Part 5 (Revisi)
Edisi Revisi
**********
Author POV
Lily berlari menuju kelas, ketika jarak antar dirinya dan kelas sudah dekat ia menghentikan larinya lalu sedikit mengatur nafas. Ia memasang wajah semanis mungkin sebelum meminta izin untuk masuk ke dalam kelas.
Tangannya mengetuk pintu hingga saat ini pusat perhatian ada pada dirinya. "Permisi bapak," sapa Lily dengan manis. Pak Adi menatap Lily dengan tatapan sinisnya.
Pak Adi menghampiri Lily yang masih berdiri di ambang pintu. "Kenapa kamu baru masuk? Apa kamu tidak punya jam?"
Lily tersenyum dan mengulurkan lengannya "Oh tentu saya punya pak, ini.. tapi jam ini mati," jawabnya dengan jujur. Pagi tadi karena mengantuk ia tidak sadar bahwa jamnya mati.
"Siapa nama kamu?" tanya pak Adi.
"Emm Lily pak,"
"Oh kau yang telat pagi tadi kan?" tanya pak Adi dengan nada sinis dan meremehkan. "Hah pasti kau naik angkutan umum, kau murid yang mendapat beasiswa ya?jika iya tau dirilah sedikit, sudah diberi kesempatan bersekolah disini tapi masih berani telat,"
Lily mengerutkan kening, yahh ia memaklumi jika dikira murid program beasiswa karena memang penampilannya tidak glamor seperti yang lain. Barang yang ia gunakan juga bukan barang bermerk mahal. Tapi kenapa guru ini memandang rendah murid program beasiswa.
"Jadi saya boleh masuk atau tidak? jika tidak saya akan pergi sekarang jangan membuang-buang waktu pak," ucap Lily yang sudah mulai kesal. Mata pak Adi hampir keluar karena kaget ada murid seberani ini.
Dari jauh Alex dan Ana hanya bisa melihat apa yang akan terjadi pada sahabatnya itu.
"Hey anak muda, orang tuamu bahkan tidak mengajarimu sopan santun??" tanya pak Adi dengan suara yang sudah naik satu oktaf.
Lily menggeram, ia tidak terima kalau orang tuanya dibawa-bawa. "Orang tua saya selalu mengajari saya sopan santun pak, sepertinya bapak yang tidak pernah diajari oleh orangtua bapak untuk menghargai orang lain, Bapak bahkan memandang rendah saya hanya dari penampilan. Bapak tidak berhak menghakimi saya apalagi orang tua saya," ucap Lily dengat datar dan sangat dingin.
Lily langsung berbalik untuk pergi namun ia mengundurkan niatnya. Ia berbalik dan kembali pada pak Adi yang masih takjub akan jawabannya.
"Saya lupa satu hal pak, jika bapak ingin dihormati maka bapak harus belajar menghargai. Jangan hanya bisa meremehkan orang sesuka bapak dan bapak harus tau, salah satu orang yang bapak salahkan tadi adalah Alvaro Reyhan Pradipta karna dia adalah orang tua saya," dengan sinis Lily tersenyum miring melihat wajah pucat di depannya. Ia langsung pergi meninggalkan kelas yang masih hening karena insiden yang ia buat.
Lily berjalan kembali ke kantin, disana ia melihat Rion dan Abil yang baru saja ia kenal hari ini. "Hay!!" sapa Lily sebelum bergabung dengan keduanya.
"Oh hay Lily, lo nggak jadi ke kelas?" tanya Abil.
"Emm aku tidak diizinkan masuk, oh iya kenapa kalian hanya berdua?"
Abil terkikih geli mendengar penjelasan Lily. "Haha udah gue duga, lo anak baru tapi udah telat 2 kali. Biasa.. lagi pada ke aula basket, gue lagi males main jadi gue disini deh sama Rion," jelas Abil dengan asik.
Lily mengangguk mengerti, ia senang bicara dengan Abil yang asik dan baik.
