Bab 23

Darren benar-benar tidak membiarkanku masuk kerja. Pagi ini temannya datang membawa surat ijin untuk istirahat bekerja dan vitamin. Jangan bertanya untuk siapa karena tentu saja untukku. Baiklah, untuk saat ini aku tidak terlalu mengambil pusing sikap bossy-nya itu. Yang ada dipikiranku sejak subuh tadi adalah apa benar namanya tidak ada lagi di kartu keluarga Om Gustaf dan bagaimana hal itu bisa terjadi? Namun dilihat dari raut muka Darren, ini bukan sedang becanda.

Aku menatap dirinya yang sedang menuruni tangga, bersiap untuk berangkat bekerja. Sudah kuniatkan kali ini aku akan mencari tahu sendiri tentang laki-laki itu, terlepas dari benar atau tidaknya. Dan aku akan mencari tahu sendiri tanpa melibatkan siapapun termasuk Rizal. Seharusnya aku tidak sepenasaran ini. Akan tetapi, bisa jadi hal ini menjadi jalan agar Darren sepakat untuk menutup kisah ini.

"Aku tinggal ya. Istirahat, jangan kemana-mana. Nanti aku usahain pulang lebih awal. Setengah jam lagi Bu Nanik datang. Bu Nanik yang akan beres-beres rumah nanti. Kamu kalau butuh apa-apa bilang aja sama Bu Nanik. Tadi aku udah telfon kalau nyonya baru pindah ke sini."

"Nyonya?" keningku mengkerut.

Apa mungkin ibunya akan datang ke rumah ini? Oh, bagus sekali, Darren. Rasanya tubuhku seperti tersedot, luruh ke lantai. Aku tidak sesiap itu berhadapan dengan ibunya terlebih bapaknya. Seperti ada rasa trauma tersendiri. Entah apa jadinya aku nanti jika kembali direndahkn oleh Om Gustaf. Bisa jadi tanganku yang bicara atau mulutku yang tidak bisa lagi menahan rangkaian kalimat bahkan ada kemungkinan berwujud umpatan. Bahkan bisa saja kemungkinan terburuk akan terjadi yaitu melemahnya diri ini hingga kehilangan rasa percaya diri.

"Iya. Kamu kan. Siapa lagi? Nggak ada kandidat lain dan emang aku nggak minat cari yang lain."

Mulutku seketika terkatup rapat. Baiklah, untuk saat ini aku sedang tidak berminat bicara banyak padanya. Karena di otakku sudah tersusun apa saja yang harus aku lakukan untuk mencari tahu mengenai perjanjian kontrak tersebut. Terdengar sangat asing bagiku. Jika memang ini benar, antara orangtua dan anak, bagaimana bisa itu terjadi? Kupikir, hubungan seperti itu sebatas ada dunia bisnis.

Lagu Shaun Way Back Home terdengar dari ponsel di genggamanku. Tanda ada telepon masuk. Nada dering yang selalu menjadi favoritku menjadi ciri tersendiri. Bahkan di kantor pun kalau ada lagu itu terdengar, pasti menoleh ke arahku. Padahal belum tentu itu dari ponselku. Nama Kania muncul di layar ponsel.

"Siapa?" tanya Darren membalikkan badan. Astaga, Tuhan. Padahal dia sudah di depan  sana nyaris membuka pintu utama. Masih saja sempat-sempatnya berbalik arah hanya untuk bertanya siapa yang meneleponku.

"Kania!" sahutku mendelik sebal.

"Oke. Kupikir cowok itu lagi. Inget, jangan kemana-mana," katanya untuk yang kesekian kalinya dia berkata jangan kemana-mana.

Mataku menangkap ada binar di matanya. Dia terlihat lebih bersemangat. Semangat yang sama seperti dulu ketika semua masih baik-baik saja. Ketika aku memutuskan untuk mencintainya. Sesuatu yang ternyata kurindukan diam-diam. Dia melambaikan tangannya kemudian melangkah pergi. Sesaat aku terdiam, mencoba merenungkan semuanya. Kalau memang aku harus kembali, setidaknya tunjukkan padaku alasan mengapa aku harus melakukannya. Kembali mencintai orang yang sama.

"Ya, Kania?" jawabku setelah panggilan yang lalu terlambat untuk kujawab.

"Kamu nggak masuk? Kok jam segini kamu belum di kantor? Kemarin kamu datang pagi banget?"

Aku menghela napas. Dia pasti akan mengaitkan dengan pria kaca mata taksirannya. Dua tahun lebih mengejar dan selalu nihil.

