Part 4 (Revisi)
Edisi Revisi
***********
Author POV
Lily terbangun saat merasakan tubuh Ares mulai menggeliat. Ia menguap lebar, dengan mata menyipit ia memperhatikan jam yang berada di nakas samping tempat tidur Ares.
"Huhh pantas, sudah jam 5.." gumamnya. Ia kembali menoleh pada Ares yang masih gelisah, sebentar lagi pasti daddynya akan bangun. Dengan malas, ia mulai mencepol rambutnya yang berantakan.
"Morning daddy, dad Lil ingin solat dulu, daddy cepat sembuh yaa agar kita bisa solat berjamaah," ucap Lily meski Ares masih tertidur. Dengan perlahan Lily menuruni tempat tidur agar tidak mengganggu Ares.
Usai menjalankan solat subuh Lily segera kembali ke kamar Ares. Ia tidak ingin melewatkan waktu saat Ares terbangun. Dengan senyuman Lily menunggu Ares membuka mata. Hingga mata Ares akhirnya terbuka perlahan, dengan polosnya Ares mengerjapkan mata. Lily terkekeh dan segera memeluk Ares.
"Morning dad.. ohh kau benar-benar tampan daddy, aku yakij wanita di luar sana akan meleleh karena ketampananmu," ucap Lily dengan riang. Ia terdiam sebentar, kepalanya menggeleng karena ucapannya sendiri. "Tidak-tidak, aku tidak ingin ada wanita yang mengambil hati daddy. Daddy hanya milik mom dan Lil," lanjutnya.
Ares masih menatap kosong meski ada Lily di hadapannya. Tangan Lily mengusap pipi Ares dengan perlahan. "Dad ini Lily anak perempuan daddy, cobalah untuk mengingatku, " ucap Lily. Ia mencium pipi Ares. Senyumnya mengembang, daddynya selalu wangi bahkan saat bangun tidur seperti ini, entah parfum apa yang diberikan omanya.
Ares memang selalu diam jika seseorang memeluk dan menciumnya. Hanya saja Ares akan memanggil orang yang menciumnya meskipun pandangannya tetap kosong. Yahh kecuali Lily tentu saja, Ares hanya akan diam jika itu Lily terkadang ia merespon tapi jika itu terjadi jila ia melihat Lily sebagai Malika. Kenyataan pahit yang harus Lily telan adalah selama yang ia ingat, Ares belum pernah tersenyum untuk dirinya.
Terdengar ketukan pintu dan Lily yakin itu adalah papanya. Sudah terbiasa jika Varo menginap maka pagi-pagi Varo akan datang dan mengajak Ares duduk bersama untuk sekedar bersantai.
"Masuk saja," teriak Lily agar suaranya terdengar sampai luar. Varo memang selalu mengetuk pintu ketika masuk ke kamar Ares meski sebenarnya jika tidak ada orang selain Ares tentu ketukan itu akan percuma.
"Hay honey.. kupikir kau masih tidur di kamarmu," ucap Varo yang berjalan menghampiri Lily dan Ares.
Lily tersenyum dan menggeleng. "Tidak Pa, semalam aku tidur dengan daddy, sudah beberapa hari ini aku tidak tidur bersamanya," jawab Lily.
Varo tersenyum pada Lily. "Kak Ares, kau lihat kan? princess kecilmu ini sangat menyayangimu.. kau harus segera sembuh,"
Lily tersenyum melihat papanya yang terlihat sangat sayang pada daddy, meskipun mereka lahir dari rahim wanita yang berbeda tapi tali persaudaraan mereka terlihat lebih erat dari anak yang lahir dari rahim wanita yang sama diluar sana.
Tiba-tiba Lily teringat sesuatu yang sejak kemarin ingin ia tanyakan. " Ohh iya Pa bagaimana kabar kak Bian? ia sudah seminggu tidak kemari." tanya Lily.
"Benarkah? hemm tidak tau, Papa pikir ia setiap hari datang kemari. Ck anak itu bagaimana sih... tega sekali meninggalkan daddy dan adiknya begitu," gerutu Varo.