Mereka bertiga terdiam hingga Abil bangkit berdiri. "Ehh aduh gue ke toilet dulu ya kebelet nih," ucap Abil. Ia segera berlari ketoilet dengan gaya seperti menahan buang air kecil yang sangat lucu.
Lily tertawa geli melihat Abil yang seperti anak kecil. "Abil lucu sekali, kenapa harus berlari dengan gaya seperti itu. Ia akan dikira mengompol," gumam Lily.
"Dia emang gitu kalau udah kebelet," jawaban serta kekehan di samping membuat Lily terpaku. Ia menatap Rion yang masuh terkekeh geli melihat Abil. Wajah Rion nampak sangat manis dengan lesung pipit di kedua pipinya.
"Rion, kenapa kau tidak ikut main basket dengan temanmu yang lain?"
Rion menoleh pada Lily dan tersenyum. "Gue nemenin Abil, kasian kalau dia sendiri di kantin, si bungsu lagi galau jadi gitu deh maunya duduk sambil bengong,"
"Si bungsu?" tanya Lily sembari mengerutkan kening.
"Iya kita sering manggil Abil itu si bungsu soalnya umurnya yang paling muda diantara kita berlima,"
"Kalian sudah lama berteman?"
Rion mengangguk dengan mantap. "Lumayan, kita udah temenan dari sd jadi kita berlima udah kaya saudara," jelasnya. Tanpa sengaja mereka saling menatap hingga pipi Lily terasa panas. Segera Lily membuang pandangannya ke depan.
"Sepertinya kalian populer hanya dalam waktu sehari, temanku Ana menunjuk kalian kemarin,"
"Yaa begitulah udah biasa, kita udah sering jadi pusat perhatian, bukannya kita kepedean tapi itu faktanya," jawab Rion.
"Hemm biar kutebak, pasti Aldric adalah orang yang paling cerewet diantara kalian dan kau orang yang paling pendiam,"
Rion segera mengangguk. "Haha lo bener, Al emang nggak bisa diem, kalau gue bukan pendiem cuma yahh emang sedikit males buat ngomong aja,"
Lily tersenyum. "Kau lebih baik, karena jujur saja, aku pusing mendengar Al bicara tanpa henti,"
Rion ikut tersenyum melihat Lily tersenyum. "Kalau dia enggak bisa diem lo kelitikin aja, pasti dia langsung diem,"
"Oh tidak terimakasih aku tidak ingin berurusan dengannya lagi," Hah yang benar saja menggelitiki Aldric, ia lebih memilih berlari daripada ide gila itu.
"Lo enggak suka sama Al?" tanya Rion dengan bingung.
Lily seperti menelan biji salak mendengar pertanyaan itu. "Oh god, mana mungkin?"
Rion terdiam dengan mata menerawang. "Lo ngingetin gue sama Tamara, jawaban lo sama dia itu sama persis tapi akhirnya tetep aja dia jatuh sama pesona Al,"
"Tamara? apa dia pacarmu?"
"Bukan, dulu dia pacarnya Al," jawab Rion dengan santai.
"Oh.." ucap Lily, ia tidak mau tau apapun tentang Aldric.
--------
Aldric dan teman-temannya datang dengan tubuh basah karena keringat. Melihat Lily masih di kantin dan duduk berdua dengan Rion, Aldric mengernyit kearahku. Matanya yang tajam melihat Lily penuh selidik.
Dengan jengah Lily memutar bola matanya. "Aldric aku hanya ngobrol dengan Rion, bukan menodongnya,"
"Ciyeee ilahh.. cemburu menguras hati.." ucap Sean sembari melantunkan lagu.
"Yee.. yee..." timpal Vano menambahkan lagu Sean dengan gaya seolah ia adalah gitaris handal.
"Pala lo cemburu!" sembur Aldric, ia menggerutu kesal dan langsung menuju kios yang menjual minuman. Lily tertawa melihat tingkah teman-teman Aldric. Ia senang berbaur dengan mereka.
