14. Pian dan cewek baru?

*******

Akhirnya jadwal masuk sekolah berlangsung seperti biasa. Jam 7 teng, pagar sudah ditutup. Mereka resmi menjadi murid kelas tiga, di mana jadwal-jadwal belajar semakin padat.

Bagi Pian, menjadi murid kelas tiga itu ada senang dan tidaknya. Senang karena sudah menjadi kakak kelas paling senior yang disegani oleh adek kelas. Dan tidak senangnya karena jadwal berlajar jadi bertambah. Dan itu membosankan.

Pian benci belajar karena semua pelajaran nggak pernah masuk ke otaknya. Toh, setiap jam pelajaran Pian lebih suka duduk di kursi belakang sambil tidur-tiduran atau permisi dengan alasan ke toilet, padahal ujung-ujungnya pergi ke belakang sekolah buat merokok.

Kecuali, belajar bareng Pika. Karena itu menyenangkan. Tapi ini sudah berbeda, dia dan Pika tidak boleh sedekat dulu. Seperti nadi, kini mereka harus menjaga jarak sejauh matahari. Karena ada tembok tinggi yang membatasi keduanya.

Berbeda dengan Pika. Sudah lama Pika menantikan hari sekolah tiba. Sudah cukup dia bersenang-senang dengan masa liburannya di Jakarta—sedangkan kepalanya terus berkecamuk memikirkan sosok Pian. Sosok Pian yang selalu bikin dia penasaran.

Tapi Pian berubah. Pian tidak lagi mengganggunya, bahkan sekadar menyapanya. Setiap kali mereka berpapasan di koridor sekolah, Pian main lewat saja seperti angin lalu. Seolah-olah mereka orang asing yang nggak pernah saling kenal.

"Kangen nih sama puisi alay Pian, kok nggak pernah muncul lagi ya." Celetuk Tika asal.

"Biasanya kan, puisi Raja Semestanya buat Pika, tapi sekarang udah nggak muncul lagi semenjak Pika udah pacaran sama Tristan. Bener nggak Pik?" Widya melirik Pika seolah menggodanya.

"Atau mungkin Pian udah berubah karena udah kelas tiga. Jadi udah waktunya buat serius, nggak pake bercanda-canda lagi," lanjut Widya lagi.

"Yeee, dia mah mana bisa berubah. Sekali gila tetap aja gila. Tadi pagi aja, dia udah bikin rusuh di ruang teater. Melorotin celananya si Imran. Sampe-sampe semua orang tau kalu kolor Imran warna pink. Eh Imran jadi nangis, terus langsung dipeluk sama Pian. Si gilo itu malah bilang; kok laki nangis, cup cup cup.... berubah ya, Mran. Nggak apa-apa kamu berubah jadi katak asal jgn jadi banci."

Mereka tertawa. "Kurang ajar mulutnya Pian, minta ditabokin. Terus yang lain pada bilang apa?"

"Yang pastinya ketawa lah. Hahahaha!!!"

Sedangkan Pika hanya bisa diam saja. Menatap lapangan dengan mata menyipit akibat terganggu oleh uap panas yang keluar dari lapisan semen lapangan. Siang itu sekolah bagaikan lautan Neraka. Panasnya melebihi suhu kompor saat menjerang air.

Di lapangan, beberapa anak cowok sedang bermain bola—nggak peduli sama sinar matahari yang akan memanggang kulit mereka hidup-hidup—termasuk geng The Brandals yang tentu saja terdiri dari Sandi, Henrik, Tristan dan Pian.

Pian berhasil menjadi pusat perhatian. Karena setiap kali dia mencetak gol, cowok itu berjoget sendiri di tengah lapangan.

"Opor-opor bolanya Reg!!!" Seru Tirto, anak kelas 12 IPS 2 yang menjadi lawan main mereka.

Regi, yang namanya dipanggil terus berlari membawa bola. Menyelinap ke sana-kemari sampai akhirnya bola tersebut berhasil diambil alih oleh Pian.

Di deretan bangku depan kelas di sisi kiri sebelah Pika dan kawan-kawan, anak teater heboh meneriaki nama Pian.

"Ayo Bang Pian!!! Tunjukan kegilaanmu di lapangan. Oper bolanya,Bang!"

"Tenang pens, tenang...." Pian melambaikan tangan geer sembari menggiring bolanya. "Opor, opor terus. Opor Ayam, rendang, sarden. Di kantin Bude sepiring goceng."

