8. Pian Tidak Pintar
Pika dan Dayat membawa tumpukan buku PR ke ruangan Guru. Mereka melihat Bu Osnita-guru matematika yang terkenal paling cerewet di sekolah-sedang menangis tersedu-sedu.
"Pasti ini kerjaan kelas Pian! Mereka itu memang bandel, dan suka bikin guru-guru pada nangis. Habis diapain lagi kamu sama mereka, Os?" tanya Bu Lia, guru olahraga, dengan nada galak seperti biasa.
"Kelasnya Bu Ratih itu...." Pak Wandi menyebut nama wali kelas Pian, "kalau anggota geng The Brandals nggak ada, kelasnya jadi tentram dan tenang. Kemarin saya habis nangkap anak-anak bandel itu pada merokok di gudang belakang sekolah!" lanjut Pak Wandi kemudian.
"Iya Pak. Pak Satpam juga pernah ngadu ke saya kalau mereka sering merokok di gudang sekolah. Harus diberi pelajaran mereka! Di kawasan sekolah kan, nggak boleh merokok." Bu Neti, Guru IPS ikut berbicara.
"Sakit hatiku Bu, mereka nggak bisa dibilangin. Kalau dikasih tau, atau dibawelin, semuanya malah makin berulah. Apalagi si Pian." Bu Osnita masih terisak saat menceritakan kisah pilu-nya.
"Tuh, ulah pacar kamu Pik. Coba bayangkan aja, guru secerewet Bu OS bisa dibuat nangis sama mereka." Di jarak yang cukup jauh dari tempat guru-guru berkumpul, Dayat berbisik sambil menyikut lengan Pika.
"Ih, Pian bukan pacar gue!" Pika mendengus kesal.
"Haduhhhh, kacau-kacau!!!!" mendadak Bu Ratih, masuk ke dalam ruangan guru dengan wajah kusut. Bu Ratih menghempaskan tubuhnya di atas kursi.
"Kenapa Bu?" tanya Bu Neti penasaran.
"Si Pian dan rombongan ketahuan nyontek waktu ulangan tadi. Pada niat nempelin kertas contekannya di tapak sepatu." Bu Ratih menjawab.
Semua guru tertawa. "Ada-ada saja ya mereka, terus ulangan mereka gimana? Itu tuh, mereka berempat setiap ulangan sama saya pasti nilainya anjlok terus."
"Nah, ini nih. Sama saya juga. Kadang saya mikir, memangnya mereka nggak pernah belajar, nggak pernah ngerti apa yang kita ajarkan di kelas, atau kita-nya saja yang nggak bisa ngajar?"
"Hm...." Pak Wandi mendesah lelah. "Kalau bukan karena kita kasihan sama murid sendiri, mungkin mereka berempat itu udah nggak naik kelas. Kemarin, waktu razia ponsel, Pian malah berani menyembunyikan handphone-nya di celana dalam. Isi handphone-nya ternyata bokep semua. Pada nggak benar anak jaman sekarang, Bu!"
"Masa Pian nonton yang kayak begituan? Bisa juga dia ternyata...."
"Kemarin wakil kepala sekolah mau mengadakan rapat buat Pian dan teman-temannya itu. Kalau nilai mereka nggak bagus juga, bisa-bisa mereka tidak naik kelas. Atau kalau masin bandel juga, mau dikeluarin dari sekolah. Lagian skor hukuman mereka juga udah parah, ibu-ibu." Pak Wandi kembali menjelaskan membuat Pika terdiam di tempat.
Bahkan Pika sudah tidak fokus lagi saat menyusun buku-buku yang berantakan di meja wali kelasnya sendiri.
Entah mengapa jantung Pika berdegup, rasa hati benar-benar tak keruan.
Kalau misalnya Pian dikeluarin dari sekolah, apa mungkin Pika merasa kehilangan sama seperti waktu Pian pergi beberapa hari ke Palembang? Atau Pika malah justru senang bukan kepalang.
"Bu, saya dan teman-teman jangan di keluarin dari sekolah dong." Mendadak suara Pian muncul. Semua menoleh ke arah sumber suara.
