Part 6
HAPPY READING GUYS :* :*
JANGAN LUPA VOMMENT YAA :D
*******
Author POV
Ruang tamu ini masih ramai dengan suara perdebatan, ucapan yang saling menyahut dengan nada penuh emosi itu tiba-tiba terhenti saat terdengar suara tawa samar dari kamar Ares. Bian melebarkan matanya, ini benar suara tawa daddynya, dia tidak mungkin salah dengar. Suara tawa itu sudah lama sekali hilang, dia bahkan sudah luma kapan terakhir mendengarnya.
Bian langsung berlari ke lantai atas, dan semuanya mengikuti di belakangnya. Perlahan Bian membuka pintu kamar Ares, matanya menatap nanar pemandangan di depannya. The power of love, Ares sedang tertawa dengan Lily. Bian tersenyum bahagia, ini adalah sebuah keajaiban.
Nadin membekap mulutnya, dia ikut takjub. "Ares.." ucapnya sembari merangkul lengan suaminya itu.
Arsen tersenyum sinis pada Sandra. "Sandra, look with your eyes!" desisnya.
Bian menutup pintu itu lagi. "Pergilah nek, kami muak dengan semua tingkah nenek," ucapnya dengan tegas.
"Boleh aku lihat Ares sebentar?" tanya Sandra. Seandainya dia ibu yang baik maka sudah pasti semua mengizinkannya. Sayangnya Sandra bukan tipe ibu seperti itu, dia wanita ular yang sangat licik dan manipulatif.
Arsen menggeleng, mataya menatap tajam Sandra. "Pergi sekarang sebelum kuseret kau keluar!" dingin ucapannya membekukan Sandra.
Sandra memegang tangan Arsen, wajahnya memohon pada mantan suaminya itu. "Sebentar saja," pintanya.
Nadin mengusap lengan Arsen, matanya menatap dengan tenang. "Izinkan dia, dia ibunya."
Bian berdecak kesal, omanya terlalu baik. "Jangan izinkan dia, dia bisa membawa daddy nanti," tolaknya. Dia sudah tidak bisa mengasihani neneknya ini.
Arsen menghela nafasnya. "Tenang Bian, jika dia berani menyentuh daddy mu, akan ku bunuh dia saat itu juga. Masuklah sekarang," ucapnya.
Sandra mengangguk dan langsung membuka pintu kamar Ares. Semua masuk ke kamar itu, Ares menoleh, wajahnya ketakutan sampai Lily harus menenangkannya. "Tolong jangan bawa aku, aku tidak gila!" mohonnya. Bian mengepalkan tangannya, benar-benar kurang ajar neneknya itu. Jika kondisi daddy memburuk maka yang dia akan membuat perhitungan serius untuk wanita tua itu.
Ares menggeleng, dia meremas rambutnya sendiri. "Aku tidak gila!!" teriaknya. Bian langsung mengambil obat daddy di laci dekat tempat tidur.
Lily berdiri di depan daddy dengan wajah siap tempur. "KELUAR DARI KAMAR DADDY KU!" bentaknya dengan suara keras. Ini sudah melewati batas Lily, dan sudah pasti itu diluar kesadarannya. Dia memang tidak pernah sanggup melihat daddy kesakitan.
Lily memeluk dan mengusap bahu daddynya. "Dad lihat? Lil sudah mengusirnya.." bujuknya agar bisa membuat daddy tenang. Isak tangis Ares terdengar, Bian mendekat dan tangannya mengusap air mata daddy.
Arsen mengepalkan tangannya, dia langsung menarik Sandra keluar dari kamar itu. "Pergi kau!" bentaknya.
Nadin duduk di tepi ranjang, memperhatikan putranya yang saat ini sedang dipeluk oleh dua cucunya. Dia langsung pamit keluar untuk memberikan waktu bagi Ares.
"Dad nenek sudah pergi, sekarang daddy minum obat sebelum orang jahat itu kembali lagi."
