Bab 4
Aku meremas ponsel di genggamanku, menahan geram karena sebuah panggilan telepon. Bukan untuk yang pertama. Tapi untuk yang entah kesekian kalinya. Dan tidak satupun aku meresponnya. Dia, bocah kecil itu tidak henti-hentinya menelponku.
Kupikir dengan diabaikannya olehku, dia akan paham bahwa aku tidak ingin diganggu untuk hari ini. Tapi rupanya ini hanya pikiranku saja. Bahkan setelah aku mematikan ponselku untuk beberapa jam tadi.
Aku menghela napas, lega setelah panggilan itu berakhir begitu saja. Dan kini aku kembali meletakkan ponselku dalam mode senyap di atas meja. Sementara aku menikmati drama asia di tabletku bersama secangkir kopi dan makanan ringan.
Kali ini aku tidak menghabiskan sore di cafe langganan. Yang tidak lain adalah tempat bocah kecil itu bekerja. Hanya terpisah dua lantai di dalam Mall tersebut. Kupikir ini adalah jarak aman. Setan kecil di dalam benakku menyeringai dengan begitu percaya diri bahwa aku akan terbebas dari Darren hari ini.
"Oh? Bagus ya, ditelpon pacar berkali-kali cuma dilihat doang?"
Suara tenang bernada penuh peringatan membuatku terdiam. Aku seperti mengenal suara ini. Aku mengangkat wajahku dari tablet dan mendapati dia berdiri menatapiku dengan tangan bersilang di dada. Sejenak aku kehilangan kendali karena rasa terkejut itu. Aku hanya terdiam kaku membalas tatapannya. Setan kecil yang tadi menyeringai kini seperti duduk menciut di pojokan.
Bagaimana bisa dia menemukanku di sini? Itu pertanyaan bernada ratapan dari setan kecil di dalam diriku.
"Oh? Ehm, hai," ucapku sangat pelan pada akhirnya setelah mendapatkan kembali kendali atas diriku.
Sedangkan Darren, kulihat dia menghela napasnya. Tangannya menarik kursi kosong di hadapanku dan menghempaskan pantatnya di sana. Aku masih terdiam, hanya menggerak-gerakkan bola mata ke sana kemari. Tidak tahu apa yang harus kulakukan. Suasana mendadak asing. Bahkan drama asia di hadapanku sudah tidak menarik lagi untuk ditonton.
Aku menggigit bibirku, memasang sikap hati-hati. Mungkin dia melihat apa yang kulakukan pada telponnya. Atau jangan-jangan dia mengikutiku diam-diam.
"Nggak boleh gitu, Nad, sama pacar. Nanti kalau ada yang suka, terus digebet, kamu kelimpungan lho. Patah hati namanya. Pacarnya diambil orang," ujarnya menasehatiku.
Kini giliran aku yang menghela napas. Tanganku melepas headset bluetooth dari telinga kananku.
"Kamu tahu darimana kalau saya di sini?" tanyaku akhirnya, menatap dirinya seperti biasa.
Dia tersenyum simpul. Sebenarnya dan sejujurnya begitu saja dia sudah terlihat sangat manis. Hanya saja aku yang memang tidak tertarik untuk jatuh cinta sama dia. Dan menjadi pacarnya, versi dia, adalah sebuah ketidaksengajaan. Anggap saja aku terjebak oleh kalimatnya.
"Tadi aku ke kantor kamu. Tapi baru sampai aku lihat kamu jalan kaki cepat banget masuk ke Mall. Aku pikir kamu mau ke cafe biasa. Nggak tahunya kamu ke sini," jelasnya.
Mataku menyipit, menatap dirinya penuh selidik. Lalu berdecak pelan. Dia memiliki banyak kosakata untuk beralasan.
"Oh, jadi kamu lihat saya jalan masuk ke Mall? Terus kamu ikutin saya?"
"Tapi aku nggak stalkingin kamu, Sayang."
"Ya, apa bedanya kamu ngikutin saya sama stalking-in saya?" Aku menaikkan alis sebelah.
"Beda lah, Nad. Kalau stalking kan sengaja ngikutin kamu buat cari tahu kamu ngapain aja. Aku kan cuma nggak sengaja lihat kamu."
"Terus kamu ngikutin saya? Oh, nggak sengaja ya? Oke."
