Bab 17
Tidak ada perubahan besar dari Jakarta. Rasanya semua masih sama. Rumahku saja yang lumayan berdebu karena kutinggal cukup lama. Dan aku tidak pernah pulang. Setelah kemarin seharian aku beberes rumah, pagi ini aku kembali ke kantor lama.
Sengaja, rok batik kukenakan menyempurnakan blouse putihku. Tidak ketinggalan flatshoes warna putih membalut kakiku. Sempurna. Ada perubahan dari diriku. Lebih girly. Ya, selama di Jogja aku banyak diprotes sama Rizal. Dia pula yang meracuniku fashion korea. Astaga, semuanya malah menjadi candu. Katanya, setidaknya kita harus bisa menghargai diri sendiri dengan merawat diri. Entah berapa banyak wejangan yang dia berikan. Ya, kami sama-sama mulai memperbaiki diri.
Kakiku melangkah tegap begitu percaya diri memasuki gedung perkantoran itu sambil menerima telepon. Siapa lagi kalau bukan dari Rizal. Pria itu mewanti-wanti untuk menunggunya di lobi.
"Astaga, masih lama ngga?" tanyaku berdecak tanpa mempedulikan sekitar.
"Tunggu. Udah liat kamu, nengok ke belakang deh."
Aku berbalik mencari sosoknya di tengah kesibukan karyawan yang ingin masuk. Mendapati seseorang melambaikan tangan dengan penampilan yang tidak asing lagi. Lebih kekinian sejak kami di jogja. Aku dan dia segera melangkah masuk. Ruangan kerja kami yang lama, masih sama.
"Haiii, selamat pagi," seruku menyapa yang berada di ruangan itu.
"Nada?!!!"
Perlahan ada kerinduan mendapati tatapan terkejut dari mereka. Aku pernah menghabiskan banyak waktu di sini. Dan kini aku kembali untuk hal yang sama. Menghabiskan banyak waktu bersama mereka.
"Nada Pertiwi?!"
Suara melengking penuh emosi menyembul dari celah pintu. Aku mendapati sosoknya menatap marah padaku. Katanya berkaca-kaca. Juga bibirnya ikut bergetar. Aku tersenyum tipis, merentangkan tanganku agar dia datang. Aku tahu, ada banyak salah yang kubuat padanya.
"Dua tahun kamu ngilang gitu aja. Sekarang pulang diam-diam. Teman macam apa?! Aku benci tau nggak?" Dia memarahiku dengan tangis yang sudah tidak mampu dia tahan. Tubuhnya segera tenggelam dalam pelukanku. Kania, dia tidak berubah sama sekali.
"Tapi kangen kan?" ujarku terkekeh.
"Kenapa? Aku tanya semuanya nggak ada yang tahu. Kamu ada masalah? Kan kamu bisa ngomong sama aku. Aku pasti bantu kok. Tapi nggak gini caranya, Nad. Aku tuh kelimpungan cari kamu. Kamu nggak tahu rasanya kehilangan juga dimarahin, dibentak-bentak sama Darren."
"Maafin ya. Aku nggak punya banyak waktu. Kamu juga lagi sibuk waktu itu. Tapi aku nggak apa-apa kok. Aku cuma dimutasi aja," jawabku setengah jujur. Jangan sampai Kania tahu alasanku menutupi namaku dari daftar karyawan mutasi. Masalah itu sudah selesai bukan?
"Aku nggak mau tahu. Pokoknya pulang kerja kita ke kedai kopi dulu. Aku kangen banget. Nggak nyangka kamu bakal balik lagi. Aku pikir kamu resign."
"Owww, seharusnya iya."
"Nada!"
"Iya, Kania. Yaudah nanti pulang melipir ke Mall. Aku traktir ya."
Gadis itu melebarkan senyuman sebelum kemudian menatapku menelisik. Dahinya mengkerut. Tangannya meraih daguku, menatapku begitu teliti.
"Ini bahaya. Glowing iya, modis iya, cantik juga iya. Sempurna. Why? Siapa yang ngajarin kamu sesempurna ini?"
"Coba dipikir kembali. Siapa aja yang sedikit berbeda dari sebelumnya?" sahutku tersenyum misterius.
"Rizal Adnan. Tunggu!" sekali lagi Kania menatapku menyelidik, "Kalian nggak jadian kan?"
"Mas Rizal?" tanyaku menggoda.
"Kamu panggil dia apa?! Nada, serius, kamu nggak sama dia kan?"
"Kania, jangan berpikir terlalu jauh, nanti sakit sendiri. Aku sama dia bukan dalam komitmen kok. Just close like brother and sister."
Seulas senyuman kuberikan untuknya sebelum aku duduk di kursi milikku. Menyalakan laptop dan bersiap untuk bekerja kembali. Yang terpenting saat ini, gaji pokokku berubah lagi mengikuti UMR jakarta. Ini adalah sedikit angin segar bagiku untuk bisa lebih banyak saving money.
***
"Kamu nggak mau tahu tentang Darren?" tanya Kania ketika aku sama sekali tidak menyinggung nama Darren padanya.
Aku tertawa kecil, melangkah santai memasuki Mall itu. Menepati janji untuk menemani Kania menghabiskan malam.