"Terima kasih kau telah melindungiku," ucap Ares tulus.
Lily tersenyum manis. "Tidak perlu berterima kasih dad, Lil senang bisa melindungi daddy."
"Malam ini kalian mau menemaniku tidur? aku takut."
Lily terkekeh. "Dengan senang hati daddy, kita tidur bertiga yaa aku daddy dan kak Bian." Ares mengangguk dan langsung meminum obatnya. Lily dan Bian tidur sembari memeluk daddynya itu. Bagi mereka berdua, inilah definisi bahagia saat ini. Yaa sesederhana itu.
-----
Waktu berjalan cepat, tanpa terasa sudah dua setengah tahun mereka lewati setelah malam yang emosional itu. Kondisi Ares masih sama, kemajuannya hanyalah dia bisa diajak bicara. Kebiasaannya pun masih sama, duduk di balkon dengan pandangan mata redup seolah siempunya tidak ada di dalam tubuh itu.
Lily sekarang sudah duduk di kelas tiga SMA, dan jika semua lancar maka 6 bulan lagi dia akan lulus dan melanjutkan pendidikannya ke jenjang perkuliahan.
Seperti harapan Lily, saat ini Alex dan Ana sudah berpacaran. Meski begitu, perhatian Alex tetap tercurah pada Lily dan Ana tidak mempersalahkan hal itu.
Mereka bertiga saat ini juga bersahabat dengan Aldric dkk, terkadang mereka sering pergi ke suatu tempat bersama-sama. Ramai, seperti ingin tauran, biasanya mereka pergi berenam karena Alex akan pergi dengan Ana dan semua memakluminya.
Saat itu jam menunjukan pukul 06.45 masih ada 15 menit lagi sebelum bel masuk. Lily sudah duduk manis di kursinya. Tadi dia sengaja berangkat lebih pagi karena sedang malas mendapat hukuman dari guru karena telat. Ditambah biasanya Aldric juga telat, dan mau tidak mau dia akan dihukum dengan cowok itu.
Kruuyuukk, bunyi cacing naga dari perut Lily terdengar. Dia meringis pelan, karena tadi tidak sempat sarapan jadi beginilah dia. Tanpa banyak berpikir dia langsung bangkit untuk pergi ke kantin.
Lily memesan nasi goreng dan es teh. Sepertinya dia akan telat masuk kelas, yahh tidak apa. Karena itu lebih baik daripada belajar dengan perut kosong.
Abil datang dan menghampiri Lily. Dia langsung menyambar es teh di depannya tanpa meminta izin dari empunya.
"Lil, ntar lo sibuk nggak?" tanya Abil.
Lily menggelengkan kepalanya. "Kenapa?"
"Main yuk sama anak-anak? kita ke rumah si Al. Ajak si Alex sama Ana juga, tadi gue nyari mereka nggak ada."
Lily menganggukan kepalanya. "Oke nanti ku sampaikan," jawabnya.
Abil tersenyum lucu. "Lil gue mau sesuap dong," pintanya. Lily terkekeh dan menyuapi Abil.
"Thanks Lil," dia mengecup pipiku dan langsung pergi dari kantin. Lily melihat tatapan sinis dari murid-murid perempuan yang sedang ada di kantin juga. Mereka berdelapan memang disebut geng populer karena memang setiap anggotanya masuk ke dalam jajaran siswa populer. Menurut Lily, dirinya pasti populer karena sering keluar masuk ruang BP.
Setelah selesai makan, Lily langsung berjalan kembali ke kelas. Saat di tikungan berbentuk L dia menabrak seseorang sampai jatuh terduduk dan sepertinya orang itu juga jatuh. Lily mendongak, ternyata yang dia tabrak adalah Aldric.
Cowok itu memasang wajah kesal. Dia bangun dan menepuk celananya yang kotor. "Lo kalo jalan mata dipake dong jangan kaki doang!" kurang ajar.
