Pagi yang sejuk dan menenangkan setelah semalam di guyur hujan deras. Fira tengah berdiri di taman belakang rumah. Ia memejamkan mata sembari menghirup bau tanah dan juga rumput basah.
Mengingatkannya pada suasana pedesaan yang asri. Mengingatkannya saat mereka kecil dulu. Kak Angel, Adrian, Alan dan dirinya yang bermain kejar-kejaran di bawah hujan.
"Fira."
Fira membuka mata dan menoleh ke arah tantenya.
"Iya tante." kata Fira.
"Apa kamu benar-benar ingin pindah ke apartemen?" tanya nyonya Hadinata.
Fira mendekati tantenya yang duduk di sebuah kursi panjanh yang terbuat dari anyaman bambu.
"Maaf tante." ucap Fira menyentuh tangan tantenya.
"Kamu nggak sayang lagi sama tante." tanya tantenya.
"Fira selalu sayang sama tante. Tante pasti nggak akan kesepian lagi. Setiap akhir pekan Adrian dan....istrinya pasti menjenguk tante kemari. Apalagi sebentar lagi akan ada cucu tante, iya kan?" kata Fira.
Nyonya Hadinata mengusap kepala Fira dengan penuh kasih sayang. "Buka hatimu untuk orang lain, dengan begitu kau akan melupakan cinta yang sebelumnya kau puja." sarannya.
"Mungkin tante, suatu saat nanti." ucap Fira.
"Kapan kau akan pindah?" tanya tantenya.
"Nanti malam. Pakaian dan barang-barangku sudah di apartemen semua." kata Fira.
"Baiklah. Jangan sungkan menghubungi tante."
"Tentu saja tante." jawab Fira memeluk tantenya.
***
"Dioooooooonnnnn."
"Ya Tuhan." gumam Dion menarik selimutnya lebih tinggi dan semakin meringkuk di atas ranjangnya. Suara lantang yang memanggilnya di luar tidak membuatnya serta merta membuka matanya.
Brak.
Pintu kamar terbuka kasar. Seorang laki-laki berumur hampir menyamai usia bangsa Indonesia itu berjalan dengan langkah tegas ke arah ranjang tempat Dion bergelung.
"Ayo bangun, dasar pemalas." suara renta itu terdengar menyakitkan di telinga Dion.
"Ini hari minggu kakek, aku masih ingin tidur." sahut Dion dari balik selimutnya.
"Ayo bangun, temani kakek main golf." ucap kakeknya. Generasi kedua dari keluarga Winata.
"Biasanya juga sama ayah."
"Ibumu tidak mengijinkannya. Ayo bangun, kakek beri waktu dua puluh menit untuk siap-siap. Kalau tidak maka silsilah keluarga Winata hanya akan sampai di generasi ketiga." ancam kakeknya sebelum meninggalkna kamar Dion.
"Kakeeeeeeeeeekkkkk." teriak Dion kesal.
Hahahahaha. Kakek Winata tertawa di balik pintu.
Dua puluh menit kemudian Dion dengan pakaian golfnya turun dan menghampiri penguasa Winata yang tengah duduk di ruang tamu bersama ayah dan ibunya.
"Sudah siap?" tanya kakek Winata.
"Iya." jawab Dion malas.
"Temani kakekmu, jangan biarkan dia sendiri, ibu nggak mau ya salah satu cady itu datang ke rumah ini minta di nikahin sama kakekmu." pesan ibunya.
"Ayolah sayang itu tidak akan terjadi." kata kakek Winata pada menantunya.
"Iya sayang jangan berlebihan." ucap Andy Winata.
"Ya ya ya like father like son. Aku kalah terus." gerutu Maria. Bagaimana bisa menang kalau mertua dan suaminya bersekongkol seperti ini.
"Ayo kek kita berangkat. Lebih cepat kita pergi lebih cepat juga pulangnya." kata Dion.
"Lihat saja nanti, kalau kamu sudah bertemu dengan cady-cady yang cantik itu kamu tidak akan mau pulang." kata kakek Winata.
"Ayaaaaaaaahhhhhh." teriak Maria yang masih bisa mendengar ucapan ayah mertuanya.
Brak.
Pintu ruang depan langsung tertutup keras.
"Lihat ayah itu, semakin tua ada-ada saja ulahnya." omel1 Maria.
