Bab 24
Kamar itu sangat luas, memiliki balkon yang menghadap ke timur. Aku menatap sekeliling ruangan yang didominasi warna abu-abu gelap. Semuanya tertata sangat rapi tanpa meninggalkan desain minimalis. Kamar Darren. Aku menyelinap ke kamarnya diam-diam, berharap menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di otakku. Sisi lain dirinya yang tidak kutahu dan tentu saja surat perjanjian.
Aku menghampiri jajaran rak yang tersusun beberapa buku dan aksesori dekorasi kamar. Semuanya hanya sebatas buku-buku tentang bisnis dan beberapa buku kuliahnya dulu. Ada foto wisuda di jajaran rak tersebut. Dia benar, ada fotoku di sana berdiri di samping Darren seolah memang benar aku berada di sampingnya.
"Jadi kapan kamu mau pindah ke kamarku?"
Aku terlonjak mendengar suara tanpa kudengar langkah kaki kepulangannya. Dia mengulas senyuman, menghampiriku. Satu tangannya melempar jasnya ke kursi.
"Jangan memaksa kalau belum siap. Kamar ini terbuka buat kamu kapan aja kamu siap," katanya mengurung tubuhku dengan dua tangannya. Hanya menyisakan jarak beberapa centi, bergerak sedikit saja kulit ini akan menyentuhnya. Tidak ada ruang gerak ketika tubuh ini sudah tersudut di jajaran rak itu. Hollyshit! Dia membuat tubuhku panas dingin.
"Darren," panggilku dengan suara tertahan. Lidahku kaku hanya dalam hitungan detik. Matanya jatuh di depan mataku. Bibirnya melengkung ke atas sedikit. Ini jauh lebih mengerikan dibanding dengan saat dulu dia mengejarku sepanjang hari.
"Accept me as I am. Kamu hanya perlu melakukan itu. Dan kamu akan mendapatkan segalanya. Termasuk jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di otakmu. Aku tahu, ada banyak tanda tanya di sini." Bibirnya berbisik membuatku merinding saat itu juga. Dia menujuk dahiku dengan telunjuknya. Ya, dia benar, ada banyak tanda tanya di sana.
Dia menjauhkan tubuhnya setelah kecupan singkat mendarat di ceruk leher ini. Seperti salju yang mencair, itu tubuhku sekarang. Tanpa daya hanya bersandar di rak itu dengan napas sesak.
Mataku mengikuti kemana Darren bergerak. Rasanya aku seperti sedang bersama orang asing. Darren di mataku ini sangat-sangat berbeda dengan Darren yang pernah kukenal. Sosoknya saat ini dingin dan mengerikan. Seperti banyak menyimpan rahasia. Aku harus pulang. Tidak peduli dengan perjanjian kontrak yang beberapa saat lalu menarik rasa penasaran. Aku tidak ingin terlibat pada sesuatu hal yang berbahaya.
"Nad? Mau kemana?" tanyanya membalikkan badan begitu mendengar langkah kaki menuju ke pintu.
"Pulang," jawabku singkat bergegas mencapai gagang pintu.
"Hei! Aku becanda. Jangan ketakutan gitu. Sekamarnya nanti kalau udah punya buku nikah," katanya tertawa geli.
Aku berhenti. Napasku semakin tersengal-sengal. Yang barusan itu baru Darren yang kukenal. Reaksi tubuhku kali ini kurasa berlebihan. Aku menangis sejadi-jadinya. Dia benar-benar keterlaluan sudah membuatku takut setengah mati. Di benakku sudah ada gambaran sisi gelap dan terangnya laki-laki itu. Jelas nyata untuk beberapa saat lalu. Kurasakan tangannya meraih tubuhku dalam pelukannya. Aku kembali mengenali harum tubuh itu, caranya memeluk dan bahasa tubuhnya. Aku mengenal sejak dua tahun lalu. Tidak berubah.
"Ini nggak lucu!" kataku kesal.
"Aku bawa iced latte kesukaan kamu di bawah. Tunggu sebentar aku ganti baju dulu. Maaf udah bikin kamu ketakutan. Nanti malam aku kasih tahu deh, janji. Tapi kamu juga harus janji, jangan putus lagi. Oke?"
"Jangan kayak gitu lagi!"
"Iya, maaf ya."
***
Di depan kami sudah ada Kania berdiri dengan segenap kesalnya. Sementara aku dan Darren duduk di sofa, menatapnya. Apa tatapan Darren? Datar. Sementara aku, entah, semuanya membingungkan.
"Nad! Ngomong dong, kamu jadinya sama Rizal apa Darren? Jangan dua-duanya kamu mau dong. Oke, kemarin aku bilang nggak apa-apa kalau kamu pacaran sama dia. Itu aku cabut! Rasanya sakit. Pake banget. Apalagi lihat dia jalan sama cewek lain, deket banget. Terus ceweknya aku kenal banget. Nggak bisa kayak gini, Nad!" Akhirnya dia bicara bahkan kali ini bersama curhatan hatinya, tentang patah hatinya. Pundak itu kini bergetar. Dia sudah luruh dalam tangis. "Nad, kali ini aja tolong ngertiin. Sesek banget rasanya. Bilang kalau kamu sukanya sama... "
"Darren Kevan. Udah dipatenkan," potong Darren santai. Sepupu tidak tahu diri memang, bukannya sedikit prihatin. Tapi malah menatap Kania seolah sedang menonton drama. Semuanya seperti biasa saja.
"Darren! Ini urusan aku sama dia ya!" hardik Kania.
"Berarti urusannya sama aku juga. Oya, gimana bisa ke sini?" Dia menatap Kania penuh selidik.
Baik aku maupun Kania terdiam, menegakkan punggung. Sialnya, Kania malah terus menerus melirikku.
