2. Anak Baru Masuk Sekolah

My Beloved Pian....

Perasaan itu masih tetap sama,  aku benar-benar keukeuh membenci dirimu.

Tak peduli sekalipun badai mampu menghempaskan kota menjadi puing-puing.

Aku tetap membencimu, meski di kota itu hanya tinggal kita berdua.

***

Pukul empat sore Pian muncul di sebuah bank. Ia duduk di kursi sambil menonton televisi. Para teller serta costumer service masih sibuk menyelesaikan pekerjaan mereka masing-masing sebelum pulang ke rumah.

​"Abang ngapain ada di sini? Pak Bagas sudah pulang dari setengah jam yang lalu," ujar salah seorang satpam kepada Pian.

​Pian melihat Pak Ateng, satpam itu, dengan napas tertahan selama dua detik. "Kenapa nggak ngabarin?" Emosinya yang berada di ubun-ubun hendak meledak. Namun sekuat tenaga Pian tahan.

​"Lah, Abang aja baru datang sekarang. Jadi, Bapak kasih tahunya juga sekarang." Pak Ateng bermaksud bercanda. Untungnya Pian bisa menahan emosi dan menanggapi dengan bercanda juga.

​"Oh, iya, ya." Pian tertawa sambil memukul pelan pundak Pak Ateng yang duduk di sebelahnya. "Ya udah, nggak apa-apa." Lalu, saat hendak berdiri, Pian melihat ada dompet di kursi kosong sebelahnya. "Ini dompet Pak Ateng?"

​Pak Ateng langsung mengambil dompet yang diberi Pian. "Bukan. Tapi, siapa tahu ini dompet milik para pekerja yang ada di bank ini, atau punya nasabah. Pak Ateng tanya ke yang lain dulu ya ...."​

​Sebelum Pak Ateng pergi, tiba-tiba saja seorang laki-laki muncul di hadapannya.

"Alhamdulillah, akhirnya dompet saya ketemu."

​"Ini dompet Mas Angga?" tanya Pak Ateng was-was.

​Laki-laki itu mengangguk. "Kalau nggak percaya, Pak Ateng bisa periksa KTP di dompet saya."

​"Lain kali hati-hati ya, Mas." Pak Ateng memberikan dompet itu kepada pemiliknya. Dan, Angga langsung duduk di sebelah Pian sambil memeriksa isi dompetnya.

​Pian sempat mengintip sejenak, dan melihat foto yang ada di dalam dompet tersebut. ​

"Itu foto siapa, Bang?" sambar Pian. Angga menatapnya heran. "Itu tuh, foto Abang sama cewek yang lagi Abang gendong. Jadi pengin ikutan gendong."

​"Oh .... Adik gue ini. Dia baru aja datang dari Jakarta, sekarang mau pindah sekolah di sini."

​"Kapan mau sekolahnya?"

​"Kata gurunya sih, besok dia udah mulai masuk sekolah."

​"Terus kapan mau lulusnya?"

​Laki-laki itu diam. Lalu, ia tertawa.

​"Namanya siapa, Bang?" tanya Pian lagi penasaran.

​"Mau apa lo? Naksir?"

​"Mana tau jodoh."

​"Harpika Hasyim. Pika sih panggilannya."

​"Oh. Sama dong kalau gitu sama saya."

​"Nama lo Pika juga?"

​"Bukan. Tapi Pian."

​"Terus apanya yang sama?"
​"Ya disama-samain aja, lah."

​Laki-laki itu tertawa lagi. "Sebenarnya dia lagi bete, plus ngambek," lanjut Angga kemudian.

​"Kenapa? Karena nggak dikenalin ke saya mungkin."

​"Dih," tertawa lagi. "Dia kesal karena diajak pindah ke Pekanbaru. Katanya Pekanbaru itu nggak enak, panas, sumpek, terus kecil."

​"Masukin aja ke penjara adiknya, Bang."

​"Kenapa?"

