Just Try

"Masih belum terlambat untuk berubah pikiran," gumam Jared dengan melirik ke arah para pengunjung kedai.

Satu meja di sudut ruangan berisi tiga orang laki-laki seumuran sang pemilik kedai dan mereka sedang sibuk bermain kartu tanpa memedulikan kondisi di sekitar. Beberapa lembar uang tampak tergeletak di tengah-tengah meja sebagai taruhan permainan.

Sedang sebuah meja lagi yang terletak di sebelah para laki-laki tua yang bermain kartu, berisi dua laki-laki yang asyik mengobrol sembari sesekali meluapkan tawa. Mereka juga tidak tampak lebih muda. Dan satu meja lagi terisi oleh seorang laki-laki tua berpakaian kumal. Ia sibuk menekuri lembar-lembar koran yang terbit tadi pagi.

Jamie seperti tidak terpengaruh dengan ucapan Jared. Buktinya ia tampak begitu nyaman duduk di atas kursi kayu yang menghadap sebuah meja berbentuk bundar.

Pandangan Jamie menyebar ke sekeliling ruangan, tapi tak pernah terbersit di dalam benaknya untuk angkat kaki dari tempat itu sebelum kopi pesanannya disajikan.

"Sepertinya tempat ini lebih cocok dijadikan bar," ucap Jamie sengaja menjadikan perkataan Jared sebagai angin lalu. Menilik dari interior kedai dan keseluruhan pengunjung di dalamnya, tempat itu jauh lebih layak difungsikan sebagai bar ketimbang kedai kopi.

"Tempat ini memang dijadikan bar saat malam hari dan pada siang hari aku mengelola tempat ini sebagai kedai kopi."

Laki-laki paruh baya yang membalut tubuhnya dengan selembar apron hitam menyahut ucapan Jamie tiba-tiba. Ia datang dengan membawa sebuah nampan kayu dengan dua cangkir kopi di atasnya.

Jamie hanya mengulas senyum kaku seolah baru saja ketahuan mencuri.

"Kalau kau mau minum, kau bisa datang ke sini malam nanti," ujar laki-laki itu.

Sebuah cangkir kopi ia hidangkan di depan Jamie dan satu lagi untuk Jared. Asap tipis yang membawa aroma khas kopi mengepul dari dalam cangkir.

"Terima kasih," ucap Jamie setelah pemilik kedai selesai melakukan tugasnya.

"Tinggalkan saja uangnya di atas meja," ucap laki-laki itu sebelum berlalu dari hadapan Jamie dan Jared.

Jared menatap ke arah punggung laki-laki itu hingga ia kembali ke tempatnya semula di belakang meja kasir lalu berbisik pelan pada Jamie.

"Apa kau serius ingin mencobanya?" Keningnya mengerut tajam. Rasa tak percaya tergambar jelas di wajah Jared ketika ia mengarahkan tatapan ke arah Jamie.

"Aku tidak akan ada di sini kalau aku tidak serius, Jamie. Apa kau takut?" Jamie membalas dengan berbisik. Ia melirik sekilas ke arah pemilik kedai dan menemukan laki-laki itu sibuk dengan selembar koran di tangannya. Sebuah kacamata baca telah bertengger di hidungnya.

"Ini bukan soal berani atau takut."

"Lantas?"

"Kita tidak tahu efek dari minuman itu."

"Kita tidak akan pernah tahu kalau tidak pernah mencobanya, Jared. Tenang saja, kita tidak akan mati hanya karena segelas kopi."

Mereka masih saling merendahkan suara.

"Aku tidak segila dirimu," desis Jared yang bersikukuh tidak akan melakukan kegilaan yang sama yang dilakukan kakaknya.

"Ini bukan sebuah kegilaan," balas Jamie tidak terima.

"Kebodohan?"

"Ini hanya sebuah percobaan."

