7. Pian Kembali
Kemarin ketika bel pulang sekolah sudah berbunyi dan Pika menunggu jemputan dari abangnya yang tak kunjung datang, bahkan sampai sekolah tampak sepi. Pika melihat Henrik keluar dari pintu gerbang dengan pakaian yang tak pernah rapi seperti biasa, wajah kusut masai dan sebatang rokok di sela-sela giginya.
Henrik melototi Pika tajam, hendak berjalan menghampiri cewek itu seolah ingin menyampaikan sesuatu. Tapi untunglah suara klakson mobil berhasil menghentikan langkah Henrik.
Tristan.
"Belum dijemput ya?" tanya dia ramah.
"Be-belum," jawab Pika gugup. Pasalnya Henrik kembali melanjutkan langkahnya menghampiri Pika dan berhenti tepat di samping cewek itu.
"Hoi Bro, aku pikir kau udah pulang." Kalimat pertama yang terlontar dari mulut Henrik kepada Tristan.
"Belum, tadi masih urus anak-anak yang mau ikut ekskul sepak bola. Kau sendiri?"
"Aku masih kena kasus sama Pak Wandi. Parah, dimarahin habis-habisan." Sudut mata Henrik melirik Pika tajam. "Antar aku pulang sekalian, lah," lanjut Henrik.
Tristan tidak menjawab dulu, dia melirik Pika lima detik. "Mau sekalian aku antar pulang, Pik?"
Pika tersentak kaget, masih digelayuti perasaan takut. "E-enggak perlu, Tris. Gue dijemput kok. Paling bentar lagi abang gue dateng."
"Nggak enak kalau kamu kenapa-napa ditinggal sendirian di sini, ntar Piannya marah lagi."
Pika mengerutkan dahi bingung. Tristan langsung menimpali. "Hehe... aku Cuma kenal kamu dari orang-orang, karena kabarnya kamu pacaran sama Pian."
"Oh." Hanya itu respons Pika saat Henrik masuk ke dalam mobil Tristan, duduk di kursi penumpang depan.
"Udahlah, Tris. Ngapain juga peduli sama cewek ini. Pian itu dekat sama dia Cuma iseng aja." kemudian Henrik membuang puntung rokoknya keluar dari jendela mobil, matanya masih melototi Pika tajam. "Cuma mau bilang, jadi cewek jangan sok cantik."
Sungguh kasar kalimat yang diucapkan oleh Henrik, berhasil menghujam jantung Pika. Tepat sasaran hingga rasanya begitu sakit.
"Jangan didengarin ya, Pik. Henrik memang kayak begitu orangnya." Tristan berusaha menengahi.
Pika hanya bisa tersenyum, berusaha menyembunyikan perasaan cemas dan takutnya. Tapi dia tidak bisa, ternyata tidak semudah itu. Tepat di hari ini, pagi ini, kejadian itu kembali terulang.
Pika berjalan memasuki gerbang sekolah dengan perasaan kalang-kabut, jantungnya terus berdetak tak seirama. Takut itu muncul lagi saat ia melihat Henrik berdiri di sudut gerbang sedang memelototinya dengan tajam, bibirnya menyulut sebatang rokok.
Pika berdoa di dalam hati agar Henrik tidak menghampirinya, atau menariknya pergi, atau menculiknya, atau hal buruk lainnya yang akan dilakukan oleh Henrik.
"Ooooh burung...uuunggg.... Nyanyikanlah. Katakan padanya aku rindu."
Akhirnya Pika bisa bernapas lega. Pian kembali! Ya, cowok itu berhasil mengikis ketakutan Pika perlahan demi perlahan. Apalagi saat Pian berjalan menghampirinya, memutari tubuhnya sambil bernyanyi dengan suara pales.
"Halo Agen Pika, agen Pian sudah kembali. Rindukah? Jembatan Ampera telah memisahkan kita."
Sungguh, rasanya Pika ingin sekali berteriak. "Piaaaaaannn, Lo kemana aja sih! Gue kangen syair Kahlil Gibran lo! Gue kangen kekonyolan lo yang selalu bikin gue jengkel. Sebenarnya, gue Cuma mau bilang kalau gue ketakutan...."
Tapi kalimat itu hanya teredam di bibir saja. Pika tetap bersikap seperti biasa. Jutek dan tidak tersenyum.
"Ah, iyaa...." Pian kembali melanjutkan. Saat ini mereka berjalan beriringan melewati koridor kelas.