​"Habisnya jelek-jelekin kota saya."

​"Bercanda dia." Laki-laki itu terkikik geli. "Tapi serius, dia sampai nggak mau makan karena dipaksa pindah ke sini. Benci banget kayaknya dia tinggal di sini."

​ "Tapi kayaknya mulai sekarang Abang nggak perlu kawatir lagi."​

​"Kenapa?"

​"Karena saya yang akan bikin adik abang jadi senang sama Kota Pekanbaru sampai-sampai dia lupa pulang ke Jakarta."

​"Caranya?"

​"Pake ini." Pian menunjuk dadanya. "Pake cinta."

​Laki-laki itu geleng-geleng kepala. "Udah gila ya lu?" kemudian ia bangkit berdiri dan pergi dari hadapan Pian.

​Sedangkan Pian hanya tersenyum samar-samar sambil memperlihatkan lesung pipitnya.

***

Hari pertama masuk ke sekolah baru bukan hal yang ditunggu-tunggu Pika di dalam hidupnya. Berdiri di depan kelas berpura-pura tersenyum bahagia, memperkenalkan dirinya, lalu duduk di antara orang-orang asing membuatnya canggung.

Di hari pertamanya, Pika belum mendapatkan teman. Mungkin hanya ada satu dua orang yang berbaur dengan Pika, termasuk sang ketua kelas.

Ketika istirahat pertama, Pika memilih duduk di dalam kelas sambil sesekali memainkan ponselnya dan membaca novel. Istirahat kedua, Pika memilih untuk menghabiskan waktu untuk beribadah dan makan siang. Pika memilih duduk di kursi kantin paling sudut, ditemani dengan sepiring nasi goreng dan segelas teh manis.

​Dan tiba-tiba seseorang menghampirinya. Cewek itu mengangkat kepala dan melihat seorang cowok yang memakai nametag "calon orang ganteng" langsung duduk tepat di hadapannya tanpa dipersilakan.

​"Lo lagi!" Sontak nafsu makan Pika hilang. Sendok dan garpunya diempaskan begitu saja ke atas piring hingga muncul suara berdenting. "Mau apa sih lo?" tanya Pika ketus.

​"Anak baru ya?" tanya cowok itu dengan wajah lugu. "Kenalin, aku anak lama. Namaku Alvian Satria, kelas 12 IPS 3. Nggak tau kenapa kita nggak sekelas. Mungkin, guru-guru sengaja mempermainkan takdir kita."

​"Ya iyalah kita nggak sekelas. Udah jelas banget kita beda jurusan. Gue anak IPA," Pika membalas ketus.

​"Oooh gitu. Jurusan nggak akan membatasi kedekatan kita." Kemudian cowok itu melihat nametag di seragam Pika. "Tapi, sepertinya mulai hari ini panggilan aku bakalan berubah. Panggil aku Pian. Sssst, nggak ada yang boleh tau ya. Ini rahasia kita berdua."

​Pika hanya mengerutkan dahi dengan bingung.
"Kamu tau kenapa nama aku harus berubah jadi Pian?" Pika tidak menggeleng ataupun bersuara, dan cowok itu tetap melanjutkan. "Biar keren. Huruf panggilan awal kita jadi sama-sama P. Pian dan Pika. Kalau disingkat menjadi PiPi. Entar aku pengin bikin sebuah markas rahasia, kelompok rahasia, agen rahasia, yang isinya cuma kita berdua."

"Buat apa?" tanya Pika dengan ekspresi wajah bingung.

"Apanya yang buat apa?" Pian balik bertanya. "Buat apa bikin agen rahasia atau buat apa aku tercipta untukmu?" Pertanyaannya semakin ngawur.

Pika mendesah lelah. "Dengar ya, Alvian Satria—"

"Pian. Panggil aku Pian." Cowok itu membenarkan kalimat Pika, sambil berbisik. "Jangan pake embel-embel sayang dulu. Nanti aja ...."

Pika mengerutkan kening, membuat ekspresi jijik.

