Bab 18
"Aku belajar keras setelah kamu pergi sampai-sampai aku lupa kalau aku sedang patah hati. Tekadku cuma satu, bikin kamu bangga pernah berusaha keras menyadarkan aku bahwa masa muda terlalu sia-sia dibiarin gitu aja."
Dia mulai bercerita sepanjang perjalanan. Kupikir dia akan membawaku pulang. Nyatanya dia membawaku ke sebuah komplek hunian cluster. Dia tersenyum lebar, menunjukkan ekspresi bangganya padaku. Aku meringis, menyimpan kegetiran tersendiri yang selama ini kusimpan. Apapun yang dia lakukan, apapun yang dia sudah capai, sedikitpun aku tidak pernah meminta kata terima kasih.
Bagiku, melihat dia sangat baik-baik saja sudah cukup. Perkara dia mau berbahagia dengan siapa, kurasa itu terserah dia. Apa yang dia capai saat ini adalah murni kerja kerasnya. Aku hanya ikut merasa senang. Tidak ingin lebih.
"Welcome home, masih nyicil sih," katanya lengkap dengan cengiran lebarnya, "Nggak apa-apa kan? Emh, baru masuk cicilan ke 6 kalau nggak salah."
Dia membukakan pintu rumah bergaya minimalis itu, mempersilakan aku untuk masuk. Desain monokrom menyapaku di sana. Ini semua adalah yang kusuka. Aku menatap dirinya.
Bukan itu, Darren. Aku bahkan nggak peduli tentang apa saja yang sudah bisa kamu miliki dari kerja kerasmu.
"Ini foto wisudaku. Ada kamu di sana. Sengaja aku edit tambahin foto kamu. Biarpun kamu nggak di sini, setidaknya masih ada kamu di hatiku. Saat itu, sudah lebih dari cukup."
"Tapi kamu nggak perlu yang kayak segitunya, Darren. Semua ini adalah hasil dari kerja kerasmu. Kamu layak untuk itu."
"Dan kamu lebih layak untuk menerima ini semua," tegasnya kemudian membawaku ke ruang tengah.
Dia beranjak memberiku sebotol jus yang baru diambil dari lemari pendingin. Dalam diam mataku mengamatinya. Secepat ini pula dia memiliki segalanya. Aku tertawa dalam hati, betapa jauh berbeda. Selama ini bertahun-tahun aku jatuh bangun di dunia kerja tidak bisa seperti ini. Dia benar-benar luar biasa.
"Aku pernah bilang kan, eh nggak, aku bilang ke diri sendiri ketika kamu pergi. Bahwa aku akan berusaha keras untuk menjadi seseorang yang pantas buat kamu. Yang nggak akan kamu tinggal pergi lagi. Nggak peduli apapun itu, aku harus menjadi seseorang itu."
Ini di luar perkiraanku. Kepergianku malah memupuk keras tekadnya. Menjadikan seseorang yang keras kepala lebih dari sebelumnya. Hanya saja saat ini keras kepalanya memiliki perhitungan, tidak seperti sebelumnya.
Aku tertawa kecil, "Hei, dengar. Bukan kamu yang nggak pantas buat aku. Udahlah, lupain semuanya. Kita masih bisa jadi teman kalau kamu mau. Darren, kamu bisa cari yang sempurna. Banyak kok. Jangan berhenti di satu orang. Kamu layak bahkan sangat layak buat dapetin seseorang yang jauh lebih baik daripada aku."
"No. Aku nggak mau debat sama kamu. Ucapanmu yang terakhir aku anggap nggak pernah kamu ucapin sama sekali. Jadi, ayo, kita mulai sama sama lagi. Aku dan kamu, di sini. May be next year we'll getting married. I swear."
Rasanya aku sudah tidak memiliki kata-kata untuk menghentikan Darren. Yang kupikirkan saat ini, bagaimana dia akan bersikap jika tahu mengapa aku dulu pergi tanpa sebab. Satu hal ini yang selalu menjadi bebanku ketika mendekati hari kepulanganku. Aku takut kembali bertemu dengannya. Aku takut untuk menuntaskan masalah ini. Semua pasti akan mendorongku untuk bicara karena Darren berhak tahu ini. Agar dia paham dan berhenti.
Ya, seharusnya demikian. Akan tetapi semua pasti tidak akan berhenti di sana. Seperti rangkaian kisah yang menyambungkan tiap-tiap bab. Setelah masalah ini selesai, pasti akan ada masalah baru. Entah aku akan terlibat di dalamnya atau tidak. Yang pasti ini menyangkut hubungan ayah dan anak.
***
"Serius kamu ketemu bocah itu?" tanya Rizal ditelepon begitu aku pulang dari rumah Darren. Dia tertawa terbahak. Sementara aku melenguh lemas.
"Serius. Kupikir semuanya akan baik-baik aja. Ya setidaknya, ketemunya nggak secepat ini. You know what? Aku nggak bisa kabur sama sekali," aku menghela napas, "Ini yang selama ini aku hindari. Yang bikin aku nggak mau pulang ke Jakarta."
"Keluar, yuk. Kebetulan baru balik ngantor. Kamu sih enak pulang dari tadi. Aku abis beresin format data yang lumayan acak-acakan. Gimana? Mau nggak?"