"Akhirnya Agen Pian sudah menemukan sebuah filosofih singkat tentang kata kerja benci. Bahwa, tanpa kita sadari ada sebuah garis tipis yang membatasi kebencian. Garis tipis yang bisa digali, dicangkul, dihancurkan, dibuang, lalu ditanam kembali dengan bibit cinta. Kau membenci Kota ini Nona, aku tau. Kau membenciku, aku pun lebih tau. Tapi dengan caraku sendiri, aku akan membuktikan dan memperlihatkan sebuah keindahan yang nggak akan pernah kau temui di mana pun terkecuali di kota ini dan di hatiku. Ini bukan pengumbaran kata-kata, tapi janji tersirat yang sedang menunggumu."
Pika nyaris kehilangan napas mendengar kalimat Pian.
"Apa ada yang gangguin kamu di sekolah selama aku nggak ada?" Pian bertanya tepat di telinga kanan Pika.
"Memangnya kalau ada yang gangguin gue, lo bisa apa?" berhenti sejenak, Pika berhadapan dengan Pian. Bertanya dengan gaya menantang.
Pian pura-pura berpikir keras. Benar-benar memasang wajah kas menyebalkan.
"Gampang. Aku punya kenalan dukun handal yang bisa bikin orang yang gangguin kamu itu panuan."
Pian bercanda! Pika menghela napas jengkel.
"Serah lo deh!" Sebelum Pika memasuki kelas, Pika kembali berbicara kepada Pian. "Sorry, gue nggak pernah tuh kepikiran buat kangen sama lo. Dan Gue pikir lo nggak tuli, bisa mendengar apa yang gue bilang sama lo kemarin. Kenapa kita nggak bikin masalah ini jadi sederhana aja.
I hate you, dan lo menghilang dari hadapan gue. Gampang kan?" Pika Cuma bisa berdoa dalam hati; Tuhan, semoga Pian nggak menganggap hal ini benar-benar serius.
"Lo gue end. Tapi No." Pian bercanda. Wajahnya sok serius. "Nggak semudah itu Agen Pika. Kamu benci aku, itu hak kamu. Aku suka kamu, itu panggilan alam," lanjutnya lagi.
Pika hanya mengerutkan dahi. Muncul lagi deh tingkal laku berlebihan ala Pian.
"Hei agen Pika yang terhormat. Sebenarnya Tuhan sudah punya rencana lain untuk kita berdua. Ternyata, kita memang ditakdirkan untuk berjodoh."
Alis Pika saling bertautan. "Nggak usah sok tau deh!"
Pian mencondongkan badan ke depan, berbisik. "Karena kamu muncul di salat istikarahku."
Pika terbatuk, nyaris tersedak. Sangat tidak masuk akal seorang Pian yang tidak pandai mengaji, apalagi salat lima waktu, tiba-tiba saja bisa salat istikarah? Nggak mungkin.
"Yang bener?"
"Enggak, jangan percaya. Tapi suatu hari nanti kamu harus percaya, karena aku mau privat sama Pak Sahdan."
Pika mendesis kesal. Pian benar-benar menyebalkan! Lalu dengan santainya cowok itu berjalan menjauhi Pika.
"Dasar sableng!"
Saat Pika benar-benar ingin memasuki kelasnya. Lagi-lagi....
"Agen Pika....."
"Apa lagi sih?" Pika membalikan tubuhnya.
Pian mendekati Pika lagi. Berbicara dengan nada kecil, mungkin hanya mereka berdua yang bisa mendengar. Dan juga Tuhan yang Maha mengetahui segalanya.
"Jadi orang brengsek itu menyenangkan. Tapi aku enggak seperti itu, karena risikonya tinggi. Kalau ada orang brengsek yang gangguin kamu, mungkin dia nggak kenal siapa aku. Kalau ada orang brengsek yang bikin kamu takut, aku yang akan lindungi kamu semampuku. Janji teater!"
***
"Yan, ngapain kita ke kantin? Mending ke gudang belakang aja, merokok."
Nggak biasanya Pian, Henrik, Tristan dan Sandi main-main ke kantin. Paling kalau mereka lapar, mereka nitip ke anak-anak buat membelikan mereka makanan; lalu di antar ke gudang belakang sekolah tempat mereka nongkrong sambil merokok.
Pian tidak menghiraukan pertanyaan Henrik, dia langsung berjalan menghampiri warung bude Nani.
