Lost
Pepohonan yang tua mati usai daun-daunnya berguguran jatuh ke tanah. Meninggalkan ranting-ranting kering yang kurus dan menengadah ke langit. Mereka sedang mencoba untuk tetap bertahan dari embusan angin yang bertiup untuk ke sekian kali di tahun ini. Sekalipun mereka bisa bertahan pada musim gugur ini, ranting-ranting itu akan goyah ketika salju ketiga turun. Mereka akan patah dan berujung di atas tanah yang dingin nan lembab.
Sepasang mata hazel tampak sedang menatap lurus ke arah sebuah pohon besar yang berdiri di tengah-tengah pelataran kampus. Ketika pertama kali ia menginjakkan kaki di sana, pohon itu tampak bugar dengan dedaunan yang rimbun. Sesekali burung-burung berdatangan ke sana untuk bermain dan membuat sarang. Namun, sekarang pohon itu tengah sekarat.
"Jared."
Seseorang menepuk pundak yang terbungkus mantel berwarna cokelat tua itu. Maksud dan tujuannya jelas, ia ingin mengalihkan perhatian cowok itu dari pohon tua di tengah pelataran kampus.
Cowok bernama Jared itu menoleh dan menemukan seraut wajah tampan milik kakaknya di sana. Jamie.
"Ayo pulang," ajak Jamie tanpa basa-basi. Ia sudah menunggu Jared di depan pintu gerbang kampus semenjak setengah jam lalu, tapi Jared tak jua muncul. Cowok itu juga tak mengangkat telepon.
Jared menurut. Ia berjalan di samping tubuh Jamie menuju ke pintu gerbang kampus. Tanpa kata.
Jamie mengulum senyum diam-diam saat beberapa gadis yang berpapasan dengan kedua kakak beradik itu melempar tatapan penuh kekaguman padanya. Sementara sikap Jared malah sebaliknya. Ia hanya menatap arah yang sedang mereka tuju dan wajahnya dipasang datar. Tak ada tarikan di sudut bibirnya seperti yang dilakukan Jamie.
"Ternyata aku sepopuler itu," bisik Jamie. Rasa bangga tengah menyelimuti hatinya.
Bukan kali ini saja Jamie mendapat tatapan seperti itu. Ia bahkan kerap menerima seulas senyum hangat tanpa alasan dari seorang gadis yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Tapi, sayangnya Jamie datang ke tempat itu hanya untuk menjemput Jared. Bukan untuk menuntut ilmu seperti yang dilakukan adiknya.
"Apa kau mau pergi ke suatu tempat?" tawar Jamie pada adiknya saat mereka tiba di dekat mobil yang terparkir tak jauh dari pintu gerbang kampus.
Jared hanya menanggapi penawaran itu dengan gelengan malas. Ia langsung membuka pintu mobil dan menempati jok di sebelah kemudi. Masih tanpa kata.
Jamie menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya mengikuti apa yang diperbuat Jared.
***
"Sampai kapan kau akan memperlakukanku seperti ini?" Jamie mengekor langkah Jared yang telah lebih dulu memasuki rumah.
Setelah kejadian malam itu, lebih tepatnya usai Clara meninggal, sikap Jared berubah total. Cowok itu menjadi dingin dan menyebalkan di mata Jamie. Pasalnya cowok itu selalu mengabaikan Jamie. Apapun yang diucapkan Jamie, tak ada satupun yang pernah Jared tanggapi dengan serius. Ia justru terkesan tak ingin mendengarkan setiap perkataan Jamie, seperti desau angin yang berembus di depan wajahnya lalu terbang menjauh.
"Ini sudah 30 tahun, Jared. Apa kau masih belum melupakan gadis itu?" Seolah tak ingin menyerah, Jamie terus saja mengikuti langkah kaki Jared menuju kamarnya.
Jared membuka pintu kamarnya lalu masuk tanpa memberi jawaban seperti yang Jamie inginkan.
Waktu bergulir sebagaimana mestinya. 30 tahun telah berlalu dan semua hal berubah, kecuali kedua kakak beradik itu. Secara fisik mereka masih sama seperti saat Clara masih ada di dunia ini. Jared masih setampan dulu dan ia tetaplah seperti cowok berusia 20 tahun, begitu juga dengan Jamie. Padahal usia mereka sudah lebih dari 70 tahun.
"Ja-"
Jamie nyaris saja menubruk pintu yang baru saja ditutup Jared. Ia merasa beruntung karena memiliki gerak refleks yang bagus tadi. Padahal benturan sekeras apapun tak akan bisa menyakiti vampir seperti dirinya.
Jamie tak menghentikan niatnya untuk mengikuti langkah Jared meski ia tahu Jared tak akan suka jika seseorang menerobos masuk ke dalam kamarnya. Sekalipun itu kakaknya sendiri.
Jared melepaskan tas ransel hitam dari punggungnya lalu meletakkan benda itu di atas kursi. Sementara Jamie masih tertegun di depan pintu.
"Kau tahu aku melakukan itu karena aku sangat menyayangimu. Lebih baik kehilangan orang asing daripada kau, Jared."