Dalam diam Lily menghela nafas, sudah pasti alasan Bian tidak pulang adalah dirinya. "Yasudah, mungkin kak Bian memang sedang sibuk pa," ucapnya sembari berusaha untuk tersenyum.
Seingat Lily, sejak kecil Bian memang selalu bersikap dingin pada Lily. Lagi-lagi hanya dengan Lily karena jika di hadapan yang lain maka sikap Bian sangat hangat. Yahh harus bagaimana lagi, aku memaklumi semua karena aku memang pantas dibenci, batin Lily.
Varo melihat aura sedih di wajah Lily. "Percayalah honey Bian tidak membencimu, dibalik sikap dinginnya ia sangat menyayangimu itu terlihat jelas dimatanya," ucap Varo yang sanfat tau pemikiran Lily.
Lily mengangguk dan tersenyum "Semoga saja pa." jawabnya. "Yasudah pa aku harus siap-siap kesekolah, bye pa bye daddy."
-------
Bian menatap langit kamarnya. Sudah seminggu ia tidak pulang ke rumah, meski sebenarnya ia sangat merindukan daddy dan Lily adik perempuannya.
Lily, memikirkan adik perempuannya itu membuat rasa bersalah Bian semakin memuncak. Ia tidak pernah membenci Lily, bahkan sedetikpun ia tidak berpikir untuk membenci adik perempuannya itu. Selama ini sikap dinginnya hanya untuk menjauh Lily. Lily sangat mirip dengan mommynya dan itu membuat pertahanan yang telah ia bangun selalu runtuh dan menyisakan rasa takut. Takut akan rasa sakit setiap mengingat bahwa mommynya telah pergi selama-lamanya.
Selama ini Bian tidak ingin terlihat rapuh di depan semua orang termasuk Lily. Ia pura-pura buta saat Lily menampangkan wajah sedih dan ia pura-pura tuli saat mendengar tangisan pilu Lily. Sudah lama tangannya ingin merengkuh adik kecilnya seperti dulu tapi ia belum mampu.
"Maafkan aku daddy, mommy aku tidak bisa menjalankan amanah kalian dengan baik," gumamnya.
Flashback on
"Come here my boy.." ucap Ares yang sudah duduk dengan Malika di salah satu kursi taman.
Bian menoleh dan melambai pada Ares. "Daddy.." teriaknya. Ia langsung berlari ke pelukan Ares.
"Daddy mempunyai kabar baik untukmu," ucap Ares.
Bian mengerutkan keningnya. "Apa dad? apa Bian akan mendapat video game baru?" tanya Bian dengan polos.
Ares tertawa dan mengusap rambut Bian. "Bukan, kau akan mempunyai adik sunshine, apakah kau senang?"
Mata Bian melebar bahagia. "Benarkah? Tentu saja aku senang."
"Haha yes boy, berjanjilah pada daddy, kau akan menjaga adikmu dengan baik sayang," ujar Ares sembari mengulurkan kelingkingnya.
Bian menbalas uluran kelingking daddynya "Promise daddy, hay baby come on say hallo for me,"
"Sayang.. adikmu belum bisa bicara, ia masih diperut mommymu." Ares mengelus rambut Bian dan mengecup keningnya.
Malika tertawa melihat tingkah anak pertamanya itu.
Sembilan bulan berlalu dengan begitu indah bagi Fabian Arkan Pradipta. Adiknya lahir dengan selamat meskipun ia melihat wajah daddy serta keluarganya cemas. Bian kecil bingung kenapa semua terlihat begitu cemas dan ketakutan, bukankah telah lahir bayi yang akan melengkapi kebahagiaan keluarga besar ini.
"Opa kenapa daddy dipanggil ke ruang dokter, apa mommy sakit?" tanya Bian kecil.