"Samlekum calon mertua," goda Pian sambil mengambil gorengan yang tersedia di keranjang dan menggigitnya lahap.
Kemudian mata Pian melihat ke arah Laisa, anak perempuannya Bude Nani.
"Laisa cepat besar yaaa. Bang Pian akan setian menunggu Laisa sampai dewasa. Laisa mau kan sama Bang Pian?"
Gadis kelas lima SD itu langsung menggeleng mantap. "Nggak mau!"
"Kenapa Laisa nggak mau sama cowok yang mungkin, agak, bisa jadi, kalau dilihat pake pipet, bakalan ganteng?"
"Bang Pian jelek! Kalau makan di kantin Ibu suka ngutang."
Bude Nani tertawa, teman-teman Pian ikut tertawa.
"Yaudah kalau Laisa nggak mau sama Bang Pian. Bang Pian sama cewek lain yang lebih cantik aja." Lalu Pian melirik Bude Nani, menaikan alis berulang kali. "Bude, tolong teh dinginnya satu yaa. Jangan lupa cuma setengah sendok gula aja. Nggak mau diabetes soalnya kalau liat si cewek pujaan hati minum teh itu."
Bude Nani mesem-mesem. "Kemarin Neng Pika pesan, kalau dia nggak mau dikasih teh sama Pian lagi. Neng Pika nggak suka katanya."
"Yaudah kalau gitu ganti sama kopi aja."
Sandi menepuk pundak Pian dari belakang. "Ente pikir Pika itu atuk-atuk. Diberi kopi segala." (arti= atuk: kakek)
Henrik ikut berbicara. "Hei, Pika lagi nggak ada di kantin. Udah lah, Yan, ngapain dekat-dekat sama cewek sok cantik itu segala."
"Pika memang asli cantik." Tristan menimpali.
Pian mengangguk. "Cantik luar dan dalam. Aku sering lihat sepatunya ada di luar musalah."
"Memangnya kalau sepatunya ada di luar musalah kenapa teh?" Bude Nani bertanya.
"Harusnya dia pakai sandal jepit. Biar kalau dia pakai sandal jempit, mau kucuri sandal jepitnya. Terus aku bisa ngadain sayembara sedal jepit hilang. Bagi perempuan yang sandal jepitnya cocok dengan ukuran sandal jepit yang kumaling, akan aku jadikan istri. Nah, di situlah aku mulai suruh si Pika cobain sandal jepit yang aku curi itu. Dia kan nggak tau kalau itu sandal jepitnya dia."
Semua tertawa sampai geleng-geleng kepala. "Pian, Pian, kebanyakan main teater sih kamu!"
"Alah, cewek murahan kayak gitu direbutin. Nggak mutu!" seru Henrik sarkartis.
Lantas saja membuat mata Pian melotot tajam, emosinya mendadak meluap hingga ke ubun-ubun. Kelucuan sudah hilang dari gurat wajahnya. Pian menarik kera seragam sekolah Henrik. "Apa kau bilang? Ulangi sekali lagi? Kau bilang apa barusan?"
"Loh, aku bicara kenyataan. Gara-gara dia, aku jadi kena masalah sama guru-guru. Jangan mentang-mentang dia pindahan dari Kota besar, anak kota yang cantik, dia bisa seenaknya aja!" Henrik tak kalah kesalnya.
"Tolong jaga omongan kalau bicara. Sebelum aku suruh nyamuk sedot darahmu sampai demam berdarah!" Pian melepaskan cengkramannya pada seragam Henrik, berusaha mengesampingkan emosinya.
Kemudian kembali menciptakan lelucon dan suasana kembali normal seperti sebelumnya. Ketegangan sudah mengambang jauh. Sedangkan Henrik mulai pergi dari kantin, mencari tempat ketengangan sendiri. Merokok di gudang belakang sekolah mungkin lebih baik.
****
Pulang sekolah, Henrik sengaja menunggu Pika di luar gerbang. Menunggu berjam-jam sampai sekolah mulai sepi, satpam pergi istirahat makan siang, dan puntung rokok yang ia hisap sudah habis sampai lima batang.
Dua jam lebih menunggu dengan bosan, akhirnya Pika berjalan melewati gerbang sendirian. Pika baru saja selesai piket.
"Woi!" Henrik berteriak setelah membuang puntung rokok terakhirnya dan menginjaknya hingga mati.