Dari jauh Alex berjalan cepat menuju Lily. Wajah cemasnya berubah lega karena melihat Lily saat ini sedang tertawa. Ia senang tidak terjadi apa-apa pada Lily karena insiden tadi. Alex segera menghampiri gerombolan orang itu.
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Alex saat berdiri tepat di hadapan Lily.
Lily tersenyum dan mengangguk. "As you can see Alex, i'm fine in here, don't worry about me,"
Alex bisa bernafas lega jika Lily sudah bicara bahwa ia baik-baik saja. Ia duduk di samping Lily dan merangkulnya dengan santai.
"Bule kalau interaksi beda ya.." gumam Sean.
Vano segera menoleh pada Sean. "Beda begimane?? sama aja kayanya,"
Sean segera menjitak kepala Vano. "Beda lah! gue bilang beda ya beda.." kekeh Sean dengan gaya sok seolah ia ilmuan yang tidak bisa diragukan.
Lily kembali tertawa dan memperkenalkan semuanya dengan Alex. "Dia Alex sahabatku, dan Alex.. mereka adalah teman-teman baruku."
Alex tersenyum ramah dan mulai berbaur dengan asik. Lily menyandarkan kepalanya di bahu Alex.
"Lil, you must to see Mr. Adi, if you look that maybe you'll laugh, it's really funny,"
Rion mengerutkan keningnya. "Emang ada kejadian apa?"
"Long story and not important," jawab Lily yang emang tidak ingin menjelaskan apapun.
"Woy!! dunia bukan milik kalian berdua kali.." sindir Aldric yang baru saja kembali. Ia menjatuhkan diirinya di kursi yang berada di samping Rion.
"Sirik! dosa lo dosa.." ledek Vano. Aldric merengut kesal dan meminum minumannya.
"Hello every body!!" sapaan Abil memenuhi kantin hingga semua menoleh padanya.
Aldric menggelengkan kepalanya. "Yah elah ni curut baru dateng, kemana aja lo?"
Dengan gaya menyebalkan Abil merebut minuman Aldric dan langsung menghabiskanya. "Hehe gue ke toilet eh pas mau balik kesini gue liat cewek cantik banget, yaudah gue ajak kenalan dulu,"
"Yakin itu bukan hantu penunggu sekolah?" celetuk Sean.
Abil segera mendelik kesal pada Sean.
"Loh bukannya lo tadi lagi galau?" tanya Aldric. Abil mengabaikan celetukan Sean dan menjawab pertanyaan Aldric.
"Galau nggak boleh lama-lama Al emang gue lo??"
Sean dan Vano menganggukan kepala setuju dengan ucapan Abil.
"Siapa yang galau?"
"Udahlah nggak usah ngebahas yang enggak penting," ucap Rion untuk menengahi perdebatan sahabatnya itu.
"Tuh dengerin, lo berdua kaya tante-tante girang tau berisik banget!" dukung Sean.
"Lo juga sama Sean," jawab Rion.
Lily hanya tertawa melihat semuanya. Persahabatan itu membuat Lily merasa nyaman dan ingin masuk ke dalamnya. Meski sering terlihat berdebat tapi tampak jelas kasih sayang diantara mereka berlima.
Bu Maya berjalan memasuki kantin hingga semua terdiam, ia menghampiri Lily yang sudah siap dipanggil.
"Orlando dan Lily ikut saya ke kantor," ucap Bu Maya dengan tegas. Lily mengerutkan keningnya, ia kira hanya dirinya yang akan dipanggil.
"Yang lain kembali ke kelas, jika kalian lupa ini masih jam pelajaran," lanjutnya sebelum berbalik pergi.
Lily dan Aldric berjalan dibelakang ibu kepala sekolah. Bagi mereka ini adalah rekor karena dalam waktu kurang dari sehari mereka sudah masuk ruang kepala sekolah 2 kali.
