Aku memijit keningku, berusaha membunuh rasa bosan hari ini. Aku merasa cukup kehilangan akal untuk menghindari seorang Darren. Setelah kemarin aku gagal bebas darinya, hari ini aku memutuskan untuk meninggalkan ponselku di rumah. Apa yang terjadi pada akhirnya? Aku merasakan kebosanan yang tiada tara. Aku termasuk tipe orang yang kecanduan gadget. Bukan untuk eksis di sosial media. Tapi aku betah untuk sekedar menonton drama atau membaca artikel-artikel menarik di sana.
Aku merasa ada sesuatu yang kurang. Beberapa kali aku mencoba untuk menyibukkan diri dari pekerjaan tapi ketika ada waktu senggang sedikit, aku kembali merasakan kebosanan itu. Kali ini aku melirik jam di mejaku. Lima menit lagi, gumamku bersorak sekaligus tidak sabar untuk segera pulang. Ada sebuah kelegaan ketika seharian ini tidak mendapatkan gangguan-gangguan dari bocah kecil itu. Tapi ada juga rasa kebosanan karena seharian ini aku harus menghabiskan waktu tanpa gadget di tangan. Aku bahkan menghindari Kania hari ini. Tidak mengapa. Ini yang kuinginkan. Menikmati waktuku untuk sendiri.
Maka ketika jam menunjuk tepat pada penghabisan jam kerja, aku segera melesat. Ingin segera pulang dengan drama-drama asia yang menungguku di rumah. Sebuah angan-angan yang indah. Sempurna. Aku bahkan tidak tertarik dengan secangkir kopi di sore hari untuk hari ini.
"Nad! Nada!"
"Aku pulang dulu! Bye, Kania!" seruku membalas panggilan teriakannya tanpa berhenti lagi langkah cepatku bahkan sedikit berlari.
Aku tidak mempedulikan sahutan Kania lagi. Kakiku rela berlari menuruni tangga daripada mengantri Lift. Begitu sampai di lobi, aku mengurangi kecepatan langkahku, mengatur napas karena langkah cepatku.
Aku tidak mempedulikan keramaian sekitar. Fokusku hanya untuk sampai di rumah dengan segera. Sampai pada akhirnya aku menegang kaku. Aku tidak bisa menggambarkan bagaimana rasa keterkejutan yang teramat sangat ketika seseorang menubrukku untuk memeluk erat.
Dia. Aku kehilangan kesadaran untuk sejenak ketika Darren memelukku erat di tengah keramaian karyawan pulang kantor. Entah, aku merasakan bagaimana dia dengan kecemasannya juga kekesalannya. Segenap frustrasi di dalam dirinya tidak aku lewatkan.
"Kamu kenapa?" sebuah pertanyaan yang muncul begitu saja ketika dia tak kunjung melepaskan pelukannya padaku. Malah dia mengeratkan pelukannya. Aku bahkan bisa merasakan degup kencang jantungnya.
"Kamu yang kenapa? Aku telfon berkali-kali nggak kamu jawab. Pesan aku nggak kamu balas. Malah terakhir nomor kamu nggak aktif. Kamu nggak tahu gimana pikiranku. Hari ini kamu sudah buat perasaanku nggak karuan. Aku udah berpikir tentang kamu yang nggak-nggak!" ucapnya emosional. Napasnya pun memburu.
Aku termenung. Ini pertama kali aku mendapatkan reaksi yang, jujur, aku tidak tahu kenapa, berhasil membuatku tersentuh. Ada rasa tercekik di tenggorokanku. Aku tidak bisa melarang tanganku untuk bergerak melingkupi punggungnya. Tanganku bergerak secara alami mengusap-usap punggungnya seperti sedang menenangkan. Aku melakukannya tanpa memikirkan keadaan sekitar.
"HP saya ketinggalan," ucapku pelan bernada ragu yang tidak kututupi. Aku yang sengaja meninggalkannya. Tapi aku tidak pernah berpikir jika akan berakibat seperti ini.
"Emangnya kamu kesiangan sampe kamu lupa nggak bawa HP? Iya?" Dia merenggangkan pelukannya, demi menatapku lekat-lekat tanpa meninggalkan kekhawatirannya.
Aku tersenyum tipis, membiarkan satu tangannya menyisiri rambutku lalu merangkum lembut wajahku. Mendapati tatapan sendunya membuatku jadi tidak enak hati.
"Iya. Makanya saya buru-buru tadi pagi," ucapku berbohong.
