Part 22
Keterangan mulmed : Permainan piano Lily
Edisi Revisi
********************
Author POV
Hari demi hari Lily jalani dengan belajar. Entah sejak kapan hobinya adalah membaca buku-buku tebal penuh rumus yang memusingkan. Baginya rumus-rumus sulit membuat perhatiannya terfokus dan ia tidak akan memikirkan hal lain.
Beberapa hari ini ia juga lebih memilih belajar di perpustakaan dibanding pergi ke kanti untuk mengisi perut. Alex tentu khawatur akan perkembangan ini, ia merada bersalah karena membiarkan Lily menyukai Aldric, sejak awal ia memang tidak setuju.
Untuk hari ini Lily memberanikan diri untuk pergi ke kantin dengan para sahabatnya. Masih dengan buku tebal di hadapannya, ia makan sembari membaca buku itu.
"Mata lo nggak capek ya? gue yang liat doang aja capek," sindir Ana yang duduk di samping Lily. Ia jengah melihat Lily dengan buku tebal itu.
Lily mendongakkan kepalanya, ia melepas kaca mata baca yang sejak tadi bertengger manis di hidungnya. "Tidak, membaca itu hal yang menyenangkan,"
Alex menggelengkan kepala, ini bukan Lilynya. Lily bukan orang yang irit bicara seperti sekarang. Ia mengambil buku Lily dan menyimpannya.
"Ada apa? kenapa kau mengambil bukuku Alex?" tanya Lily.
"Habiskan dulu makananmu, baru lanjut membaca,"
Jika Alex sudah mengeluarkan nada tegas seperti ini, Lily tidak bisa apa-apa karena percuma berdebat dengan Alex sekarang. Dengan terpaksa ia lanjut memakan makanannya.
Ana menyenggol siku Monica dan mereka saling berbisik merencanakan sesuatu. "Emm gimana kalau pulang sekolah nanti kita main, lo ikut ya Lil," cetus Ana.
Lily berpikir sejenak, ia memikirkan jadwal kegiatannya. "Ohh maaf, aku tidak bisa karena sekarang setiap sore aku mengikuti bimbingan belajar," jelas Lily dengan penuh sesal. Ia segera menyuapkan nasi terakhirnya. "Nah aku sudah selesai makan, aku duluan ya.." pamitnya sembari membereskan buku yang sudah dikembalikan oleh Alex. Ia tidak ingin berlama-lama dengan Aldric.
Mereke dengan kompak menoleh ke arah Aldric yang sejak tadi hanya diam dan menundukkan kepala. Aldric menatap wajah para sahabatnya yang sekarang menatap marah dirinya. Mau bagaimana lagi, ini memang kesalahannya.
Ara yang duduk di samping Aldric hanya diam dan pura-pura buta akan kejadian yang ia lihat meski hatinya menjerit karena sakit.
----------
Di rumah Lily bersikap tidak jauh beda dengan di sekolah. Ares bahkan khawatir akan aktivitas bimbingan belajar Lily yang sangat padat. Ini terlalu berlebihan tapi ia tidak bisa melakukan apapun selain mendukung karena yang Lily butuhkan adalah dukungan.
Arsen dan Nadin mengira cucunya sangat giat belajar karena memang cita-cita cucunya ini adalah kuliah di Jerman. Hanya Ares dan Bian yang mengerti kondisi Lily saat ini, semua ini hanya untuk mengalihkan rasa sakitnya.
Usahanya memang berhasil, sekarang yang ada di pikiran Lily adalah belajar untuk mendapatkan hasil yang terbaik dan bisa kuliah di universitas yang berada di Jerman. Ia ingin pindah ke sana dengan daddynya. Jangan ditanya bagaimana lelahnya Lily, ia sangat lelah karena setiap pulang sekolah ia harus pergi ke tempat bimbingan belajarnya. Belum lagi setiap malam tugas dari sekolah dan bimbingan belajarnya sangat menumpuk. Tapi ia beranggapan bahwa ini adalah pengorbanan untuk menuju kesuksesan.
Sore ini Lily memutuskan untuk belajar di rumah karena badannya terasa tidak enak sejak tadi di sekolah. Ia duduk di depan piano, sudah sebulan ia tidak menyentuh piano ini terhitung sejak masalahnya dengan Aldric muncul.
Jemarinya mengusap setiap tuts piano dengan lembut seolah takut benda ini akan rapuh jika ditekan sedikit. Lily menghembuskan nafasnya dan memejamkan mata, dengan perlahan dari jemari lentiknya ia menghasilkan nada-nada indah yang meggambarkan betapa kacau perasaannya saat ini.