"Sekolah itu kan, tempat untuk menuntut ilmu. Tugas guru-guru di dalamnya adalah mendidik para murid. Kalau misalnya kami belum baik, terus ajarkan kami sampai menjadi baik. Kalau misalnya nilai kami belum bagus, terus ajarkan kami sampai menjadi juara kelas," lanjut Pian kemudian. Lalu dia berlari menghampiri meja Bu Osnita. "Maafin saya dan teman-teman ya, Bu. Kami salah. Kami udah bikin Ibu sampai nangis. Ini buat Ibu...." Pian memberikan sebotol susu kepada Bu Osnita.
Wanita itu mengernyit bingung.
"Anak bayi kalau nangis terus dikasih susu langsung diam, jadi Bu Os juga saya kasih susu. Hehehe."
Bu Osnita tidak jadi menangis, ia justru mendengus sebal. Sedangkan yang lain tertawa, terkecuali Pak Wandi.
"Benar-benar kelakuan kamu kurang asam, Pian!" Pak Wandi menepuk pundak Pian pelan.
Pian membalas. "Jangan sama-samain kelakuan saya dengan ketiak dong Pak. Ntar sama-sama asam."
"Heh, Pian.... Sini kamu. Coba lihat nilai ulangan kamu dan teman-teman kamu minggu lalu. Tidak pernah ada peningkatan." Bu Ratih memanggilnya.
Pian sama sekali tidak terkejut dengan nilainya sendiri. "Bukan kami yang salah, tapi Ibu tuh yang salah. Kenapa nilainya nggak diturunin aja."
Bu Ratih melipat tangan di dada, menggertak giginya kesal. "Sebentar lagi kalian itu sudah mau naik ke kelas tiga, Pian. Kamu mau tinggal kelas? Kalian mau nggak lulus sekolah? Mau pindah-pindah sekolah Cuma karena kasus kalian yang bejibun ini? Apa nggak sayang....."
"Sayang kok." Pian menjawab. Matanya melirik ke arah Pika yang berdiri agak jauh dari pandangannya, namun diam-diam memperhatikannya. "Tapi sayangnya, Agen Pika nggak sayang Pian."
Mendadak Pika tersentak kaget. Semburat di wajahnya muncul begitu saja, semua guru yang ada di sana menoleh ke arah Pika. Cewek itu langsung pura-pura sibuk dengan pekerjaannya.
Bu Ratih memukul pundak Pian dengan penggaris panjang yang berada di atas mejanya. "Kalau jawab yang benar. Ini demi masa depan kamu juga, Pian. Apa perlu saya manggil orangtua kamu untuk datang ke sekolah ini?"
"Yah, jangan Bu....." buru-buru Pian memprotes keras.
Bu Ratih mendengus. "Heran saya sama kamu, Pian. Setiap kali orangtuamu saya panggil ke sekolah, kamu malah bawa Umi-nya Sandi. Memangnya orangtua kamu kemana? Kenapa nggak pernah muncul di hadapan saya?"
Pian tidak menjawab. Dia hanya mampu mengeles. "Saya janji akan rajin belajar, Bu. Saya janji. Tapi....."
"Tapi apa?"
Pian mengeluarkan jurus senyuman maut yang tidak bikin Bu Ratih terpesona. Lalu dia menarik kursi di hadapan Bu Ratih dan duduk di sana. Mencondongkan badannya ke depan, mengajak Bu Ratih berbicara serius.
Selesai mengeluarkan pendapatnya di ruangan guru. Pian kembali menghampiri teman-temannya di gudang belakang.
Baru sampai di depan pintu, Pian sudah mendengar suara desahan-desahan aneh yang bikin telinga Pian semakin lebar.
"Bangsat!" Pian berteriak lantaran kaget.
Sandi, Henrik dan Tristan langsung berdiri dari duduknya secara bersamaan. Mereka ikut terkejut sampai-sampai nyaris menjatuhkan tumpukan kursi-kursi lapuk yang ada di sekitar mereka.
"Nonton bokep kalian yaaaaa...." Pian sengaja mengencangkan volume suaranya. Menunjuk ke arah ponsel Sandi yang ditegakkan di atas meja, di sandarkan ke meja lainnya.
"Eh diam, Yan. Sialan. Jangan kencang-kencang." Henrik menutup mulut Pian.
"Oton okep...hmmmmp." Teriakan Pian jadi teredam. Kemudian dia menginjak sepatu Henrik hingga dekapan cowok itu terlepas.
