5. Pika benci Pian
Setiap hari Sabtu, di SMA NUSA diwajibkan memakai seragam olahraga.
Setelah gerbang sekolah ditutup, semua murid dan guru harus berkumpul di lapangan untuk melaksanakan senam pagi. Instruktur yang berdiri di atas panggung adalah guru olahraga yakni Bu Lia. Sedangkan lagu senam yang mengiringi, medley antara lagu Lancang Kuning dan dangdut koplo.
Di barisan paling belakang, anak-anak cowok dari semua kelas berkumpul. Melakukan gerakan senam yang tidak sesuai dengan gerakan Bu Lia. Lagunya apa, gerakannya ke mana. Sesuka hati mereka. Apalagi saat lagu dangdut koplo mulai berdendang, Pian justru mengangkat kedua jempolnya, kemudian asyik bergoyang ke sana-kemari.
"SMA NUSA digoyaang coy!" teriak Pian heboh diikuti dengan gelak tawa dari anak-anak yang lain.
Dan seusai mengikuti beberapa pelajaran, murid-murid di SMA ini juga diharuskan mengikuti perkumpulan kegiatan ekstrakullrikuler yang telah mereka ikuti masing-masing. Contohnya seperti Pian yang saat ini sedang berkumpul dengan rombongan anak teater.
Dia dan temannya, Imran-si cowok setengah tulent yang paling sering berperan sebagai laki-laki setengah wanita-kini sedang main pedang-pedangan dari bambu.
"Ih, sakit Pian. Jangan dipukul-pukul gitu. Nanti badan Imran jadi luka." Suara Imran terdengar centil sambil mengelus-ngelus lengannya sendiri.
Sedangkan Pian tetap jail. "Ayo lawan kalau berani. Tunjukan ketajaman jantan punya kamu. Eh, maksudnya kejantananmu wahai manusia jadi-jadian!" Pian terus menggelitik pinggang Imran dengan bambu yang ujungnya tumpul.
"Ih, Pian jahat, ih. Kok aku dibilang manusia jadi-jadian!"
"Jadi manusia apa? Manusia setengah mateng? Telur dong kamu. Emangnya mau disama-samain sama telur? Emangnya punya?"
"Punya apa ih? Pian kok kotor sih pikirannya."
"Hahahahah!" Pian tertawa terpingkal-pingkal. "Katanya kamu suka lihat si Tristan, katanya si Tristan cakep. Kalau kamu menang lawan aku, aku comblangin deh." Pian bercanda.
"Enggak ah, malu," kata Imran centil. "Masa pisang makan pisang, mana enak yeee...."
"Alhamdulillah akhirnya nyadar." Pian berlari ke sudut sekolah, mengambil ember berisi air dan membawanya kembali ke hadapan Imran. Bibir cowok itu mulai berkomat-kamit. "Keluarlah kau setan, jangan ganggu. Si Imran Burohman mau tobat. Bapaknya udah malu punya anak kayak dia." Lalu mencipratkan air ke wajah Imran.
"Bu Novaaaaa, Pian jahat deh!!!" Imran megap-megap dan merengek centil kembali. Semua anak teater yang berkumpul di sana pada tertawa melihat tingkah lucu keduanya.
"Hoi Pian, jangan digangguin anak perawan!" seru Bu Nova ikut bercanda.
"Siap komandan 45!" Pian mengembalikan embernya ke tempat semula. Lalu duduk di samping Bu Nova. Membaca naskah teater yang diberikan oleh Bu Nova.
"Pian lagi suka sama cewek." Pian mulai berbicara kepada Bu Nova.
Bagi Pian, Bu Nova sudah dianggap sebagai Ibu sendiri.
Benar kata pepatah. Guru adalah orangtua ketika kita ada di sekolah. Tetapi Bu Nova di mata Pian adalah, orangtua kapan pun dan di mana pun. Tidak mengenal tempat dan waktu. Kalau Pian ada masalah, dia selalu menceritakan semuanya kepada Bu Nova. Begitupula dengan Bu Nova. Meskipun wanita berumur 32 tahun ini sudah menikah dan memiliki satu anak yang masih berusia 5 tahun. Ia selalu menganggap Pian sebagai anak sulungnya.
