♤ILU♤ : 2

Happy reading 😏




Seperti ucapan Elena tadi di rumah orang tuanya memang ada adiknya yang datang berkunjung.

Aline sangat senang begitu melihat tantenya sudah ada di dalam rumah bersama sang Omah.

"Tante Zahra!" Teriaknya sambil berlari menghampirinya.

"Hai, jangan lari dong nanti kesandung," Teriak Zahra pada keponakannya.

"Enggak, Aline kan jagoan." Ucapnya dan langsung menghambur ke pelukan tantenya.

"Aline udah masuk sekolah dasar? Gimana tadi pelajarannya?"

"Seruu banyak temennya, tadi saja aku main perosotan dulu!"

"Iya kah? Waah senangnya!"

Elena hanya mendesah lelah melihat kelakuan anak dan adiknya.
Yang sok akur, menurutnya.

"Kalian berdua lebay banget," Ujar Elena.

"Tuh, Mamih kamu cemburu Line," Sahut Zahra. "Aline ganti baju dulu gih, jangan lupa cuci kaki sama tangan, dan muka juga ya,"

"Siap Tante.''

Aline menghampiri omah-nya, dan mencium pipinya, kemudian berlari menaiki tangga rumah, menuju kamarnya.

"Kak, jangan terlalu kaku begitu sama Aline," saran Zahra pada kakaknya. Menurut dia kakaknya terlalu kaku dalam mendidik anak.

Elena memutar bola mata jengah mendengar perkataan adiknya yang itu lagi, itu lagi.

"Nanti kalau kamu punya anak baru bisa ngerasain, gimana tuh ngedidik Bocah!" Ucap elena. "Itu bukan kaku, Ra, aku gak mau ya anaku jadi manja nantinya."

"Iya Kak iya, do'ain supaya aku cepet punya juga."

"Aamiin."

"Makanya usaha yang giat dong, Ra, ajak suami kamu liburan kek jangan ngurusin kerjaan mulu. Duit udah banyak juga buat apaan lagi sih."

"Mereka nikahnya baru kemarin El, belum bertahun-tahun," Sahut mamanya yang sedari tadi hanya menyimak obrolan kedua putrinya.

"Ya kan gak papa Mam kalau mereka cepet punya anak!"

"Iya semoga saja, Zahra sama Cris, secepatnya ngasih Mama sama Papa cucu."

"Ra, kamu bawa makanan apa tadi?"

Zahra berdecap. "Soal makanan ajah cepet tanggep." Ucapnya dengan wajah cemberut.

"Suami kamu gak di bawain bekal Nak?" Nyonya Wijaya menatap Zahra.

"Udah kok Mam, tadi sekalian Zahra anterin sebelum ke sini."

Melihat mama dan adiknya membicarakan iparnya, rasa-rasanya dada Elena sesak dan nafasnya mulai tidak teratur.

Adiknya langsung bungkam begitu melihat ekspresi aneh di wajahnya.

"Maaf Kak,"

"Kenapa minta maaf? Kan bukan salah kamu."

Bukan Elena cemburu atau iri dengan keharmonisan keluarga kedua adiknya.
Hanya saja, terkadang dia masih merasakan sakitnya di khianati oleh mantan suaminya dulu.

Elena sangat bersyukur kedua adiknya hidup sejahtera dan bahagia.

"Kak," elusan adiknya menyadarkan Elena dari bayang-bayang masa lalu.

"Iya, gak papa Ra."

"Kakak makan dulu, aku tidak bisa lama-lama di sini!"

"Kamu mau pergi?"

"Iya, mungkin sebentar lagi Mom datang jemput aku. Dia sudah di perjalanan ke sini."

Elena tersenyum bahagia, walaupun mereka bukan saudara biologis tapi rasa sayangnya pada adik bungsunya sama seperti pada adiknya yang lain.

"Kakak kenapa?"

"Tak apa, semoga kamu bahagia selalu," Ucapnya tulus.

"Aamiin, kakak juga!"

Sebuah pelukan membuat tubuh Elena seolah membeku, adiknya memang terkenal judes dan cuek jika di luaran. Tapi di rumah sikapnya akan berubah menjadi adik kecilnya yang perhatian dan sangat pengertian.

"Terima kasih."

"Aku pergi dulu kak, salam buat Aline." Adiknya mengurai pelukan dan menghampiri mama mereka.
Setelah berpamitan, diapun langsung pergi.

"El, apa kamu masih memikirkan mantan suamimu itu?" Tanya Mamanya.

"Eh, apaan sih Mam? Enggaklah, ngapain juga," Elena tampak salah tingkah.

"Mama cuma tanya, El, hidup harus terus berjalan kedepan, jangan hanya memikirkan orang lain, pikirkan dirimu sendiri dan Aline," Lanjut mamanya.