Arsen menggeleng lemah "Tidak sayang mommymu baik-baik saja, jangan cemas,"
"Lalu kenapa wajah daddy, Opa dan yang lainnya cemas?" tanya Bian. Ohh Arsen melupakan fakta bahwa cucunya ini meskipun masih kecil tapi sulit dibohongi.
"Kami bukan cemas sayang, kami hanya tidak sabar menunggu babynya keluar dari ruangan,"
Mata Bian menyipit curiga tapi ia akhirnya percaya. "Ohh begitu, yaa Bian juga tidak sabar Opa, Bian ingin main dengan adik dan mommy," seru Bian dengan riang. Arsen tersenyum getir, dalam hati ia berdoa semoga ucapan Bian bisa terkabul.
Lili Anissa Pradipta nama adik perempuannya yang sangat cantik itu. Bian sangat menyayanginya, setiap hari Bian mengajak Lil bermain dengannya. Hingga tidak terasa tiga tahun berlalu.
"Hay mommy, kenapa mom disini? mana Lil dan daddy?" tanya Bian yang baru saja pulang dari sekolah.
"Mereka sedang bermain ditaman belakang sayang, kemarilah nak," ucap Malika. Bian segera menaruh kepalanya di pangkuan Malika dan Malika mulai mengelus rambut anak pertamanya ini. Rasanya sangat nyaman hingga matanya terasa berat.
"Sayang, apa kau menyayangi adikmu?" tanya Malika.
Mata Bian yang tadinya sudah tertutup kembali terbuka. "Tentu saja mommy, kau tau mom? makin lama wajah Lil semakin mirip dengan mommy, rasanya aku ingin menciumi pipinya yang bulat itu."
"Haha kau benar sayang, Lil memang mirip dengan mom, ohh iya berjanjilah pada mom kau akan selalu menjaganya untuk mom,"
Bian mengerutkan keningnya "Ya mom bukankah aku sudah pernah berjanji?"
"Huhh dulukan kau berjanji pada daddymu sayang, sekarang kau berjanji padaku,"
"Sama saja mom."
"Tentu saja berbeda sayang, ingat boy jika kau melanggar janjimu padaku aku akan sangat marah padamu!"
"Hihi mom kau tidak cocok memasang tampang sok galak begitu, belajarlah berakting mom."
"Heyy kau menantang mommy mu yaa? biar begini mommy mu sangat ahli dalam berakting seperti artis-artis hollywood,"
Bian menatap seolah menantang dan itu membuat Malika gemas lalu mulai menggelitiki perut anaknya. Ruang santai ini pun penuh gelak tawa Ibu dan anak itu.
Flashback off
Bian tersenyum miring mengingat momen yang indah itu. "Kau benar mom kau sangat pandai berakting," gumamnya dengan penuh kekecewaan. Ia mengacak rambut frustasi. Sudah waktunya ia menepati janji yang ia buat dengan daddy dan mommynya.
Drrrttt Drrrtttt Drrrttt
"Assalamualaikum boy," sapa orang disebrang sana.
"Waalaikumsalam, ada apa opa telfon pagi-pagi begini? tumben sekali," tanya Bian yang segera bagkit dan mulai bersiap-siap.
"Kau ada di apartemenmu atau sedang dirumah nak?" tanya Arsen yang tidak mengubris pertanyaan Bian.
"Di apartemen opa, ada apa?"
"Ohh haha baguslah aku sekarang ada di depan apartemenmu, cepat keluar yaa kita akan pergi kerumahmu,"
Bian melebarkan matanya, pasti ini ulah omanya yang menceritakan pada bahwa sudah seminggu ia tidak pulang ke rumah.
"Baiklah, aku akan bersiap-siap." Dalam hati Bian menggerutu kesal, ini masih pukul 05.30 pagi, opanya yang satu itu memang tidak tau waktu. Beruntung ia sudah mandi sebelum melaksanakan solat subuh. Dengan langkah tergesa ia segera menuju mobil yang sudah terparkir di depan apartemen.
"Opa untuk apa kau menelfonku? kau bahkan bisa langsung ke apartemenku," oceh Bian.
