Bab 6

Mendengar suara ketukan pintu itu, membuatku mengatupkan mulut. Seharusnya aku tidak melupakan kalau Darren adalah pria pantang menyerah, paling nekat yang pernah kukenal. Tanganku menyibak sedikit tirai gorden, menahan napas sesaat mendapati dia dengan senyum berseri setelan rapi.

Aku membuka pintu dengan enggan. Sepagi ini dia sudah sangat rapi. Sementara aku baru mau mandi. Tidak tahu kenapa dia begitu semangat.

"Hai," sapanya tersenyum lebar.

"Hei!"

Bukan menjawab sapaannya. Tapi segera mendorong wajahnya menjauh dengan cepat ketika dia ingin menciumku. Membuat dia memberengut.

"Saya bukan bebek yang bisa kamu sosor begitu saja," dengusku memberikan pelototan sebal padanya.

"Pacar, Nad," jawabnya masih berusaha menciumku.

"Pacar menurutmu," sahutku meninggalkannya.

"Morning kiss, Nad," katanya mengekori langkahku.

"Morning sick!"

Dia mendengus lalu menjatuhkan tubuh ke kursi rotan beralas busa.

"Nggak ada romantis-romantisnya sama pacar sendiri," gerutunya.

"Nyesal kenal kamu. Pervert!"

Seharusnya aku tahu watak cowok tengil itu. Dia hanya menyeringai tanpa merasa berdosa.

"Nad, kamu mau bawa tas yang mana?" seru Darren tapi terdengar samar karena kalah dengan suara kran yang menyala.

"Nad!"

Aku menggeram dalam hati. Kali ini dia menggedor pintu kamar mandi. Astaga, apa dia tidak bisa menunggu sebentar saja? Aku mendengus seraya mematikan keran.

"Apa?" sahutku galak. Tidak tahu, berada di sekitarnya membuat tensiku mudah naik.

"Kamu mau bawa tas yang mana?" tanyanya tanpa terpengaruh nada galakku.

"Nggak tahu. Nanti aja," jawabku kembali menyalakan kran air.

"Kamu pakai baju apa emang?"

Demi Tuhan, dia masih di depan pintu kamar mandi. Memangnya untuk apa dia bertanya aku mau pakai tas yang mana, baju apa?

"Hemmm! Tas hitam," sahutku akhirnya.

"Hitam kan banyak, Nad. Ada yang ransel, handbag. Handbag kamu juga banyak modelnya," jawab Darren.

Tanganku meremas botol sabun. Dia sudah meneliti rak tasku. Dan, dengan detail.

"Yang mana aja!"

"Ya udah, aku yang milihin ya?"

Terserah, Darren! Erangku dalam hati. Aku menghempaskan tubuhku ke dinding. Ini baru di pagi hari. Entah tidak tahu bagaimana nanti sore hari ketika aku pulang kerja.

Aku bergidik membayangkan runyamkan keadaan nanti sore. Kemudian bergegas melanjutkan mandiku sebelum aku terlambat ke kantor. Jakarta macet tidak pandang waktu. Sesaat kemudian aku keluar dari kamar mandi sudah rapi dengan blouse putih dan celana kulot warna hitam.

"Kamu mau sarapan dulu nggak?" tanya Darren menyambutku dengan tatapan takjubnya.

"Enggak. Nanti saya sarapan di kantor aja," jawabku sekenanya sambil meletakkan handuk di gantungan stainless depan kamar mandi.

"Ya udah, bekal aku, kamu bawa aja," katanya membuatku menoleh.

Bekal? Aku mendapati dia mengeluarkan kotak makanan dari dalam tas ranselnya lalu beranjak menuju ke tempat tidurku. Hal yang membuatku kehilangan seluruh daftar kosakata dalam ingatanku adalah melihat tas hitam di atas tempat tidur dan flatshoes warna hitam di bawah, samping tempat tidur. Dia menyiapkannya untukku dengan senyum bangganya.

"Darren,"

"Tenang aja. Aku bawa dua kok. Sengaja, yang satu buat kamu. Tadinya mau sarapan bareng. Tapi kamu mau sarapan di kantor. Ya udah enggak apa-apa. Dimakan ya nanti," katanya.

Sikap manisnya membuat sosok Darren yang tengil, sering membuat tensi darah naik, lenyap dalam sekejab. Aku mengerjabkan mataku, masih tidak bisa berkata-kata. Langkahku pelan menghampirinya.

"Nih. Benar kan aku bawa dua," katanya memamerkan satu kotak lagi miliknya.

"Darren, kamu sehat?" tanyaku pelan.

