Part 27

Hay hay hayyyyy..

Akhirnya aku bisa update juga, hehe..

Langsung aja, happy reading dan jangan lupa vomment ;)

*********

Ares POV

Saat aku mengetahui Lili adalah penyebab Malika meninggal aku seperti dibohongi oleh semua orang. Aku marah padanya, aku marah pada semuanya. Aku meninggalkan Lili begitu saja saat ia meminta maaf padaku. Hatiku sudah sangat sakit karena dibohongi.

Lili menghilang setelah aku marah padanya, aku sangat panik. Padahal aku sedang marah tapi aku sama sekali tidak bisa menyembunyikan kepanikanku. Ku telpon daddy dan dad mengabari bahwa Lili terbang ke Aussie. Itu semakin membuatku marah, aku sangat panik padanya tetapi dia dengan santainya terbang ke Aussie. Aku meminta dad agar tidak bicara apapun tentang aku yang menanyakan Lili.

Keesokan harinya ia datang dengan Kevin. Aku berusaha mengabaikannya meskipun dalam hati aku bersyukur melihat keadaannya baik-baik saja. Aku dan Kevin berdebat tentang sikapku. Bagaimana bisa ia menilaiku salah, ia bahkan tidak tau rasanya di posisiku saat ini. Perdebatan kami berakhir pada Kevin yang akan menjemput Lili untuk tinggal di Aussie, aku hanya bisa diam.

Hari-hari setelah itu berjalan seperti biasa. Hanya saja aku merasa hidup dirumah besar ini sendiri. Aku jarang melihat Lili, bahkan disaat sarapan dan makan malam. Aku tau ia mencoba untuk menghindariku

Malam itu saat aku tidur aku terbangun karena Lili membisikkan kata-kata yang membuat aku berpikir, "Daddy, sebentar lagi.. Lil janji, sebentar lagi Lil akan pergi dan tidak akan mengganggu daddy lagi," bisiknya. Suaranya hilang sejenak lalu ia melanjutkan ucapannya lagi "Jaga diri daddy baik-baik. Dad harus berjanji untuk hidup bahagia. Hidup daddy harus lebih bahagia dari pada Lil," setelah mengucapkan itu aku mendengar ia melangkah pergi dan menutup pintu kamarku. Aku membuka mataku, saat itu aku sudah tidak tahan untuk bersikap acuh padanya tapi aku juga belum bisa memaafkan semuanya.

Sekarang adalah pesta kelulusan sekolahnya, ia memohon agar aku datang ke acara itu, sebenarnya tanpa ia memohonpun aku akan datang. Lili memberikan kejutan, sebuah lagu yang sangat indah, aku melihat sekumpulan photo diriku yang tengah menggendong seorang anak perempuan. Sekelebat bayangan muncul di otakku. Aku menahan rasa sakit dikepalaku. Aku harus mengingat semua. Aku mengingat masa-masa kebersamaanku dengan Lili Malika dan Bian, aku ingat sekarang, Lili adalah anak gadis ku.

Flash back on

"Kau hamil?" tanyaku pada Malika. Ia tersenyum dan menganggukkan kepala. Aku tersenyum bahagia dan langsung memeluknya. Kucium perutnya yang masih terlihat rata. "Ayo kita beritahu Bian, ia pasti senang sebentar lagi akan memiliki adik," ucapku. Aku mengajak Malika dan Bian berjalan ketaman dekat rumah kami.

Bian tampak sangat senang mendengar diperut ibunya ada adik yang akan menemani ia bermain. Kehidupan keluarga kami semakin bahagia. Aku merasa ini sudah cukup, aku tidak ingin apa-apa lagi.

Kami memutuskan untuk pindah ke Indonesia sampai Malika melahirkan karena aku tidak bisa 24 jam bersamanya. Aku harus sering bepergian jauh, di Indonesia ada mommy, setdaknya aku akan tenang meninggalkan Malika.

Sampai saat aku dan Malika memeriksakan kandungannya. Aku merasa curiga dengan kesehatannya akhir-akhir ini. Ia terlihat pucat dan mudah lelah. Dokter menjelaskan kondisi kesehatan Malika. Dokter kandungan menyarankan aku untuk membawa Malika ke dokter ahli penyakit dalam karena merasa ada yang aneh dengan keadaan Malika. Akupun menuruti sarannya.

"Dok.. bagaimana keadaan istri saya dan kandungannya?" tanyaku.

Dokter itu menghela nafas "Begini pak, berdasarkan hasil pemeriksaan telah ditemukan sel kanker pada rahim istri bapak, belum terlalu parah jika ingin dioprasi dalam waktu dekat, tapi bapak pasti tau, bapak harus merelakan anak yang ada dalam kandungan istri bapak,"

"APA!!!" seruku dan Malika secara bersamaan.

