Bab 8
Memperhatikan Darren nyaris saja membuatku luluh. Menarikku untuk membalas perasaannya, meruntuhkan benteng yang kubuat. Tidak tahu, padahal dia teramat menyebalkan. Selalu menarik uratku ketika bersamanya. Ah, bahkan di saat tidak bersamanya pun dia selalu berhasil membuatku menahan geram. Meski tidak jarang dia membuatku tersenyum diam-diam dengan sikap manisnya. Sikap, bukan mulut. Karena mulutnya sepertinya dia kehilangan kanpas untuk mengerem kata kotor untuk tidak terucap. Apalagi kalau sedang berbicara dengan temannya.
Aku tersenyum kecil, menghempaskan tubuh di tempat tidur seiring dengan lepasnya napas panjang dari hidungku. Lagi, memikirkannya bukan kesal yang datang. Tapi sebuah rasa asing yang membuat mataku enggan untuk terpejam. Semua gara-gara Darren. Ini bahkan sudah lewat tengah malam.
"Kenapa harus kamu yang mampir di kehidupanku?" lirihku sambil menautkan jari dan meletakkannya di dada. Mataku masih segar menatap langit-langit. Kalau saja dia tahu apa yang kulakukan, aku tidak menjamin kalau dia akan diam dengan kalem. Pasti dia akan jingkrak-jingkrak karena senangnya.
"Nad,"
Suara lirih itu membuatku tertawa kecil. Sebegitu besarkah pengaruh Darren? Suaranya bahkan enggan beranjak.
"Nada, buka pintunya," lirihnya lagi bercampur dengan suara hujan di luar.
Aku semakin terdiam, mulai waspada. Kuharap ini hanya sebuah ilusi. Bukan pada kenyataannya. Lagipula untuk apa setan kecil itu datang lewat tengah malam? Tubuhku mulai beringsut merapat ke tengah tempat tidur.
"Nad, tolongin," katanya lagi. Kali ini disertai dengan ketukan pelan pintu rumah.
Tidak tahu siapa yang iseng. Hanya sedikit beruntung dengan gorden tipe black out yang kupilih untuk menghiasi jendela kamarku.
"Nada, bangun, Nad,"
Aku merapatkan mata. Kali ini menutup telinga. Tidak mungkin kan hantu datang begitu getol membangunkan orang. Yang kutakuti adalah orang iseng. Bagaimana kalau aku diperkosa atau lebih buruk lagi itu motif perampokan?
Tapi mendengar suaranya, jenis suara merintih tercampur dengan menggigil. Aku membuka mata seketika lalu beranjak, menyibak sedikit gorden demi mengintip, memastikan siapa yang berdiri di depan pintu.
Sosoknya tertunduk basah kuyup dengan jaket yang kukenali. Tidak berpikir panjang mengapa dia datang lewat tengah malam. Tanganku langsung menggeser selot pintu, mendapati dia menggigil pucat menatapku sendu.
"Darren? Darren, kamu kenapa?" tanyaku meragu. Antara mendadak khawatir dan takut. Takut jika itu bukan Darren seperti yang kulihat. Duh, film horor membawa pengaruh buruk bagiku saat ini.
Dia hanya diam menatapku. Aku melihat tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Membuatku yakin jika dia datang dengan keadaan tidak baik.
"Ini lewat tengah malam, sebaiknya kamu pulang, Darren. Keluyuran tengah malam cuma bikin orangtuamu cemas."
"Mereka enggak. Tapi kamu iya kan?" katanya lirih, menyimpan serak.
Aku terdiam, menatapnya lebih dalam. Ada getir yang dia simpan sendiri, membuat lidahku kelu. Tidak ada kekonyolan dan sikap menyebalkan yang biasa kudapatkan. Mulut kotornya pun tidak terlihat malam ini. Hanya sesosok ringkih yang bersembunyi di balik sikap buruknya.
"Darren," panggilku pelan.
"Kamu khawatir sama aku kan, Nad? Kamu sayang sama aku kan?" katanya parau sebelum dia menghambur, mendekapku erat. Tanpa mempedulikan dirinya yang basah kuyup.
Apa yang dia lakukan membuatku limbung, kehilangan kesadaran untuk sesaat. Sebelum sesak menyadarkanku kembali.