"Waah, parah kalian. Parah! Kalau guru-guru sampai tau, bisa celaka. Kalau Pak Sahdan tau hal ini...." Pian berkacak pinggang, geleng-geleng kepala. Sungguh dramatis. "Kalian bisa kena rukkiyah tujuh hari tujuh malam." Lalu cowok itu menengadahkan tangan. "Astaghfirullah, maafkan dosa-dosa teman hamba ini."
"Jangan sok suci hoi!" Sandi melemparnya dengan gumpalan kertas.
"Kalian pikir, kalian itu hebat nonton film yang kayak beginian, ha?" wajah Pian kesal. Pura-pura marah. "Maksudnya, kalau nonton itu ngajak-ngajak. Gimana sih!" Pian langsung mengambil kursi dan duduk paling depan. "Eh Tris, tutup pintu gudang buruan."
***
"Kenapa Ibu suruh saya kemari?"
Pika bingung saat jam istirahat kedua Dayat menghampirinya dan berkata kalau dia disuruh menghadap ke ruangan Bu Ratih. Dengan perasaan was-was Pika menemui wali kelas Pian.
"Ayo silakan duduk, Pika." Bu Rati menutup buku di hadapannya. Pika langsung mengambil tempat di hadapan beliau.
"Begini...." Bu Ratih kembali melanjutkan, melipat tangan di dada. "Bu Anita bilang kalau kamu itu murid berprestasi di sekolah kamu yang terdahulu. Katanya.... kamu itu sering juara kelas dan murid yang aktif di sekolah. Kamu juga sering ikut olimpiade antar sekolah."
Pika diam, tidak mengerti dengan maksud Bu Ratih.
"Saya juga udah liat nilai rapor kamu dan beberapa kuis yang diberikan oleh guru-guru selama kamu sekolah di sini. Kamu murid yang pintar, Pika." lanjut Bu Ratih kemudian. Membuat Pika semakin bingung.
"Terima kasih Bu." Hanya itu jawaban Pika.
"Jadi maksud saya menyuruh kamu datang menemui saya, tidak lain dan tidak bukan adalah tentang masa depan murid-murid di sekolah ini agar bisa sehebat kamu, Pika."
Alis Pika berkerut. "Maaf Bu. Maksudnya apa?"
Bu Ratih memperbaiki posisi kacamatanya, lalu mencondongkan badan. "Kamu kenal dengan rombongan Pian dan kawan-kawannya kan?"
Pika mengangguk ragu.
"Lihat ini Pika...." Bu Ratih mengeluarkan buku nilai dan memperlihatkan kepada Pika. "Lihat nilai-nilai mereka. Nggak ada yang lebih dari angka 50. Semuanya pada ditulis pake pena merah. Selama ini para guru sudah berjuang semaksimal mungkin untuk membantu mereka, tapi hasilnya selalu sia-sia. Setiap pelajaran tambahan yang kami adakan khusus buat mereka, selalu saja dibuat seperti permainan. Yang tidurlah, ongkang-ongkang kaki, keluyuran gak jelas. Pokoknya, nggak ada guru yang nggak mereka bikin nangis. Saya aja pernah dibikin nangis sama kelakuan mereka."
Bu Ratih berbicara panjang lebar, secara dramatis, sampai mengusap-usap dadanya berulang kali. Tiga detik kemudian, kedua tangan Pika langsung dibawa ke atas meja, digenggam erat oleh Bu Rati. Dahi Pika tak hentinya berkerut bingung.
"Saya sudah sepakat ingin meminta bantuan kamu untuk menjadi guru privat mereka, Pika."
Refleks, Pika langsung melepaskan genggaman Bu Ratih dan membawa tangannya kembali di atas paha.
"Saya? Jadi guru privat mereka? Maaf.... saya nggak bisa, Bu."
"Ayolah Pika. Keputusan ini bukan hanya sepihak dari saya saja, tapi dari hasil rundingan para guru berserta wakil kepala sekolah."
"Ta-tapi kenapa harus saya Bu? Kenapa bukan Dian, anak 11 IPS 1 yang selalu juara umum sejak kelas 1. Atau Nathan, cowok berkacamata super tebal dan selalu membawa buku kemana-mana. Kenapa bukan mereka saja? Kenapa harus saya yang notabenenya cuma murid baru?"
"Saya udah pernah nanya ke mereka, tapi...." Bu Ratih berpikir sejenak, "tapi mereka nggak berani harus menghadapi cowok-cowok badung itu. Lagi pula, Pian sendiri yang merekomendasikan nama kamu. Dia Cuma mau kamu yang mengajari mereka. Toh, kamu ini kan pacarnya Pian. Pasti mereka bisa nurut sama kamu."