Pika tertawa di dalam hati, melihat keringat Pian yang bercucuran hingga membasahi semen lapangan. Ah, tapi kenapa harus Pian yang Pika lihat sejak tadi? Padahal, tepat di sebelah cowok freak itu, ada Tristan. Tentu saja pacar Pika yang jauh lebih ganteng dan enak dipandang saat berkeringat.

Kemudian suasana lapangan berubah menjadi ricuh. Saat anggota lawan sengaja mendorong tubuh Pian—sampai Pian nyaris terjatuh—kemudian merebut bola Pian dan menendangnya secara kasar ke arah gawang. Bukan masuk ke dalam gawang, justru mengenai alat kelamin Henrik sampai cowok itu terjatuh dan meringis kesakitan.

"Anjing, babi, bangsat, asu, sakit tolol, bodat!!!" Sumpah serapah meluncur mulus dari mulut Henrik.

"Mampus!" Seru tim lawan meledek dan menertawakan dengan Puas.

Pian nggak terima temannya disakiti sampai terguling-guling lemah di lapangan. Pian langsung mendorong tubuh lawannya.

"Woy kalau main yang fair dong! Ini pelanggaran namanya."

"Apa, apa, ha? Nggak usah dorong-dorong aku!" Mereka tak kalah kesalnya. Entah sebab apa.

"Eh coi, coi, masalahnya yang kena tendang bola itu daerah rawannya si Henrik. Gimana kalau dia nggak perjaka lagi?"

"Ha? Gila kau, Yan? Mampus aku, Yan. Tuhan tolong!" Henrik berteriak dramatis.

"Biasolah, Hen. Nggak perlu berlebihan gitu. Kalau ada masalah, nanti bisa kita sunat lagi." Pian masih sempat-sempatnya bercanda.

"Sialan kau, Yan. Habis sudah punyaku kalau gini caranya." Henrik menyilangkan tangannya di daerah rawan tersebut. Masih merasakana perih.

"Tanggung jawab kalian! Apa yang udah kalian lakuin ke Henrik, ha?" Tristan ikut kesal dan akhirnya mereka perang mulut. Dengan bahasa-bahasa binatang yang suda sepatutnya di sensor.

Dalam sekejap saja keadaan lapangan berubah menjadi tempat perkelahian. Anak-anak cowok memang nggak bisa menyelesaikan masalah mereka secara baik-baik sampai adu jotos pun terjadi.

Tetapi berbeda dengan Pian. Cowok itu memukul lawannya menggunakan teknik pencak silat. Pakai gaya aneh pula! Entah itu kuda-kuda atau pukulan lainnya yang dia lakukan sedramatis mungkin. Membuat lawannya sendiri jadi kebingungan.

Bukan bingung gimana cara melawan Pian, tapi bingung gerakan apa yang diperagakan oleh Pian.

Sampai akhirnya guru-guru datang membawa mereka semua ke ruang BP. Kecuali Henrik yang dibawa menuju UKS.

***

"Makanya jadi cowok itu jangan sok jagoan deh, ngapain sih pake acara berantem segala!"

Pika bergumam jengkel saat membawa Tristan ke UKS dan mengobati luka lebamnya dengan obat merah.

"Namanya juga teman. Kalau teman, ya harus bela teman." Tristan meringis. "Aduh, Pik, pelan-pelan. Sakit tau."

"Tapi kan masalahnya bisa diselesaikan baik-baik, bukan dengan cara kayak gini segala. Pasti si Pian yang jadi biangkeroknya. Lihat aja tadi gaya berantemnya aneh banget."

"Nggak ada yang jadi biangkerok, kok, di sini. Kami ngelakuin hal itu, karena kami ingin membela teman. Justru aku belajar banyak dari Pian," ujar Tristan membela Pian.

"Belajar apa? Belajar jadi sok jagoan?" Tanya Pika ketus, "apa hebatnya sih berantem? Pengen pamer siapa yang paling kuat?"

Tristan mengerutkan dahinya. "Kok ngomongnya gitu sih?"

"Woy, Pik. Nggak usah sok ngatur-ngatur Tristan lah. Baru juga jadi pacar udah belagunya selangit." Dari dalam tirai UKS, Henrik berteriak saat dia terbaring lemah di atas brankar.

Pika langsung diam.

"Mau dengar cerita nggak? Asal kamu tau ya, tahun lalu sekolah kita hampir tawuran besar-besaran sama sekolah lain. Kamu pikir alasannya apa?

