Bab 2

"Nad!"

Aku membiarkan dia mengikuti langkahku tanpa mempedulikan apa yang dia katakan sejak tadi. Setelah dia membuat geger di kantorku, sekarang dia mengikutiku. Ah, dia seperti anak kucing saja. Aku mendengus dalam hati. Sedang wajahku datar bahkan terkesan tidak peduli. Memang tidak peduli.

Hanya saja aku masih heran. Bagaimana bisa Kania memiliki adik sepupu macam dia. Aku mendengar langkah kakinya dipercepat. Mungkin dia mulai kesal. Tapi baguslah. Aku malah berharap dia akan pulang meninggalkanku lalu menyerah.

Aku melangkah memasuki sebuah supermarket. Tanganku mengambil keranjang. Sejak pagi memang aku berniat untuk mampir ke supermarket samping kantor. Beberapa barang kebutuhan bulananku habis.

"Nad! Aku belum gajian lho," ucapnya berbisik di sampingku.

Aku menaikkan alis sebelah. Tidak menyahut dan terus melangkah. Tapi langkahku terhenti ketika dia nekat menarik lenganku.

"Nad, sumpah. Aku belum gajian," ucapnya lagi. Kali ini dengan tatapan seriusnya.

Aku menghela napas. Tanganku yang lain melepaskan genggamannya di lenganku. Aku menatapnya datar.

"Emangnya saya minta kamu buat bayarin?" tanyaku.

Dia meringis, mengusap tengkuknya. Sedang aku kembali melangkah.

"Tapi kan dimana-mana cowok, Nad, yang bayarin." Dia mengejar langkahku.

"Hm." Aku bergumam tanpa menoleh kepadanya. Tanganku mengambil isi ulang pengharum ruangan lalu memasukkan ke keranjang.

"Nad, hey."

"Sebenarnya mau kamu apa sih?" tanyaku pada akhirnya.

"Dekat sama kamu," jawabnya meringis lebar.

"Apa untungnya buat kamu? Mending kamu pulang. Nggak ada untungnya tahu kan?"

"Ada," jawabnya menyeringai.

Aku menaikkan alisku sebelah. Mengembuskan napas enggan. Aku benar-benar malas menanggapinya. Seumur hidupku aku tidak pernah berjumpa dengan makhlus jenis ini. Baru sekarang.

"Ck. Segitu doang respon kamu? Kamu tuh nggak asik. Harus banyak-banyak bergaul tau, Nad."

Dia berdecak ketika aku tidak memberikan respon lebih untuknya. Aku malah beranjak darinya menuju ke lorong bumbu-bumbu masak. Tapi sekali lagi, aku pernah mengatakan kan? Darren tidak menyerah begitu saja. Dia mengambil keranjang dari tanganku tanpa meminta persetujuan dariku.

"Kamu nggak berminat cari tahu gitu kenapa aku deketin kamu?" tanya Darren memancingku.

Aku hanya mengedikkan bahu, mengambil satu botol saus tiram lalu memasukkan ke keranjang tanpa menatap Darren. Aku membiarkan dia dan mulutnya terus berbicara. Bahkan hingga aku mendapatkan beberapa bumbu masak yang kubutuhkan.

"Kamu pernah pacaran nggak sih?"

"Saya udah dapat semuanya. Makasih kamu mau bantu saya," ucapku seraya mengambil keranjang belanjaanku dari tangan Darren tanpa perlu repot-repot menjawab pertanyaan tidak penting darinya.

"Nggak apa-apa kamu cuekin aku. Cinta kan butuh perjuangan. Yang penting nanti kamu harus terima aku. Terus kita pacaran. Aku lamar kamu. Terus nanti kita nikah," ucapnya hampir membuatku terjungkal dari langkahku sendiri.

Aku sudah menebak ini. Tapi apa yang bocah itu katakan? Sepertinya dia terinfluence drama-drama korea yang sedang hits saat ini. Apa dia pikir hal itu sesimpel dan seindah drama-drama korea? Aku pikir dia perlu bangun dari tidur panjangnya.

"Kamu tadi makan apa?" tanyaku menghadap padanya, menatapnya ringan.

Aku melihat matanya berbinar dalam sekejab. Senyum manisnya tercipta samar.

"Aku? Kamu mau makan bareng aku? Sebenarnya aku belum makan dari pagi. Biar nanti makan bareng kamu," jawabnya antusias, melenceng dari pertanyaanku.

"Oh. Saya pikir kamu salah makan. Makanya bicaranya ngelantur," sahutku lalu berjalan menuju ke kasir.