"Iya Mam, aku mengerti! O iya lupa, nanti Mama mau ikut gak?"

"Kemana?"

"Nyari baju buat Aline, sekalian kita jalan,"

"Kalian pergi saja, kaki mama udah gak kuat jalan keliling-keliling begitu."

"Ok. Apa Mama mau di belikan sesuatu?"

"Tidak usah El, kalian belanja saja keperluan kalian berdua."

Elena mengangguk.

○●○

Sebuah mobil memasuki area parkir gedung perkantoran tak berapa lama keluar seorang pria berpakaian formal. Dengan langkah kaki lebarnya dia berjalan.

"Siang pak Davi." seorang security yang berada dekat pintu masuk menyapanya.

Pria yang di panggil Davi hanya tersenyum dan melanjutkan langkahnya, memasuki area gedung.

Melihat postur tubuh dan wajah rupawannya melenggang, membuat beberapa wanita yang berpapasan melempar senyuman genit.

Davi hanya tersenyum samar, seolah enggan untuk menanggapi mereka.

Davi masuk ke dalam sebuah lift dan làngsung menuju ke atas di mana kantornya berada.

Sampai di lantai yang di tujunya lift berdenting, diapun segera keluar dan menuju ruang kerjanya.

"Siang pak," seorang wanita berpakaian lumayan seksi menghampirinya dan menunduk dengan sopan.

"Lina, apa tadi ada orang yang datang?"

"Iya Pak, tapi dia hanya menitipkan map saja,"

"Tolong nanti bawa ke ruangan saya!"

"Baik Pak."

Davi meninggalkan wanita bernama Lina yang menjadi sekretarisnya dan memasuki ruang kerjanya.

Begitu memasuki ruang kerjanya dan melihat tumpukan map, helaan nafas terhembus dari rongga dadanya.

Davi membuka beberapa map dan menyalakan laptopnya.

"Apa mereka menerima kerja samanya ya?" Davi hanya bergumam sendiri, sembari memeriksa berkas-berkas yang menumpuk dan mulai membaca serta menandatanganinya satu persatu. "Ini namanya pamer tanda tangan, untung bagus. Coba kalau modelnya seperti cakar ayam, gak lucu banget." Davi bermonolog, dan terkadang senyum-senyum sendiri.

Tok-tok

Pintu ruangannya di ketuk, Davi mendongak dan menatap ke arah pintu. "Masuk!" ucapnya.

Pintu terbuka lebar, lalu sekretarisnya masuk dan menyerahkan sebuah map.

"Ini map yang Bapak minta tadi," Lina meletakan sebuah map di hadapan Davi.

"Iya Lin, terima kasih."

"Ada yang lainnya Pak?"

"Tidak ada, kamu boleh keluar!"

Bukannya tidak perlu apa-apa, hanya saja Davi agak risih,jika melihat perempuan berpakaian ketat. Bukan munafik, dia suka melihat perempuan berwajah cantik dan bertubuh bahenol, tapi ... dia tidak menyukai yang mengumbar-umbarnya pada khalayak seperti itu.

Lina, sekretaris pribadinya yang tergolong cantik dan bertubuh molek.
Dan diapun bukan sekali dua kali menggoda dirinya.
Davi selalu mengabaikannya, tidak pernah sekalipun meladeni godaan sang sekretaris.

Walaupun beredar gosip, kalau mereka menjalin hubungan karena seringnya dia membawa Lina untuk mengikuti rapat di luar kantor atau bertemu client, pada kenyataannya tidak lebih hanya untuk urusan kantor saja.

Setelah menerima map dari Lina, Davi kembali fokus pada pekerjaannya. Dia tidak mau ambil pusing dengan kelakuan para bawahannya.

Belum selesai dengan urusan map yang menumpuk di hadapannya, tiba-tiba sekretarisnya memberi tahu kalau ada panggilan telepon dari Wijaya Group.

Tanpa pikir panjang Davi langsung menerima sambungan telepon.

"Hallo, selamat siang"

"Siang pak Davi, saya Doni dari Wijaya Group! Saya hanya mengabarkan, bahwa kontrak yang bapak ajukan sudah kami terima, tapi pimpinan saya ingin bertemu langsung dengan bapak."

"Baik pak Doni dengan senang hati!"

"Baiklah pak, untuk pertemuannya, kemungkin besok siang pak, sekalian menandatangi kontraknya."

"Baik pak Doni, tolong shareloc saja ke wa saya tempatnya."

"Baik Pak, selamat siang."

"Selamat siang."

Panggilan telepon terputus. Davi tersenyum tidak menyangka kalau kontrak yang di ajukannya langsung di terima.

"Kira-kira siapa yaa, yang akan datang besok Zahra atau suaminya?"


Eumak eumak numpang nampang 😁

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top