Meskipun bersahabat, Lily memang masih selalu bertengkar dengan Aldric. "Aku juga jatuh!! kau tidak lihat?" tanya Lily sinis.
"Yehh itu salah lo!" ketus Aldric.
Lily menghentakan kakinya. "Kau menyebalkan!" desisnya.
Aldric tersenyum manis dan menganggukan kepalanya. "Thanks gue emang ganteng."
Lily memutar bola matanya. "Periksa sana pendengaranmu! ehh tadi Abil bilang kita akan main ke rumahmu."
Aldric mengangguk. "Iya lo ntar, lo ntar ikut mobil gue, yang lain ikut Rion. Lo nggak mau ikut nyempil kan?"
Lily mengangguk. "Asal kau tidak mengajak pacarmu, aku sih mau ikut mobilmu." Bukan apa-apa, dia hanya malas menjadi penonton.
Aldeic mengibaskan tangannya. Dia duduk di kursi yang ada di dekat mereka. "Enggak lah, ngapain gue ngajak mereka. Cewek yang mau gue ajak ke rumah tu yaa cuma yang mau gue seriusin. Kalo main-main doang ngapain gue ajak."
Lily mencibir pelan, dia duduk di samoing Aldric dan memukul kepala cowok itu. "Woy sakit Lil!" keluhnya.
"Kalau ingin main-main jangan dengan manusia, beli saja barbie yang cantik. Tapi kau tau kan laki-laki apa yang bermain barbie?"
Aldric terdiam, dia menghela nafas. "Gue tau maksud lo. Tapi lo tau kan mereka cuma pelampiasan."
"Dan mereka yang kau jadikan pelampiasan itu sama sekali tidak bersalah padamu Al, bukan mereka penyebab kau begini."
Aldric menatap Lily.
"Jika aku mencuri dompet Abil hingga membuat dia kesal lalu dia marah-marah padamu padahal kau tidak tau sama sekali apa masalah Abil, apa yang akan kau lakukan?"
"Yaa gue bakal marah, enak aja siapa yang salah siapa yang kena marah. Dia enggak bisa ngelampiasin keselnya kesembarang orang." Aldric langsung terdiam menyadari jawabannya.
"See? kau juga kesal bukan? pikirkan perasaan mereka." Aldric tersenyum pada Lily. Bukan senyum kemenangam seperti biasa, ini benar-benar senyum tulus.
"Thanks Lil, hemm tapi gue enggak tega buat nolak cewek yang nembak gue. Lagian selama ini gue pacaran karna mereka yang nembak gue," ucapnya santai.
Lily memutar matanya. "Itu hanya alasanmu Al, kalau kau tolak baik-baik pasti mereka akan menerima."
"Sedang apa kalian berdua disini? ini sudah bel masuk. Apa kalian akan berpacaran disini sampai jam pulang sekolah tiba?" tanya suara nyaring milik bu Anita, guru BP sekolah ini.
Aldric dan Lily menoleh kegat, sepertinya mereka sedang sial sekarang. Bu Anita berkacak pinggang di depan mereka dengan wajah menyeramkan.
"Kalian ini hibi ya nyari masalah dengan saya?? minggu kemarin kalian menghancurkan perpus, minggu kemarinnya lagi kalian lari-lari sampai pot bunga berantakan dan sekarang?? kalian pacaran di koridor padahal sudah bel!!!"
Lily meringis kecil, guru dihadapannya ini memang terkenal memiliki suara ternyaring apalagi saat marah. Rasanya dia ingin menutup telinga sekarang.
Aldric tertawa geli dan menggandeng lengan Lily. "Biasa bu.. kaum muda," kekehnya. Bu Anita semakin berasap mendengar jawaban Aldric.
"Kaliannn! cepat ke ruangan BP!" desisnya.