"Siape? Anak baru itu? Siape namanya? Pika ya?" tanya Bu Nova dengan logat Melayunya yang tidak terlalu kental.
Pian mengangguk, membalikan naskah teaternya. "Tapi dia nggak suka aku."
"Ngape? Dikau kan hebat. Aktor kesayanganku, juara actor terbaik pula." Bu Nova merangkul pundak Pian.
"Cewek itu nggak cari cowok yang hebat. Hal pertama yang dilihat dari cewek adalah; kadar ketampanannya. Dan aku nggak ganteng. Nggak akan, sedikitpun dikasih kadar kegantengan."
"Heeh, jangan pesimis gitu. Si Pika itu mungkin masih melihat-lihat covernya dulu. Dia belum berani buka sampulnya dan baca isinya. Mungkin takut kecewa kalau isinya akan sejelek coverya. Padahal aslinya ...."
"Isinya lebih bagus dari covernya! Happy ending lagi. Nggak pake alur maju-mundur." Pian menimpali.
"Nah, pinter muridku."
"Si Pika mungkin masih buta. Atau lebih buta lagi kalau dia mau sama aku, hahahah."
"Hahahah." Bu Nova tertawa.
"Jadi gimana? Tak pernah Ibu lihat dikau kejar-kejar cewek macem tuh. Minimal selama ini dikau Cuma sering gangguin si Imran yang agak setengah wanita. Tapi Ibu tau dikau masih waras, Yan...." Bu Nova cengengesan. "Kayaknya si Pika ini berhasil mecuri hati Pian, berhasil bikin Pian makin gila."
"Iyaa. Tergila-gila akan cintanya si Pika. Dan lebih keren lagi kalau aku bisa bikin Pika tergila-gila sama aku. Atau semakin mantap lagi kalau kami berdua sama-sama tergila-gila sampai lupa letak rumah sakit jiwa."
"Hahahaha." Mereka kembali tertawa.
"Yang mane sih si Pika itu? Belum pernah Ibu lihat wajahnya, Cuma pernah dengar namanya aja. Itu pun karena gossip yang dikau tuai! Memanglah dikau nih, pandai bikin satu sekolah heboh."
"Tuh ...." Pian mengacungkan jarinya ke arah kiri. Di hadapan tiang bendera. Di mana para murid-murid yang mengikuti ekstrakurikuler paskibra berkumpul di sana.
Bu Nova menyipitkan matanya. "Yang mane satu nih. Itu kan si Widya pacarnya Sandi bukan?"
"Eh, bukan yang itu Bu. Tapi yang di sebelahnya. Yang rambutnya panjang tapi nggak diikat. Coba Ibu suruh senyum, pasti runtuh dunia saking manisnya."
"Hahaha. Memang cantiklah dia, pandai anak jaman sekarang nih ya."
"Iya dong. Pian Syalala gituloh!" Pian mengibaskan kera bajunya bangga.
Di tempat lain. Pika berdiri dengan tidak tenang.
"Pik, Pik. Kayaknya si Pian sama Bu Nova lagi bicarain kamu deh." Bisik Widya yang berdiri tepat di sebelah Pika.
"Iya. Gue juga tau kalau dari tadi mereka ngelihat ke arah kita terus. Memangnya ada yang aneh ya sama penampilan gue?"
Widya melihat Pika saksama. Lalu menggeleng. "Enggak kok. Lagi panas-panasan dan keringatan gini aja, kamu tetap cantik. Wajar kalau si Pian tergila-gila."
"Tapi gue nggak respek sama dia. Hufh!"
"Heh, kalian! Siapa yang suruh bicara. Berdiri yang benar!" Farel, leader di paskibra memelototi Pika dan Widya dengan ganas.
Widya dan Pika menunduk patuh, tidak berani lagi berkutik.
"Jangan marah-marah oi, nanti cepat tuaa! Mukanya aja udah keriput gitu."
Nyaris saja Pika terlompat saking kagetnya saat mendengar suara teriakan Pian. Anehnya cowok itu udah berdiri tepat di sebelah Pika.
"Halo Agen Pika. Hari ini panas, nggak hujan," ujar Pian sambil cengengesan.
