♤ILU♤ : 4

Kelak di bawah semburat senja, akan ada tatap yang belum sempat ku bayangkan

Ketika waktu menyingkap tabir, tentang dia yang tertulis

Kelak dibawah rintik hujan, akan ada tangan yang meneduhkan.
Ketika rinai tak jua berhenti luruh

Bukankah indah
Bertemu wajah yang tak sempat sekalipun terbayang

Bukankah indah
Berjumpa dia yang telah di tetapkan

Ahh...jika begitu, menunggu lama janjinya pun aku bersedia.

(Elena Wijaya)

Elena meletakan pen yang sedari tadi di pakaianya untuk curat coret di kertas.

Tatapan matanya nanar melihat hasil tulisannya sendiri, dadanya terasa semakin sesak mengingat rumah tangganya yang berantakan. Masih segar dalam ingatan bagaimana rasa kecewa dan sakit hatinya karena penghianatan.

Dan sekarang bolehkah Elena berharap dan bermimpi. Bermimpi mendapatkan seorang pendamping yang setia, yang bisa di jadikan panutan untuk dirinya dan juga putri kecilnya.

Mengingat tentang Aline membuat Elena mengerang frustrasi.
Putrinya yang selalu menanyakan keberadaan ayahnya dan selalu mengharapkan kehadirannya.

Namun apa daya orang yang selalu di rindukan Aline tidak pernah peduli. Jangankan menemuinya menelepon saja dia tidak pernah, putrinya yang malang.

'Tok tok tok'

"Mamiihhh!"

Elena tersadar dari lamunan panjangnya, dia langsung mengusap wajah dan menarik nafas dalam-dalam.

"Yes, sweet heart?"

"may I come in? Mamih," Suara cempreng anaknya kembali terdengar dari luar.

"Tentu saja sayang."

Aline membuka pintu dan langsung menerobos masuk lalu menatap maminya.

"Mamih lagi apa?" Aline menaiki tempat tidur dan merangkak mendekati Elena.

"Hanya tiduran saja, kenapa anak mami belum tidur?"

Aline mengerjapkan kedua matanya, terlihat sangat lucu dan menggemaskan.

"Aline mau tidur sama mamih,"

"Baiklah princess, waktunya kita bobo." Elena menarik putrinya dan memeluknya dengan sayang.

Aline tertawa karena merasa geli begitu jari-jari Elena menyentuh kulitnya.

Setelah putrinya tidur Elena langsung bangun dan turun dari atas ranjang.

"Maafkan mami, sayang!" Ucapnya dengan suara lirih.

Hari demi hari berlalu, minggu berganti bulan, tidak terasa Elena dan putrinya sudah hampir setahun tinggal di Indonesia.

Bukan hanya kehidupannya yang sudah mulai terlihat normal, tapi hati dan pikirannyapun ikut membaik.

Perlahan tapi pasti, Aline sudah jarang sekali menanyakan keberadaan ayahnya. Mungkin karena seringnya berinteraksi dengan sang Opah dan juga Omnya yang selalu rutin mengajak dia bermain dan jalan-jalan.

Walaupun kehidupannya terlihat normal dan bahagia, tapi siapa yang tahu apa yang dia rasakannya.

Orang melihatnya hidup senang bergelimang harta walau tanpa suami dia masih bisa bahagia.

Tetapi kenyataannya harta yang melimpah tidak membuat hidupnya menjadi bahagia dan sempurna.

Pagi hari seperti biasa Elena menyiapkan sarapan untuk putrinya dan juga membuatkan bekal untuk di bawa ke sekolah.

"Pagi mamih," Aline datang berlari dan langsung duduk di kursi makan.

"Pagi sayang, susunya di minum dulu ya!"

"El adikmu tadi telepon, suaminya tidak enak badan jadi tidak masuk kantor." Tuan Wijaya menatap putri sulungnya yang masih sibuk menyiapkan makanan.

"Si Cris bisa sakit juga?" Jawab Elena tak acuh.

"Om juga manusia mamih!" Sahut putrinya dengan suara ketus.

Elena memutar bola mata malas. "Iya yaa!" Ucapnya dengan malas.

"Jadi ... aku di suruh ngapain Pah?" Elena menoleh pada papanya.