"Hey kau tidak lihat aku sudah tua, untuk apa aku membuang tenaga untuk berjalan sedangkan teknologi sekarang sudah canggih cucuku,"
Bian mencibir, tumben sekali mengaku tua. "Bilang saja Opa ingin membuatku kesal."
"Ohh kau terlalu peka cucuku,haha." yahh Arsen memang jail dan mungkin kejailan Lily diturunkan dari opanya.
Sesampainya dirumah Bian langsung menuju meja makan karna perutnya sejak tadi sudah konser, semalaman ia tidak sempat makan malam karena banyak pekerjaan kantor yang menumpuk.
Saat sedang asik-asiknya melahap nasi goreng, Lily datang ke meja makan dengan kedua tangan membawa banyak buku. Dari tempatnya Bian bisa melihat lingkarang hitam dibawah mata Lily meskipun sedikit samar.
Lily duduk dan saat mendongak ia baru menyadari kehadiran Bian. "Oh hay kak kapan kau datang?" tanya Lily sekedar basa-basi karena kaget.
"Barusan, aku datang dengan opa," jawab Bian dengan singkat. Lily mengangguk paham dan mulai memakan nasinya.
Tak lama semua datang dan ikjt bergabung di meja makan. "Hayy brother kapan kau datang?" sapa Rio.
"Barusan dengan opa, mungkin sekarang opa sedang dikamar daddy,"
"Sudah nanti saja bicaranya sekarang kita sarapan," ucap Varo mengintrupsikan semua untuk diam.
Bian menyelesaikan sarapannya, ia segera bangkit namun Varo memanggilnya hingga ia kembali duduk. "Bian antarkan Lil ke sekolah papa tidak bisa mengantarnya hari ini,"
Bian terdiam, ia tau tujuan papanya melakukan ini. "Baik pa nanti Bian antar," jawabnya tanpa bantahan.
"Pa Lil bisa berangkat dengan Alex, biasanya Lil berangkat dengan Alex," tolak Lily. Bian menghela nafas, apakah sekarang jarak mereka sudah terlalu jauh.
"Tidak sayang hari ini kau harus berangkat dengan kakakmu," nada perintah yang tidak terbantahkan membuat Lily terdiam.
"Baiklah pa," jawab Lily dengan menundukan kepalanya.
--------
Lily segera mengirim pesan pada Alex agar ia tidak datang untuk menjemput.
Alex hari ini kau tidak usah menjemputku..
Aku berangkat dengan kak Bian
sent to : Alex
Tidak lama setelah itu ponselnya kembali bergetar.
Baiklah hati-hati
Sampai bertemu disekolah :)
Lily tersenyum melihat balasan Alex, itulah Alex dengan segala perhatiannya. Lily mendongak, ia melihat Bian yang masih sibuk memainkan ponselnya. Dengan ragu Lily menepuk bahu Bian hingga kakaknya itu menoleh padanya.
Lily mencoba untuk tersenyum, "ayo kak kita berangkat," ajak Lily. Bian membalas ajakan itu dengan anggukan kaku.
Dalam perjalanan mereka hanya diam, Lily merasa gerah dengan suasana canggung ini. Oh ayolah mereka adalah saudara kandung tapi rasanya saat ini seperti sedang satu mobil dengan orang yang tak di kenal. Akhirnya dengan mengumpulkan keberanian Lily mencoba untuk memulaipembicaraan.
"Apa kabar Kak?kenapa tidak datang kerumah seminggu ini?" tanya Lily.
Bian melirik sekilas. "Aku sedang sibuk," suara dingin yang keluar membuat Lily sedikit merinding.
"Emm tapi daddy memanggil kakak kemarin, kak kau beruntung dad mengenal mu. Sedangkan aku?" tanya Lily yang masih mencoba bicara baik-baik dengan Bian.
"Cukup Lil, kakak sedang malas bertengkar," ucap Bian. Pikirannya masih kacau dan ia butuh ketenangan.