"Gara-gara anak cowok sekolah lain itu gangguin cewek di sekolah kita. Sampai-sampai tuh cewek nangis. Pian datang, dia langsung marahin tuh anak-anak sekolah sebelah. Terus mereka ngajak ketemuan di lapangan, katanya pengin berantem. Eh si Pian malah bilang: 'ayo, siapa takut. Aku tunggu kalian di simpang' ."

"Terus? Kalian beneran berantem?"

"Banyakan bercanda dia. Ingat nggak sih, waktu kamu pernah lihat kami berantem di lapangan dekat sekolah? Si Pian malah bawa pistol air. Dan waktu itu, Pian justru bawa kembang, air, sama surat yasin."

"Ha? Mau pada ngapain?"

"Ya gitu. Dia bentang tikar di tengah-tengah mereka. Terus duduk bersila sambil kumur-kumur pake air kembang. Yang lebih parahnya lagi, air kembanya disemburin ke wajah lawan satu-satu."

"Terus?"

"Terus lawannya pada takut. Dikira Pian kesurupan. Nah, Pian langsung cari kesempatan kabur dari mereka. Akhirnya nggak jadi berantem."

Tristan tertawa terbahak-bahak sambil bernostalgia.

Pika jadi ikut tertawa. "Dasar pengecut."

"Eits, bukan pengecut sih. Pian bilang mereka nggak fair mainnya pakai bantuan alat. Coba one by one. Dijamin kalah. Pian itu, selain aktor teater, sebenarnya dia juga mantan atlit pencak silat."

Pika tercengang. "Ha? Serius?"

Tristan mengangguk. "Ada satu hal yang bisa aku pelajari dari kalimat Pian, Pik. Berantem itu diperbolehkan, tapi harus pakai otak dan teknik. berantem itu bukan digunakam untuk mengukur seberapa besar kehebatan kamu, tapi seberapa kuat kamu tetap bertahan untuk menang. Jadi itu adalah satu dari sekian juta alasan Pian."

Pika berhasil bungkam seribu bahasa. Tak lama, Pian masuk ke ruangan UKS. Pika dan Pian sempat bersitatap dalam hitungan detik saja—Pika bisa melihat luka lebam yang terdapat di pipi serta sudut bibir Pian—lalu tatapan Pian kembali beralih ke arah lain saat dia berjalan lurus menghampiri brankar Henrik.

Pian membuka tirai yang menutupi brankar Henrik. Kemudian sengaja memukul alat kelamin Henrik sembari menyapanya.

"Apa kabar, Paiman."

"Bangsat, sakit!" Henrik meringis.

"Paiman siapa, Tris?" Pika bertanya bingung.

Tirstan tersenyum menahan tawanya. Lalu mulutnya mendekat ke telinga Pika. "Paiman itu anu-nya si Henrik."

"Idih....." Pika merasa jijik.

"Itu Pian sendiri yang kasih nama. Kalau punyaku kamu mau tau nggak?"

"Enggak!!!" Pika berteriak.

"Namanya Paijo." Tristan tetap berbisik di telinga Pika. "Kalau punya si Pian, dia kasih nama Peter. Katanya biar mirip kayak orang barat."

"Jorok amat sih ngomong begituan, diem nggak sih!"

Tristan masa bodo dan tetap melanjutkan. "Nah kalau punya Sarab lain sendiri. Karena Sandi mau jadi orang Arab, jadi anu-nya di kasih nama Mahmudd bin.....tilan. Bintilan itu sejenis bisul."

Tirstan tertawa terpingkal-pingkal sedangkan Pika hanya menutup telinganya dengan kedua tangan.

"Tok, tok. Samlekum para ahli kubur. Maaf ya, kalau mau pacaran mending di luar aja. Di sini si Paiman sedang bobo nyenyak." Pian melongokan kepalanya dari tirai.

Pika dan Tristan mulai tidak enak hati. Terlebih sikap Pian akhir-akhir ini sangat berbeda dari biasanya terhadap Pika. Akhirnya mereka keluar dari UKS.

Sejujurnya, hati Pian sakit. Harus melihat cewek yang sangat dia sayang justru tertawa bahagia bersama orang lain. Dan itu bukan dia, melainkan sahabatnya sendiri.

Pian harus menelan pil pahit kalau Pika bukan miliknya.