"Terserah, deh!" Atmosfer kekesalan sudah melingkupi jiwa Pika. Rasanya ia ingin meledak saja. "Dengar ya, siapa pun nama lo. Lo nggak perlu ganti nama karena nama lo udah bagus."

"Thanks," kata Pian kalem. "Apa aku perlu ganti jurusan juga?"

"Ha? Buat apaan lagi sih?"

"Biar kita bisa terus bersama."

Pika hanya memandang Pian dengan kesal.

"Kamu suka puisi nggak?"

"Enggak," jawab Pika seadanya. Mulai males melihat wajah Pian dan lebih memilih menusuk-nusuk baksonya dengan garpu.

"Mau aku bacain sebuah puisi karya Raja Semesta nggak?" Tawar Pian.

"No, Thanks. Gue udah bilang kalau nggak suka puisi."

"Kan yang nggak suka puisi kamu. Aku tetap suka. Kan yang bacain aku, jadi terserah mulut aku."

"Iiih!" Pika ingin sekali menancapkan ujung garpunya ke mata Pian. Tapi dia masih bisa menahan seluruh emosinya yang nyaris menguap.

Pian tersenyum. Senyuman manis berlesung pipit, tapi tidak ada yang menyadari kalau dia semanis itu.

"Puisi itu indah. Kamu bisa jatuh cinta meski cuma sekedar membacanya. Atau ...." Pian diam sejenak. "Kamu bisa jatuh cinta dengan orang yang akan membacakannya."

Lalu terjadilah kejadian yang tidak terduga seperti ini. Tiba-tiba saja Pian mengambil botol minuman Pika, menggenggamnya erat dan menjadikannya sebagai mikrofon. Di hadapan orang ramai, dia mulai membacakan sepenggal puisi yang ditujukan khusus untuk Pika. Di luar kepala.

"Kadangkala orang yang paling mencintaimu adalah orang yang tak pernah menyatakan cinta kepadamu. Karena takut kau berpaling dan memberi jarak. Dan bila suatu saat kau pergi, kau akan menyadari bahwa dia adalah cinta yang tak kau sadari. Cinta, karya Kahlil Gibran."

Semua orang bertepuk tangan. Keadaan kantin menjadi gegap gempita akibat suara sorakan dan ejekan. "Cie ... Cie ... prikitewww! Bobol terusss Yuang!!!!"

"OI, dengar ya semuanya ...." Pian mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Menunjuk semua orang yang duduk di kantin dengan jarinya.

"Mulai sekarang cewek baru yang namanya Harpika Hasyim ini udah diklaim menjadi calon pacarnya si Alvian Satria! Jadi kalau ada yang macam-macam sama dia, urusannya sama aku. Kalau ada yang mau ngutang sama dia, struk pelunasannya minta dengan aku!"

Semua tertawa. Sedangkan Pika benar-benar sudah malu sampai harus menyembunyikan wajahnya di bawah kolong meja.

"Pik, ntar pulang sekolah sama siapa? Aku antar ya?" Pian kembali menatap wajah Pika. Mukanya datar, santai, seolah tidak terjadi apa-apa.

"Makasih. Tapi gue nggak mau!" Jawab Pika super judes.

"Aku cuma takut kamu kenapa-napa di tengah jalan. Soalnya kalau kamu mainnya di tengah jalan, ntar dilindas sama truk. Mending kamu main di pinggir jalan aja biar akunya bisa lega."

Pika menghentak kaki kesal dan buru-buru beranjak keluar dari kantin. Pika sudah tidak sanggup lagi menahan rasa malunya yang mulai mencuat ke permukaan.

"Agen Pika tunggu, kamu mau kemana?" Pian terus mengejar langkah Pika.

"Please, jangan ikuti gueee!" Pika berteriak frsutrasi. Mulai berlari kencang.

"Kamu kenapa lari? Ada setan yang ngejar kamu ya?"