Lily ternganga mendengar ucapan Bian. "Kak kalau kau membenciku jangan melibatkan daddy, datanglah kerumah seriap hari, jenguk daddy. Aku janji aku tidak akan keluar dari kamarku jika kau sedang dirumah," ucap Lily yang suaranya sudah naik satu oktaf karena emosi.
"Aku tidak membencimu!" bentak Bian.
Lily tersenyum sinis pada Bian. "See? Kau bohong!! kalau kau tidak membenciku kau tidak mungkin bersikap dingin padaku!" balas Lily untuk mengeluarkan semua ganjalan dihatinya.
"Aku tidak dingin padamu Lil kau saja yang merasa begitu," jawab Bian.
"Kak aku yang merasakan! aku tau persis bagaimana sikapmu selama ini,"
"Jangan merajuk Lil kau bukan anak kecil!"
Lily menatap marah Bian. "Aku tidak merajuk! aku benar-benar marah!!" seru Lily. Ia menjambak rambutnya karena prustasi.
Biam menelan salivanya melihat Lily yang terlihat sangat kacau. " Oke.. baiklah Lil, Kakak minta maaf.." suara Bian terdengar kini terdengar lirih tidak ada emosi seperti tadi.
"Aku tau kak aku salah tapi ini bukan keinginanku, hiks hiks sungguh aku juga ingin mommy ada disini bersama kita hiks hiks," Lily menangis dan menutup wajahnya. Usapan tangan Bian pada kepala Lily membuat Lily terkesiap. Bagaimana mungkin kakaknya yang dingin bisa selembut ini.
Bian memutuskan untuk memghentikan mobil di tepi jalan. Mereka terdiam hingga Lily melihat Bian sedang mematapnya dengan mata yang berkaca-kaca. Dalam hati Lily merasa bersalah karena membuat kakaknya menangis
Kedua tangan Bian menangkap wajah Lily, ibu jarinya menghapus air mata yang membasahi pipi adik tersayangnya.
"Maafkan kakak Lil, Maaf kakak bukan kakak yang baik untukmu," lirih Bian.
Lily menggeleng pelan. "Kau tidak perlu menjadi kakak yang baik, kau hanya perlu menjadi anak yang baik untuk daddy kak. Karna jika kau menjadi anak yang baik untuk dad maka kau adalah kakak terbaik untukku," ucap Lily.
"Kau sangat menyayangi daddy?" tanya Bian.
"Tentu saja daddy adalah permata untukku," jawab Lily dengan mantap.
"Kalau begitu jangan salahkan dirimu Lil. Mommy pergi karna memang ia harus pergi bukan karna mu, jangan dengarkan aunty Fandra."
"Kau menganggap daddy adalah permatamu dan daddy menganggap mu bidadarinya, daddy pasti akan sedih jika bidadarinya terlihat rapuh,"
Lily terdiam takjub, ini adalah kata-kata terpanjang dari Bian untuknya. "Kau tidak membenciku kak?"
"Tentu saja tidak. Kau ini bidadari untuk daddy dan kakak, maaf selama ini bersikap dingin.. kakak terlalu pengecut,"
"Kakak bukan pengecut, terima kasih kak, maaf sering menyusahkan kakak," ucap Lily. Ia langsung memeluk Bian dengan erat.
Bian terkekeh dan mengusap punggung Lily. "Kau tak pernah menyusahkanku, maaf karena aku tidak pernah ada di sampingmu saat kau sedih,"
Lily masih menikmati kehangatan pelukan Bian. "Tidak perlu minta maaf kak, aku mengerti perasaan kakak," jawabnya.
"Percayalah Lil, daddy pasti akan mengingatmu lagi dan kita akan hidup bahagia sebagai keluarga," ucapan Bian membuatLily tersenyum manis, ia mengangguk dan Bian mengecup kening Lily.
Mereka melanjutkan perjalanan dalam diam. Liliy melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul 07.30 ohh sial ia sudah telat. Setelah tiba ia segera turun dan berdada ria.
