Jamie's Dream

"Oh, kau sudah di sini?"

Jamie spontan memalingkan wajah ketika pintu mobil terbuka dan Jared masuk setelahnya.

Cowok yang senantiasa berpenampilan cool itu menutup buku tebal di tangannya, tepat saat Jared berhasil duduk di sebelah Jamie. Sembari menunggu Jared keluar dari kampus, Jamie sengaja membaca sebuah buku fiksi yang menceritakan tentang penduduk suatu wilayah perkotaan yang  sedang menghadapi wabah penyakit mematikan. Kematian terjadi di mana-mana. Hampir setiap menit jatuh korban. Dan nahasnya belum ada obat yang bisa mengatasi penyakit mematikan itu. Parahnya lagi terjadi krisis pangan dan krisis kepercayaan terhadap sang walikota atas penanganan wabah yang dinilai buruk. Mereka menghadapi ambang kepunahan.

"Apa ada sesuatu yang menyenangkan hari ini di kampus?" Jamie mulai menyalakan mesin usai meletakkan buku bacaannya di atas dashboard. Memancing kata keluar dari bibir adik kesayangannya.

Jared hanya menggeleng pelan. Wajah dinginnya tak menyiratkan bahwa ada sesuatu yang menarik terjadi hari ini. Hanya Megan yang sedikit mengusik harinya, tapi itu bukan sesuatu yang harus dibahas dengan kakaknya.

Sejurus kemudian mobil mewah milik Jamie meluncur dengan tenang meninggalkan kawasan kampus.

"Apa kau tidak ingin pergi berjalan-jalan?" Tanpa menoleh ke samping, Jamie kembali menawarkan hal yang sama pada adiknya. Meski ia tahu Jared tidak akan tertarik dengan aktifitas semacam itu.

Jared hanya menatap lurus ke depan. Aksi diam yang ia lakukan sudah cukup memberi jawaban pada Jamie, bahwa Jared tidak ingin pergi ke mana-mana. Seperti yang sudah-sudah. Ia merasa cukup lelah dengan kegiatan pembelajaran di kampus dan hanya ingin istirahat di rumah.

Melihatnya seperti itu membuat Jamie merasa apa yang dikatakan ayahnya tentang Jared mungkin saja benar. 10 atau 20 tahun mendatang Jared bisa kehilangan nyawa. Tampaknya dugaan Jamie salah. Jared tidak baik-baik saja seperti yang ia pikirkan. Meski dilihat sekilas tak ada yang salah dengan fisik Jared, tapi besar kemungkinan ada sesuatu yang diam-diam menggerogoti adiknya dari dalam.

"Sesekali aku ingin pergi ke kafe dan menikmati secangkir kopi hangat seperti yang orang-orang lakukan," tandas Jamie kembali mengusik keheningan di dalam mobil. Senyum tipis terukir samar di bibirnya.

Ucapan konyol yang meluncur dari bibir Jamie berhasil memancing reaksi Jared. Cowok bermantel cokelat itu ikut menarik sedikit ujung bibirnya. Bermaksud mencemooh 'impian' kecil saudara laki-lakinya.

"Seumur hidup kita belum pernah makan atau minum seperti yang manusia-manusia itu lakukan. Aku mendengar banyak orang yang tergila-gila dengan kopi. Aku jadi penasaran seperti apa rasanya kopi. Apa minuman serupa air comberan itu senikmat yang dikatakan orang-orang?" celoteh Jamie lagi. Mengundang kepala Jared untuk menoleh ke arahnya.

"Jangan konyol," desis Jared.

Kaum vampir hanya meminum darah dan mendapatkan energi yang luar biasa melimpah dari cairan berwarna merah itu. Dan tak pernah ada 'makanan' sebaik darah bagi bangsa vampir. Jadi, kesimpulannya Jamie sedikit gila dengan pemikiran konyolnya.

"Aku pernah membaca sebuah buku yang mengisahkan tentang seorang laki-laki yang sangat mencintai kopi. Entah sehebat apa rasanya..."

Di dalam kepala Jamie bertebaran pertanyaan tentang rasa kopi yang sesungguhnya. Apa ia semanis aroma darah? Atau memabukkan layaknya wine?

Jared menyunggingkan seulas senyum mendengar kalimat Jamie. Pikirannya pasti penuh dengan hal-hal konyol karena terlalu banyak membaca buku, pikir Jared seraya melirik saudaranya.

