Should I Kill Her?
"Sebenarnya apa yang terjadi pada Jared?" Sierra mulai menggigit sandwich telur miliknya sembari membuka obrolan dengan Megan. "Kenapa semua orang membicarakannya?"
Selentingan rumor itu sampai juga di telinga Sierra. Namun, gadis itu tak yakin dengan kebenaran kabar burung yang mengatakan bahwa Jared adalah seorang vampir. Orang pertama yang menyebarkan berita itu pastilah seseorang yang jahat, pikir Sierra.
Megan mengedik acuh dan ikut menggigit sandwich daging sapi miliknya. Ia tidak akan pernah memercayai Sierra seperti yang dilakukannya dulu.
"Entahlah. Aku juga tidak tahu," sahut Megan berpura-pura tidak tahu menahu. Tak ada rahasia yang ingin dibaginya dengan Sierra.
"Orang yang menyebarkan gosip itu pastilah orang iseng yang kurang kerjaan," komen Sierra. Jika mengingat kembali peristiwa perundungan yang dialami Jared saat itu, darah Sierra kembali mendidih. Apalagi rekaman videonya juga diunggah di akun media sosial salah seorang mahasiswa dan dibagikan lebih dari 100 kali. Tak terbayangkan bagaimana sedihnya perasaan Jared.
Megan mengunyah makanannya dan enggan mengeluarkan pendapat. Di saat seperti ini langkah yang paling tepat untuknya adalah bungkam.
"Coba kau pikir," Sierra berucap kembali dan menghentikan sejenak kegiatannya menggigit sandwich. "memangnya di dunia ini ada vampir? Konyol sekali. Itu kan hanya mitos."
"Ya, kau benar."
"Apa kau tidak marah melihat Jared diperlakukan seperti itu?"
"Aku sudah pernah mengatakan aku tidak akan mengejarnya lagi, kan?"
"Ya, tapi bukan berarti kau tidak marah saat melihat orang yang kau sukai ditindas seperti itu, kan? Bukannya ini adalah kesempatan bagus untuk memberikan perhatian pada Jared? Siapa tahu sebuah perhatian kecil bisa membuatnya luluh."
Megan menyunggingkan senyum tipis di bibir merah marunnya.
"Jared tidak pernah suka aku mendekatinya. Kau juga mengetahui itu, bukan?"
Sierra membenarkan. Tapi, yang dilihatnya tadi pagi apa? Megan dan Jared, sebenarnya apa yang mereka bicarakan?
"Apa kau sudah tidak menyukainya?" tanya Sierra penasaran. Sikap Megan memang menunjukkan perasaannya tak lagi sama seperti dulu. Bahkan gadis itu cenderung menampilkan sorot kebencian pada Jared.
"Mungkin." Megan menjawab dengan begitu santai. Ia menyeruput minuman soda dengan sedotan plastik. "Mencintai seseorang yang tidak membalas perasaan kita adalah hal terbodoh yang pernah dilakukan oleh manusia," tandas Megan.
"Apa kau menyesal pernah menyukai Jared?"
"Tentu saja."
Sierra lumayan terkejut mendengar pengakuan Megan. Sungguh, ia tak menduga Megan akan melepaskan Jared begitu saja. Padahal selama ini Sierra tahu jika Megan terus-terusan mendekati Jared dan rasanya aneh jika sekarang gadis itu mengatakan menyesali perasaannya.
"Jadi, kau akan melepaskan Jared?" tanya Sierra hati-hati.
"Ya." Megan langsung mengangguk tanpa perlu berpikir dua kali. Bahkan gadis itu menambahkan kalimat yang spontan membuat Sierra tercekat. "Sekarang kau punya kesempatan untuk mendekati orang yang kau sukai. Kau senang, kan?"
Sierra gelagapan. Bagaimana Megan tahu isi hatinya?
"Apa maksudmu?" Sierra terbata. Selera makannya menyusut.
"Kau pasti tahu apa maksudku." Megan meletakkan sandwich daging sapi miliknya yang baru digigitnya tiga kali. Ia berdiri dan menyambar tas dari atas meja. "Aku pergi dulu."
Sierra melongo menyaksikan tingkah Megan. Selama ini ia telah dibodohi gadis itu. Diam-diam Megan mengetahui isi hati Sierra, tapi berpura-pura tak tahu menahu.
Nyatanya Megan juga licik.
**
"Gadis itu berbahaya."
Jamie mengalihkan tatapan ke samping. Cowok berpenampilan cool itu urung mengenakan sabuk pengaman. Kening tengah antara dua alisnya terlihat mengerut.