"Terima kasih kak, dada!!" teriak Lily. Ia langsung berlari menuju pintu gerbang.
Lily melihat pak Karim penjaga sekolah sedang menjaga gerbang. "Halo pak Karim, emm pak tolong ijinkan aku masuk aku hanya telat 30 menit.." pinta Lily dengan wajah memelas.
Pak Karim menyipitkan matanya. "Bukannya kamu yang telat kemaren ya?" tanya bapak tua itu dengan logat jawa yang kental.
Lily pura-pura berpikir. "Emm tidak, mungkin hanya mirip pak,"
Kepala pak Karim menggeleng. "Ndak-ndak.. saya yakin kemaren itu kamu! lah wong wajahnya sama, bule-bule gitu.."
Lily memutar matanya. "Pak disekolah ini banyak yang berwajah indo bukan hanya saya,"
"Tapi saya yakin itu kamu.." Lily mengerucutkan bibir. Bagaimanapun caranya ia harus masuk.
Lily terdiam dan senyumnya mengembang. "Pak bisa tolong panggilkan kepala sekolah? bilang saja keluarga Pradipta ada didepan sekolah," mendenra itu Pak Karim hanya diam dengan pandangan bertanya.
"Sudah bapak panggil saja dulu," ucap Lily. Dengan terpaksa pak Karim pergi mengikuti perintah.
Tak lama sebuah mobil muncul dari belokan menuju sekolah. Mobil itu berhenti tepat di depan Lily. Pemilik mobil turun dengan gaya angkuhnya.
Laki-laki itu menatap Lily dari atas hingga bawah. "Lo telat juga? hemm bagus seenggaknya gue punya temen,"
Lily menyipitkan mata, sepertinya ia pernah melihat orang ini liat tapi ia lupa.
"Ngapain ngeliatin gue kaya gitu? yaa gue tau gue ganteng tapi nggak usah lebay gitu." ucapnya. Orang itu berjalan mendekati Lily. "Ehh tunggu deh, kayanya gue pernah liat lo.. tapi dimana yaa?" ia mengetuk-ngetuk dagu mencoba untuk mengingat.
"Sepertinya aku juga pernah melihatmu tapi aku lupa.." ucap Lily.
"Bahasa lo formal, lo pindahan dari luar ya?"
"Iya." jawab Lily dengan singkat karena ia malas meladeni orang yang tidak penting.
"Singkat amat jawabnya, nggak asik," gerutu anak laki-laki itu dengan pelan namun Lily masih bisa mendengarnya.
"Aku tidak memaksamu untuk bicara dengan ku bukan?" tanya Lily.
"Yaa cantik-cantik jutek.."
Lily melotot kesal pada orang yang berdiri di hadapannya ini. Kakinya merasa sudah gatal ingin menendang orang yang menyebalkan ini.
Kepala sekolah datang menghampiri mereka. Lily segera menunjukkan senyum ramah pada ibu kepala sekolah.
Ibu Maya beralih pada anak laki-laki yang denga santai berdiri di dekat Lily. "Kamu anak baru juga nak?"
"Iya bu nama saya Orlando Arsenio Aldric," jawabnya. Aldric, mata Lily mengerjap sepertinya ia pernha mendengarnya.
"Baiklah Orlando masukan mobilmu, ini hari kedua kamu sekolah disini jadi saya tidak akan memberi hukuman yang terlalu berat dan itu juga berlaku untukmu Lily," jelas bu Maya dengan sabar meskipun wajahnya terlihat kesal.
"Ohh tapi bukan berarti kalian berdua bisa lepas dari hukuman yaa, pagi ini angin lumayan besar jadi sapu seluruh lapangan yang ada disekolah ini karena banyak daun yang gugur," mulut Lilh terbuka lebar mendengar perintah bu Maya. Ohh lebih baik ia disuruh pulang dari pada membersihkan seluruh lapangan sekolah ini. Ini sekolah yang sangat besar. Ditambah lagi ia harus membersihkan lapangan dengan Aldric.