"It's okay. Mulai besok pagi, aku janji, jemput kamu pagi-pagi biar kamu nggak telat. Biar kamu nggak lupa bawa HP kamu. HP itu penting. Kalau kamu ada apa-apa, gimana kamu bisa ngasih tahu aku?"
Aku terbungkam. Hanya bisa membalas tatapannya. Ada ketulusan di sana yang sengaja tidak kulihat. Sementara ibu jarinya mengusap-usap pipiku.
"Darren, tolong," ujarku meminta agar dia tidak terlalu berbuat banyak ketika aku menyadari sedikit lagi dia akan membuatku goyah.
"Nad, please. Aku ikhlas mau apa aja yang penting aku tahu kamu baik-baik aja. Aku khawatir sama kamu. Aku nggak bisa konsen kuliah atau kerja kalau nggak tahu gimana kamu hari ini."
Aku menundukkan kepala, menarik napas dalam-dalam. Kemudian menatapnya lagi. Demi apapun, entah apa yang sudah Darren lakukan, kali ini aku berlaku selayaknya pacaranya. Tanganku beralih, bertumpu di dadanya. Sementara mata kami saling menatap.
"Oke. Maafkan saya," ucapku pada akhirnya. Sungguh ini kalimat yang kuucapkan tanpa sadar. Dia meluncur begitu saja dan aku malah menemukan senyuman tulus di wajah bocah itu. Ini sebuah drama di Lobi kantor dengan banyak pasang mata menonton kami dan lucunya aku tidak mempedulikan itu.
"Iya. Aku cuma pengen pacar aku baik-baik aja. Aku udah marah-marah tadi sama Kak Kania. Tolong ngertiin aku," ujarnya yang hanya kusambut dengan senyuman tipis.
"Pengertiannya aja, Nad! Maklumin ya Darren, efek kelamaan jomblo emang suka gitu. Banyak-banyak sabar aja kalau sama Nada," celetuk seseorang. Seketika menyadarkanku dari drama dan itu membuatku mengambil jarak.
Aku hafal siapa pemilik suara ini. Si mulut lemes teman satu divisiku, Rizal. Yang kurasakan saat ini adalah sensasi panas di wajahku karena menahan malu. Tapi seketika hawa dingin menjalar di tubuhku ketika sebuah tangan mengusap puncak kepala lalu merengkuh bahuku.
"Hehe, nggak apa-apa, Kak. Dia suka ceroboh kalau kesiangan kayak hari ini. Lupa bawa HP. Akunya yang terlalu khawatir sih," ujar Darren menjawab celetukan Rizal.
Sementara diam-diam mataku mendelik, tajam, pada Rizal. Sedang yang kutatap meringis lebar. Aku tidak akan membiarkannya lolos esok hari.
"Oh, gitu? Kirain lupa kalau punya pacar. Dia emang suka gitu," ujarnya memanas-manasi.
"Bukan lupa, Kak, kalau yang itu. Suka sengaja dilupa-lupain aja biar dikejar-kejar," kekeh Darren seraya meremas lenganku dalam rengkuhannya.
Aku memutar bola mataku, mengerang dalam hati. Seketika aku menyesal kenapa drama tadi itu bisa terjadi dan aku adalah sebagai tokoh utamanya. Sedang biasanya aku yang menonton drama-drama seperti tadi.
"Nad!" seru Darren kaget ketika aku meloloskan diri, melangkah cepat meninggalkannya.
"Tuh, kamu mah pengen banget dikejar-kejar kayak lagi main film india. Atau emang kamu suka nonton film-film gituan ya?" decak Darren menarik tanganku dari langkah cepat.
"Apa sih? Saya mau pulang."
"Nggak bisa!"
"Darren!"
"Tungguin aku kerja. Aku kan tadi udah nungguin kamu setengah hari. Aku bela-belain telat kerja juga bolos kuliah demi kamu. Ayo!"
Dia menggenggam erat tanganku, menarikku untuk mengikuti langkahnya, memasuki Mall yang memang satu area dengan gedung perkantoran tempatku bekerja. Dunia itu sempit ya.
"Saya nggak minta kamu buat nungguin...,"
Cupp!!!
Aku mendelik kaget. Dia membungkam kalimatku dengan kecupan kilat di bibirku di tempat umum seperti ini.
"Darren!" seruku kesal tanpa bisa kuredam.