"Aku udah masukin ponsel kamu ke tas kamu biar nggak ketinggalan kayak kemarin. Ya udah kamu belum dandan kan? Aku tungguin. Jangan lama-lama nanti kamu telat," katanya tanpa menjawab pertanyaanku.

"Darren."

"Biar kamu tahu, kalau aku pantas jadi pacar kamu," katanya menyeringai lalu kembali duduk dengan santai di kursi rotan. Kan, keluar lagi sikap menyebalkannya, dengusku dalam hati kemudian beranjak menuju ke meja rias.

***

Sepanjang perjalanan aku terus berpikir. Melihat apa yang dia lakukan tadi, sebenarnya dia anak baik. Tapi kenapa dia begitu mudah membuat orang kesal.

"Eh, ngojek? Ya ampun, man, nyampe segitunya. Kuliah urusin dulu ngapa?!" ledek seseorang ketika berhenti di lampu merah. Seorang cowok, sepertinya teman kuliahnya dengan motor vespa masa kininya.

"Bangke! Siapa yang ngojek! Pacar gue, Bege!" sahutnya tidak terima membuat cowok itu tergelak tawanya.

"Baek-baek laler masuk," ucap Darren kemudian melajukan motonya.

Bangke! Aku sedikit terkejut dengan satu kata itu. Bahasa yang tidak sopan keluar dari mulut Darren. Cerminan anak jaman sekarang tidak memandang pendidikannya sejauh mana. Mereka bilang itu bahasa gaul. Aku tahu itu, tapi aku tidak bisa memungkiri kalau tidak nyaman dengan kata itu.

"Darren," panggilku setelah beberapa saat terdiam.

"Ya, Nad."

"Emang kamu biasa ngobrol sama teman bahasanya kasar kayak gitu?" tanyaku hati-hati.

"Kasar gimana?" Aku melihat Darren mengernyit dari kaca spion.

"Itu tadi kamu bilang bangke," kataku.

Dia tertawa, "Itu? Itu udah biasa kali, Nad. Becandaan aja."

"Tapi nggak bagus, Ren. Kamu kan kuliah, sekolah, masa bahasanya kayak anak nggak sekolah?" omelku.

"Iya, maaf."

"Besok-besok jangan. Hindari kata-kata sejenis itu. Cobalah buat sekolah yang nggak hanya sekedar sekolah. Di luar sana masih banyak yang pengen sekolah."

"Iya, Nad, Pacarnya Darren," katanya lembut.

Nadanya saja yang lembut. Tapi kata-katanya membuatku mengerang dalam hati, gemas ingin mencakar punggungnya. Dia begitu bangga menyebutku pacarnya Darren.

"Sampai. Kamu kerja yang benar. Jangan lirik-lirik cowok lain. Kamu udah punya pacar sekarang," pesannya ketika dia menghentikan motornya di tepi jalan dekat gedung perkantoran tempatku bekerja.

"Pacar?"

"Iya, ini," katanya menunjuk pada diri sendiri, "Nanti sore aku jemput. Mungkin telat sedikit. Mau ngerjain tugas dulu. Tungguin jangan pulang dulu. Awas aja."

"Hm!" sahutku singkat kemudian beranjak meninggalkannya.

"Nad!" serunya menghentikan langkahku.

"Apa?" ketusku menoleh, berhenti dari langkah.

"Love you. Sampai nanti," serunya meringis lebar.

Aku mengatupkan rahang, menghentakkan kaki menahan kesal. Masalahnya dia teriak sampai orang-orang memperhatikan dirinya. Tentu saja aku juga ikut diperhatikan. Oh, Tuhan. Kenapa harus Darren? Memangnya tidak ada yang lain? Pegawai bank atau Boss sekalian biar seperti novel-novel picisan.

"Mudah-mudahan langgeng," bisik Kania menjajari langkahku.

"Kania," geramku tertahan

"Nggak ada salahnya dicoba. Darren nggak seburuk itu kok. Dia anak baik, cuma sedikit nyebelin," katanya Kania tersenyum meyakinkan.

Sedikit menyebalkan katanya. Aku mendengus. Lalu yang banyak yang seperti apa? Membuat orang kejang-kejang?

"Serius, Nad," kata Kania mengejar langkahku.

"Aku juga serius. Serius, dia sangat menyebalkan!"

"Ati-ati nanti kamu cinta mati," ledek Kania.

Hmmm! Aku mengepalkan tangan, menahan geram kemudian melangkah cepat meninggalkan Kania. Sepertinya untuk saat ini, dekat-dekat dengan Kania bukanlah hal yang bagus.

***

Tbc

Hehe, ini udah lama banget ga aku lanjutin. Mungkin pada lupa, ya udah baca dari awal lagi aja biar inget lagi😂😂😂

28 Juli 2018
S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #romance