Lily mengerucutkan bibirnya, wajahnya terlihat kesal. Saat ini dia sedang berdiri di tengah lapangan dengan bandul bertuliskan. KAMI TIDAK AKAN PACARAN SAAT JAM PELAJARAN. Ini semua karena Aldric yang bicara sembarangan.
Lily mengusap peluhnya, rasanya saat ini tenggorokannya benar-benar kering. Matahari bersinar terik tanpa peduli dua insan yang sedanh dihukum ini.
"Lo haus nggak?" tanya Aldric.
Tanpa pikir panjang Lily langsung menganggukan kepalanya. Ini sudah satu setengah jam mereka berdiri.
"Yaudah, tunggu sini. Gue mau beli minum dulu," ucapnya Aldric tanpa peduli hukuman yang akan datang lagi.
"Okee," jawab Lily.
Bu Aulia yang melihat dari pinggir lapangan langsung menghampiri Lily dengan wajah kesal. "Kemana si Orlando? kenapa kamu berdiri sendiri?"
Lily menggigit bibirnya sendiri. "Saya menyuruhnya membeli minum bu," jawabnya bohong.
Bu Aulia melotot marah, tapi sadar kalau anak ini bukan murid biasa dan berpengaruh akhirnya dia hanya menghela nafas. "Hukumanmu saya tambah Lily, jangan beranjak sampai setelah jam istirahat. Mengerti?" tanya ibu itu. Lily tersenyum dan menganggukan kepalanya dengan wajah santai. Toh dirinya sudah biasa dihukum.
Aldric kembali dengan dua kaleng minuman. Satu kesukaannya dan satu lagi kesukaan Lily. Lily langsung minum tanpa banyak bicara.
"Thanks Al," ucap Lily.
Jam istirahat datang, bel berbunyi nyaring dan para penghuni kelas langsung berhambur keluar untuk pergi ke kantin.
"Woy ayo balik, udah istirahat ni," ajak Aldric.
Lily menggelengkan kepalanya. "Pergi duluan saja, aku masih ada hukuman," jawabnya.
Aldric mengerutkan keningnya, dia menunjuk wajah Lily. "Lo pucat, berdiri sebentar lagi pasti tumbang."
Lily meraba wajahnya sendiri. "Tidak akan, sudah sana!" perintahnya. Dia tidak ingin banyak orang yang menonton mereka.
-----
Lily POV
"Bodoh, yaudah gue temenin"
"Ehh kau pergi saja kekelas mu, aku tidak papa"
"Lo enggak liat tuh bandul ada kata-kata kami kalo yang berdiri lo sendiri kan rasanya aneh, udah lo diem aja enggak usah ngebantah"
"Baiklah, terima kasih"
"Siniin wajah lo!"Aku diam saja memandangnya. Akupun bertanya untuk apa tetapi dia hanya berdecak kesal.
"Udah sini, kebanyakan mikir lo" Dia menarik wajahku dan ia mengeluarkan saputangan dari kantong celananya. Al mengelap keringatku disela kegiatan mengelapnya aku memperhatian wajahnya. Al mempunyai Alis yang tebal matanya hitam pekat dan tajam hidupnya manjung dan bibir merah menampakkan kalau ia tidak merokok. Rahangnya yang tegas seolah memperjelas ketampanannya.
"Enggak usah terpesona sama gue Lil" Aku mengerjap mata gugup, pipiku langsung memanas dan akupun mengalihkan pandanganku darinya.
"Haha pipi lo jadi pink gitu ciyee merona" Al menjawili pipiku dengan telunjuknya. Jantungku berdegub kencang kenapa ini apa jantungku bermasalah oh aku harus memeriksakannya ke dokter.