Aku terbelalak kaget, begitu pula dengan Malika. "Apa tidak ada cara lain dok?" tanyaku. Dokter itu hanya tersenyum dan menggelengkan kepala. Aku menghela nafas "Baiklah, saya akan bicara dengan istri saya sebentar." Ucapku. Aku menarik tangan Malika keluar.

"Malika.. kita harus merelakan bayi itu. Aku sudah memilikimu dan Bian, itu sudah cukup untukku."

Malika meneteskan air matanya dan menggeleng "Tidak Ares.. aku tidak mau mengorbankannya, kasian dia Ares, ia belum sempat merasakan dunia. Sedangkan aku? aku sudah lama di dunia ini, kalau aku harus pergi aku rela, tap kalau harus mengorbankan anak kita, aku tidak bisa.."

"Tapi Malika.. ini sangat berbahaya untukmu."

Malika mengelus pipiku "Aku baik-baik saja.. tolong bicara pada dokter itu, aku ingin mempertahankan anak kita, kau lihat bagaimana semua orang mengharapkan anak yang ada di perutku ini kan? Bian.. ia akan sedih kalau kita harus mengorbankan adiknya,"

Aku mengecup keningnya "Kau yakin?" tanyaku untuk memastikan. Malika mengangguk dengan mantap. Kamipun kembali keruang dokter. Aku mengutarakan keputusanku dengan Malika.

"Anda yakin? begini.. jika bayi itu dipertahankan maka ada kemungkinan bayi itu tidak akan selamat atau mungkin jika sudah lahir bisa memiliki kelainan, dan itu justru membahayakan keduanya. Jika sekarang kita mengambil tindakan maka istri anda bisa diselamatkan, sel kanker itu bisa berkembang cepat."

"Saya tetap ingin mempertahankan anak saya," potong Malika "Tadi dokter bilang kemungkinan kan? berarti masih ada pula kemungkin untuk anak saya bisa lahir dan normal." Kekeh Malika. Aku menggelengkan kepala, Malika begitu kekeh untuk mempertahankan anak itu. Aku akan membujuknya nanti.

Kami sampai dirumah. Aku mengajaknya bicara dikamar kami. Ini masalah yang sangat serius. Aku tidak mungkin membiarkan Malika sakit.

"Malika.."

"Cukup Ares, kita sudah membicarakannya tadi," potongnya.

"Dengarkan dulu.." aku berjongkok didepannya, kuusap wajah cantiknya "Aku dan Bian membutuhkanmu. Kau tau itu berbahaya, jangan memaksakan diri. Kita akan jelaskan baik-baik pada Bian, dia pasti mengerti."

Malika menangis "Tidak Ares, aku tidak bisa.. aku tetap pada keputusanku."

"Malika tolong pikirkan.. lagi pula, jika kita mempertahankannya bisa saja ia tidak selamat, lebih baik memilih yang pasti,"

"Tidak.. aku sudah bilang aku tidak akan melepaskannya, kita tidak akan tau Ares, siapa tau anak ini akan selamat."

"MALIKA!! pikirkan perasaanku, perasaan Bian nantinya. Kau jangan egois!!" seruku. Aku berdiri dan melangkah menjauh.

"Aku seorang ibu Ares, aku akan melakukan apapun untuk anakku, meskipun dengan mengorbankan nyawaku." ucap Malika. Aku berhenti melangkah, huhh seandainya ibu kandungku memiliki pemikiran seperti Malika.

Sudah kuputuskan untuk berjuang dengan Malika. Kupikir tidak adil jika aku harus memaksanya untuk menggugurkan anakku. Anak itu memiliki hak untuk hidup, ia adalah darah dagingku. Nanti setelah ia lahir aku akan melakukan apapun untuk kesembuhan Malika.

Sembilan bulan berjalan begitu cepat, anakku lahir. Malika benar, anakku lahir dengan selamat tanpa kekurangan apapun. Anak perempuanku yang begitu cantik, kami sepakat memberikannya nama Lili Anissa Pradipta. Lili adalah bungan favorit Malika, bunga yang menurutnya sangat cantik dan indah.

Setelah melahirkan kondisi Malika semakin parah, kata dokter, sel kankernya telah menyebar ke beberapa bagian. Aku berusaha sekuat mungkin, kami kembali ke Aussie, aku mencari dokter terbaik tapi terlambat, tiga tahun setelah melahirkan, kondisi Malika semakin buruk. Hingga ia harus dirawat intensif di rumah sakit.