"Oke, ditunggu ya. Kabarin kalau udah mau sampai."
Sejenak aku memejamkan mata. Memijit kepalaku yang sedikit terasa berat. Rasanya seperti habis mengerjakan laporan akhir bulan dalam masa tenggang. Ini baru hari pertama masuk kantor. Bukan pekerjaan yang membuatku seperti ini. Tapi takdir Tuhan yang datangnya begitu cepat.
Aku hanya bisa memberikan senyum lelah pada Rizal yang baru saja sampai dengan motor besarnya. Dia segera memberiku helmet untuk kukenakan.
"Jadi inget Jogja," ucapku tertawa kecil.
Ya, dua tahun aku menghabiskan waktu bersama dengan motor matic second. Keliling Jogja hingga pernah nekat ke Semarang, Wonosobo dan kota-kota lainnya.
"Nanti bulan depan kita ambil cuti mau? Riding ke Jogja berani nggak?"
Mataku mengerjab begitu tertarik dengan tantangannya. Kemudian beralih ke motor R15nya.
"Motor ini? Serius?" tanyaku sambil naik di boncengan.
"Kalau kamu mau juga. Nggak mungkin kan pakai matic yang di Jogja. Kan udah kita jual."
"Rutenya?"
"Ya paling mampir ke wonosobo dulu yang pasti lanjut jogja lewat Temanggung."
"Ditunggu bulan depan ya?"
"Siap, Dek-ku."
Sepertinya tawaran ini tidak boleh kulewatkan. Mungkin dengan ini aku masih bisa menghibur diri. Dalam diamnya, Jogja menyelinap halus tinggal di hatiku. Sampai-sampai rasanya kota itu memanggilku untuk kembali ke sana.
Aku baru menyadari, Rizal membawaku meninggalkan kota Jakarta. Meninggalkan hiruk pikuk kehidupan malam Jakarta. Hawa dingin mulai menyelinap di kulitku. Aku tidak berminat untuk bertanya. Diam seperti ini saja sudah cukup.
Ada sekitar dua jam perjalanan. Pemandangan lampu-lampu penduduk di perbukitan sana mulai menyapa. Jalanan kini sudah berkelok. Aku tahu, sepuluh menit lagi, Rindu Alam sudah ada di depan mataku. Ya, ini puncak. Memang tidak seramai kala akhir pekan. Tapi setidaknya masih banyak orang menghabiskan malam di sini.
"Nggak usah mikir besok kerja. Kita sering melakukan hal-hal nekat seperti ini kan?" ucap Rizal membuatku terkekeh.
"Makasih ya? Kamu selalu ada buat aku."
"Kan Mas Rizal. Nggak ada yang lain," katanya menyombongkan diri.
"Gimana tadi ketemu Kania?" tanyaku memancing.
Dia membuang napas. Sejenak menyeruput wedang jahenya yang masih mengepul. Hawa dingin tidak mengenal panasnya kepulan asap. Tetap saja ketika diseruput rasanya tidak ada panasnya sama sekali.
"Nggak gimana-gimana. Aku sendiri juga biasa aja. Emang dasarnya nggak ada perasaan apa-apa. Perkara dia suka, ya itu hak dia, Nad. Mata, juga mata dia. Hati juga dia yang punya, dia yang tahu kapasitasnya."
"Kalau aja aku bisa kayak kamu."
"Kamu mah beda perkara. Jangan galau, udah. Kalau memang perlu dituntaskan apa yang menurut dia belum selesai, maka selesaikan. Kamu masih ada rasa sama dia nggak?"
Aku terdiam. Tidak tahu, rasa ini masih ada atau tidak. Atau mungkin hanya sebatas rasa bersalah saja? Sudah meninggalkannya tanpa penjelasan.
"Aku sama Kania kan memang dari awal nggak ada hubungan apa-apa. Kalau kamu sama dia kan pernah jadian. Biar kata tiga bulan doang, Nad. Tapi kamu kan pernah ada rasa. Kamu nggak bisa pungkiri itu. Apalagi putusnya karena terpaksa gini. Ini kalau dulu bocah itu tahu, aku rasa dia akan berontak. Nggak ada namanya putus. Cuma beruntung aja kamu dimutasi. Sama Mas Rizal lagi ketemunya."
"Nggak tahu lah. Kadang ingin nyerah tapi...," aku menarik napas dalam-dalam, mengerjabkan mata, "Aku nggak bisa berhenti di sini. Katanya hidup itu harus terus berjalan kan? Tapi masa kita nggak bisa di Jogja aja gitu? "
"Haduuh, Nad. Perempuan emang lebih sering menggunakan hati."
"Kamu nggak ngerasain sih."
"Apa perlu kita pura-pura pacaran?"
"Rizal!"
"Mas dong. Tinggal pulang nih!"
Aku berdecak sebal. Sejenak kemudian aku tidak mampu menahan derai tawa ketika melihat dia tertawa puas sudah membuatku geram. Di sini rasanya sedikit tenang. Jauh dari hawa Jakarta. Mari kita lupakan sejenak beban itu. Aku meyakinkan diri, meleburkan semuanya. Di sini, dan lagi, bersama Rizal, duduk berdampingan menatap apa yang orang sebut itu bukit bintang.
***
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top