"Al hentikan, aku malu" Aku mengerucutkan bibirku. Al mengacak rambutku gemas
"Haha lo cantik kalo lagi merona gitu"
"Aku tidak mempan dengan rayuan mu"
"Oh tenang aja lo enggak akan jadi korban gue karna lo sahabat gue"
"Bagus kalau begitu"
Tak terasa waktu istirahat datang. Murid-murid yang ingin melewati lapangan berhenti untuk melihat kami sampai kami dikerumuni banyak orang. Banyak yang tertawa melihat tulisan di bandul yang kami pakai. Dari ujung terlihat teman-temanku dan Al sedang menerobos kerumunan.
"Apa yang kalian liat?ini bukan tontonan" Sean berteriak kepada anak-anak yang menonton kami.
"Tau tuh norak banget sih, enggak pernah liat orang dihukum ya" Abil ikut menimpali omongan Sean. Kerumunanpun bubar dengan sorak sorai tak terima diusir.
"Kalian berdua berpacaran?"
"Tentu saja tidak Alex kau pasti tau itu" aku menjawab pertanyaan Alex yang aneh itu.
"Udah, enggak usah dibahas. Sekarang kita temenin mereka berdua" merekapun menemani aku dan Al menjalani hukuman. Kepalaku tiba-tiba terasa pusing pandanganku memburam dan tiba-tiba gelap. Aku masih mendengar sayup-sayup suara orang yang memanggiku dan aku tau itu suara Al dan aku merasakan tubuhku seperti melayang sampai kesadaranku benar-benar hilang.
Aku mengerjap mataku untuk menyesuaikan cahaya lampu dengan mataku. Anak-anak berkumpul menungguku Ana yang melihat aku sudah sadar langsung menghampiriku.
"Lil untung lo udah sadar, gimana perasaan lo? pusing enggak?" Ana terlihat sangat cemas. Aku tersenyum pada Ana.
"Sedikit pusing tapi tak apa, sebentar lagi pusingnya pasti hilang" suaraku terdengar lemah.
"Lo pulang aja yah Lil kita anter" bagaimana ini, aku takut mereka akan bertemu daddy bukan karna aku malu mengakui daddy tapi aku takut mereka mengatai daddy ku gila sama seperti dulu saat aku mengajak teman-teman tk ku kerumah.
"Tidak usah, aku baik-baik saja" Alex tampak mengerti dan ia membantuku bicara.
"Lil tidak papa sayang, jangan panik. Ia memang seperti itu jika terlalu lama terkena sinar matahari" Alex menenangkan Ana.
"Tapi Alex wajah Lil pucat"
"Sebentar lagi juga akan normal, Lil hanya butuh istirahat" Alex berjalan kearahku lalu duduk ditepi ranjang dan mulai mengelus rambutku.
"Gue kok ngeliatnya kayak adegan poligami gitu yaa" Pletak. Kepala Vano terkena jitakan Sean.
"Jangan manas-manasin dong lo" ucap Sean kesal.
"Haha gue enggak cemburu sama sekali kok" Vano hanya nyengir tak bersalah mendengar jawaban Ana. Al menarik kursi untuk duduk disamping tempat tidurku.
"Lo enggak papa? kenapa lo enggak bilang kegue pas lo mulai ngerasa pusing?" terlihat wajah cemas Al.
"Untuk apa aku bilang Al?"
"Bodoh, gue panik liat lo pinsan kaya tadi"
"Aduhh duh gue kebelet pipis nih Van, Sean,Rion temenin gue ketoilet dong" Abil ingin ketoilet atau pergi kearisan sih.
"Alex kita kekantin yukk aku laper" Ana mengajak Alex. Mereka berenampun pergi menyisakan aku dan Al diruang UKS ini.
"Al kenapa mereka aneh?"
"Enggak tau deh, udah lo tidur aja sekarang enggak usah mikirin apa-apa. Gue bakal tungguin lo selama lo tidur" Aku mengangguk dan memejamkan mataku.
Aku terbangun dari tidur, sepertinya aku sudah tidur lama. Aku mencoba untuk duduk dan saat berhasil aku melihat Al sedang tidur ia pasti juga kelelahan. Pintu UKS terbuka dan munculah wajah teman-temanku.