Mereka segera duduk di kursi yang sudah disiapkan tepat di depan meja Bu Maya. Pandangannya jatuh pada Lily dan Aldric secara bergantian.
"Kenapa kalian tidak langsung masuk ke kelas setelah menyelesaikan hukuman? kenapa kalian malah mengajak teman-teman kalian bolos pelajaran?"
Hey apa-apaan ini, aku tidak mengajak temanku, batin Lily.
"Maaf bu saya salah, tapi Lily tidak bu, dia tadi langsung pergi ke kelasnya," bela Aldric. Lily langsung menoleh, ia bingung dengan penjelasan Aldric. Ia tau pasi bahwa Aldric tidak mengajak teman-temannya bolos sama sekali mereka hanya tidak sengaja bertemu di kantin.
Bu Maya tersenyum sinis. "Bagus kau mengakui kesalahanmu nak, pulang sekolah kau harus membersihkan toilet pria di sekolah ini," Lily menggeram kesal. Memangnya murid di sini itu pembantu.
"Maaf bu apakah sekolah ini tidak mempunyai OB/OG?" tanya Lily to the point. Jelas itu sindiran dan Aldric sangat mengerti itu.
"Tentu kami punya, memangnya kenapa?" Lily tersenyum miring, ternyata kepala sekolahnya belum mengerti.
"Kalau begitu pergunakanlah OB dan OG sebaik mungkin bu, jangan memanfaatkan murid yang melakukan kesalahan karna murid datang kesini untuk belajar bukan menjadi pembantu ibu," jawab Lilu sesantai mungkin. Aldric hampir tertawa tapi ia menahannya. Bu Maya terlihat menahan amarah.
"Baiklah, Orlando hukumanmu ibu ganti, kau hanya perlu merangkum satu bab buku Kimiamu dan serahkan padaku besok, kita akan ujian lisan setelah itu,"Nah bukankah hukuman itu lebih baik dan berguna. Murid akan bisa sekaligus belajar jika diberi hukuman itu.
"Baiklah bu," jawab Aldric. Bu Maya mempersilahkan Aldric untuk keluar dari ruangannya hingga sekarang hanya tersisa Lily dan bu Maya.
"Saya sudah dengar masalahmu dengan pak Adi, tolong maafkanlah dia tadi dia hanya emosi melihat tingkahmu,"
"Ya saya sudah memaafkannya, lagipula disini saya juga bersalah dan ibu tenang saja saya tidak akan bilang pada papa,"
Bu Maya tersenyum cerah, ia tidak menyangka masalah akan selesai semudah ini. "Terimakasih, kalau begitu kamu bisa kembali kekelas,"
"Baik bu, Maaf tadi saya lancang saya hanya ingin mengingatkan ibu untuk lebih bijak dalam memberi hukuman," Lily pergi meninggalkan bu Maya yang tersenyum. Meski anak itu nakal tapi ia tau bahwa anak itu memiliki batas kesopanan.
Ana langsung bertanya banyak pada Lily yang baru saja duduk di kuris sampingnya. "Aku tidak mau membahas itu lagi Ana, kepalaku pusing," keluh Lily.
Ana mengerti dan mengalihkan pertanyaannya, "oke gue enggak akan nanya masalah itu, tapi lo harus jawab pertanyaan gue yang satu ini. Tadi kenapa lo jalan sama Aldric?" wajah penasaran Ana membuat Lily mendengus.
"Aku dan dia dipanggil keruang kepala sekolah,"
"Wah berarti lo udah kenal sama Al dong? kenalin gue ke dia dong,"
Lily mengibaskan tangannya, "Sudahlah Ana kau jangan berharap lebih padanya." Ana langsung cemberut menanggapi ucapan Lily.
"Jahat lo.. Lil gue kan cuma mau kenal sama dia,"
"Yah yah ingin kenal agar bisa dekat dengannya kan? dia playboy Ana, jangan mencari penyakit!"