"Saya bukan pacar Pian, Bu!" Tanpa sengaja Pika berteriak frustrasi sambil memukul meja.
Bu Ratih terkejut. Pika menyesali sikap kurang ajar yang tanpa sengaja ia keluarkan itu.
Pika berdesis, "maaf Bu, saya nggak sengaja."
"Pika...." Suara Bu Ratih terdengar sangat lembut. "Percaya sama Ibu kalau semua yang kamu lakukan ini tidak akan berakhir sia-sia. Anggap ini batu loncatan untuk kamu agar dipermudah mengikuti beasiswa kuliah di luan Negeri."
Pika mendongak, memerhatikan lekat-lekat bola mata Bu Ratih.
"Wakil kepala sekolah mau merekomendasikan nama kamu untuk mengikuti beasiswa kuliah di luar Negeri. Ini kesempatan emas buat kamu, Pika. Kalau bukan kamu yang membantu mereka. Siapa lagi?"
Tatapan Pika menerawang jauh. Ia mendesah, menundukan kepala sejenak. Pika merasa berada di tengah-tengah pilihan yang sulit. Semua guru mengharapkan bantuan Pika untuk menyelamatkan Pian dan teman-temannya agar terhindar dari 'masalah tidak naik kelas'.
"Boleh saya pikirkan dulu hal ini, Bu?" hanya kalimat itu yang mampu Pika keluarkan.
Bu Ratih mendesah lega, setidaknya Pika tidak menolah. "Iya Pika. Silakan kamu pikirkan dulu. Kami semua yang ada di sini menunggu jawaban kamu. Ujian semester tinggal menghitung minggu saja. Saya berharap kamu bersedia, Pika."
Pika hanya mengulas senyum terpaksa, lalu beranjak dari kursi.
"Kalau begitu saya permisi dulu, Bu."
Baru saja Pika keluar dari ruangan guru, Pian tiba-tiba datang menghampirinya. Pian seperti setan yang mendadak muncul lalu menghilang.
"Selamat sayang calon Bu Guru. Eh siang maksudnya," kata Pian dengan wajah kalem khas menyebalkan sepeti biasa.
Pika berusaha setenang mungkin meski seluruh kesabarannya nyaris terkuras habis melihat sosok Pian.
"Jadi mulai kapan kita bisa belajar calon Bu Guru?" Pian bertanya lagi. Ia terus berjalan beriringan dengan Pika di sepanjang lorong kelas.
Pika masih diam.
"Kamu percaya nggak kalau jodoh itu dipetemukan dengan alasan yang nggak masuk akal?"
Pika berhenti berjalan. Membalikan badan sampai berhadap-hadapan dengan Pian.
"Mau lo apa sih, Yan? Kenapa sih, lo itu selalu aja bawa-bawa gue dalam setiap masalah lo? Kenapa harus gue yang jadi guru privat lo? Kenapa bukan yang lain aja?"
Pian tetap tenang. "Pertama...." Ia mengacungkan jari telunjuknya. "Aku suka melihatmu. Kedua.... aku nggak pernah bosan memandangmu. Ketiga.... Aku suka melihat dan memandangmu karena aku mencintaimu."
Pika tersentak. Pian memang suka menggodanya, sering mengeluarkan syair-syair pujangga untuk menyatakan perasaan sukanya. Tapi Pika sama sekali tidak menyangka kalau Pian masih tetap mengejarnya meski Pika sudah kelewatan jahat. Pian masih tetap menyukai Pika, bahkan sekarang bilang mencintai Pika secara terang-terangan. Tanpa mengenal ruang dan waktu, ataupun tanpa perlu mendekorasi lorong kelas ini menjadi taman bunga untuk menyatakan cinta padanya.
Langsung tepat sasaran!
"Pian.... Gue nggak ngerti deh sama cara pikir lo. Harus berapa kali gue bilang kalau gue nggak suka sama lo. Kenapa lo masih aja ngejar-ngejar gue? Kenapa lo selalu gangguin hidup gue? Gue risih, Pian...."
Pian menggeleng keras. "Kalau Pika nggak suka Pian, kalau Pika risih sama Pian, kalau Pika benci digangguin Pian. Kenapa Pika rindu waktu Pian nggak ada? Kenapa Pika cariin Pian waktu Pian pergi ke Palembang?"