Cairan bening menetes dari matanya yang terpejam. Lily menikmati untaian nada yang ia mainkan sendiri hingga permainannya berhenti.
"Kenapa berhenti? aku ingin dengar lagi," ucap Ares. Kakinya melangkah mendekat dan duduk disamping Lily. "Ini bukan Lily, dia anak yang selalu ceria, aku merindukan Lilyku dan Bian merindukan adiknya," gumam Ares sembari menerawang ke depan.
Lily menoleh pada daddynya, ia menggigit bibir menahan isak. "Kembalilah menjadi Lily yang dulu, kau tau ini sudah sebulan lebih, semua orang merindukanmu sayang," ucap Ares sembari mengusap kepala Lily. Mendengar itu tangis Lily semakin deras, ia segera memeluk Ares.
"Maafkan Lil dad, sikap Lil menyebalkan ya?"
Ares tertawa dan mengajak rambut Lily. "Kalau tau sikapmu menyebalkan jangan dilakukan lagi. Honey seiring berjalannya waktu kau pasti bisa melupakan rasa sakitmu," jelas Ares.
Lily menganggukkan kepala setuju. "Iya daddy kau benar,"
"Itu baru Lilyku, sekarang ayoo lanjutkan," tegas Ares. Lily tersenyum dan mulai melanjutkan permainan pianonya tadi.
---------
Pagi ini Lily melangkah riang menuju kelasnya. Sepertinya hari ini ia harus kembali menjadi Lily yang ceria.
Tiba di ambang pintu kelas matanya melihat Aayang sibuk memainkan ponsel. Dengan mengendap-endap ia berjalan mendekati Ana dan, "DOR!!!" teriak Lily di dekat Ana hingga Ana hampit melempar ponselnya.
"Lily!!! yaampun, untung hp gue nggak jatoh," ucap Ana sembari mengelus dada. Lily tertawa riang melihat Ana kesal. Melihat itu Ana menyadari sesuatu, Ily telah kembali.
Lily meletakkan tangannya lalu menari Ana. "Ayo kita ke kantin.. aku lapar,"
"Tumben, sebulan ini lo sarapan pake buku tebel," cibir Ana.
Lily mengerucutkan bibirnya. "Enak saja," sungut Lily. Mereka berjalan ke kantin sembari mengobrol riang.
Lily mengambil tempat duduk di samping Alex. Ia menyapa Abil yang duduk di hadapannya. "Hay Bil,"
Abil sibuk menoleh ke kanan dan kiri Lily. "Lil buku-buku lo mana?" tanya Abil.
Lily mencibir pelan, lagi-lagi masalah buku. "Mereka aman sentosa di dalam tasku, tidak udah khawatir," jawabnya dengan asal.
Abil menatap horor Lily. "Lo sih, tau nggak? sebulan ini gue hampir liat kepala lo berubah jadi buku!!" serunya.
Lily segera menyentuh pipinya sendiri. "Benarkah? apa wajahku menjadi kotak?" tanya Lily dengan wajah cemas. Abis segera mengangguk sebagai tanda bahwa itu benar.
"Sudahlah, kalian ini.." ucap Alex.
Lily memeletkan lidahnya untuk meledek Abil. Ia beralih pada Alex untuk menceritakan kabar bahagia. "Alex kau harus tau, sekarang semua sudah setuju aku kukiah di Jerman, kak Bian juga sudah mulau mengurus semua.. wahh aku jadi tidak sabar!!" ceritanya dengan penuh semangat karena ia benar-benar senang.
"Woww.. kamu mau kuliah di Jerman?" tanya seseorang yang tiba-tiba sudah bergabung dengan mereka. Ara menunjukan cengirannya saat semua menoleh padanya.
"Yaa rencananya begitu, doakan saja," ucap Lily sembari tersenyum pada Ara.
"Haha pasti aku doain dong, kamu sahabat aku," jawab Ara. Sebenarnya memag ini harapan Ara, mungkin dengan begini Aldricnya bisa kembali. Terdengar egois, tapi percayalah, ketika kau hanya memiliki satu orang yang peduli padamu maka kau akan mempertahankan itu bagaimanapun caranya.
"Al mana Ra?" tanya Abil.
"Tadi masih di kelas, aku bosen jadi ke kantin deh," jawab Ara. Abil mengangguk mengerti dan merekapun lanjut memakan sarapan yang sudah di pesan.
Lily yang sudah selesai segera berdiri dan pamit karena pagi ini ia harus mengembalikan buku perpustakaan.