"Iya sih gue juga tau kalo dia playboy tapi gue suka sama dia Lil," Ana tertunduk lesu. Lily menepuk bahu Ana.
"Dengan Alex saja yaa? Alex tampan, dia juga bisa bermain basket dan yang pasti ia sangat perhatian," Lily menaik turunkan alisnya dengan genit.
Ana membulatkan mata, "haha gila lo udah kaya seles panci jago banget promosinya, emang lo enggak punya perasaa apa-apa sama Alex?"
"Tidak, dia sudah seperti kakak untukku, kami berteman sejak kecil," jelas Lily seperti biasa.
"Yakin??" tanya Ana dengan nada mendesak. Lily mengangguk pasti. "Hemm masa sih lo enggak punya perasaan apa-apa sama dia? lo udah kenal lama sama dia lo juga tau dia orang yang perhatian dan kalo gue liat kalian tuh pasangan yang cocok banget loh, asli deh,"
Lily menganggak bahu, acuh. "Entahlah yang aku rasakan pada Alex hanya perasaan sayang seorang adik, sama seperti aku menyayangi kak Bian kakakku,"
"Yaudah kalo gitu gue move on ke Alex aja deh haha dapet cowok ganteng baik lagi, lo jangan nyesel yaa.." kikik Ana yang sudah melupakan kesedihannya.
"Haha ya yaa, hari ini kau bawa mobil tidak?"
"Enggak Lil, mobil gue dipake nyokap, kenapa?"
Lily menepuk tangan, "Nah pas sekali, nanti kau harus pulang dengan Alex!"
"Hey lo punya jiwa mak comblang ya!!" Lily dan Ana tertawa bersama.
Lily langsung membereskan bukunya saat mendengar bel pulang. Ia bergegas menghampiri Alex, "Alex aku harus pergi ke tempat lain dulu, kau pulanglah dengan Ana," pamit Lily.
"Loh aku bisa mengantarmu," alis Alex terangkat tanda ia bingung, sikap Lily menurutnya aneh.
"Hehe tidak usah, sudah yaa.. see you," Lily segera berlari keluar sekolah meninggalkan Alex. Beruntung tanpa harus menunggu lama, taxi biru lewat di depan sekolah yang notabennya adalah jalan raya.
Hari ini Lily sudah punya rencana pergi ke toko buku. Karena minggu kemarin ia sibuk dengan persiapan masuk SMA jadi sekarang baru sempat pergi.
Satu jam Lily berburu novel yang ada dalam listnya. Ia senang membaca novel, apapun jenis novel itu. Lily langsung menuju kasir saat semua novel yang diinginkannya sudah di kantung belanja.
Jam tangan Lily masih menunjukkan pukul setengah lima sore. Lily memutuskan untuk makan di resotan bernuansa Eropa yang sering ia kunjungi bersama keluarganya.
"Wah.. selamat datang Miss Lily," sapa seorang waiters yang sudah sangat kenal dengan Lily.
Lily tersenyum, "Hay Hana.. aku ingin pesanan seperti biasa ya," Lily juga mengenal gadis itu. Ini memang salah satu restaurant milik Ares, daddynya. Sembari menunggu, Lily membuka novel yang ia beli dan memakai kaca mata bacanya.
Setelah makan Lily memutuskan untuk langsung pulang. Ia berjalan ke arah pintu dan berpapasan dengan Bian yang sedang berjalan dengan seorang gadis cantik.
"Loh Kakak?" Lily membulatkan matanya, kebetulan sekali.
"Lil, kau ke sini sendiri?" tanya Bian. Seandainya tadi pagi mereka berbaikan mungkin sekarang berpapasanpun akan pura-pura tidak melihat satu sama lain.
"Ehh iya.. tadi aku hanya mampir setelah ke toko buku," jelas Lily. Ia melirik gadis di samping kakaknya yang. Cantik mungkin dia pacar kakak, batinnya.
