4/2
I Love You're Doing That
[]
Jujur saja Juita tak tahu harus berlari kemana dalam kondisi yang serba salah ini. Dia terhimpit dengan keinginan hatinya, juga terdesak untuk menjauh dari Gerka yang sudah menguasai banyak tempat di hatinya. Haruskah Juita pergi atau menjadi idealis yang menegakkan pandangannya hingga berhasil?
Masalahnya, kebanyakan para idealis tak pernah mencapai keberhasilan. Idealis lebih banyak terkikis oleh realita. Tak peduli kejam, kasar, gersang, dan tak memiliki hal yang 'klik' dengan pandangan idealis. Hidup akan memenangkan realitanya, bukan harapan dan pandangan hidup manusia saja. Dunia tidak berjalan di bawah kaki manusia, tapi mereka diam-diam bergerak tanpa manusia ketahui.
Tidak ada yang baik bagi Juita. Jadi, meskipun dia menangis tersedu di tempat umum hingga membuat orang lain kebingungan menatapnya, Juita memilih tak mempedulikannya dan berdiri dengan wajah bengkak menuju taksi online pesanannya.
37 menit adalah waktu yang cukup untuk menumpahkan sebagian tangisnya setelah pembicaraannya dengan Gerka terputus. Juita akan pulang ke apartemen, karena Gerka pasti sudah pergi dari sana. Beberapa menit untuk membelah jalanan Jakarta menuju apartemen Juita membutuhkan waktu cukup lama, mengingat hampir jarang ada jalanan lengang di Ibukota. Itu akan semakin membuat Gerka tak betah menunggu Juita di depan apartment perempuan itu. Gerka biasanya memang akan memastikan apakah Juita berbohong atau tidak. Pria itu pasti tadi menunggu di depan apartment Juita beberapa waktu.
Juita tahu dia harus menahan diri untuk langsung pulang ke apartemen, karena Gerka pasti masih ada di sana. Dan sekarang dia sudah sangat yakin bahwa Gerka tak ada.
25 menit. Juita akhirnya sampai di unit apartemennya. Benar saja, tak ada sosok Gerka di sana. Desah napas lega menguap di udara. Juita tak yakin itu adalah pertanda kelegaan, sebab dia merasa dirinya tak sepenuhnya baik menyadari Gerka tak menunggunya.
Apa, sih, yang sebenarnya diinginkan oleh Juita sekarang? Segalanya menjadi sangat tak jelas, gamang, labil, dilema, dan plin plan. Semua sebutan yang serba membawa unsur keraguan ada di dalamnya. Membawa diri Juita tak menjadi dirinya sendiri.
Mencari keberadaan kartu akses pintunya, Juita mengacak-acak isi tas nya dengan linglung. Terlalu banyak beban pikiran membuatnya tak bisa fokus dan tenang. Seharusnya mencari kartu akses pintunya tak akan membutuhkan waktu lama jika dicari dengan tenang dan teliti. Namun, lihatlah sekarang. Juita membuang semua isi tas nya ke lantai dengan frustrasi dan membuat barang-barang itu berantakan. Termasuk ponselnya yang menjadi sedikit tergores di bagian layarnya.
Setelah semua barang berada di lantai, barulah Juita memasukkannya kembali. Ia menemukan kartu akses itu menyelip dan Juita membuka pintunya lebih dulu untuk memasukkan barang secara acak ke dalam tas kembali. Pintu ia batasi dengan sepatu yang ia pakai agar tak kembali terkunci. Juita benar-benar tak fokus melakukan apa pun.
Usai memastikan tak ada barang yang berada di lantai kembali, Juita mencoba berdiri, meski tubuhnya begitu lelah dan tak bisa diajak kerjasama dengan baik lagi. Juita tetap memaksakan diri untuk berdiri dan membuatnya terhuyung hampir terjatuh. Jika saja tak ada yang menyangga tubuhnya, mungkin Juita akan benar-benar terjatuh keras ke lantai.
"Ma-maaf, makasih—"
Juita terkejut dengan sosok yang membantunya untuk tetap baik-baik saja itu.
"Ka ...?"
Gerka, dengan tubuh basah kuyup menggiring Juita masuk. Untung saja pintu sudah dibuka dengan sepatu yang mengganjal di bagian bawah. Itu memudahkan Gerka untuk masuk membawa Juita serta ke dalamnya.
"Apa yang sebenarnya terjadi, Ta?" Pertanyaan yang langsung muncul begitu mereka berada di dalam justru membuat Juita kembali mengingat apa yang terjadi tadi.
"Aku ke panti, di sana lagi ramai donatur datang. Kata satpam yang jaga, dia nggak lihat kamu datang. Aku simpulkan kamu bohong ke aku."