Bu Nina yang bekerja sebagi penjaga perpustakaan sekolah ini sudah hafal kebiasaan murid kesayangannya ini. "Ingin meminjam buku dan mengembalikan?" sambutnya saat melihat Lily masuk.
Lily tersenyum dan menyalami guru paruh baya dengan kaca mata itu. "Ibu selalu tau tentang saya, ohh iya apa ada buku baru minggu ini?"
Bu Nina tersenyum dan mengambil buky yang dikembalikan Lily. "Ada buku biologi, sastra inggris dan sastra prancis baru, ohh dan ada beberapa novel fiksi, kemarin ibu baru ingat kalau ibu mempunyai lumayan banyak novel dan sekarang sudah tidak dibaca jadi ibu bawa saja kemari, lumayan untuk hiburan anak-anak,"
Mata Lili berbinar bahagia, ia senang mendengar kata novel. "Sepertinya saya akan pinjam banyak hari ini .."
"Haha silahkan saja,"
Lily segera menuju rak-rak buku yang biasanya diisi oleh buku-buku baru. Perpustakaan sekolah ini sangat luas, dan koleksi bukunya juga lumayan lengkap. Sayang sekali murid sekolah ini kebanyakan anti perpustakaan. Mereka lebih memilih
Mata Lilu membulat "Wahh asiknya, terimakasih bu Lili ingin liat-liat dulu yaa" pamit Lili. Ia berjalan menuju rak kusus buku-buku yang baru datang. Wajahnya berbinar bahagia melihat banyak bahan bacaan baru yang datang. Setidaknya bukulah yang bisa mengobati rasa suntuknya. Ketika akan mengambil buku, tangannya ditarik oleh seseorang.
Lili reflek menoleh kearah orang itu "Loh.. Al sedang apa kau disini?"
"Gue sengaja nunggu lo diperpus"
Lili mengerutkan keningnya bingung "Untuk apa Al? apa ada yang ingin kau bicarakan?" pertanyaan Lili barusan membuat Al merasa sakit. Lili bersikap seolah-olah memang tidak pernah terjadi apapun diantara mereka.
Niatan untuk membicarakan hubungan mereka sudah hilang. Al merasa mungkin ini memang sudah berakhir. Ia marah pada dirinya sendiri yang telat menyadari bahwa Lili adalah orang yang dicintainya. Perasaannya pada Ara sekarang sudah berubah, ia menyayangi Ara tapi hanya sebagai sahabat. Yah sahabat karena memang dari kecil Ara sudah menjadi temannya.
"Emm gue itu ehh cuma mau minta tolong ajarin Matematika iyaa itu doang ko" jawab Al dengan gugup. Lili memandang Al dengan tatapan curiga tetapi tidak menanyakannya.
"Ohh baiklah, kapan kau ingin belajar Matematika?"
"Entar aja balik sekolah gue kerumah lo. Sekalian ketemu sama om Ares, udah lama nih gak ketemu"
Lili tersenyum dan mengangguk "Baiklah, sampai bertemu dirumah yaa" ia berbalik dan mengambil buku sastra inggris lalu berjalan keluar perpustakaan.
Al menatap kepergian Lili dengan senyuman "Gue harap kita masih punya kesempatan untuk memulai dari awal Lil" gumamnya. Ia lalu berlari menuju kelasnya karena bel masuk sudah berbunyi.
Lili mengatur debar jantungnya sembari berjalan menuju kelas. Bagaimana mungkin hanya karena bicara dengan Al jantungnya bisa memompa lebih cepat. Ia mulai membuang segala pikiran yang ada diotaknya. Al hanya sahabat itulah kata-kata yang selalu ia tanamkan saat ini.
---
Bel istirahat berbunyi. Al yang memang sudah berencana untuk bicara dengan Ara langsung mengajak Ara keluar kelas. Mereka berjalan kearah taman belakang dalam diam. Ara yang sudah tau akhirnya akan begini hanya bisa diam karena jika ia salah bertindak maka Al akan benar-benar lepas darinya.
Mereka duduk disalah satu kursi taman. Pandangan Al menerawang kedepan, ia bingung harus bicara apa. Ia menghela nafasnya "Aku mau ngomong sama kamu ra" ucap Al dengan ragu.
"Haha kamu aneh banget sih, ngomong aja Al. Kamu mau ngomong apa sama aku? mau ngelamar aku yaa?" canda Ara untuk mencairkan ketegangannya.
Al menggelengkan kepala "Aku serius raa" tegas Al "Maaf kalau aku egois tapi aku.. aku gak bisa ngelanjutin hubungan kita" suara Al terdengar lirih. Ara meneguk salivanya, rasa sakit dikepalanya tiba-tiba muncul tapi ia berusaha menahannya.