Dia meringis lalu mengusap tengkuknya. Aku masih menatapinya dengan sikap sinisku seperti biasanya. Tapi kemudian mataku melebar ketika dia tanpa basa-basi mengambil cangkir kopi milikku lalu menyesapnya seperti miliknya sendiri.
"Terlalu banyak susu. Takaran perbandingannya kurang pas nih," komentarnya membuatku memutar bola mataku, malas.
"Memangnya apa pengaruhnya? Ini kopi milik saya. Dan saya nggak memusingkan itu. Lagipula saya nggak nyuruh kamu buat minum kopi milik saya. Kenapa kamu yang rewel?" omelku.
Dia terdiam menatapku tanpa kedip. Yang kulihat buat tatapan terkejut karena omelanku. Tapi mata yang berbinar-binar. Dan itu membuatku mengerutkan kening, merasa bingung dengan reaksinya. Dia kenapa? Itu pertanyaan di benakku saat ini.
"Kenapa?" tanyaku tanpa meninggalkan nada ketus.
"Nggak apa-apa. Cuma speechless aja. Aku baru tahu kalau sebenarnya kamu itu bawel. Cuma kamu sok jaim aja di depan aku. Ya ampun, gemesin banget tahu nggak? Apalagi kalau lihat mimik muka kamu itu. Serius, aku nggak gombal," ujarnya membuat setan kecil di dalam diriku terjengkang.
Jadi aku harus bagaimana lagi biar dia menjauh? Sikap jutek, ketus dan entah yang menyakiti tidak membuatnya berbalik arah, menjauh dariku. Di sini aku mulai kehilangan cara untuk membuat Darren berhenti dengan aksinya memepetku.
"Kenapa?" tanyanya disertai derai tawanya. Begitu renyah tanpa dibuat-buat atau unsur kesengajaan lainnya.
"Kamu?" Aku menggelengkan kepala, bingung. Benar. Aku tidak menemukan cara apapun untuk menghadapinya.
"Kan semalam aku bilang, besok pulangnya aku jemput. Kebetulan kerjanya lagi libur dan aku kuliah pagi. Kamu bilang iya, tapi malah kabur duluan. Sengaja ya biar aku kejar?"
Astaga?! Mulutnya. Dia pikir aku perempuan macam apa? Keganjenan membuat aksi agar dikejar sama dia macam abege yang baru lulus SMA. Aku mendelik, menahan geram. Sedang dia terlihat sedang menahan tawa gelinya.
"Demi apapun? Kamu pikir saya adek kelas kamu yang keganjenan bikin aksi biar diperhatiin sama kamu?" dengusku.
"Ya nggak apa-apa kalau kamu ganjennya cuma sama aku. Ngejar-ngejar cowok itu tandanya cewek tangguh tahu."
Aku mendengus. Kalaupun aku mau mengejar seorang pria setidaknya itu bukan Darren si bocah setan! Seruku dalam hati. Tapi aku tidak menyahutinya.
"Sewot mulu. Nggak baik tahu. Nanti cepet tua. Sesekali becanda kenapa," ujarnya santai.
Aku semakin mengatupkan mulut. Membuat rangkaian gigiku bergesekan begitu rapat. Tanganku meremas dalam kepalan secara diam-diam. Sekuat tenaga menahan keinginan untuk mencakar dirinya. Bukan apa-apa mulutnya sering mengeluarkan kata-kata yang tidak terkontrol. Dan itu dia lakukan tanpa ada rasa dosa.
"Bisa nggak kamu nggak ngikutin saya hari ini aja?" pintaku dengan segenap kesabaran.
"Enggak. Biar kamu nggak ada yang deketin. Cuma aku yang boleh. Kamu kan pacar aku," ucapnya bernada menegaskan.
"Saya cuma satu kalimat. Kamu jawabnya kayak satu paragraf," sahutku.
Dia terkekeh, lalu memperbaiki posisi duduknya. Matanya menatapku lekat-lekat.
"Biar kamu nggak banyak pertanyaan. Makanya aku kasih penjabarannya. Kalau aku nggak mau kamu diambil orang. Aku juga nggak mau kamu ganjen-ganjen sama orang lain."
"Oke. Jadi, maunya kamu, saya harus gimana biar kamu nggak melulu ngikutin saya? Lagipula memangnya kamu nggak ada kerjaan lain?"