"Tumben, biasanya kau selalu dengan Alex,"
"Hihi kami bukan kembar siam kak, ohh iya kakak sedang apa di sini? ingin mengecek resto?"
Bian menggeleng, "kakak akan bertemu dengan klien dan ini Sasya sekretaris kakak,"
"Ohh hay kak Sasya aku Lily adik kak Bian, yasudah aku pulang dulu ya kak,"
"Pulang dengan siapa?"
"Sendiri,"
Bian menggeleng tegas. "Kau gabung saja disini, nanti kau pulang dengan kakak,"
Lily tersenyum dan mengangguk, ini adalah waktu untuk memperbaiki hubungannya dengan Bian jadi ia tak akan merusaknya. "Oke baiklah," Lily ikut bergabung. Lily berkenalan dengan Sasya, dalam waktu beberapa menit mereka sudah akrab dan banyak membicarakan sesuatu. Kebetulan mereka sama-sama senang membaca novel.
"Kak Sasya ayo mainlah ke rumah kita, aku akan menunjukkan koleksi novelku pada kakak." Sasya tersenyum pada Lily.
"Oke nanti kakak main kerumah, tapi kakak boleh pinjam novelmu ya,"
"Tentu saja boleh kak.." jawab Lily dengan semangat. Ia senang bicara dengan Sasya, rasanya seperti mempunyai kakak perempuan. Pembawaan Sasya memang dewasa dan sikapnya sangat anggun.
Klien Bian datang beberapa menit kemudia dan merekapun membahas proyek perusahaan yang sama sekali tidak Lily mengerti.
Satu setengah jam pertemuan itu berlangsung dan sekarang mereka bertiga pulang. Bian dan Lily mengantar Sasya sebelum pulang ke rumah.
"Kak Sasya cantik," ucap Lily setelah Sasya turun dari mobil.
"Lalu?" tanya Bian dengan alis terangkat.
"Hehe yakin hanya partner kerja?" ledek Lily. Bian tertawa dan mengacak rambut adiknya itu.
Setibanya di rumah, Lily segera turun dan berlari masuk hingga langkahnya terhenyi saat sang nenek menyambutnya dengan senyum. Neneknya ada disini itu bukan hal bagus, pasti akan ada hal buruk yang terjadi.
"Eh cucu nenek sudah datang, sini peluk nenek," sambut wanita yang sudah tua namun masih terlihat modis dan cantik.
Lily melirik Bian yang baru saja masuk, terlihat jelas kakaknya itu juga terkejut. Pandangan mata tidak suka langsung terpancar jelas dari mata Bian.
"Tidak usah basa-basi nek, untuk apa nenek kemari?" dingin suara Bian membekukan sekitar termasuk Lily.
"Kenapa kau bicara begitu pada nenek? nenek hanya rindu padamu dan Lily,"
"Sudahlah.. aku tau nenek orang yang seperti apa, ingat saat terakhir bertemu nenek membuat masalah dengan kami semua? sekarang apa yang nenek inginkan?" perdebatan alot mulai terasa antara kakak dan neneknya itu. Lily hanya bisa diam dan mengikuti alur.
Sandra adalah ibu kandung Ares dan jangan salahkan jika semua bersikap tidak sopan pada wanita itu karena apa yang dialami Ares sekarang itu sebagian besar karena ulahnya.
"Oh bagus kalau kau sadar jika aku kemari karena ada yang kuinginkan," Sandra melipat tangannya di depan dada terliah sangat angkuh dan dingin, tidak ada lagi sisa wajah lembut yang palsu seperti di awal.
"Kalian sudah besar sekarang jadi aku tidak punya alasan lagi untuk tidak membawa daddy kalian kerumah sakit jiwa," ucapan Sandra bagai petir yang membuat Lily dan Bian terbelalak.