Pika menggeser posisi tubuhnya agak jauh dari Pian. "Memangnya kenapa kalau hujan?"
Kalau aja si Pian menjawab: Aku lebih suka cuaca panas. Karena kalau dingin, takut bakalan khilaf meluk kamu. Lagi seperti kemarin. Pika berani bersumpah akan melempar Pian dengan batu.
Untungnya enggak. Tapi lebih parah dari yang kemarin.
"Kalau hujan, kita bisa lari-larian kayak film India. Aku yang nyanyi, kamu yang joget. Asik nggak?"
Urat malu Pika nyaris putus! Apalagi saat teman-teman di sekitarnya mulai terkekeh geli.
"Nggak usah norak deh. Pergi sana jauh-jauh!" usir Pika terang-terangan meski suaranya berusaha sekecil mungkin.
"Jangan jauh-jauh, nanti kangen." Pian berujar tanpa dosa dengan wajah kalem menyebalkan.
Benar-benar pengen ditimpuk dengan batu besar.
"Mau ngapain sih ke sini? Kalau Kak Farel lihat, dia bisa marah. Pergi sana ...."
"Aku suka berada di mana aja, asalkan itu di samping kamu." Wajah Pian tetap datar.
Widya tertawa. "Oi Pian, Pika itu nggak suka sama kamu. Udah pergi sana jauh-jauh. Ngerti pepatah nggak, kalau cinta itu nggak bisa dipaksakan."
"Sangat mengerti. Tapi kamu ngerti pepatah juga nggak, kalau jatuh cinta itu nggak pake alasan?"
Widya dan Pika bungkam.
"Kenapa rambutnya nggak diikat? Nggak kepanasan?" Pian melihat rambut Pika yang berantakan tergerai oleh angin.
"Nggak suka!" seru Pika ketus.
"Asal kamu tau yaaa. Cewek akan terlihat sepuluh kali lebih cantik kalau rambutnya itu diikat. Karena rambut yang biasanya digangguin sama angin sampai menutupi wajah kamu, nggak bakalan bisa apa-apa lagi. Karena sesuatu yang terikat itu hanya boleh dimiliki oleh satu orang."
Pika menoleh ke samping, menatap Pian dengan dahi berkerut. Tidak mengerti dengan arti dari perkataan cowok tersebut.
"Nggak perlu jadi angin yang akan merusak rambut kamu. Aku hanya perlu jadi ikat rambut yang bisa melindungi rambut kamu. Tapi Alhamdulillah-nya lagi, aku nggak jadi keduanya. Tapi aku jadi manusia seutuhnya yang bisa menyukai kamu."
Pika diam, kelopak matanya hanya terbuka lebar.
"Woi, kalau mau pacaran jangan di sini. Pergi sana di bawah pohon berduaan biar lebih adem!" teriak Farel mulai kesal.
"Woi, iri yaaaa muka ganteng tapi nggak bisa dapati cewek secantik Harpika Hasyim? Makanyaaaa jadi Pian dongsss."
Farel berkacak pinggang. Wajahnya sudah merah padam akibat menahan gejolak emosi.
"Pian, please mending lo pergi aja dari sini!" Pika menghentakan kaki kesal.
"Tunggu-tunggu." Pian berjalan ke depan, mendorong tubuh Farel agar dia bisa berdiri di tengah-tengah pasukan paskibra. "Terpujilah cinta yang mampu mengisi kesepian manusia, dan mengakrabkan hatinya dengan manusia lain." Pian kembali melafazkan syair Kahlil Gibran. Kali ini menggunakan TOA!
Semua orang kembali meledek Pika. Cewek itu menundukan kepala, berusaha menyembunyikan wajahnya yang berhasil menjadi tontonan orang banyak. Tidak hanya anak paskibra, tapi rombongan teater juga ikut memerhatikannya.
Dari jauh, Bu Nova berteriak. "Alviaaaan, jangan digangguin anak gadis orang!"
"Hey Nona. Siapakah gerangan? Yang mampu memikat hatiku dalam hitungan detik. Yang mampu membuka mulutku demi memuji kecantikanmu berulang kali. Yang mampu-"
"Pian, stoooop!!!!!" teriakan nyaring Pika menghentikan semuanya.