Ini pertanyaan agar aku memiliki kebebasan untuk menikmati waktuku sendiri. Aku tidak pernah berada di situasi ini. Aku selalu terbiasa menikmati apa yang ada tanpa orang lain yang mengusik. Duniaku begitu nyaman. Tapi sekarang aku merasakan kekacauan itu.
Ketika aku tidak bisa lagi menikmati secangkir kopi di hadapan drama asia atau berjalan-jalan santai seorang diri. Dengan sesekali menikmati keadaan sekitar. Melihat orang-orang lalu lalang atau sekedar menikmati sosok-sosok ganteng yang melintas. Berkenalan dengan orang-orang baru. Itu semua terhenti seketika sejak Darren menyelonong masuk ke kehidupanku.
"Aku ada waktunya sibuk. Tapi bukan berarti aku nggak punya waktu senggang. Dan kebetulan waktu senggangku ada saat sama kamu. Kalau kamu kerja, aku kuliah. Kalau kamu pulang, aku ada buat bersama kamu."
"Darren,"
"Nad, jangan harap kamu bisa bodohin aku ya. Nggak ada alasan buat lari dari pacar sendiri. Aku cinta kamu, Nad. Bukan sekedar suka atau tertarik sama kamu."
"Tapi nggak dengan kamu selalu ngikutin saya. Sama artinya kamu...,"
"Aku nggak ngikutin kamu. Aku cuma ada bersama kamu. Kamu mah nggak paham-paham. Pikiran orang dewasa terkadang dibikin rumit sendiri," sahutnya berdecak.
Aku menarik napas dalam-dalam. Sebenarnya di sini yang tidak paham siapa? Sisi batinku meraung-raung antara gemas dan kesal. Aku hanya minta dia tidak mengikutiku setiap detik. Aku butuh waktu untuk menikmati duniaku sendiri. Hal-hal yang biasa kulakukan selama ini.
Bukan kemana-mana ada dia bersamaku. Di rumah tanpa henti pesan dari dia. Belum video call atau sekedar telepon. Aku jadi merasa bertemu dengannya adalah sebuah kesalahan. Kalau saja, seandainya dan pemikiran-pemikiran lainnya terkadang menghadirkan sebuah sesal.
"Kamu yang rumit. Saya kan cuma minta kamu nggak selalu ngikutin saya."
"Tuh kan? Kamu emang nggak paham."
Aku menggeram tertahan. Tanganku sudah ingin menggetok kepalanya agar dia tahu kalau dia sendiri yang tidak paham. Kalau dia sendiri yang membuatnya rumit. Entah, bagaimana bisa Tuhan menghadirkan seorang pria macam dia. Juga bagaimana bisa pria spesies macam dia itu ada.
"Kamu pernah berpikir nggak sih? Kita emang nggak sepaham. Jadi, ya udah, nggak usah dipaksain kamu sama saya," ujarku akhirnya. Siapa tahu kalimatku ini menyadarkannya dan itu membuatnya meninggalkanku. Sampai detik ini aku masih yakin pada pendapatku bahwa dia hanya sekedar bocah yang sedang tertarik. Tidak lebih.
Dia memicingkan matanya. Nampak berpikir sejenak lalu mengusap wajahnya pelan.
"Makanya. Kita emang nggak sepaham," ujarnya pelan membuatku menyunggingkan sebuah senyuman. Ada harapan kalau dia akan berhenti.
"Tapi bukan berarti kita nggak bisa saling memahami. Semuanya kan butuh proses. Apa yang bisa aku terima dan apa yang bisa kamu mengerti. Itu dia kuncinya," lanjutnya membuat bahuku merosot.
Dia tidak menyerah, gumamku lemah dalam hati. Dia kini yang bersemangat memberikan argumen dengan pemikiran dewasa versi dia. Memberikan ceramah bagaimana seharusnya dua orang saling memahami sekalipun berbeda pemikiran.
"Kita harus sering ngobrol, Nad. Biarpun nggak sepaham tapi kamu bisa ngerti maunya aku apa. Aku juga tahu harus gimana ke kamu."
"Astaga," gumamku pelan lalu memaksakan sebuah senyuman untuknya. Bersyukur dia tidak mendengar lenguhanku. Coba saja kalau mendengar, ceramahnya pasti akan diperpanjang bahkan melebar entah kemana.
***
Tbc
Rabu, 01 Nov 2017
S Andi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top