"Lily ikut ibu dulu keruangan," perintanya. Batin Lily bertanya-tanya apakan hukumannya belum cukup untuk hari ini. Setelah memasuki ruangan, bu Maya sehera mempersilahkan Lily untuk duduk.
Bu Maya melepas kacamata bacanya. "Lily ibu tau kamu dari keluarga Pradipta tapi kamu tidak boleh seenaknya, saya sudah berdiskusi dengan pak Varo dan pak Varo bilang jika kamu membuat kesalahan maka kamu akan dihukum sama seperti murid lain. Kamu mengerti Lili?" penjelasan itu membuat Lily mengangguk pasrah. Jika papanya itu sudah turun tangan maka ia tidak bisa apa-apa.
Lily melangkah menuju lapangan dengan lemas. Dalam hati ia menggerutu karena ulah papanya.
Di lapangan Lily bisa melihat Aldric yang sudah mulai menyapu. "Ohh lo balik, gue kira lo bebas lagi dari hukuman kaya kemaren, gue sekarang inget pernah liat lo dimana. Lo itu orang yang kemaren telat tapi ga dihukum apa-apa karna ada nama Pradipta, haha hebat banget lo ya manfaatin nama keluarga lo,"
Lily menggeram kesal mendengar ucapan pedas Aldric. Rasanya ia ingin menyumpak mulut itu dengan sepatunya. "Lebih baik kau diam dan kerjakan pekerjaan ini agar hukuman kita cepat selesai," jawab Lily yang mencoba untuk sabar.
Kepala Aldric mengangguk setuju. "Yahh lo bener, mending gue nyapu dari pada ngobrol sama cewek datar," ujarnya. Hening itu tidak berlangsung lama, hanya bertahan lima menit hingga Aldric mulai bicara lagi.
"Lo anaknya siapa? Om Varo apa Om Kevin? seinget gue anak mereka laki-laki semua dan Kakek Arsen cuma punya dua anak kan?" pertanyaan itu tidak di tanggapi oleh Lily sama sekali.
"Hemm jangan-jangan lo bohong, sebenernya lo bukan keturunan Pradipta kan? lo cuma ngaku-ngaku karna terobsesi sama keluarga bahagia itu,"
Lily melirik kesal pada Aldric. Laki-laki macam apa dia, cerewetnya mengalahkan nenek-nenek yang sedang hamil. Oke mungkin berlebihan, karena nenek-nenek tidak hamil, itu hanya ungkapan kekesalan Lily.
"Woy diem aja? gue bosen, nggak ada temen ngobrol. Gue berasa lagi nyapu sama patung tau!" ucap Aldric yang sekarang berdiri tepat di depan Lily dengan melipat tangannya didepan dada.
"Orlando apa kau bisa minggir dari hadapanku? kalau tidak kau akan kusapu juga bersamaan dengan daun-daun ini," ucap Lily sembari berkacak pinggang di depan Aldric. Aldric tersenyum melihat Lily yag akhirnya bicara.
"Akhirnya lo mau ngomong, panggil gue Al aja.. gue risih dipanggil Orlando,"
"Yaa yaa baiklah Orlando atau Al, sekarang cepat minggir!"
"Weitss nanti dulu, jawab pertanyaan gue, lo bukan dari keluarga Pradipta kan? kebetulan gue kenal keluarga Pradipta dengan baik, bokap gue itu salah satu kolega bisnis keluarga itu dan yang gue tau kakek Arsen cuma punya 2 anak dan kedua anaknya kakek itu enggak punya anak perempuan. Jadi lo pasti kemaren bohong,"
Lily menghela nafas, maklum saja Aldric tidak kenal daddynya karena selama ini daddynya memang tidak pernah mau untuk ikut terjun ke dunia bisnis kakek, lagi pula sudah bertahun-tahun Ares sakit.
"Apa yang kau tau belum tentu benar Al jadi berhentilah mengintrogasi aku seperti itu. Aku bukan maling!"