"Nggak. Bukannya dia udah punya kehidupannya sendiri?" tanyaku cuek.
"Iya, sih. Tapi emang nggak ada sedikit rasa penasaran pengen tahu?"
Kepalaku menggeleng. Aku tahu Kania ingin cerita banyak mengenai bocah itu. Hanya saja aku malah tidak ingin mendengarnya.
"Tahu nggak? Rasa penasaran cuma bikin masalah yang seharusnya udah selesai jadi nggak selesai. Yaudahlah yang dulu lupain aja. Biar semua berjalan semestinya."
"Semestinya yang gimana?"
Sebuah suara bernada dingin menghentikan langkahku. Di depanku sudah ada seseorang yang sangat ingin kuhindari. Secepat ini Tuhan kembali mempertemukan. Aku menarik napas panjang, memberikan diri untuk menatap sosoknya.
Dia yang sempurna. Setelan jas dan sepatu fantofel mengkilap membungkus rapi tubuh sempurnanya. Dua tahun berlalu, dalam diam kini aku merasa bangga. Selamat, Darren. Setidaknya kini dunia sudah berada di genggamanmu. Tidak perlu tahu kenapa dulu aku meninggalkanmu.
"Permisi," ucapku tenang setelah beberapa saat hanya saling menatap.
Dia baik-baik saja. Terima kasih, Tuhan. Pun sama denganku. Aku kini baik-baik saja. Aku merasakan tangan Kania menahanku untuk tidak pergi.
"Nad," panggil Kania lirih. Aku tahu, gadis itu sudah membocorkan kepulanganku. Tanpa perlu aku bertanya. Tapi itu sudah pasti.
"Tunggu di sini. Aku mau ke toilet," katanya bergegas pergi. Aku sangat mengerti, toilet adalah sebatas alasan.
Tersisa aku dan dia saling berhadapan. Matanya terus menatapku lurus. Aku tidak mampu mengartikan. Hingga sesaat kemudian tubuhku limbung, jatuh dalam dekapan eratnya. Gemuruh di dadanya, napasnya yang tersengal-sengal, semua bisa kurasakan.
"Kamu yang brengsek atau aku yang terlalu kurang ajar sama kamu? Sampai-sampai kamu menghukumku dua tahun ini. Jangan lagi-lagi, Nad. Jangan lagi-lagi," ujarnya berbisik seiring dengan tangannya mencengkeram punggungku.
Seperti ada yang kembali menelusup ke dalam hatiku, menusuk-nusuk di sana. Tuhan, nyatanya aku tidak sesiap itu bertemu dengannya.
"Kamu lihat aku baik-baik, Nad. Aku menjadi apa yang kamu inginkan. Kamu, nggak ada alasan lagi untuk pergi."
"Darren,"
Tubuhku menegang begitu satu jarinya membungkam mulut ini. Tatapannya kali ini penuh dengan keseriusan. Dia tumbuh dengan baik, Tuhan. Tidak ada lagi nada tinggi dan gelegak emosi yang liar.
"Kita pulang," katanya seolah tidak mau peduli apa aku mau atau tidak. Dia menarikku agar mengikuti langkahnya tapi tidak menyakiti tangan yang berada di genggamannya.
"Jangan begini, tolong. Kita udah masing-masing. Darren, aku senang. Malah bahagia banget lihat kamu udah di titik ini. Tolong, jangan membuat masalah yang hanya akan membuat kamu akan jatuh."
Bocah tengil yang kini tumbuh menjadi dewasa, menghentikan langkahnya tepat di depan sebuah mobil berwarna merah. Menatapku sambil bersandar di mobil itu. Tangannya terlipat sempurna di dada.
"Kalaupun aku jatuh, setidaknya aku nggak kehilangan kamu lagi. Uang bisa dicari, Nad. Tapi orang yang mau bersamaku ketika aku susah, ketika aku jauh dari kata dewasa, itu cuma kamu. Belakangan kita masing-masing. Aku anggap kamu hanya memberiku waktu untuk membangun masa depan. Sekarang, aku udah ada di titik itu. Aku nggak mau tahu kenapa kamu pergi waktu itu. Seperti kamu yang nggak mau tahu alasan kenapa aku menghindar dari kamu. Yang aku mau sekarang, ayo, kita sama-sama mulai lagi."
Tapi keadaan ini malah hanya akan membuatku semakin direndahkan. Kita tidak pernah sepadan. Seperti kata ayahnya kala itu. Usia, latar belakang pendidikan, pekerjaan bahkan status sosial kita berbeda. Entah aku yang mempersulit atau memang dia yang tidak mau tahu? Jujur saja, aku sudah lelah untuk dibanting dengan kata-kata. Yang pada akhirnya hanya akan membuatku menyalahkan takdir dengan kalimat 'kalau saja bisa memilih pasti aku akan memilih lahir di keluarga yang serba tercukupi'.
Sesaat mataku terpejam. Baru saja kembali, masalah baru sudah menanti. Secepat aku pergi kala itu. Jika memang ini kisah harus dituntaskan, kuharap Tuhan masih menyisakan jalan baik untuk aku ataupun dia. Masing-masing kita hanya memiliki rasa namun keadaan tidak merestui.
***
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top