"Cris bilang hari ini ada pertemuan di kantor, kamu gantikan dia. Nanti ada asistennya yang menemani,"

Elena terdiam sesaat, kemudian mengangguk. "Baiklah aku ke kantor setelah mengantar Aline ke sekolah."

"Berhati-hatilah. Kenapa tidak pakai sopir saja El?" Mamanya ikut buka suara.

"Ribet mam, enakan juga nyetir sendiri,"

"Terserah kamu saja, yang penting selalu berhati-hati, jangan teledor!"

"Iya mam! Aline, habiskan sarapannya kita pergi pagian."

Aline hanya melirik sekilas kemudian melanjutkan sarapan paginya.

○●○

Davi keluar dari rumahnya di ikuti Nisa, keponakannya.

"Cepetan dikit, Nis." Ucap Davi yang melihat Nisa malah berdiri sambil bermain ponsel.

"Iya om, bentar!" Sahut Nisa dengan suara pelan.

"Dav, lo mau berangkat ngantor ya?"

"Iya, kenapa? Lo mau ikut gue?"

"Hehee ... iya, gue numpang ke kampus!"

Davi hanya bergumam mendengar ucapan tetangganya yang saban pagi selalu numpang. Tatapan matanya sekilas memandang rumah yang yang tepat berada di sebelah rumah keluarganya, rumah mungil bergaya minimalis. Yang sekarang kosong karena para pemiliknya sudah pindah beberapa bulan lalu.

Davi menghembuskan nafas pelan, kemudian masuk ke dalam mobil di sebelahnya Nisa sudah duduk manis.

"Nis, kamu gak di anter pacar kamu ke sekolahnya?"

Nisa memutar kepalanya ke arah belakang dan menatap orang yang barusan bicara padanya.

"Aduh mbak, Nisa kan di anter Om Davi kenapa harus minta orang lain yang nganter coba?" Jawabnya bernada kesal. "Harusnya mbak Avriel tuh, yang udah dewasa nyari pacar sana buat antar jemput ke kampus." Lanjutnya sembari terus bermain ponsel.

Avriel yang duduk di kursi tengah, hanya mendengus mendengar perkataan Nisa, hatinya merasa kesentil.
Bukannya Avriel tidak mau punya pacar, hanya saja dia ingin mencari yang sesuai dengan standarisasi dalam imajinasinya, suami idaman seperti dalam drama Korea.

"Om, nanti Nisa pulangnya naik goje* aja ya?"

"Iya, langsung pulang ke rumah!"

"Ok!" Nisa mengacungkan jempolnya. "Om gak pernah ketemu tante Zahra ya?"

"Hm jarang, kenapa?"

"Kangen aja, udah lama gak liat tante Zahra. Udah gak pernah nyicipin masakannya lagi." Ucap Nisa, Davi melirik keponakannya sekilas.

Keponakannya yang jarang keluar rumah bisa bilang kangen pada wanita seacuh dan secuek Zahra.

Davi mengantarkan Nisa sampai di depan gerbang sekolahannya, kemudian dia juga harus mengantarkan Avriel sampai di dekat kampusnya.

Hatinya agak sedikit khawatir entah karena apa, walaupun dia ingat hari ini ada pertemuan dengan pimpinan Wijaya Group, yaitu Cristian, suami Zahra.
Tapi bathinya seolah waswas dan pikirannya agak tidak tenang.

Beberapa kali Davi membuang nafas kasar mencoba menghilangkan kegundahan dan keresahannya.

"Astaghfirullah." Ucapnya sembari menghela nafas dalam.

"Lo kenapa sih Dav? Gue perhatiin kayak orang gelisah gitu?"

"Huh? Tidak apa."

"Lo gak suka ya kalau gue numpang saban hari?"

Helaan nafas berat dan panjang kembali Davi keluarkan dari rongga dadanya. Davi mengabaikan ucapan Avriel dan kembali fokus menatap jalan raya.

"Lo mau turun di mana?" Davi melirik Avriel dari balik spion mobilnya.

"Di halte depan kampus saja."

Keduanya kembali bungkam sampai Avriel turun.
Davi yang biasanya suka bercanda dan sesekali menggodanya sekarang hanya membisu dan anteng dengan lamunanya.

Avriel merasa jengah melihat Davi yang hanya diam dan mengabaikan keberadaan dirinya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top