Pika terbelalak lebar. Jantungnya nyaris copot. Pika sama sekali tidak menyangka kalau Henrik akan terus-terusan mengusik hidupnya. Pika berbalik badan, mulai berjalan kembali memasuki sekolahan. Tapi Henrik terus mengikutinya dari belakang.
"Woi tunggu!" Henrik terus berteriak.
Beberapa detik kemudian, suara knalpot cempreng dari sepeda motor berdenung nyaring.
"Henrik!" suara berat dari seorang cowok ikut terdengar.
Pika berhenti berjalan. Memberanikan diri untuk membalikan badan. Ia melihat Henrik berbicara dengan empat cowok yang menggunakan dua sepeda motor. Awalnya pembicaraan itu terlihat biasa-biasa saja, tapi lama-lama terjadi baku hantam di antara mereka. Empat orang tersebut mengeroyok Henrik habis-habisan.
Pika ingin berteriak, tapi Pika juga takut akan kena masalah. Lagipula tidak ada siapa-siapa di sini. Mau berteriak juga tidak ada yang mendengar. Akhirnya Pika memilih untuk masuk ke dalam sekolah, mencari bantuan siapa saja yang masih berada di sana.
"Eh, ada Pika. Habis dari mane, kok baru pulang?" tanya Bu Nova ketika melihat Pika berhenti di hadapannya. Bu Nova dan Pian duduk di kursi panjang yang ada di koridor sekolah.
Pika mencari pemasok oksigen yang banyak, napasnya terengah-engah.
"Oh. Alvian ...." Bu Nova menyikut murid kesayangannya, "dikau antar lah si Pika sampai ke rumahnya. Tega nian dikau biarkan dia pulang seorang je."
"Eh, nggak usah Bu. Saya-" belum sempat Pika melengkapi kalimatnya, Pian langsung menimpali.
"Mau kuantar, tapi dia udah nolak duluan. Gimana tu?"
Bu Nova jadi tertawa, kembali menatap Pika. "Pika... Dikau nggak ngucapin selamat sama Alvian? Theater mereka berhasil masuk sepuluh besar tingkat Nasional, lho."
"Jangan." Pian mengacungkan kelima jarinya. "Tunggu sampai aku berhasil bawa theater masuk tiga besar. Ntar kita makan-makan," lalu berbisik. "Cuma berdua."
Wajah Bu Nova berubah mesem-mesem. "Ah sudahlah Pian. Kenyang Ibu dengar omonganmu. Ibu ke ruangan guru bentar yaaa, ada yang mau diurus."
Ketika Bu Nova pergi dari hadapan mereka. Pika kembali menatap Pian, wajahnya Pias. Dan Pian bisa mengerti gestur tubuh Pika.
"Kenapa Pika? Ada yang gangguin kamu?" nada Pian cemas.
Pika menggeleng. "Henrik...." Ujarnya sedikit gagu. "Henrik di keroyok."
Lantas Pian langsung bangkit dari duduknya sampai kursinya nyaris saja terjungkang ke belakang. "Dikeroyok sama siapa?"
"Nggak tau Pian. Tadi ada empat orang naik motor datang ke sekolah, terus manggil Henrik. Tiba-tiba Henrik udah dipukuli aja. Gue takut Pian, gue nggak bisa nolongin Henrik. Pak Satpam nggak ada di depan."
Buru-buru Pian berlari. Begitu pula dengan Pika yang mengikuti cowok itu dari belakang. Tapi saat sudah tiba di luar gerbang sekolah, Pian langsung menutup pintu gerbangnya, membiarkan Pika terkurung di dalam.
"Pian....." Wajah Pika berubah bingung.
"Jangan dibuka gerbangnya, kamu tunggu di sini aja. Nggak baik buat kesehatan. Itu tontonan yang labelnya bimbingan orangtua. Ayo menghadap ke belakang."
"Kenapa?" Pika bertanya masih bingung.
"Bahaya Pika, ini tontonan orang dewasa."
Apa pun yang telah dikatakan oleh Pian, itu sungguh aneh. Dan lebih anehnya lagi, Pika justru menuruti. Cewek itu menghadap ke belakang, melihat apa saja yang pantas untuk dilihat. Sedangkan Pian berjalan beberapa meter, menghampiri sudut jalanan tempat Henrik dikeroyok habis-habisan.
"Woy! Pada ngapain kalian!"
