10
Karel menatap kedua putra putrinya. Kulit mereka masih sedikit gelap. Bahkan rambut Daud terlihat kecoklatan. Namun wajah keduanya tampak masih bahagia. Terutama Daud.
"Video kamu bagus, Ud." Puji Karel membuka percakapan mereka.
"Oh ya? Aku edit sendiri loh pi."
"Kamu berbakat. Mau ikut kursus editing?"
"Enggak ah, itu cuma hobby aja. Nantilah kalau libur."
"Lyo bagaimana?"
"Udah mulai sekolah."
"Mau kuliah dimana nanti⁹?"
"Dia sih, Kedokteran harga mati pi." Timpal Daud
"Kamu mau jadi dokter?"
"Loh kan papi tahu cita-citaku dari dulu. Masak lupa sih?" Protes Lyo.
Karel hanya mengangguk. Sebenarnya ia tidak lupa. Hanya tidak tahu harus menanyakan apa.
"Daud mau lanjut dimana?"
"Udah daftar di CC dari november kemarin. Udah lulus juga."
"Yakin mau disana? Nggak mau ke sekolah internasional?"
"Nggak ah, kata mami disitu bagus. Ada temenku yang kesitu juga."
"Mami kamu belum ada nanya papi soal uangnya."
"Ya mungkin berarti mami punya uang. Atau mami pernah ngomong, papi yang lupa." Tanya Daud balik.
"Nanti papi akan coba ngomong sama mamimu."
Diakhir pertemuan, pria itu menyerahkan dua buah paper bag kepada anak-anaknya.
"Oleh-oleh papi buat kalian."
"Thank you, pi." Jawab mereka bersamaan.
***
"Daud sudah daftar SMP?" Tanya Karel dimalam harinya.
"Sudah, di Kanisius."
"Kok kamu nggak ngomong?"
"Anaknya mau kesana. Ya sudah kudaftarkan. Lagian kamu juga dulu disana kan?"
"Maksudku kamu nggak ngomong biayanya?"
"Aku lupa, kayaknya waktu dia mau ulang tahun itu. Sorry, ketika itu sedang banyak masalah. Tapi pendaftaran sekolah tidak bisa menunggu kan?"
"Sudah kamu bayar biayanya?"
"Yang, kewajiban sudah. Nggak tahu kalau nanti ada lagi. Tunggu pemberitahuan saja."
"Kabari aku, jangan sampai nanti aku dituduh tidak memenuhi kewajibanku."
Vera tertawa. "Kamu kenal aku, Rel. Dan aku tidak akan melakukan itu."
Pria diseberang sana menarik nafas dalam.
"Kamu bagaimana kabarnya?"
"Baik, oh ya aku mau cek tas dulu ya, Rel. Aku lumayan sibuk malam ini." Jawab Vera kemudian berusaha mengalihkan pembicaraan.
Ia malas kalau harus berbasa basi dengan mantan suaminya. Karel hanya bisa pasrah.
***
Nico baru saja pulang dari turun dari pesawat saat ponselnya berdering. Dari Vera.
"Hai,Ver?"
"Dimana?"
"Baru landing. Kamu?"
"Masih ditoko. Kamu ada janji ya sama Daud?"
"Iya, kami mau naik sepeda di CFD besok."
"Pantes, tadi pagi dia sudah sibuk ngurusin sepedanya. Biasanya cuma tergantung di garasi."
"Kamu mau ikut?"
"Nggak ah. Aku di rumah aja."
"Ngapain?"
"Biasa, masak. Anak-anak sudah banyak permintaannya. Oh ya, kalian makan siang di rumah ya."
"Siap, terima kasih undangannya."
Nico melangkah ringan menuju ruang pengambilan bagasi. Memperhatikan banyak orang yang tampak sibuk. Ia tengah menimbang sesuatu untuk besok.
***
Vera masih sibuk di dapur saat Lyo menghampiri.
"Mami masak apa?"
"Ini Daud minta panada sama sup tomat. Kamu kan sudah berapa hari lalu minta dimasakkan rendang?"