"Si Al tidur?" Abil menengok kearah Al. Aku hanya mengangguk untuk memberi jawaban.
"Bangunin aja Bil udah jam pulang ni, katanya kita mau kerumah Al"
"Tunggu sampai ia bangun saja Vano kasian sepertinya ia baru tidur" Aku melarangnya membangunkan Al.
"Ara" suara gumaman Al saat tidur. Aku mengernyit bingung, siapa Ara.
"Nih anak udah berapa tahun juga si Ara pergi masih aja sering mimpiin dia"
"Wajar Sean, Ara itu cewek yang bener-bener dia cintain enggak kaya pacar-pacarnya yang sekarang"
"Siapa itu Ara?" aku penasaran dengan pembicaraan mereka.
"Tamara Lil yang pernah gue ceritain ke lo" Rion menjawab pertanyaanku. Tamara oh iya aku ingat ia adalah mantan pacar Al.
"Ara" suara gumaman Al terdengar lagi. Aku mengelus rambut Al, entah apa yang ada dipikiranku kelihatannya anak-anak kaget melihat tingkahku akupun kaget dengan apa yang kulakuakan. Wajar saja biasanya aku dan Al selalu berdebat tentang apapun.
"Al bangunlah" aku mencoba membangunkan Al karna tidak tega melihat tidurnya yang gelisah.
"Al bangun, kita harus pulang" aku masih mengelus rambutnya. Ia hanya menggeliat mencari posisi nyaman.
"Al bangun, kau mau tidur disekolah" aku mulai mengguncang bahunya, ia mengangkat kepala sepertinya ia kaget.
"Lil lo kok udah bangun? udah kita tidur lagi aja yuk" Aku melotot kearahnya kata-kata yang ia ucapkan itu mengandung arti aku dan ia tidur seranjang padahal tidak sama sekali.
"Bodoh, cepat cuci muka kita akan main kerumahmu Al"
"Tapi gue masih ngantuk Lil, ayo kita tidur lagi" ucap Al manja. Sejak kapan ia bicara padaku dengan nada manja begitu. Kudengar anak-anak sudah cekikikan melihat tingkah Al. Al menoleh kearah mereka.
"Loh sejak kapan kalian disini?" Al menatap mereka bingung.
"Makanya peka sama sekitar dong, lo sih ngerasa dunia milik lo berdua" Rion menjawab ucapan Al.
"Huh yaudah deh ayo kita kerumah gue" kamipun menuju kerumah Al. Ini pertama kalinya aku main kerumah Al karna biasanya kami semua berkumpul di rumah Abil dan Rion.
Sesampainya dirumah Al kami semua diajak keruang makan. Pembantu Al sudah menyiapkan makan untuk kami.
"Al rumah lo sepi banget, bonyok lo mana?" ucap Ana
"Kerja, biasanya sih pulangnya malem" Ana hanya ber oh ria.
Meja makan ramai dengan senda gurau kami. Setelah makan anak-anak memilih keruang keluarga untuk menonton film sedangakan aku memutuskan untuk membantu bi Inah membereskan kekacauan yang kami buat.
"Lo ngapain disini?enggak gabung sama anak-anak?" Al muncul dari belakang.
"Kau tidak lihat ini sangat berantakan? bi Inah sudah tua kasian jika membereskan ini sendiri. Kau sendiri kenapa tak bergabung dengan yang lain?"
"Gue juga mau bantuin bi Inah biasanya kalo abis makan juga gue bantuin bi Inah beres-beres"
"Baguslah" Kami berdua mencuci piring dan bi Inah membersihkan meja makan.
"ekhhmm" aku dan Al menoleh kearah dehaman terlihat wanita dan lelaki paruh baya yang mengenakan pakaian formal.
"Kok temennya disuruh nyuci piring sih" wanita itu menghampiri kami, aku mencuci tanganku dan langsung bersalaman dengannya.