Aku mengelus rambutnya yang hampur habis karena kemoterapi "Kau akan sembuh kan? Anak-anak kita mebutuhkanmu, aku membutuhkanmu," ucapku sembari menggenggam tangannya erat.

Malika tersenyum lemah "Jika aku tidak bisa bertahan, mau kah kau berjanji satu hal?" tanya Malika. Aku hanya bisa meneteskan air mata dan menganggukkan kepala.

"Jaga anak-anak kita, kau tau.. aku sangat mencintaimu dan anak-anak. Lili, hiks ia masih begitu kecil Ares, tolong jaga dia untukku, dan Bian.. tolong bilang padanya agar selalu menjaga adiknya untukku." Air mata Malika mengalir deras.

Kucium bibir tipisnya yang pucat "Kita akan menjaga mereka bersama."

Malika menggelengkan kepala "Aku merasa waktuku tidak akan lama lagi.. ohh bisa tolong panggilkan Bian? dan tolong bawa Lili padaku. Aku ingin menggendongnya." pinta Malika. Aku menurutinya, ku ajak Bian dan kuambil Lili dari gendongan mommy. Mereka yang berada diluar menatapku dengan tanda tanya dan aku hanya bisa menggeleng pasrah.

Bian yang melihat kondisi Malika langsung menangis dipelukan mommynya. aku hanya bisa menatap mereka sedih.

"Mommy.. kenapa kau begitu kurus?" tanya Bian polos.

Malika berusaha tertawa "Mommy tidak nafsu makan sayang.. Hey sudah jangan menagis," ucap Malika. Bian menghentikan tangisnya. Ia tersenyum dan memeluk Malika dengan erat. "Jagoan mommy, i love you so much, Bian.. you must be a good boy, emm.. you remember our deal, right?"

Bian mengangguk "Yes mom, i will always protect my young sister, for mom and daddy."

"Hemm.. i believe you,"

"Mom.. i love you more. Cepat sembuh ya.. Bian tidak suka melihat mom disini,"

Malika tersenyum dan mengangguk "Sekarang, kau keluar dulu ya.. main dengan Rio. Mom ingin bicara dengan daddy," ucap Malika. Bian menuruti perintah mommy nya, ia melangkah keluar dengan lesu.

Aku mendekat dengan Lili di gendonganku. Malika meminta Lili, ia menggendong Lili yang sedang menatap bingung. "Hay princess mommy.." ia menggesekkan hidung mancungnya pada hidung Lili. Lili terkikik geli.

"Mommy.. mommy.." ucap Lili. Ia meloncat-loncat dipangkuan Malika.

"Hey tenang princess.. mommy sedang sakit, sini dengan daddy saja," ucapku. Lili mengerucutkan bibirnya.

"No..no..no.. Lil mau mommy.." jawab Lili polos.

Malika tertawa bahagia "Tidak papa Ares, aku ingin bermain sebentar dengan princess ku ini." Malika kembali bicara dengan Lili, tentu saja Lili menjawab dengan celotehannya yang nyaring.

Lili menguap "Mom, dad, Lil antuk.." ucapnya sembari mengucek matanya.

"Haha anak dad ngantuk.. hemm?" tanyaku. Lili menganggukkan kepalanya. "Ayo sini princess," ku gendong dan kutimang putriku ini hingga ia tertidur. Kuperhatiakan Malika yang sedari tadi tersenyum melihat kearah kami.

"Ia sudah tidur?" tanya Malika. Aku menganggukkan kepala. Ia meminta Lil kembali.

"Cantik kan putri kita? seandainya dulu kita melepaskannya pasti kita akan menyesal,"

Aku mengangguk setuju "Pasti aku akan sangat menyesal kehilangan bidadari kecilku,"

"A-ares.."

Aku menoleh pada Malika dan kaget melihat wajahnya yang pucat dan berkeringat "Malika.. kau kenapa? aku akan panggil dokter." ia menarik tanganku yang hendak pergi. "Sayang.. jangan begini, aku harus memanggil dokter,"

"Aku tidak apa-apa.. tolong tetap disini." Suara Malika semakin lemah.

"Apa kau kesakitan? kalau kau tidak kuat pergilah, aku iklas." ucapku. "Aku akan menjaga anak-anak, pergilah dengan tenang." Aku memutuskan unttuk mengiklaskan dirinya. Aku tidak tahan melihatnya sakit. Meskipun dengan mengiklaskannya aku seperti membiarkan sebagian diriku pergi.