"Kayaknya aku perlu periksa Cctv... "
"Aku. Aku yang bilang kalau aku di rumah kamu. Terus dia minta share lokasi. Abis kalian berdua emang bener-bener ya. Sama-sama curigaan," ungkapku kesal. Kali ini giliran keduanya diam, menundukkan kepala.
"Kania, pulang gih. Kamu tahu kan kalau aku nggak suka ada orang di rumahku."
"Iya, Darren! Heran, lagian kenapa emangnya kalau aku ke sini? Sama saudara begitunya amat!"
"Kamu tahu aku lah. Nggak perlu aku jelasin."
Lagi, orang asing itu berada di dalam sosok Darren. Gadis itu tidak lagi membantah. Dia angkat kaki dengan terpaksa. Bibirnya terlihat komat-kamit, merutuki Darren pastinya.
"Tapi aku nggak mau tahu. Pokoknya besok Nada harus ngantor!" serunya dari pintu namun disahut dengan gumaman enggan oleh Darren.
"Ke kamarku yuk, aku mau kasih lihat kamu sesuatu," katanya setelah memastikan Kania benar-benar sudah pulang.
Tanpa banyak bicara aku mengikutinya. Berharap ini benar-benar tentang jawaban dari semua pertanyaan di otakku. Tentang semua hal yang terjadi selama dua tahun ini.
Dia berjongkok di sisi ranjang tempat tidurnya. Menyibak bedcover hingga memperlihatkan sebuah laci bersensor. Aku masih berdiri tidak jauh di belakangnya, mengamati apa yang akan dia perlihatkan padaku. Tidak berapa lama laci itu terbuka. Ada banyak map di sana dan dia mengeluarkan salah satunya. Map berwarna merah itu dia buka sekilas sebelum menutup kembali laci tersebut. Dia memanggilku untuk mendekat.
"Ini jawaban dari semua pertanyaan kamu. Kamu baca aja dulu. Nanti kalau bingung aku ceritain," katanya memberikan map itu padaku.
Tertulis jelas judul lembaran kertas itu. Surat Perjanjian. Dan di bawahnya aku menemukan materai. Benar-benar, dia tidak main-main dengan kata-katanya. Surat perjanjian itu ditandatangani oleh ayahnya, Gustaf Sapta dan Darren Kevan serta lampiran pernyataan sebagai saksi yang melibatkan ibunya. Apalah ini? Aku tidak mengenal hal seserius ini. Hubungan ayah dan anak mengapa tak ubahnya seperti hubungan bisnis?
Di sana dijelaskan agar ayahnya tidak mengintervensi kehidupannya terutama soal pilihan hidupnya. Dia menilai, pilihan hidup yang dia jalani bukan sesuatu hal yang salah.
"Darren,"
"Nggak ada yang perlu disesali. Mungkin bagi sebagian orang akan bilang aku keterlaluan sama orangtua. Tapi aku cuma ingin ayahku berhenti bersikap otoriter padaku. Memaksa aku untuk ini itu. Termasuk berhenti memandang rendah orang lain. Kepergian kamu adalah tembakan ampuh buat aku.
Nad, apa yang bisa dibanggakan dari derajat dan tahta seseorang? Itu semua bisa dicari kok. Aku muak dengan sikapnya. Kamu tahu kan aku kerja part time demi biaya kuliahku sendiri karena ayahku nggak mau biayain kuliahku di luar jalur yang dia tentukan. Dia ingin aku mengikuti jejaknya muter-muter di dunia pendidikan."
"Tapi nggak harus begini, Ren."
"Itu aku buat sekitar satu minggu setelah kamu pergi, setelah berantem parah sampai kemudian namaku dicoret dari KK. Aku memutuskan buat nggak berhenti. Biar ayahku tahu, aku bisa seperti ini karena support dari kamu. Kamu pikir aku nggak marah kamu direndahin sama ayahku sendiri? Kamu pikir aku akan diam aja? Nggak, Nad. Buat aku ini keterlaluan, merasa dirinya paling baik, paling terhormat. Jadi orang itu jangan gila hormat. Aku mau orang terutama ayahku lihat kamu sama berharganya kayak perempuan pada umumnya. Kamu nggak serendah itu."
"Wajar aja, Ren. Ayahmu kan sekarang rektor. Harus jaga wibawa. Koneksinya pasti orang-orang penting. Dan itu semua perlu ayah kamu jaga."
Darren tertawa. Ya, benar, setiap hari ada saja pejabat yang berkunjung ke rumahnya dulu itu.
"Intinya, aku cuma mau sukses dengan caraku. Aku mau hidup bersama dengan kamu. Nggak merugikan siapapun kan? Orang juga nggak tahu dan nggak mau tahu ayahku siapa."
Aku terdiam. Ini pilihan yang sudah dia jalani hingga sejauh ini. Namanya di lingkungan bisnisnya pun hanya Darren Kevan. Bukan Darren Kevan Saptaputra. Di perjanjian itu ada poin dimana ayahnya meminta penghapusan nama belakang Darren.
"Jadi, jadi kamu putus hubungan? Darren nggak bisa kayak gitu."
"Ini kesepakatan, Nad. Tapi apapun itu Om Gustaf tetap ayahku yang aku hormati juga sayangi. Hanya saja, ini udah jadi kesepakatan ketika aku memilih jalan hidupku yang bertolak belakang dengan kemauannya. Kita nggak bisa memaksa orang untuk mengerti kita kan? Ini terlalu rumit buat dipahami atau diperdebatkan. Cukup jalani aja, Nad."
Ya, benar. Aku tidak tahu jalan pikiran masing-masing dari mereka hingga menciptakan kesepakatan sekonyol ini. Dan parahnya aku terjebak di dalamnya.
***
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top