"Biar nggak keras kepala. Aku heran kok bisa kamu sekeras kepala itu. Ayo, apa mau aku gendong?"
"Nggak perlu!"
"Makanya nurut aja," ujarnya penuh kemenangan, karena berhasil memaksaku untuk mengikutinya.
Dalam langkah aku berpikir, kenapa aku tidak bisa menghindarinya? Kenapa aku selalu gagal untuk membuatnya meninggalkanku? Aku menatap tubuh sempurnanya yang tegap begitu percaya diri dalam langkahnya.
"Kamu mau duduk di mana? Mau kopi panas apa yang dingin? Biar aku bikinin spesial buat kamu. Ingat, jangan kemana-mana sampai aku pulang. Mata kamu juga jangan lirik-lirik cowok lain. Aku udah cukup ganteng kan buat kamu," cerocosnya seraya menggiringku masuk ke dalam cafe tempatnya bekerja.
Aku menjawabnya dengan gumaman, enggan sebenarnya. Karena sejak awal tadi bayanganku adalah aku akan segera pulang ke rumah menonton sekumpulan drama asia.
"Ini, HP aku, kamu pegang aja. Nggak ada kunci kok. Biar kamu nggak bete nungguin aku. Pasti kamu mau nonton drama kan?"
Aku meringis tipis ketika dia meletakkan ponselnya di genggaman tanganku. Seketika ada rasa tak enak hati. Bagaimana dia berusaha membuatku nyaman di dekatnya.
"Anyway, kamu nggak mau kasih aku kiss dulu gitu sebelum aku kerja? Biar semangat kerjanya?" Dia menyodorkan pipinya untuk kucium dengan mata memicing.
Aku menghela napas. Astaga, baru saja aku memujinya, sekarang dia menyebalkan. Aku menyesal sudah mengangkatnya tinggi-tinggi sekalipun hanya di dalam hati.
"Dalam mimpimu!" dengusku membuatnya terkekeh. Dia tidak marah. Aku tidak tahu terbuat dari apa dia itu.
"Becanda. Ditungguin kamu aja udah seneng kok. Oke, aku kerja dulu, berjuang cari uang buat nikahin kamu. Jangan ganjen-ganjen. Aku awasin kamu lho," ucapnya.
Tangannya singgah di puncak kepalaku, memberikan usapan lembut di sana sebelum beranjak meninggalkanku. Sedang aku mengamati punggung lebarnya kemudian menyandarkan punggungku di sandaran kursi.
Dalam diam aku mengamatinya tengah mengenakan apron. Aku membiarkan mataku menikmati setiap gerak-geriknya juga setiap pahatan tubuh serta wajahnya. Sungguh sebuah anugrah Tuhan yang sepatutnya kusyukuri tapi entah aku tidak tahu kenapa aku begitu sulit menerima kehadirannya.
Aku tersenyum kaku ketika dia melemparkan tatapannya kepadaku. Mungkin dia menyadari kalau sejak tadi aku mengamatinya. Tapi hal yang tidak kuduga, dia membalasnya dengan senyuman termanisnya dari hadapan mesin kopi.
"Sumpah, aku nggak tahu kenapa. Kamu pakai pelet ya sampai-sampai bocah kecil itu tergila-gila sama kamu? Sampai ngotot nyuruh aku ke sini buat nemenin kamu biar kamu nggak bete," cerocos sebuah suara menumpahkan kekesalannya.
Aku mengalihkan tatapanku tanpa bisa menyembunyikan rasa terkejutku. Aku mendapati Kania membuang napas kesal sambil duduk di hadapanku.
"Kamu pikir aku mau?" balasku membuatnya terdiam lalu meringis.
"Kamu sih pake acara HP ketinggalan. Begini kan jadinya. Lagian kamu kenapa sih keras kepala banget pengen nolak Darren. Dia kan pejuang masa kini. Sama keras kepalanya kayak kamu. Nggak mau nyerah gitu aja kalau udah nemuin cem-cemannya."
"Kamu bisa nggak bujukin dia?" tanyaku meminta padanya.
"Kamu nggak lihat sekarang aku di sini? Kalau aku bisa bujukin dia, nggak mungkin aku di sini, Nad."
"Ngomongin aku ya?"
Aku dan Kania terlonjak. Mendapati Darren berdiri di sampingku dengan nampan berisi dua cangkir kopi. Setan kecil! Erangku dalam hati karena dia datang dengan tiba-tiba.
***
Tbc
16 Nope 2017
s andi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top