"Kamu ngomong apa sih Al, jangan bercanda"
"Aku gak bercanda raa" Al berjongkok didepan Ara "Maafin aku, tapi aku bener-bener gak bisa ngelanjutin ini semua. Aku.. aku udah jatuh cinta sama orang lain" mendengar penuturan Al air mata Ara mengalir deras.
"Kenapa?? apa salah aku? kenapa kamu tega mutusin aku?" tangisan Ara semakin kencang.
"Maaf ra.. maaf.. Aku tau aku salah" sesal Al. Ia memeluk erat Ara dan mengelus rambutnya.
"Karena Lili kan? kamu suka kan sama Lili? Hah tega banget dia ngerebut kamu dari aku" ujar Ara dengan putus asa.
"Dia gak ngerebut aku ra, sadar gak sih kalau semua ini berawal dari kamu. Kamu ninggalin aku begitu aja, kamu itu ngasih goresan luka untuk aku. Lili itu yang ngobatin goresan luka itu sedikit demi sedikit. Sama Lili aku berusaha bangkit dan berubah jadi orang yang lebih baik"
"TAPI AKU NINGGALIN KAMU KARENA MAMA KAMU GAK SETUJU SAMA AKU AL" bentak Ara.
"Iya aku tau tapi kamu juga taukan, aku berusaha berjuang sama kamu, aku berusaha nemenin kamu selama aku mampu. Dan kamu? kamu justru memilih untuk berjuang sendiri ra" isakan Ara semakin deras. "Aku bisa melanjutkan hubungan kita tapi cuma sebagai sahabat ra" ucap Al dengan pelan.
Sakit dikepala Ara semakin parah, ia memegangi kepalanya dan berteriak kesakitan. Al yang melihat itu langsung panik. Ia memanggil nama Ara berkali-kali tapi tidak ada sautan karena Ara sibuk memegangi kepalanya yang sakit hingga ia tidak sadarkan diri. Al langsung membopong Ara dan berlari kearah UKS.
Monica sedang berjalan dikoridor lalu melihat Al berlari dan membopong Ara, ia langsung ikut menyusul Al karena penasaran. Guru yang berjaga di UKS langsung menyuruh Al dan Monica untuk membawa Ara kerumah sakit karena perlu penanganan kusus.
Al menyetir dengan tangan yang bergetar, ia berpikir ini semua salahnya. Seandainya ia tidak membuat Ara tertekan pasti Ara tidak akan begini. Monica mencoba menenangkan Al. "Al tenanglah, kau sedang menyetir jangan sampai kita semua celaka karena kau panik" ucap Monica.
Mereka sampai dirumah sakit dan Arapun langsung ditangani. Monica menelfon teman-temannya agar datang kerumah sakit sepulang sekolah nanti. Al mengacak rambunya prustasi, ini kesalahan fatalnya. Jika terjadi sesuatu pada Ara ini semua salahnya.
Tigapuluh menit kemudian dokterpun keluar. Al langsung menanyakan kondisi Ara lalu dibalas senyuman oleh dokter "Sekarang pasien sudah baik-baik saja, kamu tidak perlu kawatir nak" jelas sang dokter. Al dan Monica menarik nafas lega.
Al menggenggam tangan Ara dan menciumnya "Maafin aku yaa, aku bikin kamu sakit kaya tadi"
Ara tersenyum lemah pada Al "Gak papa, ini bukan salah kamu. Al, kamu harus janji yaa, kamu gak akan tinggalin aku, kita mulai semuanya dari awal Al. Aku yakin pasti kamu bisa cinta sama aku lagi."
"Iya kita mulai semua dari awal, udah yaa gak usah mikirin apa-apa dulu. Sekarang kamu harus tidur," Al merapikan selimut Ara dan megecup keningnya "Selamat tidur, aku keluar dulu yaa." Ara menganggukan kepala dan tersenyum, Al pun keluar dari ruang inapnya. Ia menatap kepergian Al.
"Maafin aku karena aku egois, aku bener-bener gak bisa ngelepas kamu"gumam Ara.
Al keluar dari ruang inap Ara dan melihat teman-temannya sudah datang termasuk Lili. Mereka langsung menyerbu Al dengar pertayaan mengenai kondini Ara.
"Ara baik, sekarang dia lagi istirahat. Gue ke toilet dulu yaa" dengan wajah lelah Al menjelaskan pada teman-temannya. Ketika melewati Lil ia sempatkan untuk melirik sedikit lalu berjalan kembali. Lili melihat wajah lelah Al, sebenarnya ia ingin menghibur tapi lebih baik ia menjaga jarak dengan Al sampai ia benar-benar mampu mengontrol perasaanya.