"Aku tahu," sahut Jared. Namun, nada suaranya terdengar pelan. Cowok berpostur tinggi dan bertubuh kurus itu menjatuhkan diri di atas tempat tidur.
Jared masih membeku di depan pintu yang terbuka lebar. Pandangannya beredar ke samping tubuh Jared yang terbaring di atas tempat tidur. Boneka kelinci tua dan sialan itu juga ada di sana. Merusak pemandangan mata Jamie.
Jamie berjalan ke arah tempat tidur lalu duduk di tepiannya.
"Bagaimana kalau kita pergi berolahraga?" tawar Jamie. Demi mengalihkan perhatian Jared, apapun akan dilakukan Jamie. Tak peduli embusan angin dingin yang bertiup di luar sana bisa membekukan tubuhnya.
"Pergilah sendiri. Aku lelah." Jared bergumam. Kedua matanya terpejam.
Jamie mendesah pelan. Ia sudah menerima penolakan semacam itu lebih dari seribu kali. Tapi, sampai detik ini ia belum menyerah.
"Apa enaknya pergi sendirian?"
"Ajaklah seseorang..."
"Kau kan tahu kita tidak mungkin menjalin pertemanan dengan seseorang."
Jared tak memberi respon. Jamie tahu ia tidak sedang tidur. Hanya malas untuk menanggapi mulut Jamie yang tak kenal lelah untuk mengoceh.
"Sejak kita pindah ke tempat ini, kita bahkan belum pernah menjelajah kota," ucap Jamie seraya menerawangkan pandangan ke arah jendela yang terkunci rapat dan tanpa tirai yang akan menghalangi tatapannya ke langit.
Dalam kurun waktu 30 tahun terakhir keluarga Hermsworth telah pindah sebanyak tiga kali. Namun, Jared masih tak tertarik untuk berkeliling hanya untuk sekadar melihat-lihat suasana kota beserta keberagaman penduduknya.
Mereka tak bisa menetap terlalu lama di satu wilayah. Pasalnya di saat manusia-manusia lain mengalami perubahan fisik, mereka tidak berubah sama sekali. Butuh waktu 100 tahun untuk melihat perubahan itu dalam diri vampir.
"Kau tidak bisa menghabiskan sisa hidupmu seperti ini, Jared," desah Jamie berusaha untuk menyadarkan sikap Jared. Ia yakin sepenuhnya jika Jared masih mendengar suaranya sekalipun adiknya memejamkan mata. "Setidaknya jalanilah hidup seperti orang lain. Kau tahu, manusia-manusia di luar sana juga sama menanggung beban dalam hidup mereka. Ditinggalkan oleh orang yang dicintai hanyalah salah satu penderitaan yang dialami manusia. Masih banyak penderitaan yang mereka alami selain itu, tapi kau lihat kan, manusia-manusia itu tetap bertahan. Pada akhirnya mereka melepaskan beban itu lalu menjalani hidup mereka dengan baik."
"Aku bukan manusia seperti mereka."
Tak disangka Jared menanggapi perkataan Jamie. Cowok itu membuka mata lalu duduk.
"Aku tahu." Jamie membalas dengan cepat. Cowok itu memutar tubuh sehingga mereka bisa saling menatap satu sama lain. "Tapi, kita sudah hidup berdampingan dengan mereka selama berpuluh-puluh tahun. Kita bahkan sering lupa kalau kita bukan manusia, kan? Secara fisik kita sama meski pada hakikatnya kita berbeda dari mereka. Kita vampir, dengan segala kekurangan dan kelebihan. Tapi, bangsa kita tidak pernah menonjolkan kelemahan kita, kau mengerti?" Jamie menepuk pelan bahu adiknya.
"Aku benci terlahir sebagai vampir. Aku benci jadi makhluk terkutuk!" Rahang itu mengeras. Kedua tangannya pun ikut mengepal penuh kemarahan. Sorot mata yang terluka.
Jamie menghela napas. Ia bisa membaca kemarahan yang tergambar dengan jelas di wajah Jared.
"Memangnya aku juga suka dilahirkan sebagai vampir dengan segala peraturan yang tidak masuk akal? Tapi kita bisa apa, hah? Kita bisa marah pada siapa? Nenek moyang kita? Ayah? Ibu? Atau pada diri sendiri?"
Jared membisu. Selama ini Jamie tampak sangat menikmati kehidupannya. Ia terlihat santai dan tak peduli pada apapun di sekitarnya. Namun, ada sesuatu yang terpendam jauh di dalam hatinya dan baru kali ini ia ungkapkan. Jared tak pandai menilai kakaknya selama ini.
"Akhiri masa berkabungmu," ucap Jamie sejurus kemudian. "Kamu tidak harus melupakannya. Sesekali kau boleh mengingatnya, tapi teruslah menjalani hidup, mengerti?"
Usai menepuk kembali bahu Jared, Jamie bangun dari tepian tempat tidur lalu beringsut keluar dari kamar adiknya.
Jared pasti mengerti maksud perkataan-perkataan itu, tapi Jamie tak yakin ucapannya bisa merasuki pikiran adiknya dan menggugah kesadarannya.
***
15 Agustus 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top