Alis Pika bertautan mantap. "Sejak kapan gue rindu sama lo? Nggak usah geer! Gue bahkan nggak pernah cari-cari lo!"
Pian memutar bola matanya. "Si Sarab bilang, Pika lewat di depan kelas Pian berkali-kali sampai-sampai nggak sengaja nangkap basah Henrik lagi mencuri."
Pika membuka mulutnya lebar-lebar. "Jadi Sandi juga liat kalau Henrik itu udah nyuri uang teman kelasnya sendiri? Kenapa Sandi nggak mau ikutan jadi saksi? Kenapa waktu Pak Wandi menggeledah kelas habis-habisan, si Sandi nggak mau jujur aja? Sandi cuma diam? Kenapa?"
"Hei...." Kali ini wajah Pian terlihat serius. "Teman tidak menjatuhkan teman, bukan?"
"Tapi temen lo itu udah salah, Pian."
"Kami sebagai teman Henrik punya cara sendiri untuk memberi dia pelajaran, untuk menegur dia. Tapi bukan untuk memasukannya ke dalam penjara."
Pika menutup mulutnya rapat-rapat.
"Waktu Sarab cerita kalau kamu udah ngadu tentang kelakuan Henrik sama Pak Wandi. Sejak saat itu juga aku memutuskan untuk melindungi kamu dari teman aku sendiri. Aku teman Henrik, aku tahu dia seperti apa, dan kamu sudah masuk ke dalam masalahnya. Pika.... Aku ingin melihatmu setiap hari karena aku ingin memastikan kalau kamu baik-baik saja."
Bibir Pika bergetar. Bukan terenyuh dengan ucapan Pian, tapi jengkel dengan sikap Pian dan teman-temannya yang seperti tidak punya dosa sama sekali. Pikiran buruk yang terlintas di kepala Pika saat ini adalah; mungkin Henrik jahat, dan akan melukai Pika secara sengaja agar Pian-temannya sendiri bisa bersikap seperti super hero yang akan menolong Pika nantinya. I Hate You Pian!
"Gue benar-benar nggak ngerti permaian apa yang lo dan teman-teman lo lakukan saat ini."
"Pika, aku nggak ngajak kamu main. Aku Cuma ngajak kamu belajar."
"Is!" Pika selalu benci dengan sikap bercanda Pian yang ngawur.
"Sebentar....." Pian merogoh saku celananya dan mengeluarkan selembar kertas yang sudah remuk. "Ini nilai ulanganku minggu kemarin."
Pika melihat nilai ulangan Pian yang membuatnya nyaris menepuk jidat. Justru sebaliknya, Pian malah melakukan sujud syukur.
"Eh, kamu kenapa sih?"
"Alhamdulillah Pika, aku dikasih nilai segitu."
"Apanya yang Alhamdulillah Pian. Nilai kamu Cuma 20? 20 itu bisa dibilang nggak lulus."
"Tapi minggu kemarinnya lagi aku Cuma dapat 10. Dari angka satu ke angka sepuluh itu susah dicari, apalagi ke angka duapuluh. Mati-matian!" Pian melipat kertas ulangannya lagi dan kembali menyimpannya di dalam saku celana. "Bukan modus, tapi aku bisa mendapatkan nilai yang lebih dari ini lagi kalau kamu mau jadi guru privatku."
Pian menaikan alisnya berulang kali.
Wajah Pika sudah terlihat masem. "Nggak mungkin bisa, Pian. Nilai lo itu benar-benar jelek. Gue nggak bisa bikin lo dapat nilai tinggi dalam sejekap mata. Mustahil."
"Kamu meremehkan keseriusan aku?" Pian menaikan sebelas alisnya. "Hei, dengar ya, Pik. Menjadi hebat dan pintar itu butuh proses. Yang Tuhan berikan kepada kita hanyalah akal dan pikiran, sekarang tergantung bagaimana cara kita menggunakannya. Dan saat Tuhan sudah memberi anugrah terindah tersebut, diri kita sendiri yang harus berusaha keras untuk mencapainya. Oke, aku memang nggak bisa apa-apa, aku nggak pandai dalam hal pelajaran, yang aku bisa hanya mencintaimu." Pian tersenyum centil sambil memperlihatkan lesung piptinya.
