Bab 22
Tidak peduli dengan sikap lembutnya padaku. Aku hanya diam, membiarkannya menarik selimut untukku. Meninggalkan kecupan di puncak kepalaku sebelum meninggalkan kamar itu. Ini bukan tentang aku yang sudah mengerakan hatiku. Tentang aku yang tidak ingin merasakan seseorang akan merendahkan aku lagi.
Rasanya aku sudah terlalu bosan menelan hal-hal yang seperti itu. Namun kali ini sepertinya Tuhan sedang menuntutku untuk menyelesaikan semuanya sampai benar-benar selesai. Ya, mungkin saja. Itu hanya pemikiranku. Aku yang sedang mencoba berbesar hati membiarkan diri menyelesaikan ini. Dan malam ini rasanya jauh lebih panjang dari biasanya. Mataku masih terjaga, menatap langit-langit kamar.
"Yang kutahu, kesalahanku cuma satu. Membiarkan aku sendiri luluh untuk mencintai dia dua tahun lalu. Kalau aja bisa aku prediksi semuanya, pasti aku akan memilih untuk tetap mengeraskan hati." Aku bergumam sendiri kemudian beranjak keluar dari kamar. Sementara waktu menunjuk tepat di angka 3. Subuh masih lumayan lama.
Rumah itu sunyi, minim cahaya. Aku menatap ke sekeliling. Tidak ada suara apapun yang terdengar selain langkah kakiku dan detak jam di ruang tengah. Mataku beralih menatap ke atas. Lampu kamarnya masih menyala. Sekali lagi aku menarik napas dalam-dalam, duduk di sofa ruang tengah dengan sangat pelan.
Selama perjalanan hidupku, sama sekali tidak pernah menyangka akan mengalami hal-hal seperti ini. Terpaksa tidur di rumah orang yang sangat ingin kuhindari. Entah, besok hal apa yang akan kuterima atau harus kulalui. Ternyata memang, terkadang kita harus bertemu dengan orang yang sulit untuk menerima keputusan kita. Dan kita pun sulit untuk menerima keputusan dia.
"Nad, kok kamu di sana?"
Aku tergagap, mengangkat kepala. Dia keluar dari kamarnya menuruni tangga, menghampiriku. Seketika aku menjadi waspada.
"Mau aku bikinin teh hangat?"
"Nggak usah. Makasih," sahutku lirih.
Dia menghela napas. Kemudian berjongkok di hadapanku. Wajahnya menjadi begitu dekat.
"Kamu marah sama aku?" Tangannya merangkum wajahku. Jujur saja, sentuhannya malah membuatku seperti sedang dikuliti pelan-pelan. Jelas sekali menyakitkannya.
"Aku frustrasi. Aku udah bilang berkali-kali, Darren," bisikku patah-patah, "Kita udahan. Kenapa kamu susah buat terima ini?"
Aku kini tersengal-sengal. Bagian dari diriku menahan tangis yang ingin pecah sekuat mungkin. Laki-laki di hadapanku itu tidak bersuara. Hanya kepalanya tergeleng lalu merengkuhku dalam pelukannya.
"Aku juga frustrasi. Aku harus mengejar kamu dari awal lagi. Meyakinkan kamu bahwa aku masih memiliki rasa itu."
"Biarpun kamu masih memilikinya tapi kita sudah berakhir. Ini bukan perkara aku cinta kamu atau nggak. Tolong, ngerti dikit aja. Bahwa nggak semuanya bisa mengandalkan rasa yang kamu punya. Kalau keadaan nggak merestui, kamu bisa apa?" tanyaku lirih.
"Bisa melawan. Kalau terus-terusan mengalah sama keadaan, maka kamu akan terus terbelenggu. Sakit kan rasanya?"
Dia melepas rengkuhkannya. Kedua tangannya kini merangkum wajahku. Sesaat kami hanya terdiam saling menatap. Samar sekali, aku masih bisa melihat senyumnya tercipta seolah meyakinkanku untuk mengikutinya, meyakininya.
"Jangan mengorbankan masa depan kamu, Darren. Cuman untuk seseorang kayak aku, rasanya memalukan."
"Tapi kamu masa depanku."
"Bisa nggak kamu dengerin aku? Perjalanan kamu itu masih panjang. Di 24 tahun ini aja kamu sesukses ini. Masih banyak hal yang bisa kamu capai. Please, jangan malah kamu kacau dengan masalah kayak gini."
