2/1
Juita masuk dengan tubuh yang luar biasa babak belur. Katanya, jika bercinta akan membuat orang bahagia. Namun, Juita tidak mendapati katanya itu benar adanya. Gerka mengerjai Juita hingga segalanya menjadi sangat sulit untuk dilakukan oleh Juita. Orang akan melihat gerak gerik yang Juita bawa. Kurang tidur, kantung mata, dan pikirannya tidak berjalan sesuai tempatnya. Fokus Juita agak terbagi karena Gerka sepertinya menunjukkan sikap aneh; cemburu. Benarkah Gerka cemburu? Atau itu hanya sikap merasa kalah saing saja?
Juita juga perlu mengenal pria lain yang bisa serius dengannya. Bukan Gerka. Sebab Gerka bukan orang yang bisa bersamanya. Terlalu banyak perbedaan diantara mereka.
Ketika mejanya diketuk oleh bunyi kaleng yang membentur permukaannya, Juita mendongak mendapati wajah Tito dengan cengiran khasnya. Apalagi yang akan diminta oleh Tito kali ini?
"Kenapa, Mas Tito?" tanya Juita seraya menarik pelan kaleng soda kesukaannya yang berwarna hitam pekat. "Ini sogokan buat kemaren, kan? Aku ambil, ya."
Tito menyengir, mengambil tempat di sisi Juita.
"Gimana semalem?" tanya pria itu.
"Hm? Gimana apanya?"
"Elo sama Pranayoga. Kemajuannya gimana?"
Sejujurnya Pranayoga bukan pria yang menyebalkan. Justru sangat baik dan sopan. Juita tidak memiliki alasan untuk tak menyukai Pranayoga. Namun, mengingat ucapan Gerka sepulang dari tempat itu dan cara Gerka saat mereka bercinta ... itu akan memberatkan Prana nantinya.
"Belum gimana, gimana. Baru kenalan semalem, masa disuruh langsung ada kemajuan."
Jawaban Juita yang tidak niat membuat Tito langsung melirik ruangan bos mereka, Gerka. Pria itu belum datang, dan semalam Tito melihat atasannya itu mengantar pulang Juita. Mengingatnya membuat Tito berdecak pelan.
"Kenapa, Mas Tito?"
Tito merapatkan duduk. Menarik kursinya maju hingga Juita memundurkan kepalanya. "Kenapa, sih, Mas Tito?"
"Ini ... ada hubungannya sama si bos, kan?"
Sungguh itu sangat benar. Tidak heran jika Tito sampai membaca hal tersebut. Gerka terlalu dekat dengannya semalam, bahkan menyela anak buahnya yang sedang ramai mengobrol untuk mengantar Juita sendiri.
"Ngomong apa, sih, Mas Tito!" bantah Juita. Tak mau masuk dalam pertanyaan jebakan seniornya itu.
"Jujur aja, Uwi. Lagian, anak-anak yang lain juga bisa baca kalo elo sama bos ada hubungan lebih."
Juita hanya bisa menggelengkan kepala. Berulang kali meneguk cola miliknya dan menghindari tatapan Tito yang sengaja membacanya.
Helaan napas Tito menjadi tanda bahwa pria itu menyerah untuk mengulik jawaban dari Juita.
"Uwi, ini saran gue aja. Mumpung elo sama bos belum terlalu jauh, pertimbangkan Prana untuk jadi pasangan serius. Karena elo pasti tahu apa yang menjadi penghalang-"
"Tito, nggak ada kerjaan? Kenapa malah duduk di meja kerja Juita?"
Yang dibicarakan lebih cepat datang. Padahal tadi Tito belum melihat pria itu datang.
"Eh, Bos! Kerjaan udah dari dulu santai-"
"Balik kembali ke tempatmu! Jangan ganggu Juita atau yang lain!"
Tito menatap Juita dan Gerka bergantian. Meski menunduk mematuhi ucapan Gerka, tetap saja suasana menjadi sangat kaku. Ini akan menyulitkan mereka berdua untuk tetap merahasiakan hubungan. Meski mereka memang tak memiliki hubungan seperti yang dimiliki pasangan normal lainnya.
"Uwi ... jangan lupa traktir kalo udah jadian, ya!"
Tito masih sengaja untuk menjadi kompor. Lihat saja, Gerka sudah menunjukkan taringnya. Juita tidak akan selamat meski sekarang mereka masih di kantor.
"Juita," panggil Gerka.
"Iya, Pak?"
"Ke ruangan rapat."
Juita mengangguk dan masih duduk di tempatnya.
"Sekarang!"
Gerka sedang marah, dan ruangan rapat di lantai atas sangat kedap suara serta tertutup. Bisakah Juita kabur?
*
Berdiri dengan kaki yang sudah sangat lemas, pinggulnya masih ditekan oleh Gerka untuk meluapkan kemarahan pria itu sendiri. Semalam sepertinya belum bisa memuaskan Gerka atas rasa cemburunya. Hingga sekarang, ketika Tito memancing sedikit saja, Gerka hilang kendali untuk menepati janjinya sendiri. Harusnya Gerka tidak menyentuh Juita di kantor apa pun alasannya. Namun, pria itu tidak mematuhi sama sekali prinsip yang sudah mereka buat. Bahkan Gerka seperti kerasukan dengan membuat Juita membungkuk di atas meja, menekan wajah perempuan itu di permukaan meja dan mengabaikan teriakan Juita diawal tadi saat pria itu melesakkan diri tanpa aba-aba.
Juita tidak berusaha bicara sejak awal ketika Gerka memintanya naik ke ruang rapat. Begitu juga Gerka yang diam dan menunjukkan wajah kerasnya saja sejak awal.
Lima belas menit dihabiskan untuk meluapkan rasa tak terimanya pada Juita. Cairan hangat mulai terasa di rahim Juita. Sialnya, ini adalah kantor, bukan tempat tinggal mereka sendiri. Juita sudah tak mau melakukan apa-apa karena dia merasakan kecewa disalahkan oleh Gerka atas kesalahan yang sebenarnya tidak dilakukan dan tidak ada.
Deru napas bersahutan, Gerka memeluk punggung Juita dengan tangan yang berusaha mengusap surai Juita. Namun, belum sempat dilakukan, perempuan itu mendorong tubuh Gerka dan memaksakan diri berlari ke kamar mandi di ruangan tersebut.
Gerka mengikuti. Dia tahu Juita juga kesal karena sikapnya saat ini. Namun, Gerka tidak bisa mengontrol diri ketika mendengar Tito berusaha mempengaruhi Juita untuk terlepas dari Gerka. Itu bukan salah Juita, bahkan perempuan itu tak membalas apa pun atas ucapan Tito. Tapi bayangan Juita yang akan meninggalkannya membuat Gerka putus asa.
Gerka bisa membersihkan diri dengan cepat. Berbeda dengan Juita.
Gerka menunggu, tidak berani memanggil nama Juita. Dia memejamkan mata, menyadari bahwa sikapnya ini membuat Juita kecewa. Mereka mungkin akan masuk dalam fase menjaga jarak lagi setelah dulu sempat terjadi dan itu disebabkan oleh Gerka yang dicium oleh perempuan lain.
Gerka bahkan tidak memikirkan seperti apa penampilan Juita saat memaksa masuk tanpa pemanasan apa pun. Jika tak memiliki rasa apa-apa, kenapa mereka harus melakukan semua drama ini?
[Udah baca sampe extra part 1 season 1 belum? Udah ada di KK sama KBM, yes.]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top