"Yang mampu memberi makan fakir miskin. Ehm...." Pian akhirnya berbisik sendirian.
Pika berjalan cepat menghampiri Pian, berdiri menantang di hadapan cowok tersebut. Matanya bulat sempurna, merah menahan amarah namun berkaca-kaca hendak menangis. Bibirnya bergetar ingin menyemburkan perkataan-perkataan murka. Sedangkan kedua tangannya terkepal geram.
"Udah puas lo bikin gue malu di depan semua orang, ha!?"
Amarah Pika benar-benar meledak. Tak seorang pun yang berani berkutik.
"Udah puas lo bikin harga diri gue benar-benar jatuh, ha!?"
Jakun Pian naik-turun, merasa ngeri.
"Lo tau Pian! Selama ini gue memang sabar menghadapi tingkah laku konyol lo. Tapi kesabaran manusia itu ada batasnya. Lo pikir gue bakalan senang mendapat perlakuan memalukan seperti ini?"
"Ehm, begini Agen Pika-"
"Nggak usah bicara apa-apa lagi!" Pika menimpali dengan murka. Membuat mulut cowok itu kembali terlipat rapat-rapat.
"Lo itu norak, kampungan, berlebihan dan bikin malu! Gue bilang baik-baik sama lo, kalau gue ini bukan pacar lo. Gue bukan siapa-siapa lo. Bahkan gue nggak kenal dengan lo sama sekali. Tapi lo semakin bikin gue benci tinggal di Kota aneh ini yang isinya juga sekumpulan orang-orang aneh!"
Perkataan Pika berhasil menohok hati siapa saja yang berdiri di sana. Ada yang ingin menegur kalimat sarkas Pika, tapi cewek itu sudah menitikkan air mata.
"Eh, kok nangis. Jangan nangis," ujar Pian panik, ingin mengusap air mata Pika. Tapi cewek itu buru-buru mundur selangkah dan menepis tangan Pian secara kasar.
"Lo tahu Pian, ada tiga hal yang gue benci di dunia ini." Pika menghela napas sejenak.
"Pertama, tinggal di Kota bertuah ini. Kedua, ketemu sama lo. Dan ketiga, bisa kenal dengan sosok aneh seperti lo! Gue benci semuanya, gue benci semua yang ada di sini!!!!"
Kalimat itu seperti petir di telinga Pian dan semburan gunung merapi di hati Pika.
***
Sesampainya di rumah.
Pika membuka tas ranselnya, mengeluarkan seluruh buku pelajarannya dan sepucuk surat yang tadi sempat diberikan oleh Widya. Widya bilang surat itu pemberian dari Pian. Awalnya Pika tidak ingin menerimanya karena masih kesal melihat tingkah laku Pian. Tapi ternyata, diam-diam Widya memasukan sepucuk surat itu ke dalam tas Pika.
Pika membaca secarik kertas dengan tulisan tangan ceker ayam tersebut.
Hey Nona. Pernah mendengar pepatah?
Jangan mencintai seseorang sampai begitu cintanya. Karena engkau tak pernah tahu, entah itu besok perasaan cinta itu akan berubah menjadi benci.
Jangan pula membenci seseorang sampai begitu bencinya. Karena engkau juga tak akan pernah tahu, entah itu besok perasaan benci itu telah berubah menjadi cinta.
Seseorang pernah bilang, bahwa cinta dan benci itu seperti sehelai benang tipis. Ia begitu rapuh dan mudah patah. Jangan bermain-main dengan benang, bila tak pandai menjahit. Hanya akan buang-buang energi.
Sama seperti cinta dan benci. Jangan bermain-main dengan perasaan bila tak pandai mengontrolnya. Hanya akan bikin hatimu terluka.
Maaf sudah membuat hati kamu terluka. Karena aku tidak pandai mengontrol sebuah rasa. Aku hanya pengumbar kata-kata yang tidak begitu bermakna. Tapi ... kalau ada orang yang tulus sayang sama kamu. Itu cuma aku orangnya. Percaya saja!
Beloved Pian.
.
.
.
.
Tbc...
Salam, Emak Pian❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top