"Oh lo itu maling Lily, maling status. Gue tau mereka itu kaya keluarga sempurna yang bahagia, makanya lo terobsesi buat jadi bagian dari keluarga itu. Iya kan?"
Lily tertawa geli mendengar spekulasi Aldric. "Tuan Aldric yang terhormat saya sarankan pada Anda untuk tidak terlalu banyak menonton sinetron supaya otak anda bisa berfikir dengan baik. Spekulasi anda seperti drama di televisi tuan, konyol sekali,"
"Udah nggak usah malu, gue juga mau jadi bagian dari mereka. Keliatan banget mereka punya cinta buat keluarga," lanjutnya dengan pandangan menerawang.
"Memangnya keluargamu kenapa?" tanya Lily. Dalam sekejap ia menyadari kesalahannya. Kenapa ia harus tertular penyakit kepo dari laki-laki ini.
"Heh kenapa jadi lo yang nanya-nanya ke gue?" yapp benarkan batin Lily. Ia mengedikkan bahu sebagai jawaban.
"Jadi lo beneran bohong?" lanjut Aldric. Lily menatap horor Aldric, ia pikir Aldric sudah lupa.
"Dengar Al aku tidak bohong aku benar-benar keluarga Pradipta, terserah kau mau percaya atau tidak. Lagi pula apa untungnya berbohong didepan banyak orang? itu hanya akan membuatku malu nantinya," jelas Lily. Ia segera melanjutkan tugasnya agar bisa segera pergi dari Aldric.
Pukul 10.00 hukuman telah selesai. Lily merasa sangat lega karena akhirnya ia bisa segera pergi dari laki-laki menyebalkan itu. Bayangkan saja, selama hukuman ia selalu mengoceh tanpa henti hingga telinga Lily rasanya sangat panas karna ocehan panjangnya itu.
Saat ini mereka sedang duduk di kantin untuk beristirahat sejenak. Sekelompok anak laki-laki yang baru memasuki kantin langsung menghampiri mereka.
"Woy kemana aja lo? gue kira lo sakit. Ehh enggak taunya ck lagi pacaran dikantin," ucap Vano yang langsung duduk di atas meja.
"Tau nih si playboy cap kakap udah dapet pengganti Citra aja, padahal baru sehari putus men.." timpal Sean.
"Woy Al.. kenalin dong ke kita, yang ini kayanya beda dari yang lain," pinta Abil.
Lily memandang keempat laki-laki itu bergantian, mereka tampan tapi memang Aldric lebih tampan dari keempat temannya ini. Tunggu dulu, Lily sekarang ingat, kemarin Ana menunjuk mereka saat duduk di kantin. Pantas ia merasa pernah melihat Aldric.
"Woy lo kenapa bengong?" panggil Aldric menepuk yang bahu Lily.
Lily mengerjapkan mata karena kaget, kepalanya mendongak dan melihat kearah teman Aldric yang sejak tadi tidak ikut bicara tapi hanya tersenyum kearahnya, secara reflek Lily membalas senyum itu. Matanya laki-laki itu mengingatkannya pada daddy.
"Wah wahhh.. pesona lo kayanya kalah Al sama Rion," canda Sean.
"Sembarangan lo! pokoknya tetep gue yang paling ganteng!" sungut Aldric.
"Lil kenalin ini temen-temen gue yang ini Sean, ini Abil, ini Vano, terus yang ini yang lo pandangin terus tadi namanya Rion," jelas Aldric. Lily tersenyum dan menyapa semuanya.
"Hay aku Lily, emm maaf sepertinya aku harus kembali ke kelas. bye semua.." pamit Lily yang langsung berlari ke kelas karena ia sangat malas berurusan dengan Aldric lagi.
Ana kau salah menyukai orang. Aldric memang tampan tapi sifatnya sangat menyebalkan, bagaimana mungkin ada laki-laki yang cerewetnya mengalahkan wanita yang sedang datang bulan. Kau dalam masalah besar Ana, lebih baik kau dengan Alex. Yaa benar kau sangat cocok dengan Alex, batin Lily.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top