Bab 20

Ada banyak notif chat masuk dan panggilan tak terjawab di ponselku ketika aku menekan tombol power. Dua bersaudara itu tersangka dari pengirim pesan dan panggilan tak terjawab sampai di saat tiba jam makan siang ini. Pasalnya aku baru saja menghidupkan kembali ponselku.

"Nad, ke kantin nggak?" tanya Rizal menyembulkan kepalanya. Di ruangan itu hanya tinggal aku dan Pak Jimmy, sesepuh di divisiku.

"Saya perhatiin, pulang dari Jogja, kalian jadi deket banget gitu. Wah, bagus dong, dikit lagi ada undangan nyebar," goda Pak Jimmy seraya membetulkan letak kacamatanya.

"Bapak," panggilku dengan nada memperingatkan. Pria paruh baya itu tertawa meledek.

"Ah, iya juga nggak apa-apa. Saya kan pernah muda. Daripada kamu sama si itu siapa?" katanya terhenti mencoba mengingat kembali. Tangannya mengetuk-ketuk permukaan meja. Sepertinya sulit sekali untuk diingat, "Ah, saya lupa namanya. Dua tahun lalu itu kan sempat bikin heboh."

Dia kembali berderai tawa. Kali ini terdengar begitu dalam seperti ada hal yang sangat lucu. Sementara aku hanya meringis kaku. Ya, dulu, setan kecil itu membuat heboh gedung perkantoran ini dengan konyolnya mengejar diriku.

"Saya ingat," katanya di sela derai tawanya sambil mengusap sudut matanya, "Bocah kuliahan itu. Sebut aja begitu. Jangan deh. Jangan sama dia. Sama Rizal ya better lah dari pada dia."

Kali ini giliran aku yang tertawa melihat Rizal mendengus sebal. Tidak jauh lebih baik, hanya sedikit lebih baik katanya.

"Ah, udah. Ayo, Nad. Jatuh harga diriku dibanting Pak Jimmy."

"Iya, iya," ujarku tak mampu menghentikan tawa, "Mari pak, duluan ya? Apa mau nitip buat di bungkus?"

"Boleh. Nasi padang ya, pakai ayam bakar paha.  Pahanya yang kanan, cari yang masih ABG."

Aku memutar mata, masih saja pria bermata sipit itu mengeluarkan leluconnya. Berbau dewasa lagi. Memang pria kadang suka lupa mengontrol mulutnya. Tanganku segera mengambil tas kecil, meninggalkan ruang kerja yang sudah sepi. Sepertinya mereka sudah menuju ke kantin karyawan sepuluh menit yang lalu. Tinggal aku dan Rizal melangkah ke Mall menuju kantin karyawan langganan kami.

"Nada Pertiwi."

Emh! Langkah ini terhenti seketika begitu melewati lantai dasar mall tersebut. Sedikit sedikit aku sudah mulai hafal suara bernada dingin itu. Haruskah aku menunda rasa laparku? Sementara Rizal tertawa tanpa suara tanpa menghentikan langkah.

"Rizal!" panggilku tanpa membuka mulut, penuh penekanan. Demi apa dia meninggalkanku, sial!

"Aku bungkusin aja ya, kita makan bareng di pantry. Sebungkus berdua kayak biasanya. Oke, Dekku?" katanya menyembunyikan sebuah senyuman.

"Ya! Ya!" ucapku tergagap. Sesaat aku hanya bisa mengerjabkan mata. Sepertinya huru-hara sudah di depan mata, "Jangan lupa, paha kanan, masih ting-ting!"

Sial. Mulutku ikut kelepasan. Bocah itu memang, membuat semuanya menjadi kacau. Aku terlonjak kaget ketika ingin berbalik namun dia sudah berada di sisiku. Terlihat jelas garis-garis wajahnya mengeras. Cukup paham, dia menahan kemarahannya sebisa mumgkin.

"Jangan membakar api dalam sekam," bisiknya penuh peringatan, tepat di telinga kananku.

Oh, Wow! Dia sudah kenal bahasa perumpamaan dalam daftar kalimatnya. Aku terdiam setengah takjub, setengah merinding. Harus waspada. Ini mengandung hal mengerikan. Seorang Darren tidak lagi bisa diprediksi. Dia mendewasa dengan cepat dalam jangka waktu dua tahun ini. Postur tubuhnya, gayanya, sosialitanya dan finansialnya. Paket keberuntungan yang menjadi ancaman bagiku. Aku takut jatuh lagi pada perasaan yang sudah kututup itu. Bisakah aku menata masa depanku dengan orang yang sama? Rasanya, sudahlah, aku sendiri sudah terbayang ketika aku akan jatuh lagi nanti.

"Hai, ketemu lagi, kebetulan sekali," sapaku berusaha ramah di tengah kekakuan.

Dia menatapku dengan serius. Bibirnya tersenyum miring, "Kebetulan? Bukan kebetulan. Memang aku sengaja datang ke sini buat ketemu kamu. Paham?"