"A..apa maksud nenek?" Lily benar-benar kehabisan kata. Bagaimana mungkin ada ibu yang tega sepertinya. Nadin yang bukan ibu kandungnya saja tidak akan pernah rela jika Ares dibawa kerumah sakit jiwa.
"Apa ucapanku kurang jelas sayang? sekarang aku akan membawa daddy kalian kerumah sakit jiwa agar ia bisa ditangani oleh ahlinya dan ia bisa sembuh, bagus bukan?"
Lily mengepalkan tangannya. "SUDAH KU BILANG DADDY KU TIDAK GILA!!!!!" ia berteriak kearah Sandra. Rasanya ingun mencekik wanita tua itu saat melihat senyum sinisnya.
"Apanya yang tidak gila? ia hanya diam seperti patung setiap hari dan kadang memanggil Malika terus menerus.. hah apa hebatnya perempuan itu,"
"Jaga ucapanmu nenek sihir!!" Bian ikut membentak neneknya. Beraninya ia mengatakan Ares gila. "Kalau mom ku tidak hebat, apalagi kamu! kami bahkan malu memiliki nenek sepertimu!"
"Kau yang harusnya menjaga ucapanmu Bian! aku nenek mu aku ibu kandung daddy mu aku berhak mengatur hidupnya dan aku memutuskan untuk membawanya kerumah sakit jiwa SEKARANG!! Tidak peduli kalian setuju atau tidak.."
"Kau boleh tidak peduli dengan pendapat cucuku tapi aku daddynya, aku juga berhak atas anakku Ares dan aku memutuskan untuk tidak membawanya kemana-mana," suara dingin Arsen memotong perdebatan alot ini. Semua menoleh pada Arsen yang sudah berdiri di ambang pintu.
"Mas.. tapi aku ibunya, aku yang melahirkannya jadi aku yang lebih berhak atas dia," kekeh Sandra.
"Hah kau memang melahirkannya tapi kau juga yang mencampakannya, kau lupa ya? atau otakmu memang sudah tidak ada isinya?" sinis Arsen. Nadin masuk kerumah dan memandang kaget.
"Loh Sandra kapan kau datang? dan kenapa kalian semua berdiri?" Lily segera menarik omanya itu dan menjelaskan semuanya. Nadin tampak berkaca-kaca.
"Aku tau Sandra kau adalah ibu kandung Ares kau memang berhak atas Ares, tapi apa kau tega melihat anakmu masuk rumah sakit jiwa?" Nadin bertanya dengan halus pada nenek. Nadin terlalu baik meski Sandra sudah sangat jahat padanya.
"Aku hanya ingin anakku sembuh, tidak ada ibu yang tega melihat anaknya sakit," suara Sandra memelan. Mungkinkah neneknya ini sudah berubah, pikir Lily.
"Ya setelah Ares sembuh kau akan mulai mengenalkan Ares pada anak teman-teman sosialita mu itu Sandra," Lily kaget dengan ucapan opanya.
"Te-tentu saja tidak begitu, mana mungkin aku begitu," Sandra gugup atas tuduhan Arsen. Ohh Lily tau jika neneknya gugup berarti tuduhan opanya benar.
"Nenek tega, apa salah daddy nek? kenapa kau tidak membunuh dad saja sekalian? nek singa saja tidak pernah tega untuk memakan anaknya sendiri. Tapi kau- kau hiks hiks daddy kenapa kau harus lahir dari rahim orang sejahat ini," Lily menangis, betapa malang nasib daddynya.
"Kau lihat? cucumu saja tak habis pikir dengan sikapmu,"
"Baiklah aku akan jujur, aku memang ingin menjodohkan Ares dengan anak temanku. Lagi pula bukankah bagus? jika ia menikah lagi maka dia akan melupakan Malika, ini untuk kebaikannya,"
"DASAR TIDAK TAU DIRI!! KAU TIDAK BERHAK SAMA SEKALI ATAS ARES SEJAK KAU MENINGGALKAN KAMI UNTUK SELINGKUHANMU ITU!" Arsen mencekik Sandra hingga Bian segera memisahkan mereka.