Jared menarik punggungnya ke sandaran kursi. Ia tidak akan berhasil untuk membujuk Jamie agar mengurungkan niatnya. Maka saat Jamie berusaha meraih cangkirnya dan mengangkat benda itu ke depan bibir, Jared memilih bungkam.

"Kalau terjadi sesuatu denganku, cepat bawa aku pergi dari sini," pesan Jamie yang siap untuk meminum isi cangkir di tangannya.

"Asal jangan muntah di sini."

Jamie mendekatkan permukaan cangkir ke bibir dan mulai menyesap isinya meski penuh dengan keraguan.

Sementara Jared hanya bergeming menunggu Jamie meminum isi cangkir kopinya. Sejujurnya ia juga merasa penasaran, apa yang akan terjadi pada Jamie usai meneguk minuman itu.

Baru seteguk Jamie langsung menjauhkan cangkir kopi itu dari bibirnya.

"Apa kau baik-baik saja?"

"Ya. Aku baik-baik saja."

"Bagaimana rasanya?" tanya Jared penasaran, tapi disambut gelengan oleh Jamie.

"Hambar." Jamie meletakkan cangkirnya di atas meja.

Ternyata minuman berwarna keruh itu tidak semanis darah babi atau sapi.

"Kau tahu, indra perasa dan pengecap kita berbeda dengan mereka," ucap Jared dengan lirih. Sepasang matanya melirik ke arah meja para pengunjung.

"Kau benar." Jamie membenarkan ucapan adiknya. Rasa penasaran sudah lenyap tak berbekas dalam hatinya. Sekarang ia hanya ingin pergi secepatnya dari tempat itu.

"Apa sekarang kau menyesali kebodohanmu?"

"Sudah kubilang itu bukan kebodohan," sahut Jamie merasa tidak terima dengan olok-olok Jared. Rasa ingin tahu dan kebodohan jelas sesuatu yang berbeda. Wajar jika seseorang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi terhadap sesuatu yang belum pernah ia coba, bukan?

Jared mengulum senyum tipis diam-diam.

"Ayo, pergi," ajak Jamie seraya mengeluarkan beberapa lembar uang dari dalam dompet lalu meletakkannya di atas meja.

Jared mengangguk pelan lalu bergegas mengikuti langkah Jamie yang telah lebih dulu beranjak dari tempat duduknya.

Sementara si pemilik kedai begitu melihat kedua pemuda itu meninggalkan tempatnya, ia segera berjalan mendekat ke meja yang baru saja mereka tinggalkan.

Laki-laki paruh baya itu mengerutkan dahi ketika melihat lembar-lembar uang yang ditinggalkan Jamie.

"Apa mereka sekaya itu? Ini bahkan cukup untuk membeli segalon kopi," gumam laki-laki itu seraya memungut lembaran uang dari atas meja.

Samar-samar ia mendengar suara deru mobil bergerak menjauh. Biarkan mereka pergi. Toh, laki-laki itu juga tak mau repot-repot memberitahu jika uang yang mereka tinggalkan terlalu banyak. Justru ia merasa ini adalah hari keberuntungannya.

Sementara itu, Jamie dan Jared telah meluncur kembali ke jalanan kota yang cenderung lengang. Meskipun terbilang padat penduduk, kawasan itu tak seramai yang orang bayangkan. Jumlah mobil juga terbatas. Selain pajak untuk mobil cukup mahal, mayoritas penduduknya lebih suka berjalan kaki atau menaiki kendaraan umum.

"Aku bersumpah tidak akan pergi ke tempat itu lagi." Jamie berikrar saat kedua tangannya berpegangan pada kemudi dan pandangannya lurus ke depan. Dan Jared hanya bisa tertawa dalam hati.

Jamie mengarahkan mobilnya ke arah tempat pemotongan hewan yang selama ini menjadi langganan keluarga Hermsworth. Pemilik tempat itu juga seorang vampir dan ia bertugas menyuplai 'makanan' untuk sesamanya. Namun, tentu saja ia menjaga kerahasiaan klien dan transaksi yang mereka lakukan.

***

19 Agustus 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top