2

Vera memasuki ruang pameran sore itu. Daud meminta dijemput disini. Sebuah pameran tentang kehidupan satwa liar Indonesia. Yang hampir punah akibat perusakan hutan dan pemburuan gila-gilaan.

Putra bungsunya sedang tergila-gila pada seni fotografi. Terutama satwa. Ini bukan kali pertama Vera dipaksa untuk menjemput. Beruntung jam kerjanya sangat fleksible. Sehingga bisa punya waktu luang.

Perempuan itu memperhatikan foto berukuran besar tersebut satu persatu. Ia bisa menangkap kesedihan dimata objek foto yang terpampang. Wajah orang utan, Gajah, harimau sumatera, Anoa, dan beberapa yang tak diketahui namanya. Karena memang ada hewan yang terlihat mirip.

"Yang difoto itu namanya Santi. Gajah betina yang hidup di penangkaran Tangkahan." Sebuah suara tiba-tiba ada dibalik tubuh Vera.

Perempuan itu menoleh. Menemukan sesosok pria berbalut kemeja berwarna grey yang hampir pudar. Dipadu jeans berwarna biru tua. Sejenak ia terpana pada tubuh berotot tersebut. Tampilannya sangat sederhana. Namun terlihat cerdas.

"Sorry," balas Vera, bingung mau menjawab apa.

"Kenalkan saya Nico, kebetulan saya pernah bekerja disana. Dan saya mengenal gajah tersebut secara pribadi." Pria itu menjelaskan dengan santai.

Kemudian menyodorkan tangannya, Vera menyambut uluran tangan tersebut.

"Saya Vera."

"Saya Nico."

"Anda pemerhati Fauna?"

"Sebenarnya tidak, saya datang mau menjemput anak saya. Dia kemari bersama teman-temannya. Tapi saya penikmat fotografi."

Pria itu mengangguk.

"Apa Santi masih ada?"

"Ya, saat ini dia tengah hamil. Foto itu diambil dua tahun yang lalu."

"Artinya anda sangat mengenalnya."

"Bisa dibilang begitu, tapi jangan tanya saya siapa ayah bayinya. Karena jawabannya pasti saya tidak tahu."

Vera tertawa terbahak-bahak. Disusul pria bernama Nico itu. Sudah lama ia tidak merasa lepas seperti ini.

"Mau minum?" Tanya Nico.

"Boleh." Balas Vera ringan.

"Apa anda membawa botol minuman?" tanya pria itu lagi.

"oh, ada. Untuk apa?"

"Panitia sedang mengkampanyekan green World. Jadi disini tersedia minuman. Tanpa gelas plastik atau sejenisnya."

Vera menyerahkan botol minumannya yang sebenarnya telah kosong. Pria itu beranjak ke sudut ruangan. Kembali membawa dua botol. Bisa dipastikan satu adalah milik laki-laki tersebut.

Mereka berkeliling sambil terus mengobrol.

"Yang ini orang utan di penangkaran Tanjung Puting. Ada wakil relawan mereka juga disini."

"Anda relawan juga?" tanya Vera.

"Bisa dibilang begitu, tapi selain itu saya juga menulis. Anda?"

"Kebetulan saya punya usaha sendiri, tapi sangat jauh dari bidang ini."

"Maaf, rasanya wajah anda cukup familiar untuk saya." Ujar laki-laki tersebut.

"Mungkin anda pernah melihat saya di media."

"Oh, ya mungkin."

Keduanya melangkah menuju area lain.  Sambil terus bercakap-cakap.

"Anda bilang tadi sering ke Tangkahan. Apa itu berarti anda sering ke Medan?" Tanya Vera.

"Ya, pasti. Kenapa?"

"Kebetulan saya orang Medan."

"Tapi bisa jadi sih, saya lebih sering pulang ke kampung anda daripada anda sendiri."

Kembali keduanya tertawa. Perempuan itu mengakui kebenaran dari kalimat pria tersebut.

"Selain Tangkahan, kemana lagi?"

"Sekarang saya juga sedang mengawasi populasi Harimau Sumatra. Yang jumlahnya tidak banyak lagi, diperkirakan kurang dari enam ratus ekor."

"Saya sudah pernah dengar, tapi nggak tahu kalau sudah separah itu." Vera menanggapi penjelasan Nico dengan nada kecewa.

"Ya, Negara kita sebenarnya rumah bagi banyak satwa langka. Meski perhatian masih banyak tertuju pada Badak, Harimau Sumatera, Gajah. Tapi sebenarnya masih banyak lagi hewan yang perburuannya gila-gilaan. Yang sangat mengancam keberadan spesies mereka."