"Aku nggak masuk. Kepalaku pusing banget. Semalaman nggak bisa tidur."

"Abis jalan sama Rizal ya? Kalian jadian kan? Ngaku aja!"

"Kenapa harus ngaku? Kania," sesaat aku terdiam, "Aku di rumah Darren kalau kamu mau tahu."

"Hah? Apa?!"

"Di rumah Darren," jawabku ulang, kali ini agak keras.

"Gimana? Oh, kamu di rumah Darren? Sekarang kamu pindah ke sana? Apa? Udah balikan sama Darren? Ya bagus. Jangan sia-siain lagi orang yang udah cinta banget sama kamu."

Aku menjauhkan ponsel dari telinga. Suara Kania mendadak menjadi teriakan. Keningku mengkerut dalam. Selama aku mengenal dia, rasanya tidak pernah dia bersuara keras seperti barusan. Seperti dia sedang memberitahu semua orang bahwa aku bersama Darren. Aku kembali padanya. Atau mungkin sedang menyindir seseorang. Yang terakhir kuharap tidak benar.

"Kania, kecilin dikit suaranya. Aku belum budeg kok."

"Maaf, Nad. Tadi lagi di tempat ramai kurang dengar aku," katanya terkekeh tanpa beban.

"Ada Rizal ya di sana?" tanyaku menebak. Kurasa iya, dia sedang menyindir Rizal dengan kalimat terakhirnya itu.

"Emh, nggak. Nggak ada. Ya udah ntar pulang kerja aku mampir deh kalau begitu."

Wow! Luar biasa dua bersaudara ini. Aku menggelengkan kepala begitu telepon itu terputus begitu saja. Apa mereka juga memiliki kadar cemburu yang sama? Sepertinya benar kalau dilihat dari cara Kania meneleponku tadi.  Hal-hal ajaib yang baru saja kutemui dari seorang Kania. Menyebalkan? Sedikit. Masih bisa kumaklumi jika itu menyangkut tentang perasaan.

"Permisi, selamat pagi."

Sebuah suara keibuan dengan nada yang sangat sopan menginterupsi pikiranku. Aku menoleh, mendapati seorang wanita paruh baya tersenyum sopan kepadaku.

"Bu Nanik ya? Saya Nada. Tadi..."

"Iya, tadi Mas Darren pagi-pagi sudah nelepon saya. Katanya ada calon istrinya baru pulang dari luar kota. Perkenalkan, mbak Nada. Saya di sini kurang lebih sudah setahun setengah. Jadi tugas saya membantu bersih-bersih di sini sama nyiapin makan. Tapi saya hanya setengah hari, maksudnya saya nggak nginap. Karena kebetulan juga rumah saya ada di belakang persis komplek ini. Nanti agak siang, bapaknya maksudnya suami saya ke sini, bantu-bantu saya. Mbak Nada kalau perlu apa-apa tolong kasih tahu saya aja," jelas Bu Nanik. Untuk sementara aku mengangguk paham. Bibirku tersenyum sopan.

"Bu Nanik, saya boleh tanya nggak?" ucapku hati-hati. Aku pikir setahun setengah bekerja di rumah ini seharusnya dia ada tahu sedikit mengenai Darren.

"Boleh, mbak. Mau tanya apa?"

"Emh, gimana ya? Saya bingung harus tanya dari mana. Tapi, Bu Nanik tahu bagaimana Darren selama ini nggak? Selama Bu Nanik ikut sama dia?"

Terdengar tawa kecil dari wanita itu. Dia terdiam sejenak sambil mengenakan apron hitam, bersiap untuk memulai pekerjaannya.

"Mas Darren sangat baik, Mbak. Sejauh yang saya tahu, meskipun tidak banyak bicara, tapi sikapnya baik terhadap kami."

"Orangtua nya pernah mampir ke sini?"

"Belum pernah ada yang ke sini, mbak. Memang agak tertutup. Mas Darren sendiri nggak pernah bawa teman atau tamu ke rumah.  "

Jadi? Aku mulai berpikir bagaimana caranya untuk tahu. Keterangan dari Bu Nanik mengisyaratkan jika Darren yang sekarang berbeda. Dia menjalani hidup dengan hati-hati dan tidak mengijinkan siapapun menyentuh kehidupannya.

"O, begitu. Ya sudah, terima kasih, Bu Nanik. Oya, saya ada di kamar ya," ucapku berpamit.

Wanita itu mengangguk. Jadi selama ini dia menjalani hidup sendirian. Sepertinya ada alasan yang memang harus kucari tahu.

***

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #romance