"Setannya itu elo, kamfret!" Pika ingin sekali berteriak seperti itu, kencang-kencang, kalau perlu satu sekolahan tahu. Tapi dia sudah kehabisan tenaga.

Untungnya Pika berhasil masuk ke dalam kelas terlebih dahulu. Menutup pintu rapat-rapat hingga Pian tidak bisa masuk.

Napas Pian terengah-engah, bersandar pada pintu sambil melirik jam di tangan kanannya.

"Tepat di hari ini. Tanggal 18 Juli 2010, pukul 10:00 pagi. Agen rahasia PiPi yang beranggotakan Pika dan Pian telah diresmikan secara permanen, tidak boleh mengelak, tidak bisa dihapuskan, apalagi diganggu gugat. Tunggu sampai aku bikin kendaraan dengan label NASA. Dan aku janji akan membawa kamu terbang ke bulan, melihat betapa indahnya ciptaan Tuhan, membuat kamu menyadari satu hal ...

"bahwa Pekanbaru akan terlihat lebih menarik jika dilihat dari atas sana, di bulan, hanya ada kita berdua. Lalu kamu kembali menyadari kalau kota yang paling kamu benci ini, tempat kamu berpijak ini, adalah tempat yang akan kamu sukai nantinya dan tidak bisa terlupakan."

Dari dalam kelasnya-Pika terdiam, dalam hati mematut. Dari mana Pian bisa tau kalau gue benci sama kota ini? Nggak ada yang tau selain keluarga gue sendiri. Dia ini Jin atau apa sih?

"Pegang janjiku," lanjut Pian kemudian setelah hening beberada detik. "Karena Tuhan sudah merencanakan semua ini. Kita tercipta untuk bertemu dan saling berpasangan. Kalau kita nggak bisa saling memiliki, setidaknya kita berusaha untuk saling mempunyai arti di hati masing-masing."

Sungguh, Pika tidak mengeti dengan perkataan-perkataan pujangga-khas alay-yang dilontarkan oleh Pian. Hanya satu yang Pika tahu. Pian itu gila, dia udah nggak waras. Waktu Tuhan memberikannya akal, Pian kabur. Hingga dia nggak kebagian otak dengan kapasitas tinggi.

Dan semenjak hari pertama masuk sekolah. Semua orang yang ada di sekolah menganggap Pika sebagai pacarnya Alvian Satria. Salam-salam aneh terus saja bermunculan. Membuat telinga Pika nyaris terbakar karena merasakan panas.

"Pik, Pik. Alvian titip salam."

"Pik, dapat salam dari cucu, cucu, cucunya Kahlil Gibran."

"Pik, Pik. Kata Alvian lopyuuuu!"

"Upik, disalamin tuh sama Uda Alvian."

"Woy, Pikaaaa! Dapat salam dari hamba Allah!"

Pika berjengit kesal. "Tolong bilangin sama Hamba Allah yang itu, kalau gue nggak butuh sumbangan!"

​Namanya Alvian Satria. Seorang murid asli Pekanbaru. Potongan rambutnya berantakan, tidak rapi, dan agak keriting, selalu punya jambang di sebelah kiri dan kanan. Tinggi tubuhnya kira-kira 173 cm, cukup tinggi untuk ukuran anak SMA.

Setiap memakai seragam sekolah, bajunya selalu terlihat kusut seperti tidak pernah disetrika. Ujung seragamnya tidak pernah dimasukan ke dalam celana. Ia idak pernah memakai ikat pinggang. Sepatu sekolahnya berwarna hitam─selalu kotor─talinya tidak pernah diikat menyerupai pita, melainkan ikat mati.

Alvian Satria bukan cowok tampan idola banyak cewek. Dia hanya cowok biasa, yang pikirannya tidak waras, bagi Pika.
Dan mulai hari ini, Pika sudah memasukkan Pian di deretan pertama dari daftar orang yang paling Pika benci.

.
.
.
.

TBC

Salam, Emak Pian:3

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top