Empat orang tadi berhenti memukuli Henrik, mereka melihat ke arah Pian.
"Heh! Jangan ikut campur masalah kami." Kata salah satu orang tersebut.
"Wajar kalau aku ikut campur, karena kalian udah berani berantam di daerah kekuasaanku. Kalian tau itu sekolah siapa?" Pian menunjuk ke arah sekolah. "Bukan sekolahku. Tapi aku murid di sekolah itu, guru-guru bilang kalau sekolah itu adalah sekolah Bapakku!"
Mereka hanya bisa garuk-garuk dan geleng-geleng kepala karena bingung.
"Kalian tau kalau sekolah ini bekas kuburan? Kalian tau kalau aku kenal sama penghuni kuburan yang ada di sekolah ini. Si Ocong, si Kuntil, si Uyul, si Gundor, si Uter Ecot. Kalau mau, aku panggil mereka buat cekik kalian hidup-hidup." Pian kembali berbicara ngawur.
Empat orang tersebut asyik berbisik ria satu sama lainnya.
"Kenapa nih anak? Udah gila dia?"
"Dia ngomong apa sih?"
"Si Ocong siapa Ocong? Nggak kenal."
"Masih kurang jelas apa yang aku bilang tadi!?" Pian berteriak, kemudian diam. Menundukan kepalanya, menatap ke bawah, membuat empat orang tadi semakin menatapnya heran. Lalu mendadak kepala Pian terangkat ke atas, bola matanya ia putar ke atas, dan pura-pura kesurupan seperti orang gila.
Empat orang tadi langsung ketakutan. Mereka lari terbirit-birit mengambil sepeda motor mereka.
"Woy Henrik. Urusan kita belum selesai!" teriak salah satu dari mereka, sebelum motor mereka semua melesak jauh meninggalkan tempat.
Henrik bangun dari atas tanah, dan menepuk pundak Pian. "Udah aktingnya, mereka udah pergi."
Pian memperbaiki kera seragam sekolahnya. "Aktor teater kok dilawan," ujarnya sombong. Berjalan mendekati Pika kembali.
"Agen, kamu tunggu di sini ya. Aku mau ambil si Napi dulu," kata Pian setelah Pika kembali berhadapan dengannya. Pika melirik Henrik sejenak, mukanya benar-benar terluka parah.
"Napi si-siapa?" rasa takut membuat Pika jadi pelupa.
"Napi. Motor Nasa Agen Pian. Biar aku yang antar kamu, aku liat kamu ketakutan."
"Enggak. Bentar lagi gue dijemput." Pika tetap ketus.
"Udahlah, Yan. Kalau dia nggak mau, ya nggak usah dipaksa. Jangan dimanjain lah cewek kayak gini." Henrik berbicara malas-malasan.
Tak lama kemudian, sebuah mobil sedan berhenti di depan mereka. Bang Angga membuka jendela mobilnya dan membunyikan klakson.
"Sorry, abang gue udah jemput. Gue duluan ya."
Pian mengangguk, tersenyum manis hingga memperlihatkan lesung pipitnya. Setelah mobil sedan itu melesak jauh, Henrik berbicara kepada Pian.
"Kenapa sih masih suka sama cewek jutek kayak gitu. Sok kaya dia!"
Sudut mata Pian melirik Henrik.
"Jangan hiraukan seberapa keras usaha dia buat jauhin kita, tapi lihat seberapa pantas diri kita untuk dapatkan dia. Sampai-sampai dia patut buat kita perjuangkan."
"Kalau misalnya sudah capek-capek perjuangin dia. Tapi dia-nya tetap nolak gimana? Cewek itu munafik. Nolak-nolak tapi mau!" Henrik tetap sarkartis.
"Ya, coba lagi. Mana tau dapat motor."
"Kalau nggak dapat motor?"
"Ambil undian lagi, manatau dapat ban motornya aja. Kan lumayan juga...."
"Kalau nggak dapat-dapat juga dan gagal terus gimana?"
"Berarti aku kurang beruntung. Berarti dia bukan untukku. Berarti Tuhan punya rencana sendiri buat kami berdua. Mungkin kami hanya dipertemukan, tetapi bukan untuk dipersatukan. Tetap positive bro, Gitu aja kok repot. Yang penting, usaha dulu."
.
.
.
.
Tbc.....
Yang penting usaha dulu ya Yan hehe.
Salam, mak Pian <3
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top