4. Tatapan Itu

Melihat jutaan bintang dengan teropong itu sudah biasa bagiku. Sementara melihat jutaan pesonamu dengan teropong bagiku itu luar biasa. Kamu harus tahu bahwa sejujurnya aku ingin meneropong hatimu sekedar memastikan apakah ada aku di sana? (Naima)

***

Suara mobil berhenti terdengar di telinga Ima. Ia bahkan sangat hapal dengan kedatangan mobil itu yang berkisar antara pukul delapan malam  hingga pukul sembilan malam. Di tangannya,  ia sudah siap dengan teropong dan akan segera memuaskan matanya melihat Nicholas Sean Atmaja dari kamarnya.

Benar saja, ia mengendap-ngendap dan bersembunyi dibalik pintu kamar yang menghadap ke depan rumah Sean. Ima memposisikan teropong di depan matanya dan sukses mengamati pria tampan yang baru saja memasuki rumahnya.

Dari pandangam Ima, Sean turun dari mobil Mercedes Bens AMG- G65 berwarna silver miliknya. Dada Ima berdebar kala pria itu keluar dari mobil mahal seharga 4 milyarnya. Setelah keluar dari mobil Ima mendapati pria itu mengenakan Jas lengkap dan kemeja yang keluar dari pinggang celananya. Sean terlihat tampan walau dengan penampilan yang sedikit messy.

Masih di posisi berdiri di samping pintu mobilnya, seolah Sean belum puas pamer ketampanan. Sean menyisir dengan jari rambut hitamnya yang kini sedikit lebih panjang di mana ujung rambut bagian depannya menyentuh telinganya. Adegan menyisir rambut dengan jari yang dilakukan Sean lebih mirip dengan iklan shampoo pria.

Tak lama Sean mengambil tas kerjanya dan tanpa sengaja wajahnya berpaling ke balkon kamar Ima. Tepat ketika wajah Sean mengarah ke balkon kamar Ima  dengan sigap Ima bersembunyi di balik pintu, Ima tak ingin kepergok sedang mengamati Sean dengan teropong.

Setelahnya Sean masuk ke dalam rumahnya, ia seperti tak memberi Ima kesempatan untuk berlama-lama memandangi dirinya.

Sementara Ima dengan meneropong Sean saja rasanya sudah cukup untuk memenuhi kewajibannya menunggui  Sean sepulang kerja.

"Sekarang aku menunggumu pulang kerja dari balkon kamarku. Semoga setelahnya aku menungguimu pulang kerja di pintu rumah kita," kata Ima lirih.

"Kita? Oh kita? Aku ingin jika aku dan kamu menjadi kita," sambung Ima.

Ima meletakkan teropongnya di atas tempat tidur. Mengingat adegan meneropong Sean ia tersenyum. Memandangi Sean dari jauh dengan teropong itu sudah menjadi kebiasaannya sejak mengenal jatuh cinta untuk pertamakalinya. Kecuali ketika ia kuliah di Amerika, kebiasaan ini terhenti sejenak. Ia menggantinya dengan memandangi foto Sean yang sengaja ia curinya dari instagram Sean.

"Melihat jutaan bintang dengan teropong itu sudah biasa bagiku. Sementara melihat jutaan pesonamu dengan teropong bagiku itu luar biasa. Sean kamu harus tahu bahwa sejujurnya aku ingin meneropong hatimu apakah ada aku di sana?" gumam Ima dengan senyuman penuh cinta.

Setelahnya Ima pun kembali ke meja kerjanya dan melanjutkan pekerjaannya di depan notebook yang sempat  tertunda karena mendengar kedatangan mobil Sean.


***

Di sisi lain, pemuda tampan yang bernama Sean itu baru kembali dari kantor. Sebelum pulang ia dan Tio makan malam di restoran cepat saji. Pertemuannya dengan Tio membuahkan kesimpulan bahwa ia sebaiknya menerima rencana perjodohan dengan tetangganya itu.

"Baru pulang?" sapa Mama yang sedang duduk manis di ruang tamu bersama Papa.

"Iya Ma, Pa, tadi Sean ketemuan sama Tio. Kami udah lama banget enggak cerita-cerita," jawab Sean.

"Bagaimana harimu di kantor?" tanya Papa basa-basi.

"Baik Pa, Sean tetap harus banyak belajar sama Kak Soni," jawab Sean seadanya.

"Bagus, Papa percaya padamu, Papa yakin kamu anak yang cerdas dan pekerja keras. Papa juga yakin kalau suatu saat nanti kamu akan memimpin perusahaan, jadi untuk sementara kamu di bagian menejerial dulu ya," kata Papa bersemangat.

"I... Iya Pa," jawab Sean. Sebenarnya Sean jauh lebih suka jika Papa mengizinkan dirinya membuka restoran bukan menjadi menejer umum di perusahaanya.

"Ma, Pa Sean ke kamar dulu, permisi," kata Sean menutup pembicaraan.

Tiga langkah berjalan tiba-tiba Papa kembali memanggilnya. "Sean, tunggu! Mama sama Papa mau cerita sama kamu," kata Papa sambil meletakkan majalah bisnis yang baru saja dibacanya.