"Mau Lyo bantu?"
"Ini kamu aduk rendangnya. Sesekali aja, nanti kalau keseringan takut dagingnya hancur. Mami mau isi panada."
Lyo mengangguk, dan segera melakukan perintah maminya.
"Daud sama om Nico ya mi."
"Iya,"
"Memangnya kapan om Nico di Jakarta?"
"Kemarin katanya."
"Mami sering telfonan sama om Nico sekarang?"
"Lumayan, kenapa?"
"Mami lagi naksir dia nggak sih?" Selidik Lyo.
Vera menatap putrinya sejenak.
"Enggak sih. Kenapa?"
"Mami yakin?"
"Belum tahu. Menurut kamu?"
"Ya terserah mami."
"Kamu nggak kemana-mana hari ini?" Bera mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Enggak."
"Kemarin jadi ketemu papi?"
"Enggak, papi kan lagi punya bayi. Dia batalin katanya ada pemotretan dengan bayinya." Jawab Lyo sedih.
Vera menghembuskan nafasnya.
"Kamu kecewa?"
"Udah keseringan. Jadi biasa aja."
Keduanya kembali terdiam.
"Daud liburan kemana naik kelas ini, mi?"
"Mami nggak tahu, dia belum ngomong apa-apa sama mami."
Lyo hanya mengangguk.
***
Letih bersepeda, keduanya kini tiba dikediaman Vera. Setelah memarkirkan sepeda, mereka memasuki ruangan.
"Mamiiiiii...." teriak Daud.
Lyo yang tengah menyiapkan ruang makan membalas.
"Mami lagi mandi."
"Tumben belum mandi."
"Nah elo, minta dimasakin macem-macem."
Daud mencomot sebuah panada yang terlihat masih hangat.
"Enak nih buatan mami." Ayo om dimakan."
Nico mengikuti, ia sudah mulai terbiasa dengan keluarga ini. Kemudian duduk di sofa.
Tak lama, Vera yang baru selesai mandi keluar dari kamar.
"Sudah pulang Nic? Daud mana?"
"Sudah, lagi mandi katanya."
"Kamu mau mandi? Itu ada ruang tamu kosong."
"Boleh deh, panas sekali diluar sana."
"Sebentar ya aku ambilkan handuknya."
"Nggak usah Ver, aku ada bawa kok." Tolak pria itu.
Setelah menunjukkan letak kamar mandi, Vera kembali ke dapur. Dan cukup kaget saat melihat Panada yang tadinya berjumlah dua puluh itu, hanya tersisa tujuh buah.
"Kamu makan berapa panadanya, Ud?"
"Lupa mi. Tapi aku udah kenyang. Om Nico mana?"
"Lagi mandi."
Daud akhirnya duduk menemani ibunya di sofa. Sambil menonton sebuah film anak-anak.
"Gimana sepedaannya?"
"Asyik, ketemu temen juga tadi. Tapi mereka sama keluarganya. Untung aku sama om Nico. Jadi nggak malu banget."
Jawaban putranya cukup menyesakkan Vera.
"Kamu kangen papimu?"
"Enggak," jawab Daud sambil menggeleng.
"Ini nggak ada hubungannya dengan papi." Putranya mencoba menyangkal. Meski Vera tahubkalau ia berbohong.
Pintu kamar tamu terbuka, dan disana sudah ada Nico dengan pakaian rumahannya.
"Om, jadi ajarin aku edit yang kemarin?"
"Makan siang dulu Daud, siapa tahu om kamu sudah lapar."
"Aku makan panada, tiga. Jadi lumayan kenyang, Ver."
"Berarti Daud makan sepuluh?" Tanya Vera tak percaya.
"Aku kan masa pertumbuhan mi. Jadi wajar kalau makan banyak." Daud berusaha membela dirinya.
"Perut kamu itu loh Ud."
"Ya udah, ayo om. Katanya mau ajarin aku edit."
"Aku sama Daud dulu ya ver." Pamit pria itu.
