Open Your Eyes
"Ya, Ayah. Jared baik-baik saja. Dia sedang kuliah sekarang. Aku akan memberitahunya jika Ayah menelepon ... "
" ... "
"Sampai jumpa."
Ponsel pintar dalam genggaman Jamie perlahan merosot ke bawah dan menggantung lemah di tangannya. Cowok itu melirik ke arah tempat tidur, tapi tak berharap Jared akan membuka mata. Ia sudah terlalu banyak menanggung rasa kecewa karena terus menerus berharap Jared akan membuka mata. Sementara harapan itu sia-sia. Jared masih tertidur pulas hingga hari ke-empat.
Jamie yakin Jared mendengar perbincangannya di telepon beberapa menit lalu dengan William. Ia juga sempat melontarkan sebuah kebohongan hanya demi menutupi kenyataan yang sesungguhnya tentang kondisi Jared.
"Kau sudah dengar, kan?" Jamie menjatuhkan tubuh di tepi tempat tidur. "Aku tidak memberitahu ayah tentang semuanya. Aku tidak ingin membuatnya sedih. Kau tahu kan, ayah sangat menyayangi kita?"
Jamie menarik napas diam-diam. Beberapa hari terakhir ia mulai terbiasa bicara sendiri. Meskipun Jared menutup kedua matanya, Jamie sangat yakin ia bisa mendengar suara di sekitar. Sekalipun kalimat-kalimat yang meluncur dari bibirnya tak mampu menggugah alam bawah sadar Jared, Jamie tak bisa hanya duduk diam dan menunggu.
"Suatu hari nanti ayah pasti kembali." Jamie menyambung ucapannya. "Aku tidak tahu bagaimana harus menjelaskan semuanya pada ayah. Sebelum pergi ayah menyuruhku agar menjagamu dengan baik. Tapi, kenyataannya aku tidak bisa memenuhi janjiku pada ayah. Aku tidak akan sanggup menatap wajah ayah lagi."
Seraut wajah Jamie tertunduk sedih. Barisan kata yang mengalir dari bibirnya terdengar pilu dan setetes air mata jatuh mengiringi penghujung kalimatnya. Jamie tidak pernah seperti ini sebelumnya. Ia tidak pernah merasa begitu hampa dalam relung hatinya.
Jika Jared saja tidak ingin membuka mata, lalu apa yang bisa dilakukan Jamie?
Rasa bersalah yang ditanggung Jared sepanjang hidup adalah buah perbuatan Jamie. Namun, saat itu Jamie tidak punya pilihan lain. Berdasarkan peraturan bangsa vampir, ia harus membunuh salah satu di antara Jared atau Clara. Dan tentu saja Jamie akan memilih untuk menyelamatkan nyawa saudaranya. Apakah Jared belum juga mengerti posisi Jamie kala itu? Kematian Clara bukan sepenuhnya kesalahan Jared atau Jamie. Nenek moyang mereka juga turut andil dalam kematian Clara. Jadi, tidak seharusnya Jared menyalahkan diri sendiri atas apa yang telah dialami gadis itu. Ataukah Jared menyesal telah jatuh cinta pada manusia?
"Apa aku harus membawa gadis itu kemari?"
Tiba-tiba saja ide gila itu melintas dalam benak Jamie. Tuan Joel benar, Jamie tidak akan pernah bisa mencegah takdir di antara Jared dan Luisa. Karena pada dasarnya Luisa adalah reinkarnasi Clara dan Jared yang mengharapkan itu terjadi. Sudah seharusnya mereka berdua bertemu. Sekalipun keduanya tidak bisa dipersatukan.
"Aku akan berlutut dan meminta maaf padanya. Kau juga. Kita akan meminta maaf padanya. Lalu setelah itu kita akan pergi jauh dari tempat ini. Dengan begitu kau tidak perlu merasa bersalah lagi pada Clara. Luisa akan bisa tetap hidup. Aku berjanji tidak akan membunuhnya kali ini," ucap Jamie mengutarakan idenya.
Apakah sesederhana itu?
Rasanya Jamie telah melakukan segala cara untuk membuat Jared membuka mata. Namun, tak ada satu pun upayanya yang membuahkan hasil. Sepasang mata Jared masih terkatup rapat hingga saat ini.
Satu-satunya cara yang terpikirkan Jamie sekarang hanyalah membawa Luisa ke hadapan Jared. Mungkin dengan kehadiran gadis itu bisa menggugah alam bawah sadar Jared dan membuatnya tergerak untuk membuka mata. Jamie harus bergegas melakukan sesuatu sebelum terlambat. Pasalnya nyawa Jared menjadi taruhannya.
**
Jamie berdiri di samping mobil dan dari balik kacamata hitamnya, ia menelusuri pemandangan di area sekitar pintu gerbang kampus. Satu per satu bola matanya memindai wajah para mahasiswi yang berjalan sendirian keluar masuk kampus. Ia sengaja tak memerhatikan gerombolan para gadis karena Jamie percaya jika Luisa tidak akan suka bergaul seperti mahasiswi lain. Ditambah lagi selama Jamie melihat Luisa di kampus, gadis itu selalu sendiri, pulang atau pergi ke kampus.
Seperti yang sudah-sudah, para gadis yang melihat keberadaan Jamie di depan pintu gerbang kampus melempar tatapan penuh kekaguman pada cowok berpenampilan cool itu. Pakaian yang melekat di tubuh Jamie dari atas hingga bawah merupakan barang bermerk dan harganya lumayan mahal. Ia sepadan dengan fotomodel yang biasa memamerkan pakaian dari perancang kenamaan dunia, tapi Jamie tidak akan pernah tertarik untuk bekerja di bidang fashion. Selama ini ia cukup menikmati hidupnya sebagai pengangguran dan tak ingin melakukan sesuatu dibawah tekanan orang lain.
Namun, tak ada selipan senyum tipis di bibir Jamie kali ini. Ia juga mengabaikan rasa bangga tentang kepopulerannya di kampus. Bahkan ia tak peduli ketika beberapa orang gadis terlihat mencuri fotonya diam-diam. Jamie hanya fokus pada sosok yang sedang dicarinya.
Biasanya di jam-jam seperti sekarang adalah jam pulang Jared. Jamie juga pernah melihat Luisa pulang di jam yang sama, tapi selama ia menunggu di sana, cowok itu tak melihat penampakan gadis yang dicarinya. Luisa tak muncul hingga dua jam kemudian.
Apa gadis itu tahu jika Jamie menunggunya?
Merasa penantiannya tak boleh sia-sia, Jamie memberanikan diri untuk bertanya pada siapapun yang ia temui di depan pintu gerbang kampus. Namun, seolah orang asing, tak ada satupun mahasiswi yang mengaku mengenal Luisa. Semuanya kompak mengatakan hal yang sama. Mereka tak pernah mengenal seseorang bernama Luisa.
Jamie benar-benar merasa putus asa. Lagi-lagi upayanya tak membuahkan hasil. Ia menyerah dan kembali masuk ke dalam mobil setelah suasana di sekitar tempat itu mulai sepi. Sinar matahari juga mulai meredup.
Mungkinkah Luisa bukan nama yang sebenarnya? Ataukah gadis itu sedemikian tertutupnya sehingga tak ada satupun yang mengenal dirinya? Bagaimana dengan teman-teman sekelasnya? Wajarkah jika di antara mereka tidak pernah mengenal nama itu?
Luisa yang misterius.
***
05 Oktober 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top