♤ILU♤ : 3
Sejak kepulangannya beberapa bulan lalu Elena dengan giat membantu adik dan juga adik iparnya mengurus perusahaan yang di bangun papa mereka.
Dahulu, dia dengan percaya diri menolak untuk meneruskan usaha keluarganya itu dan lebih memilih ikut suaminya tinggal di luar negeri.
Papanya yang sudah berusia lanjut serta sakit-sakitan, akhirnya menyerahkan perusahaan mereka pada calon menantunya yaitu Cristian Lazuardy suami Zahra sekarang.
Tapi rupanya Cristian bukanlah orang yang tamak, dia selalu berusaha untuk mengikut sertakan dirinya berperan aktif di perusahaan dan memberi kepercayaan untuk mengurus banyak hal di sana.
Siang ini Elena harus pergi menemui seorang client, adik iparnya mengatakan kalau dia akan di temani asisten pribadinya yang bernama Doni.
Elena hanya diminta untuk menandatangani berkas kerja sama yang mereka ajukan.
Elena meminta adiknya untuk menjemput Aline di sekolahan, karena dia terburu-buru dan tidak sempat ke sekolahan.
"Pak Doni yakin kalau orang itu akan datang? Kenapa jam segini belum muncul juga?"
Kesal karena orang yang akan mereka temui terlambat datang, Elena terus menerus ngedumel.
"Pasti datang, Bu El, dia yang mengajukan kontrak, bukan kita," Ucap Doni santai dan juga deg-degan, dia masih sedikit trauma, takut-takut kalau sifat Elena sama seperti Zahra.
"Ck. Dan dengan bodohnya kita yang nangkring di sini ampek pantat kapalan nungguin dia." Gerutunya.
Doni hanya nyengir mendengar ocehan Elena.
Dia sedikit banyak bersyukur, karena yang pergi bersamanya Elena bukan Zahra, walau tetap dalam mode waspada!
"Pak Doni kenapa malah senyam senyum gak jelas gitu?" Elena menatap Doni dengan waswas.
"Tidak apa-apa Bu! Hanya sedikit senang karena bukan adik ibu yang saya temani." Doni hanya melanjutkan kata-katanya dalam hati saja.
Tiga puluh menit berlalu akhirnya orang yang mereka tunggu datang juga.
Elena terkejut begitu melihat siapa yang datang menghampiri mereka. "Brondong tetangga Zahra? Apa dia orang yang harus gue temui?" Elena memasang wajah datar dengan tatapan mengintimidasi.
"Selamat siang Pak Doni, Bu ... Elena!" Wajahnya terlihat kaget begitu melihat wanita cantik di hadapannya.
"Siang juga Pak Davi," Elena menjawab sapaan Davi dengan raut wajah kurang bersahabat.
Davi tersenyum manis. "Maaf saya terlambat, jalanan sangat macet,"
"Tidak apa-apa, kami cuma menunggu 1 jam saja kok, iya kan Pak Doni!" Elena melirik Doni dengan tatapan tajam.
Doni tersenyum kecut dan mengangguk.
Davi salah tingkah, dia tahu kalau dia salah. Seharusnya tidak sampai membuat calon investor di perusahaan menunggu.
Elena mempersilakan Davi untuk segera duduk karena suasana hatinya sedang tidak bagus. Ditambah dia melihat wanita yang berdiri di samping Davi, wanita cantik dengan pakaian ketat. Mendadak hatinya berasap padahal tidak ada yang menyalakan api.
Elena tidak mau membuang waktu cuma-cuma, dia langsung membicarakan masalah pekerjaan.
Lebih cepat lebih baik pikirnya.
Sesekali Davi melirik Elena, perempuan cantik berwajah oriental itu selalu mengenakan pakaian yang modis, untuk ukuran seorang sosialita tentulah itu sangat biasa saja.
Dalam hati Davi menebak-nebak usia Elena. Setahu dia usia Zahra sama dengan dirinya, itu artinya usia Elena tidak jauh dari mereka berdua.
"Ada yang aneh di wajah saya, Pak Davi?" Tanya elena dengan sedikit sinis.
Davi gelagapan karena ketahuan menatap wajah wanita di hadapannya.
"Tidak, ti tidak ada!"
Sifatnya yang kadang judes mengingatkan Davi pada Zahra, hanya saja Elena tidak sejudes dan secuek Zahra.
Setelah segala urusannya dengan Davi selesai Elena menyerahkan map berisi berkas-berkas pada Doni untuk di periksa lagi.
"Sudah selesai semua, Bu," Ucap Doni.
Elena mengangguk setelah berbasa basi sebentar diapun segera berpamitan.
Davi menatap kepergian Elena dengan perasaan tidak menentu.
Kenapa pikirannya selalu membandingkan wanita itu dengan Zahra?
"Pak Davi kenal wanita tadi ya?" Lina menatap Davi yang masih memperhatikan Elena dari kejauhan.