"Pika itu murahan. Setelah udah puas main-main sama kau, sekarang dia pacaran sama Tristan. Itu juga si Tristan mau-maunya aja dibodoh-bodohin dengan Pika. Aku nggak suka sama Pika, Yan. Dia sok kecantikan." Henrik berbicara sarkastis. "Jangan sampai pertemanan kita hancur gara-gara satu cewek."

Pian tidak menanggapi ucapan Henrik. Justru dia bermain-main dengan Paiman. "Man, tuanmu itu cerewet. Suka ngomongin orang lain. Aku nggak suka."

***
Hari demi hari berlalu, semakin terasa membosankan bagi Pika. Sekolah bukan lagi tempat menyenangkan meskipun kehadiran Tristan membuat hidupnya tidak terasa sepi.

Pian masih menjauhinya. Pernah sewaktu-waktu Pika menunggu jemputan di depan gerbang sekolah dan Pian hanya melewatinya saja. Padahal biasanya Pian sering menggodanya. Motornya seringkali berhenti di hadapan Pika sambil berkata;

"Kamu tau nggak kenapa kursi belakang itu diciptakan?"

Pika hanya diam pura-pura nggak peduli.

"Supaya aku bisa bonceng kamu." Pian nyengir. "Mau naik ojek gratis nggak? Dijamin diantar pulang sampe tujuan dan selamat sentosa. Suwer tekewer-kewer."

"Enggak, makasih."

"Yaudah. Kamu yang bakalan rugi sendiri kok."

"Kenapa harus rugi?"

"Karena nggak bisa meluk aku dari belakang kalau aku lagi ngebut. Hehehe. Dan si Napi nangis nggak ngerasin Tuannya duduki dia."

Benar-benar tidak bisa dibiarkan! Pika keluar dari kelas dan melihat sosok Sandi sedang duduk di antara cewek-cewek adek kelas.

"San, gue butuh bicara sama lo."

Sandi mengerutkan dahinya bingung, lalu dia berdiri dan berbisik di telinga Pika. "Tapi ane lagi sibuk sekarang, Pik. Sibuk ngeramal cewek-cewek ini. Lumayan, dikasih goceng sekali ngeramal."

"Ini penting bangettt. Dan gue butuh kita bicara cuma berdua."

Sandi menghela napas kesal. Kemudian menatap ke belakang. "Sorry nih yee, ane harus pergi dulu. Masalah ramal-meramalnya nanti aja."

"Terus uang kami gimana, bang?" Salah satu cewek itu protes.

"Kan udah ane bilang, bulan depan ente bakalan punya pacar. Yaudah ditunggu aja." Buru-buru Sandi menarik tangan Pika dan menjauh dari mereka.

"Jadi ente mau diramal gimana, Pik?" Tanya Sandi saat mereka hanya berdua saja.

"Gue nggak minta diramal, San."

"Kalau ketemu sama ane harus mau diramal dulu."

"Yaudah kalau gitu coba ramal, apa mungkin Pian bakal gangguin gue lagi?"

Sandi diam tiga detik sembari menggaruk dagu. Dia menggeleng.

"Kenapa? Kenapa enggak?"

"Karena ente udah punya Tristan."

Pika menghela napas lelah. "Janji ya jangan bilang sama Tristan masalah ini...."

"Masalah apa memangnya?"

"Ada yang aneh nggak sih sama Pian. Akhir-akhir ini gue liat, dia kayak menjauh gitu dari gue."

"Wah, kalau itu ane kagak tau, Pik. Sorry nih yeee."

"San, plisss dong tanyain ke Pian. Apa gue punya salah sama dia sampe-sampe dia ngejauhin gue?"

"Yakin nih, ane nanya kayak gitu langsung ke Pian?"

Pika mengangguk.

"Tapi janji jangan bilangin ke Tristan. Tristan nggak boleh tau apa-apa."

"Hmmmm.... tapi.... ehem. Uhuk. Hok.... hok." Sandi pura-pura terbatuk sambil memberi kode-kode aneh dengan jarinya.

Pika mengerti apa maksudnya. Dia langsung merogoh saku seragam dan memberikan uang 10 ribu kepada Sandi. "Gue cuma punya segini."

"Oke, segera laksanakan." Sandi memberi hormat sebelum dia berbalik badan dan berlari kencang meninggalkan Pika.

Sandi berusaha mencari Pian keliling sekolah sampai pada akhirnya orang-orang memberi tahu kalau Pian sedang memanjat pohon besar di halaman sekolah.