"Misal?"

"Pesut sungai Mahakam, dan juga perburuan Hiu terbesar di dunia ada di Indonesia."

Vera mengangguk tanda mengerti.

"Lalu yang kalian lakukan?"

"Pihak kami berusaha untuk bekerjasama dengan polisi kehutanan dan pihak terkait untuk mengamankan zona-wilayah yang menjadi habitat mereka. Mengedukasi masyarakat sekitar untuk membedakan zona konservasi dan lahan perladangan atau penangkapan ikan. Masih banyak lagi sih sebenarnya."

Vera terdiam, ternyata banyak yang ia tidak tahu. Mereka masih berkeliling sampai tiba-tiba Daud menghampiri.

"Mami sudah lama?"

"Lumayan. Kamu sudah selesai?"

"Sudah, kita pulang yuk, mi. Tapi ada temanku yang nebeng. Boleh ya?"

"Boleh, searahkan?"

"Iya,"

"Oh ya, kenalkan. Ini Om Nico, dia salah seorang relawan."

"Udah kenal mi, tadi aku malah udah banyak tanya-tanya. Nanti kalau libur kita ke Tangkahan ya?"

Vera hanya mengangguk. Kemudian pamit. Nico melepaskan mereka. Dari jauh pria berusia tiga puluh lima tahun itu hanya menggelengkan kepala.

***

Daud dan Lyona tengah makan siang bersama Karel, ayah mereka. Sayang kali ini Diana mengikuti. Jadilah keduanya lebih sering diam dan hanya berbicara saat menjawab pertanyaan.

Sementara Diana sang istri muda memotret kegiatan mereka. Kemudian mengupload melalui instagramnya. Ini adalah kegiatan yang sangat ditunggu. Karena bisa memberikan citra, bahwa hubungan mereka semua baik-baik saja. Bukan seperti banyak rumors diluar sana.

"Bagaimana sekolah kalian?" tanya sang ayah.

"Baik, pi."

"Uang sekolah sudah ditransfer mami?"

"Sudah." Kembali keduanya menjawab bersamaan.

"Apa kalian mau membeli sesuatu?"

"Nggak."

"Mainan atau pakaian baru misal?"

"Nggak, pi."

Kembali Karel terdiam. Pria itu menarik nafas panjang. Sangat sulit berkomunikasi dengan mereka sekarang,

"Papi punya hadiah buat kalian berdua." Ucap lelaki setengah baya itu akhirnya sambil melirik sang istri.

Diana menyerahkan dua buah paper bag, yang dari luar saja sudah terlihat jelas apa isinya. Dua buah Iphone jenis terbaru.

"Kalian suka?" Tanya Karel sambil tersenyum lebar.

"Suka." Jawab kedua anaknya. Mereka menatap sekilas pada benda itu. Kemudian kembali menekuni makananya.

"Kegiatan Lyona apa saja sekarang?" Tanya sang ayah yang tetap berusaha memancing kedua anaknya untuk berbicara.

"Biasa aja, masih sekolah. Dan bantu mami dibutik."

"Kata teman tante, kamu juga jualan ya." Diana mencoba bergabung.

"Iya tante, tapi buat yang remaja. Low brand."

"Kamu butuh tambahan modal?" tanya Karel dengan bersemangat.

"Nggak usah, masih nebeng sama mami kok. Lagian belum terlalu serius. Karena sibuk di sekolah."

Kembali pria itu membuang nafas, namun sangat pelan.

"Daud?"

"Lagi senang fotografi."

"Mau papi belikan kamera?"

"Belum, nggak usah dulu. Kamera yang di rumah juga masih bagus."

"Atau lensa?"

Daud menggeleng. Sampai kemudian makanan mereka benar-benar habis.

"Pi, aku sama Daud pamit dulu. Mau les habis ini." Ujar Lyona.

Sang ayah menarik nafas dalam. Tanda kekecewaan yang tak terucap.

"Ok, baik-baik ya. Kalian pulang naik apa?"

"Taksi aja."

Karel mengeluarkan uang dari dompetnya.  Membagi menjadi dua kemudian menyerahkan pada kedua anaknya. Lyo menerima, namun Daud menolak.

"Aku sudah dikasih mami. Masih cukup." Tolak putra bungsunya.

***

Daud masih menunggu taksi, saat melihat Nico berjalan keluar dari mal.

"Om Nico." Teriaknya.

