belakang. Dan melihat putra bungsunya tengah berdiri didepan pintu. Bersama papinya! Akan ada wawancara besar-besaran setelah ini. Awas kamu Daud! Bisik Vera dalam hati, sambil menatap tajam pada putra bungsunya.

Mau tidak mau, Vera mempersilahkan tamunya masuk. Dan benar saja, papinya langsung menginterogasi Nico, setelah perkenalan singkat mereka.

Pak Tobing,  bertanya dengan gaya khas bataknya.

"Kamu kerja dimana?"

"Di NGO om."

"Di bidang?"

"Lingkungan hidup, pelestarian satwa langka lebih tepatnya."

"Wah hebat." Pria tua itu tampak menggeleng-gelengkan kepala.

"Hebat sekali pung. Om Nico sudah hampir keliling seluruh Indonesia. Bahkan katanya di Papua ada Kangguru." Celetuk Daud.

"Oh ya? Lalu kesini dalam rangka liburan?"

"Kebetulan ada beberapa teman dari luar yang ingin berwisata ke Leuser om. Saya juga sudah lama tidak ke Tangkahan. Sekalian sih."

"Om kepengen ngobrol-ngobrol tentang penangkaran itu sebenarnya. Tapi sepertinya kita sudah harus makan. Makan malam disini kita ya Nico."

"Maaf om, jadinya saya merepotkan."

"Nggak lah. Mana ada itu. Opungnya si Lyo sudah masak. Sekalian tadi menyambut orang ini. Aku mandi dulu kalau gitu. Kau main lah sama anak-anak. Entah mau bicara sama Vera. Nggak tersinggung kau kan?"

"Sama sekali enggak om." Jawab Nico sambil tertawa.

Vera hanya tersenyum dibalik pintu. Beruntung papinya tidak bertanya yang aneh-aneh.


Happy reading

Maaf untuk typo

8520

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top