"Iya," sahut Davi singkat.
"Sepertinya dia sudah tuaan ya, Pak?" Lina kembali buka suara.
Davi berdecih. "Jaga ucapan dan sopan santun kamu, Lin."
Lina hanya mendengus dalam hatinya, begitu mendapat peringatan dari Davi.
Mereka berdua segera meninggalkan restoran.
Sepanjang perjalannya menuju kantor tidak sepatah katapun terucap dari mulut Davi, pikirannya teringat akan Elena yang tidak seperti biasanya.
"Kenapa juga jadi mikirin yang gak jelas! Huuuhhh ... dia cuma wanita aneh." Davi menghela napas panjang, mengosongkan sedikit ruang di dalam rongga dadanya.
Begitu tiba di kantor Elena Wijaya, berjalan dengan sangat terburu-buru, dia bahkan tidak menghiraukan sapaan dari beberapa karyawan yang kebetulan berpapasan dengannya.
Elena bahkan beberapa kali menekan tombol lift supaya lekas terbuka dengan ekspresi kesal dan marah.
Tabung berwarna silver tersebut seolah sedang mempermainkan dirinya karena tak kunjung terbuka.
"Sabar El sabaaarrr." desisnya sembari menarik napas panjang.
Setelah lift terbuka, setengah melompat dia masuk dan menekan tombol angka yang ada di dinding lift.
Lift berdenting berbarengan dengan pintunya yang terbuka, Elena segera keluar dan langsung menuju ke ruangan adik iparnya.
"Bu El!" Elena bahkan mengabaikan teriakan sekretaris Cristian.
Tanpa babibu lagi dia langsung saja membuka pintu dan kesialannyapun berlanjut.
Di dalam ruangan terlihat jelas dengan kedua matanya, adik bungsunya tengah bergelayut manja bak anak koala, kedua tangannya melingkar di leher suaminya dengan posisi duduk miring di atas pangkuan.
Walaupun mata Cristian menatap layar laptop tapi kedua tangannya terlihat mengelus-elus punggung istrinya persis orang yang sedang menidurkan bayi.
Rasa-rasanya Elena ingin sekali menghilang ke dalam tembok saat ini juga.
"Ekheem!" Elena sengaja berdehem cukup keras berharap pemandangan di depannya berubah adiknya kaget dan jatuh kek biar dia bisa tertawa puas.
Tetapi jangankan terjatuh bergeser 1 inci saja sepertinya tidak. Zahra terlihat tidur nyaman di buaian suaminya.
"Bagaimana, sudah bertemu?" Pertanyaan apa pula itu? Elena mendengus mendengar ucapan Cristian.
"Gila saja, masa iya aku yang di suruh nunggu di sana 1 jam. Coba bayangkan duduk nungguin tuh bocah seperti orang bego!" Oceh Elena berapi-api.
"Lalu, bagaimana akhirnya?"
"Sudah di tanda tangani, kasihan dia kalau kontraknya di tolak,"
"Kasihan apa kasihan?" Terdengar suara parau ala bangun tidur adiknya.
"Diem deh kamu, tidur saja sana!" Sahut Elena masih dengan wajah kesalnya.
"Mana bisa tidur, kalau Kakak berisik terus!" Ucapan bernada kesal dari adiknya membuat Elena melongo.
Kan dia yang kesal dari tadi, kenapa pula adiknya jadi ikut-ikutan.
"Aku tahu, kalian ini masih penganten baru, tapi gak usah jadiin kantor tempat nananina juga kali," terlanjur kesal dan emosi, akhirnya Elena nyablak sekalian.
"Kakak gak tahu apa? Kalau quick sex di kantor itu sangat...
"Ra! Kamu sudah ketularan mesum suami kamu ya?" Elena sampai harus berteriak, karena mendengar ucapan nyeleneh adiknya.
Bagaimana tidak terdengar aneh dan nyeleneh, adiknya yang biasa kalem dan tutur bahasanya sangat terjaga, tetiba jadi serba vulgar begitu. "Lagian kamu kenapa sih, Ra, gelayutan udah mirip koala di pohon pisang!"
"Mana ada koala di pohon pisang!" Sergah adiknya dengan suara tak kalah kencang, tapi anehnya suaminya tetap diam tidak bereaksi, apa telinganya gak pengeng mendengar suara istrinya sedekat itu.
"Terserah kalian lah, aku keluar dulu dari pada lama-lama kalian live adegan 21++ di sini."
Elena langsung keluar tanpa mengindahkan suara kekehan adik bungsunya.
Siapa coba yang bakalan tahan kalau di suruh melihat orang mesra-mesraan terus menerus yang ada jadi kepingin terus ngenes karena gak ada layan.
Double ngenes ++ jadinya.
Elena masih terus ngedumel, sepertinya hari ini benar-benar sangat buruk.
Entah masuk kategori sad atau malah comedy, yang jelas, isinya nano nano.
Semoga saja tidak mengecewakan yang baca.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top