"Bagaimana kalau kita mampir sebentar ke sana?"

"Hah?" Jared ternganga dan kepalanya berputar ke samping. Apa yang akan dilakukan Jamie?

Senyum miring terukir di bibir Jamie. Kedua alisnya terangkat seolah ingin menyampaikan kode tertentu.

"Jangan bilang kau..."

Benar. Dugaan Jared tak meleset. Jamie memang mengarahkan mobil kesayangannya ke arah sebuah kedai kopi yang sejak tadi diincarnya diam-diam.

"Apa kau serius?" Sepasang mata hazel milik Jared membulat tak percaya saat Jamie menghentikan mobil yang ia kemudikan di depan sebuah kedai kopi sederhana. Mereka selalu melewati tempat itu, tapi baru kali ini Jamie berpikir untuk mampir.

Jamie mengerling nakal.

"Ayo," ajaknya. "Apa kau tidak merasa penasaran?"

Jared terus menggeleng melihat kelakuan Jamie yang sedang bersiap untuk keluar dari mobil. Saudaranya sudah hilang akal rupanya.

Jamie yang sudah berhasil keluar dari mobil, menatap Jared yang masih duduk di tempatnya semula. Tak ada niat sama sekali di dalam kepalanya untuk turun dan memesan secangkir kopi yang sangat diidamkan Jamie.

Jamie menggerakkan bibirnya tanpa suara. Ayo keluar.

Jared melepaskan sabuk pengaman dari tubuhnya dengan malas. Aku tidak segila dirimu, batinnya setelah berhasil keluar dari mobil. Cowok itu menatap Jamie yang telah lebih dulu melangkah ke arah kedai lalu mendorong pintunya yang terbuat dari kayu.

Jared merasa harus mendampingi kakaknya yang sudah gila itu. Bagaimana jika sesuatu terjadi pada Jamie nanti?

Suasana di dalam kedai kopi itu tidak seperti yang Jamie bayangkan sebelumnya. Desain interiornya tampak kuno, perabotan yang seluruhnya terbuat dari kayu membuat tempat itu terkesan jauh dari kata modern. Sebuah jangkar tua terlihat menempel pada salah satu bagian dinding. Alunan lagu country yang mengalun pelan seakan ingin membawa seluruh penghuni tempat itu kembali ke zaman koboi.

Seorang laki-laki paruh baya dan mengenakan selembar apron hitam tampak berdiri di balik meja kasir. Tubuhnya sedikit berisi dan kumis tebal menghias wajah laki-laki yang sudah tidak muda lagi itu. Tatapan matanya dingin dan mengesankan jika dirinya bukanlah orang yang ramah. Ia memang tak suka berbasa basi sekalipun pada pelanggan yang berkunjung ke kedai kopinya.

Laki-laki itu menatap ke arah dua pemuda yang baru saja memasuki kedainya.

Jamie melangkah ragu seraya mengedarkan tatapan ke sekeliling ruangan. Tiga meja kayu bundar telah terisi. Hanya tersisa empat meja di dalam kedai. Tapi, yang tampak di dalam sana hanya sekumpulan laki-laki tua dan sepantaran dengan si pemilik kedai. Tak ada seraut wajah yang berkulit kencang dan halus tanpa kerutan bisa ditemukan Jamie di tempat itu.

"Kau masih punya pilihan untuk keluar dari tempat mengerikan ini." Jared berbisik pelan di belakang punggung Jamie saat cowok itu memutuskan untuk berhenti di tengah-tengah ruangan.

Namun, sepertinya Jamie tak tergoyahkan oleh ucapan adiknya.

"Apa aku bisa minta dua cangkir kopi?"

Laki-laki yang berdiri di balik meja kasir dan sedari tadi memerhatikan kedua saudara itu, seketika mengangguk. Ia sudah menunggu perkataan itu sejak keduanya masuk ke dalam kedai.

"Tentu. Silakan duduk," ucap laki-laki paruh baya itu.

Jamie melempar senyum ke arah pemilik kedai itu, lalu berbalik.

"Kita sudah tidak punya pilihan untuk keluar dari tempat ini," desis Jamie ditanggapi geram oleh Jared. "Ayo, kita cari tempat duduk."

Jared terpaku sesaat, tapi ketika Jamie telah menemukan sebuah meja yang akan mereka tempati, ia tak punya pilihan lain selain mengikuti tindakan saudaranya.

***

17 Agustus 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top