"Oii, Yannn. Lagi ngapain?" Teriak Sandi.

"Lagi bantuin si Samsul." Teriak Pian dari atas pohon. Tubuhnya tidak terlihat karena ditutupi sama daun-daun yang tumbuh dengan lebatnya.

"Samsul siapa, Yan?" Sandi menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Turun bentar, ada yang mau ane sampein nih."

"Sam, turun Sam. Nanti jatuh. Kalau kamu jatuh, Nabi Muhammad bisa marah besar."

Setelah lima belas menit, akhirnya Pian turun dari pohon bersama seekor kucing yang ada di dalam pelukannya.

"Ini si Samsul?"

Pian mengangguk. "Hewan kesayangan Nabi Muhammad. Dari tadi dia terjebak di atas pohon, tapi nggak bisa turun."

Lalu mereka duduk di sebuah kursi panjang yang berada tak jauh dari pohon tersebut.

"Kenapa namanya Samsul, dari mana ente tahu kalau itu laki-laki?"

"Iya juga ya. Coba kita periksa dulu." Dengan seenak jidatnya Pian membalikan tubuh kucing tersebut dan menarik kedua kaki kucingnya agar bisa terbuka lebar sampai kucing itu mengeong berulang kali.

"Coba tanyain ke Bu Neti, gimana cara periksa alat kelamin kucing." Bu Neti adalah guru Biologi mereka.

Sandi tertawa. "Eh sudah, sudah, Yan. Kasian kucingnya kesakitan ente gituin."

Akhirnya Pian membiarkan kucing itu pergi. "Ntar kalau ternyata kucing itu perempuan. Tinggal bikin nasi tumpeng aja, terus kita kasih nama jadi Samsuliawati."

Sandi tertawa lagi sampai menyeka ujung matanya dengan jari.

"Eh, ane mau ngomong penting nih sama ente." Kemudian Sandi berbisik. "Pika suruh ane sampein pesan ini ke ente."

Mendengar nama Pika, jantung Pian seolah berhenti berdetak. Hanya sedetik saja.

"Kenapa?" Tanya Pian.

"Pika nanya, kenapa ente mulai sombong sekarang nggak ada ganggu-gangguin Pika lagi. Memangnya Pika punya salah ya sama ente, atau ente marah sama Pika sampai menjauhi dia gitu."

"Pika suruh kamu bilang begitu sama aku?"

Sandi mengangguk mantap. Pian langsung beranjak dari duduknya.

"Dibayar berapa emang?"

"Sepuluh ribu, Yan."

"Nah, aku bayar ke kamu lima puluh ribu. Tapi janji jangan bilang apa-apa tentang aku ke Pika."

Sandi menggosok kedua telapak tangannya. "Gampang itu, mana duitnya."

"Nah, itu masalahnya. Aku nggak punya."

"Yeeee...." Sandi kesal sampai mendorong tubuh Pian.

"Ya, ngapain aku harus ganggu pacar orang. Dosa yang ada," lanjut Pian kemudian menjawab segala pertanyaan.

"Emang ente udah nggak suka lagi sama Pika?"

"Pika kan udah punya Tristan, Rab. Dia sendiri kok, yang pilih Tristan."

"Ente yakin udah nyerah sampai di sini aja? Pengecut ente, Yan!"

"Bukan nyerah. Tapi ini masih mikir."

"Mikir apa lagi, Yan? Kayak ente punya otak aja."

"Kan bisa pinjam sama udang, biar enak dimakan. Heheh."

"Hahaha. Jadi gimana, Yan? Ente mau udahan aja sama Pika dan relain dia buat Tristan?"

"Nggak juga. Ini masih mikir gimana caranya supaya bisa merebut Pika kembali." Jeda sejenak, "Ini bukan tentang siapa yang paling cepat. Tapi siapa yang paling lama bertahan dan terus berusaha untuk membuat hati perempuan itu takluk."

"Jadi intinya??"

"Kan, janur kuning belum melengkung. Jadi dibawa santai aja dulu. Lagian, Pika pasti kembali lagi sama aku. Dia bakalan sadar kalau diganggu sama orang gila itu lebih asyik."

Sebelum Pian benar-benar pergi, Pian membisikan kalimat ini di telinga Sandi. "Dan.... disayangi Pian itu lebih menyenangkan. Dicuekin sama Pian sangat menyebalkan. Hehehe."