"Tapi...." Pian kembali melanjutkan, "aku adalah orang yang mau berusaha untuk menggapai semua itu. Termasuk berusaha untuk bikin kamu suka sama aku." Pian kembali tersenyum, memperlihatkan lesung pipit dan cengiran kudanya.
Entahlah, tapi Pika tidak terenyuh mendengar kata-katanya. Pika hanya diam memperhatikan seperti patung.
"Kamu tahu Albert Einstein, kan? Kamu pikir Einstein selalu juara kelas di sekolahnya?" Pian menggeleng. "Enggak. Dia justru murid yang lamban dan sulit untuk mengikuti pelajaran berhitung." Kali ini Pian berkacak pinggang. "Tapi kenapa dia bisa jadi ilmuwan yang terkenal?"
Pika masih diam, ia terbengong.
"Karena dia mau berusaha. Dia banyak belajar buku-buku sains dan matematika. Einstein berusaha belajar sendiri, mengembangkan pola berpikir dan kepandaiannya sendiri, hingga dia berhasil menjadi orang yang hebat. Bahkan sampai hebat di mata dunia. Tapi ada satu yang sangat disayangkan dari Einstein."
"Apa itu?" akhirnya Pika bertanya.
"Kamu belum lahir. Einstein nggak bisa minta kamu jadi guru privatnya." Pian mencondongkan badan ke depan, berbisik di telinga Pika. "Einstein bakalan rugi dan dia pasti iri sama aku."
Tanpa sengaja, setelah sekian lama hanya diam dengan bibir terlipat rapat, akhirnya Pika mengulas senyum. Meskipun sangat tipis. Tapi Pian bisa melihatnya sendiri kalau itu adalah senyuman ala Pika yang sangat pelit.
"Jadi Pik, kalau kamu bersedia menjadi guru privatku dan teman-temanku. Kami janji akan rajin belajar seperti Einstein. Agar kelak kalau aku menjadi ilmuwan seperti dia, aku bisa mencantumkan nama kamu di buku teori yang aku bikin nanti. ;Eh, si Pian kok bisa jadi ilmuwan.... Dan aku bisa jawab sambil senyum; iyadong berkat tambatan hati. Si Einstein nyesal mati duluan."
"Astaghfirullah...." Pika sampai mengucap dan mengelus-elus dada.
"Dan satu lagi. Kalau Einstein punya fotonya sendiri yang akan muncul di seluruh dunia. Aku cukup punya foto kita berdua yang akan muncul di kartu undangan nikah buat teman-teman."
"HA? AHAHAHAHAH!"
Pika tidak tahan untuk tidak tertawa kali ini. Dia benar-benar tertawa sampai menyentuh perutnya sendiri. Pian benar-benar puas, akhirnya bisa membuat cewek jutek dan judes ini tertawa karenanya.
"Hei Pika. Aku punya sesuatu buat kamu." Pian memberikan secarik kertas kepada Pika. "Eits, jangan dibuka dulu. Tunggu aku pergi jauh... biar surprise kata orang barat. Mudah-mudahan kertas ini bisa bikin hati kamu luluh untuk jadi guru privat aku." Pian menengadahkan tangan dan mengusap wajahnya sambil berkata, "Aamiin....."
Pika hanya tersenyum.
"Jadi ini alasannya, kenapa selama ini kamu tidak mau senyum. Sekarang aku baru sadar kalau senyuman kamu itu menyilaukan pandanganku sampai-sampai seragamku bolong sangking sialunya. Kaboooorrrr!!!"
Pian langsung lari terbiri-birit. Diujung lorong dia terpeselet di lantai dan bertubrukan dengan tubuh Pak Wandi. Pak Wandi langsung menjewer telinga Pian sambil memarahinya.
Pika tidak bisa mendengar suara Pian selain melihat cengiran cowok itu dari jarak jauh saat dibawa oleh Pak Wandi.
Pika geleng-geleng kepala melihat tingkah laku Pian yang selalu absurd. Dia teringat akan kertas yang diberikan oleh Pian tadi. Tanpa berpikir panjang, Pika langsung membuka lipatan kertas itu dan membacanya di dalam hati.
Agen Pika, Kamu tau....
Membuatmu kesal itu adalah akal-akalan saya saja, dan membuatmu tertawa itu seperti tugas saya. Tapi mencintaimu bukan kesalahan saya, saya hanya sengaja.
.
.
.
.
.
TBC.....
Salam, Mak Pian<3
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top