"Biarkan saja, biar ayah senang, daripada dia sakit terus yang harus merawatnya kamu saja sayang." kata Andy pada istrinya.
"Ya Allah, nggak yah, aku nggak mau, capek minta ini itu bikin pusing." kata Maria.
Ayah mertuanya itu kalau sakit pasti sangat cerewet dan sebagai menantu satu-satunya dialah yang paling di repotkan.
"Kalau begitu biarkan saja." kata Andy.
"Mau bagaimana lagi. Ya sudah, aku ke dapur dulu." ucap Maria meninggalkan suaminya di ruang tamu.
Andy Winata menggelengkan kepalanya dan meraih koran di atas mejanya.
***
"Kakek, caranya salah." seru Dion.
"Nggak mungkin salah. Kamu saja yang nggak bisa." balas kakek Winata.
"Bastono."
Kakek Winata menoleh ke arah suara yang memanggilnya. Senyumnya melebar begitu melihat wanita yang memanggilnya.
Kakek Winata meninggalkan Dion begitu saja di tengah lapangan.
"Hhhhh." Dion mendesah pelan kemudian mengikuti sang kakek.
"Inggit, ku pikir kau tidak jadi datang." kata kakek Winata.
"Maaf aku terlambat. Aku menunggu Rere dulu." kata wanita yang di panggil dengan nama Inggit itu.
"Maaf kakek, tadi Rere bantu mama dulu di dapur." ucap Rere.
"Tidak apa-apa sayang. Kamu memang gadis yang baik." ucap kakek Winata.
Dengan langkah malas-malasan Dion menghampiri kakeknya.
"Dion," seru Rere dengan tatapan tidak percaya dan juga senang begitu Dion sampai tepat di samping kakeknya.
"Re...re." ucap Dion ragu.
"Kalian saling mengenal?" tanya Inggit.
"Iya nek, kami satu kampus." ucap Rere mengangguk senang.
"Dia siapa Bastono?" tanya Inggit pada Bastono Winata.
"Oh perkenalkan, namanya Dion. Dia anaknya anakku." kata kakek.
Dion memutar bola matanya malas dan Rere tidak bisa menyembunyikan tawanya.
"Bilang saja cucu." kata Dion selanjutnya membuat sang kakek tertawa.
"Kamu ini masih saja suka bercanda." kata Inggit kemudian.
"Ya sudah, kakek sama nenekmu mau main golf dulu. Kalian kan payah, ngobrol saja di situ." kata kakek yang langsung menuju ke tengah lapangan bersama Inggit. Inggit Setiadji dan Bastono Winata adalah sahabat lama.
"Mereka seperti anak muda." ucap Rere membuka obrolan mereka.
"Kau sudah sering kemari?" tanya Dion. Mereka tengah duduk di kursi yang tersedia di sana.
Mereka bisa memperhatikan kakek dan nenek mereka yang tengah asyik bermain sambil tertawa.
"Iya. Aku selalu menemani nenek kemari. Aku baru tahu kalau kakek Bastono adalah kakekmu." kata Rere.
"Biasanya ayah yang menemani kakek. Tapi kakek tadi memaksaku." keluh Dion.
"Mereka lupa sama penyakit mereka kalau sudah bermain golf." ucap Rere.
"Sepertinya begitu." kata Dion.
"Oh ya, boleh minta id line_nya?" tanya Rere.
"Tentu saja." jawab Dion. Merekapun bertukar nomor id line.
"Aku tidak pernah melihatmu di kampus?" tanya Rere.
"Oh itu, aku memang sedang cuti. Ayah memintaku untuk belajar di kantornya." kata Dion. Rere menganggukkan kepala tanda mengerti. Mereka terlibat perbincangan seputar kampus dan teman-temannya.
"Bagaimana menurutmu?"
"Sepertinya mereka cocok." jawab Inggit.
"Iya, mereka terlihat sangat cocok. Apa kau tidak mau mereka menjadi lebih dekat?" tanya kakek Winata.
"Maksudmu?"
Inggit tidak meneruskan ucapannya ketika melihat Bastono mengangguk pasti.
"Tentu saja." jawab Inggit dengan senyum di wajahnya.
🐄🐄🐄
Halooooooo guys,
Rasanya lama bets ya gk ketemu abang Dion heeeee
Moga part ini bisa ngobatin rindu walopun sedikit
Folow IG : Dewie Sofia
Kalo nggak keberatan 😊😊😊
Luph you pul 😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top