Pria lajang itu menoleh,

"Hei, ngapain kamu disini?"

"Habis makan siang sama papi. Om ngapain?"

"Makan siang sama teman. Terus sekarang?"

"Nungguin taksi om."

"Mau kemana?"

"Aku mau pulang."

"Om antar mau? Tapi naik motor."

Anak yang beranjak remaja itu membuka matanya lebar. Memberikan kesan kalau itu adalah ajakan yang sangat menggembirakan untuknya.

"Mau, naik motor apa?" tanya Daud penuh semangat.

Nico memberi isyarat untuk mengikutinya. Kemudian Daud terbelalak, tak percaya. Di depannya kini ada Honda ABS Racing Red. Motor yang selama ini hanya dilihatnya di pameran bersama teman-temannya.

"Wow, keren banget om."

Nico hanya tersenyum, kemudian menyerahkan sebuah helm padanya.

"Om bawa dua helm?"

"Tadi ada teman om yang menumpang. Jadi om bawa dua."

Dengan penuh semangat Daud mengenakan helm full face keluaran ZEUS. Kemudian ikut menaiki motor tersebut.

"Rumah kamu dimana Daud?" tanya Nico.

Daud menyebutkan alamatnya. Motor itu dengan lincah segera membelah jalan raya.

***

Vera tengah membersihkan wajahnya, saat Daud memasuki kamar.

"Mami lagi ngapain?"

"Bersihin muka, kenapa dek?"

"Aku tidur disini ya?"

"Kan kamu punya kamar sendiri."

"Aku mau nemenin mami."

Perempuan itu tertawa.

"Pasti adek mau ngomong sesuatu."

Lama putranya menatap sang ibu.

"Aku sebel, kalau lagi jadwal makan sama papi, terus tante Diana ikutan."

Vera meletakkan kapasnya. Wajah Daud terlihat kecewa.

"Kamu nggak bisa mengatur kehidupan orang lain. Apalagi papi kamu." Kembali perempuan itu mencoba memberi pengertian.

"Tapi bisa kan kalau tante itu nggak ikut."

"Ya kamu dong yang protes ke papi. Mami nggak berhak. Hubungan mami dan papi hanya dalam hal membesarkan kalian."

"Ah, mami nggak beda sama kak Lyo."

"Tadi papi kasih kalian apa?"

"Iphone 11. Kenapa?"

"Seharusnya kamu senang kan? Katanya kepengen punya itu."

"Nggak menarik lagi. Oh ya mi, besok aku berenang ya sama teman-teman."

"bukannya dibelakang ada kolam berenang?"

"Mau ke water boom. Mami Cuma harus nambahin sedikit kok?"

Sang ibu menatap curiga. Daud tidaklah sehemat Lyo.

"Dapat uang dari papi?"

"Enggak."

"Terus?"

"Menghemat ongkos taksi."

"Kok bisa?"

"Tadi kan Kak Lyo langsung ke toko. Terus aku mau pulang. Eh ketemu om Nico. Jadi dianterinlah aku pulang."

"Kamu itu bikin repot orang aja."

"Aku nggak minta diantar kok mi. Dia tawarin."

"Kamu kan bisa nolak."

"Sekali ini nggak bisa mi. Kapan lagi coba aku naik Honda ABS. Pakai helm full face lagi. Aku tuh berasa keren banget loh mi. Kayak pembalab. Bener!"

Vera menertawakan wajah putranya yang terlihat sangat bahagia. Ia tahu dari dulu Daud memang ingin naik motor. Tapi mana mungkin Karel mengijinkan? Mantan suaminya sangat trauma terhadap kendaraan tersebut.

"Mi, gimana uang tambahannya?"

Vera mengangguk. "besok pagi ya,"

Daud segera merebahkan tubuh didekat maminya. Kemudian memijit kaki wanita itu.

"Kamu mau apalagi?"

"Mi, aku kepengen deh makan mie goreng."

"Perut kamu itu loh dek."

"Ayolah mi, aku lapar."

"Mami malas ah,"

"Please, aku kangen masakan mami. Tadi aku makannya nggak enak disana. Apalagi Tante Diana foto-foto melulu."

Vera hanya menggelengkan kepala. Kemudian bangkit, disusul Daud  berteriak girang. Yang segera menghadiahinya sebuah ciuman dipipi. Ibu mana  akan menyangkal, kalau ciuman spontan dari anak laki-laki yang berangkat remaja, bisa melepas lelah satu harinya.



***




Selamat hari minggu

Cerah sekali hari ini.

03520

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top