"Terimakasih untuk semuanya.. ma-maaf jika selama ini aku be-belum menjadi.. istri yang baik," ucap Malika dengan terbata. Ia menghembuskan nafas terakhirnya. Malika tersenyum dengan sangat indah.

Disaat pemakaman aku hanya bisa menatap kosong tanah yang akan menenggelamkan bidadariku. Lili terus saja menangs di gendonganku, seolah ia mengerti bahwa mommynya telah pergi selama-lamanya. Bian menangis dipangkuan omanya. Air mataku sama sekali tidak mengalir, entah karena aku lelah menangis, atau aku terlalu sedih hingga air mataku tidak bisa keluar.

"Dad.. mommy.. mommy.." celoteh Lili. Aku menoleh pada anakku itu.

"Ssttt mom sedang tidur, Lil dengan dad dulu yaaa," bujukku, kukecup keningnya. Lili menggelengkan kepala dan terus menangis.

Setelah pemakaman aku langsung pulang kerumah. Disana ada mama yang telah menungguku, aku mendengar pembicaraannya dengan seseorang ditelpon. Mama terlihat nampak bahagia. Kuletakkan Lili di sofa, ia sudah tertidur.

"Iya sayang.. sekarang si Malika it sudah mati, kau bisa merebut hati Ares lagi," ucap mom. Aku terbelalak kaget.

"MAMA!!!" seruku. Mama menoleh kaget. "Apa maksud mama? Kupikir mama sudah berubah, tapi ternyata mama tidak bisa berubah."

"A-ares.. dengarkan mama dulu.."

"CUKUP!!"

"ARES!!! Dengarkan mama.. ini demi kebaikan kedua anakmu, mereka butuh sosok ibu, lupakan Malika, ia sudah meninggal. Sekarang kau harus memulai hidup baru. Mama sudah menyiapkan perempuan yang cocok untukmu, Fandra, kau harus menikah dengannya."

Aku menggeleng takjub "Ini bahkan belum sehari, Malika baru saja dikuburkan dan kau menyuruhku untuk memulai hidup baru dengan wanita lain? HAH??? AKU.. TIDAK.. MAU!!!" teriakku. Kepalaku begitu sakit akibat tekanan berat itu. Dan seletah itu aku seperti tertidur sangat lama.

Flash back off

Aku ingat semua, tapi terlambat. Rencana memberitaunya bahwa aku ingat semua sudah buyar. Sekarang aku hanya bisa melihat wajahnya yang sedang tidur dari luar ruang ICU. Ini semua salahku, aku yang bodoh mempercayai ucapan mama dan Fandra.

Aku menoleh pada Bian, wajahnya nampak lelah, wajar saja, tadi setelah pulang kantor ia langsung menuju sekolah Lili. Kutepuk bahunya "Pulanglah..kau pasti lelah. Lagi pula disini sudah banyak orang,"

Bian menggelengkan kepala "Kita tunggu sama-sama sampai bidadari kita bangun, aku tidak tenang meninggalkannya dad."

Kuhela nafasku "Baiklah, kita akan menunggu bersama,"

Keesokan harinya belum ada perubahan, Lili masih bertahan dalam tidurnya. Mom memaksaku dan Bian untuk pulang, aku pun terpaksa mengikutinya, aku akan pulang sebentar untuk mandi lalu kembali ke rumah sakit.

Aku berpesan agar mom segera menghubungiku jika ada sesuatu. Sunggu aku sangat takut meninggalkan putriku meskipun hanya sebentar.

Aku masuk kedalam rumah, ketika ingin memasuki kamarku aku melewati kamar Lili, kubuka kamar itu. Saat aku berada disini aku bisa merasakan wangi khas putriku. Aku duduk diranjangnya. Pandanganku mengitari penjuru kamar, disana banyak tumpukan buku, kulihat itu adalah tumpukan novel. Aku tersenyum, sejak kecil Lili sangat menyukai dongeng.

"Dad tau, kau sekarang sedang beristirahat, tapi dad mohon, jangan terlalu lama. Dad ingin bicara banyak denganmu," gumamku. aku mengelus bantalnya. Ketika hendak berdiri aku menyenggol bantal itu dan sesuatu jatuh dari ranjang.

Kuambil buku kecil berwarna ungu itu, kubuka halaman pertama buku yang menampilkan gambar seorang anak kecil yang menggandeng tangan seorang laki-laki. Dibawah gambar itu terlihat keterangannya, Daddy, Lili.

Aku tersenyum melihatnya, kubuka halaman selanjutnya. Bisa kulihat tulisan cakar ayamnya ketika masih kecil.

********

Nah.. ntar malem ku update tulisan di note Lili yaa :)

Hehe see you ;)



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top