Itu sebabnya Gerka sekarang basah? Pria itu sengaja membiarkan tubuhnya terguyur hujan saat mencari Juita dan memastikan apa yang Juita katakan jujur. Padahal, Gerka bisa menuruti ucapan bohong Juita saja untuk pulang ke rumah dan tak bersusah payah mencarinya ke panti dan balik lagi ke apartemen Juita. Jika memang hubungan mereka tak jelas, hanya untuk simbiosis kebutuhan biologis semata, mengapa Gerka melakukannya? Kenapa Gerka malah mencarinya?
"Ta?"
Tangis Juita pecah. Dia tak bisa bicara dan hanya menangis saja yang menjadi jalan keluarnya. Hatinya sakit membayangkan perpisahan dengan Gerka. Lebih sakit lagi karena Audree sudah jelas mengetahui segalanya dan melakukan cara menjodohkan Juita untuk menjauhkan Gerka darinya. Beralasan perbedaan keyakinan yang menjadi permasalahan, padahal Audree jelas keberatan dengan latar belakang keluarga Juita yang tak jelas. Semuanya membuat Juita sakit hati.
"Ta, cerita sama aku." Gerka yang tak mengerti kenapa perempuannya itu menangis dan wajahnya bengkak— sudah pasti karena tangis sebelumnya—terlihat begitu jelas hingga membuat Gerka resah. "Ini soal mama? Kamu ketemu sama mamaku? Dia bicara apa ke kamu? Apa mama menyakiti kamu dengan mencaci maki di depan umum?"
Juita menggelengkan kepalanya. Masih tak bisa bicara karena tangisan membuatnya lebih sulit dari apa pun untuk mengeluarkan suara.
"Terus kenapa, Ta? Kenapa kamu bisa menyimpulkan kalo mama tahu soal kita? Kalo mama nggak menyinggung soal aku dan kamu—"
"Tante Audree ... jodohin aku," sela Juita dengan suara terputus-putus.
Gerka terkejut. Jelas saja ia tak menyangka mamanya akan senekat ini. Jadi, benar kalau mamanya ingin mengenalkan Juita dengan pria yang seiman? Kenapa mamanya begitu memperumit masalah?! Gerka kira Audree hanya bicara omong kosong saja.
Namun, Gerka juga harus tetap berpikiran baik terhadap mamanya. Mungkin Audree memang ingin melihat Juita tak hidup sendiri saja. Bukan karena Audree tahu hubungan Gerka dan Juita hingga berniat menjauhkannya dari Juita dengan cara semacam ini.
"Mama nggak mungkin tahu. Kita nggak menunjukkan kedekatan di depannya."
Juita mendongak, menatap Gerka dengan tak percaya. "Kamu mau menyangkal gimana lagi?! Mama kamu udah nggak menyukai kedekatan kita yang lebih dari wajar. Mama kamu mau aku kenalan dan ketemu sama anak temannya yang sedang mencari pasangan serius! Kamu nggak lihat sendiri gimana ekspresinya waktu tanya aku soal apa aku punya pacar atau nggak. Kamu nggak lihat sendiri betapa leganya mama kamu waktu aku mengiyakan rencananya untuk dekat dengan—"
"Mama kasih apa ke kamu? Kapan acara bertemu yang dibuat mamaku untuk kamu?"
Juita kembali banjir airmata. "Kalo kamu tau apa yang mama kamu kasih ke aku, memangnya kamu bisa apa?"
"Aku bisa batalin semua itu. Aku bisa membuat kamu nggak ketemu calon yang mamaku bawa! Aku bisa mempertahankan hubungan kita!" ujar Gerka menggebu. Pria itu juga sama kacaunya membayangkan Juita dijodohkan pada pria lain.
Juita menggeleng miris. "Nggak, kamu, aku ... kita berdua nggak bisa apa-apa, Ka. Mungkin memang kita harus berhenti."
Kini Gerka yang menggelengkan kepalanya. Pria itu mengangkat dagu Juita, membuat kontak mata sebelum menyatukan kening. Bajunya yang basah Gerka lucuti habis di depan Juita.
"Ka ... hati aku lagi nggak sepenuhnya nyaman untuk ini."
"Ini satu-satunya cara supaya kita bisa lupa soal apa pun. Aku akan buat kamu tenang dan besok ... masalah itu akan lenyap. Aku janji."
[Season 1 cerita ini sudah tamat dan bisa dibaca lengkap di Karyakarsa dan KBM, ya.
Nama akun Karyakarsa: kataromchick
Nama akun KBM: Freelancercreator]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top