***

"Serius Pian bilang gitu?"

Sandi mengangguk mantap.

"Terus Pian bilang apa lagi, San?" Pika mengintogerasi Sandi.

"Pian bilang; dia nggak bisa bohongi perasaannya kalau dia nggak suka liat ente pcaran sama Tristan. Tapi di satu sisi, Pian juga nggak mau berantem sama sahabatnya sendiri. Jadi lebih baik dia ngalah aja dulu. Bukan berarti dia nyerah, tapi masih mikir pake otak udang. Biar bisa dimakan sama Pika. Katanya Pika suka otak udang ya?"

"Ih, ngarang banget sih dia!" Wajah Pika berubah kesal.

"Yah, berarti ane dibohongi sama Pian." Sandi menyeringai geli. "Tapi, Pik, kenapa ente malah nanya-nanya tentang Pian sih? Bukannya ente udah punya Tristan? Kan ente lebih suka sama Tristan."

Pika terdiam cukup lama sambil berpikir. "Gue emang jatuh cinta sama Tristan, kok. Tapi....."

"Tapi?"

"Tapi aneh aja rasanya waktu Pian malah menjauhi gue. Harusnya kita masih bisa tetep temenan. Dan masih bisa nongkrong bareng-bareng. Apalagi Tristan sama Pian berteman akrab. Pasti seru."

"Nggak segampang itu, Pik."

"Maksudnya?"

"Nggak gampang ngontrol hati untuk nggak sakit saat liat orang yang kita sayang malah bahagia dengan orang lain. Apalagi, Pian bukan orang yang main-main sama cinta. Dia, kalau udah cinta sama satu orang, ya bakalan cinta dan susah lupa."

Pika bungkam.

"Ente tau nggak apa yang Pian bilang waktu pertama kalia liat ente di sekolah."

"Apa?"

"Dia punya keinginan supaya bisa bikin ente ketawa. Soalnya setiap dia lihat ente, wajah ente tuh murung terus. Pian juga punya keinginan, bikin ente bahagia ada di Pekanbaru sampe ente lupa sama Kota kelahiran ente. Dia sih sudah berusaha, tapi katanya gagal terus. Karena ente cewek unik, pantas buat diperjuangkan terus-terusan."

Pikiran Pika terus berkecamuk.

"Dan waktu tau Tristan dekati ente, dari situ Pian pengen menyerah dan bilang ke ane; 'ternyata buka aku orang yang bisa bikin Pika bahagia selama ini, aku sumber dari rasa malunya selama sekolah di sini'. Si Pian langsung kelihatan sedih gitu."

"Tapi, San, kenapa harus gue sih? Padahal banyak cewek yang lebih cantik daripada gue di sekolah ini. Dan banyak cewek yang wajahnya suka murung di sekolah ini. Tapi kenapa dia malah gangguin gue."

"Hmmm....." Sandi tampak berpikir. "Ah iya!" Sandi menjentikan jarinya. "Waktu pertama kali Pian tau ente anak baru di sekolah ini, dia langsung bilang sama ane. Kalau dia pernah liat Pika sebelumnya."

"Ha? Pernah liat gue? Di mana?"

"Nah, itu pertanyaan yang sama dengan ane waktu itu. Terus dijawab; di foto. Foto buku nikah kami."

"Iss dia bercanda melulu!!!!" Pika semakin terlihat kesal dan Sandi tertawa.

"Terus dia bilang lagi sama ane; San, kamu percaya sama takdir nggak. Kamu percaya nggak, kalau Pika diutus Tuhan buat aku miliki. Soalnya dengan Tuhan, Pian bisa minta hati Pika secara terang-terangan."

Wajah Pika tertunduk malu. Muncul semburat di kedua pipinya. Membuat wajahnya terlihat seperti kepiting rebus.

"Tapi tiba-tiba Pian teringat; kalau dia kan, nggak pernah solat. Jadi gimana Tuhan mau ngabulin doanya dia."

Semburat itu langsung hilang. Kini tubuh Pika didominasi dengan rasa kesal. Pika mencubit pinggang Sandi dengan gemas.

"Bercanda lagi! Ih, benci!"

"Eh, eh, itu bukan ane yang bilang, Pik. Tapi si Pian." Sandi meringis kesakitan.

Harusnya Pika berhenti memikirkan Pian. Berhenti penasaran dengan sosok Pian dan melupaka masa-masa dulu saat Pian sering mengganggunya, menggodanya, suka bikin dia kesal dan menangis.