"Sore tante, saya Lili temannya Aldric"
"Teman apa teman?" mama Al menaik turunkan alisnya. Aku hanya tertawa melihatnya.
"Tumben mama udah pulang, biasanya juga pulang males" kenapa cara bicara Al ketus begitu.
"Hari ini kami sengaja pulang cepat dan ternyata kebetulan sekali teman-temanmu sedang datang"
"Oh yaudah ma Ando sama Lil mau gabung sama yang lain ya" Al menarik tanganku tapi mama Al mencegah kami pergi.
"Mama mau ngobrol sama kamu dan Lili, Lili mau kan ngobrol sama tante?" Aku mengaggukan kepala.
"Oh senengnya dari dulu tante mau punya anak perempuan biar bisa diajak ngobrol tapi kata papanya Ando satu anak udah cukup, jadi ginideh rumah sepi" kami berempat duduk di ruang makan.
"Perkenalkan nak saya papanya Ando" aku tersenyum dan menyalami papa Al.
"Saya Lili om teman Al" kami mengobrol dengan akrab mungkin orang tua Al termasuk orang yang mudah bergaul jadi aku dengan mudahnya berbaur dengan mereka.
"Jadi kamu dari keluarga Pradipta?"
"Iya om, saya cucu dari anak pertama Opa Arsen"
"Varo ya? setauku ia hanya mempunyai satu anak dan itu laki-laki"
"Bukan om, ia adalah adik daddy saya" Papa Al terlihat kaget.
"Benarkah? kukira pak Arsen hanya memiliki dua anak"
"Tidak om, Opa memiliki tiga anak. Daddy memang tidak pernah mau terjun keperusahaan, dad memilih membuat usaha sendiri"
"Pantas saja aku tidak pernah lihat, daddymu punya usaha apa nak?"
"Dad mempunyai restoran dan cafe di beberapa negara om"
"Wow hebat sekali, berarti daddymu sering keluar negri sekarang?"
"Dulu kata oma dad memang sering bepergian keluar negri tapi sudah lebih dari 10 tahun ini daddy sakit jadi ia hanya dirumah om" entah kenapa aku memilih jujur pada mereka mungkin karna mereka sangat baik padaku. Al dan orang tuanya tampak terkejut atas jawabanku.
"Benarkah, kasian sekali daddymu apa tante dan om boleh menjenguknya?" mama Al mengelus rambutku.
"Tentu boleh tante, pintu rumahku terbuka lebar untuk om dan tante" kami melanjutkan obrolan.
Kami semua berpamitan pada Al dan orang tuanya karna ini sudah malam. Saat aku ingin masuk ke mobil Alex mama Al memanggiku akupun menghampirinya. Tarnyata tante menyuruh Al untuk mengantarku akupun tak bisa menolak karna mama Al memaksa.
"Kenapa lo enggak pernah cerita sama kita kalo daddy lo sakit?" Al bertanya saat kami berada di dalam mobilnya menuju rumahku.
"Aku hanya belum siap, aku tidak ingin dikasihani"
"Siapa yang ngasihanin lo sih? Seharusnya lo enggak usah nutupin itu dari kita. Lo anggep kita itu apaan? gue tau kita baru sahabatan dua tahun lebih tapi tetep aja kita sahabat" Al marah padaku.
"Alex pasti tau tentang ini" Al melanjutkan amarahnya.
"Tentu saja ia tau Al dia adalah orang yang selalu membelaku jika aku dibully teman-temanku saat kami masih di Aussie"
"Dibully? kenapa gitu? gue enggak ngerti" Baiklah aku akan menunjukkan kondisi daddy Al benar seharusnya aku tidak menutupi kondisi dad. Aku hanya diam tak memberikan jawaban.
Nahh part ini udah panjangkan?
yaudah sampai jumpa dipart selanjutnya :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top