"Makanya biar nggak kacau, tolong kamu ngerti. Support aku, terus berada di sisi aku. Itu lebih dari cukup. Bukan berhenti lalu menghilang dan berlari ketika kembali ditemukan."
Sial. Dia selalu berhasil membalikkan setiap kalimatku. Menyentil tepat sasaran.
"Darren jalan kita nggak sama!"
"Ah! Kamu pernah bilang begitu dulu. Aku jawab lagi dengan jawaban yang berbeda. Oke, benar, jalan kita nggak sama. Ya udah ayo kita samain. Salah satunya, sekarang kamu pindah ke sini. Satu rumah, beda kamar. Soon to be, kita sekamar," katanya ringan.
"Justru ini akan jadi masalah baru lagi. Harga diriku di mata orangtua mu? Terjun bebas, Darren. Apa bedanya aku sama mereka yang suka open booking?"
Dia menaikkan alisnya. Wajahnya kembali mendekat, bahkan lebih dekat. Masih dengan senyuman yang membuatku diam diam berdesir. Aku takut luluh lagi.
"Akhirnya kamu jujur," bisiknya, "Kamu pergi waktu itu sehabis ketemu Om Gustaf kan? Ayahku. Karena nggak mungkin kalau cuma gara-gara kita jarang komunikasi dan kamu lihat Melani di tempatku kerja waktu itu."
"Nggak penting itu sekarang."
Dia tertawa lirih sambil bangun kemudian duduk di sebelahku. Dia tidak salah. Mungkin saja, dulu, kalau aku tidak menemui ayahnya, tidak mengangkat teleponnya, jalan cerita tidak seperti ini.
"Aku tahu semuanya setelah kamu pergi. Kamu nyuruh aku buat nggak cari kamu kan? Sengaja aku nggak nyari. Tapi aku nunggu. Seratus persen aku yakin kamu pasti akan pulang entah kapan."
"Gimana kamu bisa tahu?" tanya menoleh padanya.
"CCTV di rumah. Ayahku ambil ponselku yang nggak sengaja aku taruh di depan TV," katanya tertawa kecil, "Itulah manusia. Dia yang masang, dia yang lupa. Aku yakin pasti dia cari nomor kamu."
Seketika aku merasa menciut. Kupikir selama ini aku merahasiakan ini, tidak ada yang tahu sama sekali. Nyatanya malah dia tahu segalanya. Malu? Jelas. Aku hanya bisa meringis terpaksa tetapi juga sekaligus lega. Dia tidak marah meledak-ledak seperti yang kubayangkan.
"Maaf," kataku tertunduk.
"Maaf untuk yang mana?"
"Yang nggak bilang apa sebabnya."
Terdengar helaan napas darinya. Dia menghempaskan tubuhnya ke sandaran sofa.
"Kirain maaf udah kabur-kaburan sama laki-laki lain," desahnya.
"Just like a brother," ucapku meralat seketika. Aku sendiri tidak percaya dengan lidahku yang mulai bicara jujur.
"Aku tahu. Udah jangan dipikirin lagi. Ayo kita mulai lagi, Nad. Biarin aja ayahku mau bicara apa. Kita yang jalanin kan? Kita yang ngerasain kan? Aku berada di titik ini juga karena kamu selalu ingetin aku untuk bekerja keras. Untuk rajin belajar demi masa depan katamu."
"Tapi gimanapun, Ren. Orang tua tempat kamu kembali, tempat kamu pulang."
"Ya. Tapi baik aku atau ayahku udah memutuskan dan sepakat. Gimanapun kita berdua sama-sama keras. Namaku udah nggak ada di KK," katanya lirih.
Keningku mengkerut. Apa ada sesuatu terjadi selama aku di Jogja? Sampai segitunya mencoret nama Darren dari Kartu Keluarga. Woah! Aku menatap Darren menyelidik. Tapi laki-laki itu segera beranjak meninggalkan usapan lembut di kepalaku.
"Tidur sana. Nanti aku bilang sama temanku biar bikinin kamu surat dokter. Kamu nggak tidur dan kamu nggak akan bisa kerja. Jangan bikin kacau kerja teman-temanku dengan kantukmu," ucap Darren sebelum menaiki anak tangga.
Oh?! Mulutku terbuka masih tidak percaya. Kuharap ini tidak serius. Semudah itu dia sekarang menunjuk sesuatu?
***
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top