Harusnya Pika lebih fokus sama hubungannya yang sekarang. Pacaran dengan cowok paling keren dan kaya di sekolah ini. Harusnya Pika bisa hidup lebih bersyukur.

Karena dibandingkan dengan Tristan, Pian nggak ada apa-apanya.

***
"Mau makan apa sayang? Minumnya apa?"

Tristan memang orang yang perhatian. Setiap jam istitahat dia selalu mengajak Pika ke kantin bersama. Mentraktir Pika makan apa aja yang ada di kantin.

"Aku pesan di sana aja deh. Kamu mau pesan apa?"

Sejak pacaran, Pika tidak lagi memanggil Tristan dengan sebuta lo-gue. Kali ini lebih intim dengan aku-kamu.

"Pesanin sama kayak kamu aja deh."

"Oke, bentar ya....."

Pika beranjak dari kursi kantin dan berjalan menghampiri kantinnya Bude Nani.

"Mau pesan apa atuh, neng? Kayak biasa?"

Pika mengangguk. "Tapi dibuat dua pesanan yaa, Bude."

"Siap atuh."

"Kak Pika, beneran pacaran sama Bang Tristan yaaa??" Suara lucu Laisa menggema. Pertanyaannya begitu polos.

"Hussh, anak kecil." Bude menegur anaknya.

"Bang Tristan ganteng ya, kayak artis yang ada di tipi-tipi." Suara lugu Laisa kembali menggema.

"Hehehe...." Pika hanya menyeringai.

"Tapi Laisa nggak suka sama Bang Tristan."

"Kenapa nggak suka? Kan, bang Tristannya baik."

"Iya, tapi membosankan. Nggak kayak Bang Pian." Jeda sejenak. "Kenapa Kak Pika nggak mau sama Bang Pian?"

"Ih, Laisa lucu banget sih. Kok tau-tau aja...."

"Itu neng, si Pian kemarin makan di kantin Bude. Terus Laisa juga nanya yang sama ke Pian. Kenapa Pian nggak gangguin Pika lagi. Maklumlah, anak kecil kadang suka iseng."

"Terus Pian bilang apa Bude."

"Disuruh nanya langsung ke Kak Pika aja," Laisa melanjutkan. "Bang Pian bilang; untung Kak Pika cepat-cepat sadar udah nolak Bang Pian. Emangnya Bang Pian itu jin. Heheheh."

"Bang Pian kasih nasehat ke Laisa; katanya Laisa harus berubah jadi secantik Kak Pika. Biar bisa dapat pacar seganteng Bang Tristan. Soalnya Bang Pian nggak ada yang mau, Bang Imran yang centil itu aja juga nggak selera sama Bang Pian saking nggak lakunya. Kasian Bang Pian."

Pika dan Bude Nani tertawa. Mengacak rambut Laisa gemas.

"Katanya Bang Pian nggak ada yang mau. Kok, Kak Zoya mau yaaaa...."

Pika termangu saat nama cewek asing disebutkan oleh Laisa.

"Zoya siapa?"

"Adek kelasnya Bang Pian." Laisa berbisik, "Bang Pian sendiri yang cerita kalau dia dapat surat cinta terus dari kakak Zoya. Eh tapi kasihan, karena suratnya malah dikasih ke Laisa."

"Buat apa atuh, si Pian kasih surat cinta-cintaan ke kamu. Kamu kan masih kecil. Jangan baca yang begituan." Bude Nani marah-marah.

"Bukan untuk Laisa baca, tapi suratnya disuruh kasih ke Ibu."

"Ih, buat apa sama Ibu surat cintanya Pian."

"Kata Bang Pian buat bungkus gorengan aja."

"Aihhhh, tega pisan si Pian."

"Eh sebentar, kemarin Bang Pian ada nitip ini buat Kak Pika." Laisa memberikannya sepucuk surat.

"Itu surat dari Zoya?"

"Bukan surat dari Bang Pian. Serius!"

Pika hanya mengernyit bingung. Surat? Pian pernah bilang kalau waktu itu adalah surat terakhir yang dia berikan ke Pika. Tapi mengapa sekarang ada surat lagi.

"Serius ini buat Kakak?"

"Seriusss. Kalau nggak percaya tanyain sendiri aja ke Bang Pian."

Ragu-ragu Pika mengambil suratnya. "Oh yaudah kalau gitu. Makasih ya Laisa."