Lili memutuskan untuk berjalan-jalan disekitar rumah sakit. Ketika sedang asik berjalan tiba-tiba ada menyenggol bahunya hingga membuat Lili oleng dan terjatuh.
"Ohh maaf aku tidak sengaja" seru seorang pria yang baru saja menyenggol bahu Lili.
Lili mendongakkan kepala dan terpaku melihat mata itu. Mata yang sebiru lautan, ia selalu menyukai warna mata biru rasanya seperti ingin menyelami mata itu.
"Hayy kau tidak papa?" tanya pria itu kembali.
"Matamu berwarna biru" gumam Lili. Pria itu mengerutkan kening lalu sedetik kemudian ia tertawa.
"Haha iya mataku berwarna biru. Dan ini asli jika kau ingin menanyakannya" mendengar jawaban pria itu kesadaran Lili langsung kembali,wajahnya memerah menahan malu.
"Emm maaf tadi aku terlalu terkesima melihat matamu, oh iya kau bukan dari Indonesia?"
Wajah tampan pria itu mengembangkan senyum indah "Ibuku dari Indonesia tapi ayahku dari.."
"DARREN CEPATLAH... kau ini sempat-sempatnya menggoda gadis" omel wanita paruh baya itu. Wanita itu menoleh pada Lili "Maaf yaa anak tante ini memang genit." Lili tersenyum ramah dan mengangguk.
"Mommy aku tidak genit" rengek Darren. Lili menahan tawanya saat melihat wajah Darren yang merajuk.
"Huhh mom tidak percaya tuh. Oh iya nak kami permisi yaa.. Kami sedang buru-buru" pamit wanita itu lalu berjalan sembari menarik tangan Darren.
"NAMA MU SIAPA? AKU DARREN. SEMOGA KITA BISA BERTEMU LAGI YAA" teriak darren.
"AKU LILI... IYA SAMPAI BERTEMU LAGI" balas Lili. Orang yang berada disekitarnya menatap Lili dan Darren dengan pandangan aneh.
-----
Ares sedang sibuk dengan dokumen restoran yang ia dirikan tetapi sudah ditinggalkan cukup lama. Beruntung ada keluarganya yang menggantikan tugas Ares selama ia sakit. Ia mulai mempelajari semuanya kembali, yahh inilah cara agar ia bisa segera sembuh. Ia harus kembali pada rutinitasnya seperti biasa.
Minggu besok ia berencana untuk mengunjungi restoran dan cafe yang berada di Indonesia. Lalu jika tidak ada hambatan bulan depan ia akan ke Aussie untuk mengontrol usahanya yang berada disana.
Ponsel Ares berdering menandakan telefon masuk. Ia melihat layar ponselnya dan nama Bian terpampang disana. "Halo Assalamualaikum nak ada apa?" tanya Ares.
"Waalaikumsalam daddy, dad apakah Lili sudah pulang?"
"Belum, ia tadi mengabari akan pulang terlambat karena mampir kerumah sakit?"
"APA?? kerumah sakit? Lili kenapa daddy, apakah Lili sakit?" tanya Bian dengan kepanikan yang tinggi.
Ares tersenyum maklum, anaknya ini memang protektif sekali menyangkut soal adiknya "Tenanglah Bian, adikmu tidak apa-apa. Ia hanya menjenguk temannya yang sakit"tutur Ares. Mendengar jawaban itu Bian langsung mengambil nafas lega.
"Huhh sukurlah, haha yasudah dad Bian hanyaa ingin menanyakan Lili. Bye dad Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam," Ares mematikan telfonnya. Ia kembali pada rutinitasnya, melihat isi dokumen yang memusingkan. Secangkir teh menjadi solusi, ia bergegas kedapur untuk membuat teh. Hari ini Novi asisten rumah disini memang sedang izin, jadi yang ada dirumah hanya Ares.
Ares kembali keruang keluarga dengan secangkir teh ditangannya. Ia baru saja akan duduk tetapi bel pintu rumah berbunyi. Ares pikir itu Lili, ia langsung berjalan memuju pintu dan membukanya.
Alangkah terkejutnya Ares melihat dua orang ini, rasanya sudah lama tidak pernah bertemu. Kedua orang itu tersenyum pada Ares.
"Mama, Fandra," sapa Ares dengan senyuman.
**********
Nahhhhh si duo udah nongol tuhhh, enaknya kita apain yaa?
Ok cukup sekian dari saya#pidatodong
Intinya sampai jumpa dipart selanjutnya :* :* :*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top