Vera hanya mengangguk. Akhirnya kedua anaknya mengerubungi dengan membawa video masing-masing. Sibuk bertanya ini dan itu.
Perempuan itu hanya menatap mereka. Sudah beberapa bulan, pemandangan seperti itu hadir di rumahnya. Semenjak mereka pulang dari Medan. Entah bagaimana cara Nico memasuki kehidupan mereka. Vera tidak tahu.
Meski Nico sibuk, namun saat hari minggu seperti ini. Ia akan meluangkan waktunya untuk anak-anak Vera. Dengan catatan pria itu berada di Jakarta.
Vera tahu, ada sisi hatinya yang menghangat. Terutama setelah semakin mengenal sikap Nico yang justru terlihat kebapakan. Ia mampu menjadi teman bagi Daud dan Lyo.
Tanpa setahu kedua anaknya. Kadang mereka menghabiskan waktu sambil mengobrol dimalam hari. Vera bebas menceritakan apa saja. Dan Nico akan menjadi pendengar yang baik untuk segala keluh kesahnya. Sejauh ini semua baik-baik saja.
Perempuan itu melirik jam dinding yang sudah menunjukkan waktu hampir pukul dua siang. Sementara ketiganya hanya menjawab sebentar mi, kalau ia mengingatkan untuk makan. Akhirnya Vera bangkit dan mendekati mereka.
"Kalian mau mami ke toko untuk cek barang, atau makan sekarang!"
Ketiganya segera menghentikan kegiatan mereka.
"Makan sekarang!" Jawab mereka bersamaan setelah mendengar ancaman itu.
Segera mereka duduk dikursi masing masing.
"Aku suka masakan mami. Kalau om Nico?" Tanya Daud.
"Ah, elo mah. Masakan siapa juga doyan. Sok ngomong masakan mami." Lyo menimpali.
"Gue nanya om Nico." Protes Daud.
"Makanan yang pertama kali kita makan adalah masakan ibu kita. Dan citarasa itu akan terbawa sampai kapanpun. Jadi lidah kita akan selalu merindukan masakan ibu. Sampai tua bahkan."
"Om juga begitu?"
"Ya, kalau om pulang. Om juga akan minta ibu om untuk masak sayur lodeh."
"Tuh kan, artinya bukan cuma gue Lyo."
"Elo mah, langsung seneng deh ada yang bela." Protes Lyo.
"Tanya sama mami kamu. Masakan siapa yang akan selalu ia rindukan?" Nico menengahi.
Vera menjawab sambil tersenyum.
"Opung boru. Terutama semur ayamnya."
"Dan aku akan selalu kangen sama rendang mami." Jawab Lyo akhirnya.
***
"Sorry Nic, anak-anak dari tadi mengganggu kamu." Ujar Vera saat mengantar Nico yang hendak pulang.
Hari sudah sore, saat kegiatan Daud dan Lyo selesai.
"Nggak apa-apa. Aku suka. Lagian libur gini. Aku juga nggak ngapa-ngapain di apartemen."
"Tapi kadang mereka nggak mau tahu kalau kamu capek. Terutama Daud."
Pria itu tertawa lebar.
"Aku sudah pernah bilang, itu pengalihan yang baik. Daripada mereka lebih merindukan bersama teman-temannya. Dan kamu kebingungan mencari dimana mereka? Kan lebih baik kalau mereka menghabiskan waktu di rumah. Aku juga selalu libur kok setiap akhir pekan."
"Jujur, dulu aku sering berpikir, kalau Karel tidak ada. Kepada siapa mereka akan belajar tentang sesuatu yang tidak aku ketahui. Karena aku paling nggak tahu tentang teknologi. Dan sekarang malah ada kamu."
"Tuhan akan mengirim seseorang pada saat yang tepat bukan?"
"Kamu bisa banget." Balas Vera sambil tertawa.
"Ver,"
"Ya?"
"Boleh aku nanya?"
"Tanya aja."
"Apa aku boleh mengenal kamu lebih dekat?"
***
Happy reading
Maaf untuk typo
13520
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top