Setelah mendapatkan makanan pesanannya, Pika kembali ke tempat duduknya seperti semula.

Saat makan bersama Tristan, pikirannya terus berkecamuk tak keruan.

Ada apa lagi ini Pika? Kenapa kamu malah diam saat tahu ada adek kelas yang suka sama Pian. Bagus dong, itu berarti Pian nggak jelek-jelek amat.

Batinnya terus memaki dirinya.

"Hei, kenapa menung. Ayo dimakan nasi gorengnya. Ntar bel masuk bunyi lagi." Tristan menegurnya. Berhasil membuyarkan lamunan Pika.

Pika menyendokan nasi ke mulutnya berlahan demi perlahan. Lalu matanya tiba-tiba saja menangkap sosok Pian masuk ke kantin—tumben-tumbenan, nggak seperti biasanya. Padahal seharusnya jam istrahat seperti ini, Pian lebih sering nongkrong di belakang sekolah sambil merokok.

Kali ini dia justru ke kantin. Tidak sendirian. Tetapi sama seorang cewek yang bisa Pika simpulkan sebagai Zoya.

Pian sama sekali tidak menegurnya meski mereka lewat di hadapan Pika. Pian dan Zoya terus berjalan menghampiri kantin Bude Nani.

"Pacarnya si Pian, cewek itu suka banget sama Pian. Gara-gara waktu MOS kemarin, Pian bantuin cewek itu dari hukuman kakak kelas." Tristan berbicara seolah mengerti pandangan Pika.

"Mos? Emangnya Pian datang waktu Mos kemarin?"

Tristan mengangguk. "Kan, dia dipilih sebagai anggota osis, buat ngurus-ngurus bagian seni gitu. Padahal Pian paling males ikutan organisasi. Tapi nggak tau kenapa waktu MOS kemarin dia ikutan. Katanya mau lihat gimana cara ospek. Soalnya kan dulu waktu baru masuk sekolah, Pian nggak pernah ikut ospek."

"Oooh...." hanya ooh tanggapan Pika saat itu.

"Heran, ternyata ada juga yang mau sama Pian. Untung kamu segrra khilaf, Pik." Tristan bercanda sembari menyeringai geli.

Pika diam. Tanpa sadar dia sudah mengaduk-aduk nasi gorengnya tidak keruan.

Sejujurnya ini bukan masalah laku nggak lakunya Pian sampai-sampai ada yang mendekati dia. Tapi dari cerita singkat ini Pika bisa menyimpulkan kalau, mungkin, Pian mulai menjauhinya karena semata-mata sudah ada Zoya yang mengejarnya.

Jadi buat apa Pian capek-capek mengejar perempuan lain sedangkan ada perempuan yang menyukainya.

Tapi mengapa Pian memberikan Pika surat lagi? Pika sama sekali nggak mengerti maksudnya.

Saat sudah tiba di kelas, diam-diam Pika membaca surat dari Pian.

Jangan lari biar dikejar, nanti kamu capek sendiri.
Jangan menghilang biar dicari, nanti kamu tak bisa kembali.
Jangan pergi untuk menghindar, nanti kamu kehilangan.

Sejauh apa pun kamu berlari nanti. Pergilah jauh-jauh. Tapi ingat, aku tidak akan mengejarmu. Capek. Lebih baik duduk santai sambil minum-minum es kelapa muda. Lalu menunggumu datang kembali, dan membuatmu sadar, bahwa tak ada tempat yang paling nyaman selain bersamaku.

Aku yakin, kelak engkau pasti akan mengerti. Bahwa berjuang demi orang terkasih, juga tak sebercanda itu.

Beloved Pian.

Pika termangu membaca surat itu, menggenggam kertasnya seolah ingin meremukannya dan membuangnya ke tempat sampah. Pika ingin sekali berteriak kencang-kencang, namun suaranya teredam hingga dia hanya bisa memaki di dalam hati.

"Apa maksudnya? Apa maksud dari isi surat ini? Jadi intinya lo nggak akan ngejar gue lagi? Lo capek sama gue? Atau intinya, lo mau bilang kalau selama ini gue udah jadi cewek yang bodoh karena anggap perjuangan lo itu sebagai bahan candaan? Jadi siapa Zoya sebenarmya? Bilang sama gue, Yan. Gue harus gimana dengan perasaan aneh ini!!!"

.
.
.
.
Tbc...

Dear love, Mak Pian:D

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top