Dengan langkah malas Sean duduk di sofa mewah di samping Papa. Ia menduga Papa memanggilnya membicarakan perjodohan gokil antara dirinya dengan tetangga depan rumah. Perjodohan aneh tapi nyata ini membuat kepalanya makin pusing. Belum selesai masalah pekerjaan kini ia dihadapkan dengan perjodohan yang korbannya seharusnya bukan dia tapi Kak Soni.


Papa memandangi Sean lekat-lekat. Papa tak ingin membuat pikiran Sean semakin kacau. Sejenak Papa memikirkan pertanyaan basa-basi yang akan ditujukan pada Sean.

"Jadi bagaimana dengan rencana perjodohan dengan Naima?" tanya Papa hati-hati.

"Tuh kan bener, Papa membahas itu. Papa enggak ngerti kalau sebenernya aku enggak mau!" bathin Sean.

"Enggak tau Pa," jawab Sean jujur.

"Ya ampun Sean, Papa kan udah meyakinkan kamu selama hampir sebulan, masa kamu enggak mencoba untuk mengenali Ima lebih jauh," protes Papa.

"Gimana mau kenal Pa, nomor ponselnya aja Sean enggak tau. Papasan di jalan juga enggak pernah. Gimana Sean mau deket sama dia?" jawab Sean santai.

"Sean, kenapa kamu enggak nanya Mama sih, Mama punya nomor ponselnya kok," sambung Mama. Mama seolah menjadi kompor buat Papa untuk memanas-manasi Papa supaya lebih meyakinkan dan  secepatnya dijodohkan dengan Naima.

"Ma, Pa. Kalau Sean mau pasti dari kemarin cewek itu akan Sean temui," sayangnya Sean hanya menjawab dalam hati.

"Sean, enggak ada salahnya dengan Naima, kami kenal Naima itu gadis baik-baik," kata Papa.

"Sean, Mama itu dari bayi kenal Naima. Mama itu seneng sama dia. Dari dulu Mama pengen salah satu mantu Mama itu dia," lagi-lagi Mama jadi biang kerok yang akan mempengaruhi Papa.

"Kenapa enggak Kak Soni aja? Jelas-jelas Kak Soni tergila-gila padanya," Sean kembali membatin.

"Sayangnya Naima enggak mau sama Soni, dia maunya sama kamu," sambung Mama seolah mendengar isi hati Sean.

"Kasian Kak Soni," jawab Sean tiba-tiba.

"Kenapa kasian, kalau Soni sendiri punya pacar yang bernama Salsabila," jawab Papa.

Sean tertunduk. Ia tak tahu harus menjawab apalagi. Ia tak tahu dengan cara apa menangkis omongan Mama dan Papa. Sepertinya mereka tidak main-main dengan rencana perjodohan ini. Sean berpikir apa maksud perjodohan ini? Selain muatan politik, jangan-jangan Papa sedang merencanakan hal-hal yang menyangkut Atmaja Coorporation.

"Atau jangan-jangan Papa sedang mengadakan casting pemilihan pemimpin Atmaja Cooporation," guraunya dalam hati.

"Atau jangan-jangan Papa sengaja mengetes kami -aku dan Kak Soni?" batinya kembali.

"Atau Papa sedang mengetes kami. Siapa yang paling nurut kalau dikasih tahu?"
Sekelebat pikiran negatif muncul di kepala Sean.

Sean tersenyum simpul. Jika dibandingkan Soni jelaslah Sean lebih penurut dibanding Soni yang pribadinya agak sulit diberi tahu. Soni lebih sering membangkang daripada mengalah untuk menuruti kata-kata orangtua.

Sean bangkit dari duduknya di Sofa. Ia sepertinya lelah dan akan kembali ke kamarnya. Sebelum meninggalkan Mama dan Papa, Sean menatap Mama dan Papa bergantian.

"Ma, Pa. Sean setuju dengan perjodohan ini. Tapi Sean enggak janji bakalan mau menikahinya. Sebab Sean harus kenal dia dulu," kata Sean dingin.

"Sean...." protes Mama.

"Udah Ma, biarin aja. Yang penting dia sudah mulai membuka hatinya," jawab Papa diplomatis.

Tanpa pamit Sean meninggalkan Mama dan Papa yang masih melongo.

Setelahnya Mama angkat bicara. "Sean lusa tolong kosongkan jadwalmu, kita makan malam di rumah Naima."

Mendengar kalimat yang terlontar dari Mama, Sean menhentikan langkahnya dan menjawab, "Iya Ma."

Setelahnya Mama dan Papa saling berpandangan. Perihal rencana perjodohan itu sepertinya sudah menemui titik cerah dengan pernyataan kesetujuan untuk mengenal Naima lebih jauh. Walau Sean mengatakan tidak janji lanjut ke jenjang pernikahan. Yang penting bagi Mama dan Papa saat ini setidaknya Sean mau berupaya untuk mengenal Ima lebih dekat.

From Author :

Hai gaes... Maaf banget kalau masih acak-acakan. Nanti kalau ada waktu luang bakalan aku perbaiki.

Makasih buat teman-teman yang sudah memberi feedback.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top