"Ini kode. Tapi sayang. Nggak sesuai dengan ekspektasi," gumamnya kemudian terdengar helaan napas darinya, lesu.

Aku terdiam. Tapi tidak dengan hatiku. Aku tertawa mengejek di sana. Aku tidak bermaksud merendahkannya. Hanya pesta kemenangan karena dia kalah dengan kodenya.

"Nad,"

Aku sudah terbiasa dengan panggilannya. Setiap kali dia ingin aku meresponnya dengan panggilannya. Nad! Nad! Nad! Dan setiap kali pula aku tidak meresponnya. Bukan apa-apa. Sikapku hanya sebuah bentuk penolakan dariku. Aku tidak tertarik dengannya. Dan sayangnya dia sulit untuk menangkap sinyal itu dariku.

"Aku aja yang bayar," ujarnya sambil menyodorkan kartu debitnya secara paksa ketika terlihat nominal total belanjaanku.

"Darren," panggilku dengan nada memperingatkan.

Tapi dia bersikeras agar petugas kasir itu mengambil kartunya. Bahkan lengkap dengan isyarat mimik mukanya. Hingga pada akhirnya petugas itu lebih memilih mengambil kartu milik Darren dari pada milikku. Sedang aku mengatupkan mulut seraya menarik kembali kartu debitku. Aku melihat senyum kemenangan dari Darren. Ini membuatku diam.

Aku marah pada sikapnya membayari belanjaanku. Untuk apa dia melakukan itu? Sedang aku tahu dia sangat membutuhkan uang untuk kebutuhannya. Seharusnya dia berpikir untuk dirinya. Angka Rp 200,000,- bukan uang yang kecil bagi seorang anak kuliahan. Ini lumayan untuk biaya hidupnya selama dua hari ke depan bukan? Apalagi dia bekerja paruh waktu untuk membiayai kuliahnya. Aku berdecak dalam hati, membiarkan dia memanggilku beberapa kali.

"Ini emang sikap kamu yang cuek, emang aslinya begitu. Apa kamu cuma mau ngetest aku doang sih?" tanyanya ketika aku meninggalkan kasir.

"Saya marah sama kamu," jawabku akhirnya.

"Aku salah apa?" tanyanya mengerutkan dahi.

"Banyak," jawabku pendek tanpa menghentikan langkahku. Tapi tangannya menarik lenganku hingga aku berhenti dari langkah.

"Mau kemana? Motor aku kan di sini," tanyanya.

"Pulang."

"Iya, tahu. Motor aku kan diparkir di sini. Makanya jangan dibawa tegang. Kamu itu semuanya dipikirin. Bawa santai aja. Nanti cepet tua. Ayo, sini belanjaan kamu."

Dia mengambil kantong belanjaanku lalu mengaitkannya pada gantungan kecil di motor matic-nya. Tanpa peduli dengan ekspresi jutekku untuknya, dia memakaikan helm di kepalaku. Tuhan, mungkin bagi seseorang ini sebuah hal manis. Tapi sungguh, ini tidak menimbulkan reaksi apapun terhadapku. Karena memang semuanya harus disertai dengan ketertarikan dulu. Sedang sejak awal aku sama sekali tidak tertarik dengannya.

"Ayo naik, kita pulang." Dia masih berkata dengan nada yang sama, renyah, seolah tidak terganggu dengan sikap yang kuberikan untuknya.

"Pegangan, Nad," ucapnya ketika aku sudah duduk diboncengan.

"Jalan aja," sahutku dingin.

"Nanti kalau nggak pegangan, ada apesnya, jatuh lho, Nad." Dia berkata sambil melajukan motornya meninggalkan pelataran parkir.

"Makanya kamu bawa motornya hati-hati!"

Aku mendengar dia tertawa kecil. Apa yang dia tertawakan? Sedang aku tidak ada nada becanda sedikitpun.

"Kamu marah-marah melulu. Kenapa sih? Kayak perawan lagi PMS tahu nggak?"

Seharusnya dia tahu diri kenapa aku tidak pernah bersikap ramah padanya. Aku mendengus dalam hati.

"Nad," panggilnya lembut.

"Kamu kenapa bayarin belanjaan saya? Kamu bisa pakai uang itu buat kamu sendiri. Bukan buat saya," ungkapku akhirnya.

"Oh, itu?"

Aku menaikkan alisnya. Kalimatnya menggantung. Dia malah fokus melajukan motornya. Padahal sejak tadi mulutnya enggan berhenti bicara.