Aku mengangguk, tersenyum kaku sambil mengusap tengkuk. Dalam hati merutuk Rizal yang dengan teganya kabur meninggalkanku. Aku harus menjambak rambut coklatnya itu biar dia tahu rasa.

"Oya? Ada perlu apa?"

Bibir kenyal itu mendarat tanpa aba-aba tepat di celah bibirku. Aroma mint menyeruak indra perasaku. Entah kapan satu tangannya itu menahan rahangku. Aku menatapnya terkejut dalam jarak 5 centi. Seketika aku kosong. Semuanya seperti tertiup angin kencang tanpa menyisakan apapun.

"Mengingatkan kamu agar tidak melewati batas. Bahwa kamu sudah memiliki seseorang dan tidak seharusnya kamu sedekat itu dengan dia," tuturnya dengan nada suara rendah tanpa mengurangi jarak.

Satu sentakan tangannya di pinggangku semakin menghapus jarak tubuhku dengan dia. Ada rasa panas menjalar di tubuhnya. Sepertinya kini wajahku sudah merah padam dikukus oleh kurungan tubuhnya.

"Darren, lepas. Dilihatin banyak orang," bisikku mengingatkan. Sejak kapan bocah itu bisa mengeluarkan kalimat resmi yang tersusun sangat rapi itu? Oh, astaga! Seperti subtitle di setiap drama yang kutonton. Memang sepertinya sekarang aku harus sangat-sangat waspada dengan bocah ini.

"Kamu nggak pulang kan? Kemana? Kenapa minta pulang kalau memang nggak mau pulang? Rumahku banyak kamar. Kenapa?"

"Kenapa harus?" tanyaku memberanikan diri, membalas tatapannya.

"We're back together."

"Aku nggak bilang gitu, Darren."

"Tapi kamu nggak nolak. Kuanggap jawaban kamu iya."

"Kenapa jadi suka maksa?"

"Seharusnya ini bukan pemaksaan. Tapi memang kamu suka dipaksa. Bahkan sejak awal. Kamu, nggak berubah sama sekali. Dan itu buat aku nggak perlu repot-repot menerka bagaimana sifat kamu sekarang."

Astaga, sial! Aku tidak memiliki tembakan perlawanan. Semuanya benar-benar kosong. Dia memegang kendali penuh atas keadaan ini. Darren Kevan!

"Aku bukan Nada yang dulu."

"Memang. Dulu kamu punya bocah tengil yang nggak punya apa-apa. Dan sekarang kamu, Nada, ya, kamu Nada punya seorang Darren Kevan. DeGantium."

DeGantium? Aku menahan napas. Seperti tidak asing dengan nama tersebut. Belum sempat aku menemukan ingatanku, rasanya tubuhku seperti terpental beberapa langkah. Dia melepaskanku, melenggang begitu saja. Woah! Arogan sekali! Setelan jas biru donker menutupi tubuh tinggi sempurnanya. Melangkah dengan tegap memasuki lift kaca.

DeGantium? Satu kata itu seolah tidak mau pergi dari pikiranku. Sampai Rizal kembali, aku masih berdiri di tempat itu dengan tatapan linglung.

"Kemana perginya bocah itu?" tanya Rizal celingak celinguk.

"DeGantium? Ada apa dengan DeGantium?" tanyaku lirih pada Rizal.

"Nggak tahu. Aku juga baru dengar pas kamu bilang barusan. Udah ah, yuk, makan. Jangan dipikirin. Nanti kalau bosan juga dia akan pergi sendiri. Dulu juga gitu kan," sahut Rizal dengan entengnya. Laki-laki memang begitu mungkin. Tidak seperti perempuan yang sedikit-sedikit melibatkan perasaan.

"Rizal!" panggilku mengejar langkahnya memasuki gedung perkantoran, "Ayo kita pindah ke Jogja aja, yuk? Nggak akan damai deh di sini."

"Harus struggle, Nad. Yakin bisa."

"Bisa apaan? Buktinya kamu tadi ninggalin aku?!" sahutku masih menyimpan kesal.

"Sengaja, pengen lihat respon dia. Tapi emang itu bocah kayaknya belum bisa move on. Selama kamu berada di tempat ramai, nggak usah takut, Nad. Kan aku tadi ninggalinnya di tempat ramai."

"Bodooo. Males aku sama kamu!"

"Masa? Aku beli nasi gudeg lengkap sama sambal krecek lho. Nyesel tau kalau kamu males sama aku."

Memang teman tidak tahu diri! Aku mendengus sebal, menghentakkan kaki ke lantai. Dalam hati merutuk namanya. Namun tetap saja kaki ini bergegas membuntuti langkahnya menuju ke pantry. Hari ini, aku tidak bersama Kania dan memang kebetulan sedang menghindari dia. Masalahnya saat ini terkait dua orang. Rizal dan Darren.

***
Tbc

🤣🤣Update lagi kan. Terima kasih yang masih setia membaca. Biarpun alurnya tidak jelas. Saya sedang memulihkan diri untuk membiasakan menulis lagi. Sekiranya 2th sudah tulisan saya macet macet.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #romance