"Hei, ada apa?" tanyaku melembut, mengesampingkan semua rasa takut yang tidak beralasan.
Dia menguraikan pelukannya. Aku melihat dia bersusah payah menghela napas panjang. Matanya merah, lengkap dengan menahan hawa dingin dari hujan dan basah tubuhnya.
"Oke, kamu bisa cerita nanti. Masuk dulu, semoga aja nggak ada masalah setelah ini," ujarku meraih tangan dinginnya yang sudah mengeriput.
Dia menurut, duduk di kursi rotan. Sementara aku sibuk membuka lemari, mencari handuk dan kaos. Aku meringis, menoleh padanya.
"Kaos cewek," kataku membuatnya mengangkat wajah tersenyum lemah.
"Piyama aku muat kan? Ngepas tapi, nggak apa-apa ya daripada kamu dingin nanti sakit. Nggak lucu juga kalau kamu pake kaos cewek punyaku," kataku sambil menghampirinya. Masih untung piyama yang kupunya tidak bermotif dan warnanya netral. Coba saja kalau warna pink.
"Nad,"
"Keringin badan kamu dulu. Nanti aja ngomongnya. Suka susu nggak?"
"Makasih, Sayang," lirihnya tersenyum tipis.
Aku menjawab 'ya' tanpa suara sambil menepuk lembut pipinya. Dia menarik napas panjang sebelum beranjak ke kamar mandi. Mataku tidak bisa berhenti menatap punggungnya.
"Nad,"
"Hei, udah selesai? Minum dulu," kataku menoleh sambil mengangkat segelas susu hangat, menghampirinya. Seperti dugaanku, piyama milikku melekat sangat pas di tubuhnya. Malah celananya bukan lagi model celana panjang. Celana 7/8.
"Makasih," katanya dengan senyum dipaksakan. Dia menerima gelas itu tanpa banyak protes seperti biasanya. Menyesapnya perlahan sambil berjalan ke kursi rotan yang agak basah karenanya tadi.
"Kamu kenapa tengah malam dateng ke sini?" tanyaku membuka pembicaraan setelah aku memastika dia sudah sedikit baik.
"Nad,"
"Ya?"
"Kamu sayang aku nggak?" tanyanya pelan lengkap dengan tatapan sendunya.
"Memangnya kenapa?" tanyaku mengernyit.
Dia tertawa lirih lalu menghela napas beratnya. Meletakkan gelas susunya ke meja. Sementara dia kembali diam. Ini, bukan sosok Darren yang kukenal.
"Darren."
"Aku tahu, Nad. Nggak ada yang sayang sama aku. Termasuk kamu. Nad, emang aku nggak boleh kayak yang lain? Aku,"
"Jangan bikin aku sedih malam-malam. Pasti ada kok orang yang sayang sama kamu," potongku sedikit tercekat.
"Semua orang pasti bilang begitu, Nad. Aku sampai bosan dengernya. Nyatanya enggak ada yang sayang. Aku, Darren, siapa? Nggak penting. Tukang bikin masalah," katanya tertawa sinis. Nadanya kental dengan sesak yang dia tahan.
"Kalau gitu, mulai sekarang, aku satu-satunya orang yang sayang kamu," sahutku tanpa pikir panjang.
"Nad?"
"Iya, kamu harus ingat itu. Mulai detik ini, aku satu-satunya orang yang sayang sama kamu. Nggak perlu sedih."
"Aku capek pura-pura, Nad. Pura-pura bahagia dengan keluarga yang kupunya," katanya tanpa bisa menyembunyikan getarnya.
Dia menatapku, menahan kelu. Sikapnya membuatku memaksakan senyuman tipis, mencoba meraih tangannya untuk kugenggam. Dalam diam aku menarik napas dalam-dalam ketika dia pada akhirnya menjatuhkan kepalanya di bahuku.
"Janji ya, Nad. Kamu mau terus sama aku, dukung aku. Kamu nggak akan matahin aku kan, Nad?"
"Cuma perlu kamu ingat, Darren. Kalau nanti nggak ada orang yang sayang sama kamu, masih ada aku yang selalu sayang kamu. Mulai saat ini."
Dia diam. Tapi tangannya membalas gengaman tanganku, bahkan lebih erat. Nanti akan kutanya ada apa sebenarnya.
***
Tbc
9 agustus 2018
S Andi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top