"Nad,"

Astaga, dia memanggilku lagi. Setelah entah berapa lama dia terdiam, sekarang dia membuka suara. Tapi hanya memanggilku. Bukan melanjutkan kalimatnya tadi.

"Nad, kita pacaran yuk," ucapnya membuatku tersedak napasku sendiri.

"Nggak lucu!" dengusku.

Dia tertawa, "Yey, emang siapa yang becanda? Siapa yang lagi ngelawak? Serius kali, Nad."

"Kalau kamu lagi latihan nembak cewek, jangan sama saya. Sama Kania aja."

"Emang kenapa?" tanyanya.

Aku terdiam. Kenangan lama yang tidak pernah kuijinkan hadir sekarang menampakkan bayangannya. Andai saja ada yang tahu, luka itu masih nyata sekalipun sudah beberapa tahun.

Aku menghela napas, mengerjabkan mata. Mencoba untuk mengembalikan kesadaranku.

"Kamu nggak akan dapat respon baik dari saya. Saya bukan tipe perempuan yang banyak drama. Cocoknya kamu latihan sama Kania."

"Itu dia masalahnya. Aku lagi suka sama cewek, cuek banget. Nah gimana coba?"

Jadi selama ini dia mengejarku karena ini? Karena dia sedang pendekatan sama cewek cuek dan kebetulan seperti diriku? Aku tersenyum samar, mengembuskan napas lega. Syukurlah, setidaknya bukan aku. Dan lebih lega lagi ketika nanti gosip Nada punya pacar anak kuliahan di kantorku akan segera mereda. Ah, aku bisa menikmati hari-hari milikku seperti biasa.

"Tinggal bilang suka apa susahnya," sahutku.

"Bilangnya gimana?"

"Ya tinggal bilang aja kalau kamu suka dia. Repot amat sih?"

"Aku praktek nih ya?"

"Hm," gumamku singkat. Aku melihat dia melirikku dari kaca sepion.

"Aku suka kamu. Kamu mau nggak jadi pacar aku?"

"Ya," sahutku.

"Ya apa?" tanyanya membuatku mengernyit.

"Ya..., ya."

Dia terkekeh. Tapi aku melihat ada binar bahagia di matanya dari sepion.

"Jadi jawabannya iya?" tanyanya.

"Anggap aja iya."

"Makasih, Nad. Akhirnya seorang Darren bisa dapetin cewek yang dia taksir."

Keningku mengkerut semakin dalam. Dia bahkan kini bersenandung.

"Emang kamu udah nembak dia?" tanyaku heran.

Dia mengangguk, "Iya, barusan."

"Apa?! Barusan?"

"Iya, jawabannya iya. Makasih, Nad. Aku serius kok nggak mainin kamu."

"Kamu? Praktek sama saya?" tanyaku terkejut.

"Iya. Praktek langsung sama orangnya. Kebetulan orangnya bilang iya. Jarang-jarang lho, Nad. Seringnya aku ditolak cewek. Maklum lah anak kuliahan nggak punya apa-apa. Tapi berhubung kamu terima aku, aku nggak bisa janji banyak. Cuma pasti berusaha melakukan yang terbaik buat kamu. Makasih, Sayang."

Apa katanya? Aku seperti terjungkal sekarang. Dia menjebakku dalam perumpamaannya. Ya Tuhan, baru saja aku sedikit bernapas lega karena kupikir dia akan segera pergi dariku setelah mendapatkan cewek itu. Dan aku tidak pernah menyangka jika cewek yang dia maksud dalam ceritanya adalah aku sendiri. Bagaimana bisa seorang Nada dibodohi sama anak kuliahan macam Darren?

"Nad, kok diam?"

"Ini becanda kan?" tanyaku pelan, memastikan.

"Dih. Siapa yang becanda? Dari tadi kan aku bilang serius," sahutnya.

"Ya Tuhan," gumamku lemas.

Aku? Pacaran sama dia? Baru pendekatan saja dia sudah segila itu, menungguiku di Lobi. Apalagi kalau pacaran? Dan demi apa? Aku tidak pernah menyangka ini akan terjadi padaku. Entah aku sudah melakukan kesalahan apa sehingga karma seperti ini bisa menghampiriku. Duniaku menjadi terasa asing seketika. Jungkir balik dalam sekejab. Di dalam hati kini aku meraung-raung merutuki kebodohanku, juga mengutuk Darren. Kenapa Tuhan menghadirkan cowok sinting seperti dia hinggap dalam kehidupanku?

***

Tbc
Senin 11 sept 2017
S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #romance