"Sabar Opa tidak boleh emosi! ingat jantung Opa.."
"Biar saja!! aku akan mencekik wanita berotak kosong yang tak tau diri ini, masih untung Ares bisa menerimamu sebagai ibu kandungnya, masih untung dia memaafkan kesalahammu! kurang apalagi anakmu itu?? HAH!!" Sandra terbatuk kehabisan nafas. Nadin segera menghampiri Arsen dan mengelus dada suaminya itu agar emosinya bisa menurun.
Lily melangkah mendekati Sandra. "Nek dulu saat kami masih kecil kau pernah ingin membawa daddy kerumah sakit jiwa dan kami dulu sudah bilang kami tak akan mengizinkanmu membawanya. Kau benar sekarang aku dan kak Bian sudah besar tapi jawaban kami tetap sama, kami tidak akan mengizinkan nenek membawa daddy," Lily menatap tajam nenek.
"Jika nenek bilang nenek punya hak atas daddy, kami pun punya hak yang sama dengan nenek. Kami anak-anaknya dan kami memutuskan untuk merawat daddy dirumah ini. Jika nenek tetap bersikeras maka aku sendiri yang akan menyakiti nenek tidak peduli kau adalah nenekku, langkahi dulu mayatku jika nenek ingin membawa Daddy.. ini serius," suara dingin Lily membuat Sandra membeku. Lily segera berlari ke kamar Ares sembari berdoa semoga daddynya tidak mendengar semua perdebatan ini.
Lily membuka pintu kamar Ares dan melihat daddynya sedang bersembunyi dibalik selimut. Lily membuka selimut itu dan kaget melihat daddynya sedang menggigil dan menangis. Apa daddy mendengar semuanya, batin Lily.
Lily menyentuh keningnya daddynya,"ck demam, pantas saja menggigil.. Daddy jangan sakit, berikan saja sakitnya pada Lil," ucap Lily sembari mengusap kepala Ares.
"Daddy kenapa?"
"Aku tidak gila.. ia ingin membawaku kerumah sakit jiwa.." gumaman itu membuat emosi Lily kembali memuncak.
"Tidak akan ada yang membawa mu daddy, dad akan tetap disini dengan Lil," geramnya.
"Bohong!!" Ares nampak sangat ketakutan sekarang.
"Aku tidak bohong," hibur Lily.
"Aku takut, ia jahat.." pasti Sandra yang Ares maksud. Lily menangkap wajah daddynya supaya melihatnya.
"Daddy dengarkan Lil, tidak akan ada yang bisa membawa dad ke rumah sakit jiwa Lil akan selalu melindungi daddy, itu janji Lil," Lily tersenyum pada Ares.
"Kau berjanji akan menjagaku?" Ares mengulurkan jari kelingkingnya. Entah keadaan Ares semakin baik atau buruk tapi yang terpenting sekarang Ares mau bicara.
Lily mengulurkan kelingkingnya pada Ares dan mengaitkan kelingking. Ares tersenyum pada Lily hingga tak terasa air matanya menetes. Tolong hentikan waktu disini aku masih ingin menikmati senyum daddy, pintanya.
"Daddy sekarang harus minum obat, dad demam,"
"Tidak mau, aku ingin tidur," Lily melotot kearah Ares untuk pura-pura marah hingga Ares terlihat ketakutan.
"Haha daddy aku hanya bercanda, jangan takut.." Ares cemberut karena tingkah Lily. Lily mengelitiki Ares sampai daddynya itu tertawa karena kegelian. Tak apa kau tak mengenalku dad setidaknya kau sekarang mau bicara padaku, batin Lily.
******
Nahh gimana nih? nenek sihirnya udah dilempar sapu belom?
Ada yang bisa nebak enggak, itu daddynya Lil udah agak sembuh apa makin parah??? hayoo tebak yaa
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top