"Siapa yang kau maksud?"
Wajar jika Jamie merasa heran. Pasalnya dalam hidup Jared hanya ada satu gadis yang menghuni hatinya, yakni Clara dan ia sudah lama meninggal. Lalu siapa yang Jared bicarakan? Gadis yang mirip dengan Clara atau siapa?
"Megan," jawab Jared. Ia telah selesai memasang sabuk pengaman dan bersiap meluncur pulang ke kediaman keluarga Hermsworth.
"Megan?" ulang Jamie seraya mencoba mengingat kembali sebaris nama itu. Pelan-pelan ia memasang sabuk pengaman ke tubuhnya. "Gadis yang mencoba untuk membunuh kita?"
"Dia juga yang sudah menyebar rumor itu," imbuh Jared.
"Aku jadi bersemangat untuk membunuhnya," geram Jamie. "Tunjukkan gadis itu padaku. Aku akan menghabisinya malam ini juga."
"Kita ini makhluk terkutuk, Jamie. Dan kau akan membuat reputasi kita semakin buruk dengan melakukan itu. Aku tidak mau membunuh atau menjadikanmu seorang pembunuh."
"Kau masih bersabar setelah semua yang dia lakukan padamu? Jangan terlalu berbaik hati, Jared. Kau tahu, luka fisik di tubuhmu bisa sembuh dalam waktu singkat. Tapi, luka hati akan membekas dalam dirimu seumur hidup. Camkan itu," ujar Jamie sementara tangan kanannya memukul dada Jared perlahan. Setelah itu ia menyalakan mesin mobil dan meluncurkannya ke jalan raya.
Selang beberapa saat kemudian Jamie kembali berucap.
"Sejak awal aku sudah tidak setuju kau kembali ke tempat itu. Tapi kau memaksa kembali ke sana. Padahal kau bisa pindah ke universitas lain. Apa kau sengaja kembali ke sana agar bisa melihat gadis itu lagi?"
Jared yang mendengar tuduhan tak berdasar itu seketika menoleh ke samping.
"Siapa?"
"Gadis yang mirip dengan Clara."
"Konyol," desis Jared sambil membuang wajah keluar jendela. Jamie benar-benar tidak bisa membaca pikiran Jared. "Aku kembali ke sana bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk diriku sendiri. Kita sama-sama tahu harus menghindari gadis itu agar tidak mengulang takdir yang sama."
"Kalau begitu jangan kembali ke sana jika tidak ingin mengulang takdir yang sama lagi!" teriak Jamie kesal. "Tidak usah berpikir tentang pendapat orang lain. Jika mereka berpikir kau takut, abaikan saja. Jika mereka berpikir kau tidak muncul lagi di kampus karena kau memang vampir, biarkan saja. Kita memang vampir. Kenyataannya memang seperti itu, kan? Sekalipun mereka bukan tandingan kita, lebih baik tidak berurusan dengan manusia. Aku tidak mau kau terluka, Jared."
"Aku bisa menjaga diri."
"Kalau kau bisa menjaga diri, kenapa kau bisa ditindas seperti itu? Apa kau tidak punya harga diri? Kenapa tidak melawan, hah?"
Darah mengalir cepat ke kepala Jamie. Ah, percakapan biasa yang berubah menjadi perdebatan. Jamie tak ingin mengumbar emosi seperti ini ketika mereka sedang di jalan, tapi sudah terlanjur.
"Masih ada tempat lain untuk belajar. Kau tahu kan, kaum kita hampir punah. Dan kita sudah mengalami banyak sekali kesulitan karena umur kita yang tidak wajar. Kita adalah orang-orang krisis identitas. Jangan membuat hidup kita lebih menderita lagi. Apa kau paham?" tegas Jamie.
Jared tercenung. Ada bagian dari kalimat Jamie yang mengena di hatinya. Sebenarnya kenapa ia memaksa untuk kembali ke kampus? Benarkah hanya karena Jared ingin membuktikan pada semua orang kalau ia bukan vampir? Kalau Jared bukan pengecut dan bermental lemah yang tak akan goyah sekalipun ditindas sekejam itu? Ataukah ada alasan lain yang diam-diam menjadi motif kuat untuk datang lagi ke kampus? Mungkinkah motif yang tidak disadarinya itu adalah Luisa?
Sisa perjalanan mereka hampa tanpa percakapan. Jared hanyut dalam lamunan, sementara Jamie sibuk mengontrol emosi.
***
24 September 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top